SEJARAH PEMBENTUKAN BANK
SENTRAL
DI INDONESIA TAHUN 1953
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
Yang dibina oleh Ibu Indah W. P. Utami
Oleh
Agus Mujib 110731435540
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bank Indonesia
(BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia.
Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua
aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta
kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai
tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya.
Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi
perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
BI juga menjadi
satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BI dipimpin oleh Dewan Gubernur.
Posisi Bank Sentral adalah posisi yang sangat vital dalam perekonomian suatu
negara. Karena beberapa hal di atas maka penulis tertarik untuk membahas
tentang sejarah perekonomian dengan judul “Sejarah Pembentukan Bank Sentral di
Indonesia Tahun 1953”
1.1 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana awal mula gagasan
pembentukan bank sentral di Indonesia?
2.
Bagaimana sejarah kelembagaan BI?
1.2
Tujuan
1.
Mengetahui awal mula gagasan
pembentukan Bank Sentral di Indonesia.
2.
Mengetahui SEJARAH Kelembagaan
BI.
2. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pembentukan Bank Sentral di
Indonesia
Gagasan pembentukan bank sentral
telah muncul sejak pembahasan materi
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam
sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam
Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank
sentral dimulai dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945
kepada R.M. Margono
Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan
Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian, didirikan Jajasan Poesat Bank
Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI.
Sebagai bank sentral dalam masa
revolusi, BNI tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu,
De Javasche Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia
Belanda, kembali membuka cabang – cabangnya di wilayah yang dikuasai oleh NICA
sejak awal 1946. Pada 1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menetapkan DJB
sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi
sebagai bank umum. Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus 1950, Republik
Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang independen dan
bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi
DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih
berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951, DJB
dinasionalisasi dan kepemilikan sahamnya berhasil diselesaikan oleh Panitia
Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang penetapan Undang-Undang
Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank
Indonesia sebagai bank sentral untuk RI.
Sejarah
mencatat bahwa aktivitas perekonomian dan keuangan menjadi tulang punggung
dalam perjalanan suatu bangsa. Dalam hal ini peran bank sentral sangat dibutuhkan
sebagai sebuah lembaga yang memang diserahi tugas mengontrol sistem moneter dan
perbankan suatu negara yang kebijakannya akan berdampak pada perekonomian. Dalam menjalankan tugas tersebut, umumnya bank sentral memiliki
wewenang mengedarkan uang, di samping memiliki fungsi dan wewenang mengatur,
membina, dan mengawasi kegiatan perbankan.
Seperti diketahui, bank merupakan lembaga
perantara keuangan. Selain itu, bank sentral berperan pula sebagai sumber
terakhir pinjaman bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, atau
dikenal dengan istilah lender of the last resort. Lebih jauh lagi, bank
sentral juga mempunyai peran pengendali sistem moneter. Dari fungsi ini,
menjadi lebih jelas lagi bahwa bank sentral juga berperan dalam pengembangan
sistem perkreditan yang sehat. Sebagai negara yang sedang berusaha bangkit dari
kehancuran selama masa penjajahan, para pendiri negara ini pun menyadari bahwa
Indonesia memerlukan suatu bank sentral. Pemikiran ini muncul sejak pembahasan
materi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
Pada tanggal 5 Juli 1946, lahirlah
Undang-Undang No. 2 Prp. 1946 mengenai pendirian Bank Negara Indonesia (BNI),
dilanjutkan dengan meleburkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" ke
dalam bank tersebut yang berkantor pusat di gedung bekas bank milik Belanda, De
Javasche Bank Yogyakarta. Walau status BNI sebagai bank sentral tidak tercantum
secara tegas dalam Undang-Undang No. 2 Prp. 1946, namun beberapa pasalnya
mengamanatkan tugas kebanksentralan, antara lain dinyatakan dalam pasal 1,
pasal 6, pasal 7, dan pasal 10.
Keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini mengejutkan Belanda dengan NICA-nya ketika mereka datang
kembali ke nusantara dan membuat situasi menjadi memanas. Belanda yang tidak
mau mengakui kemerdekaan Indonesia mencoba merebut kembali wilayah Indonesia
satu per satu. Seiring dengan itu, mereka juga membuka kembali beberapa kantor
De Javasche Bank (DJB) di wilayah-wilayah yang berhasil didudukinya.
Peta perebutan wilayah ditandai
dengan berdirinya DJB Jakarta, Semarang, Manado, Surabaya, Banjarmasin,
Pontianak, Bandung, Medan, dan Makassar. Tanggal 21 Juli 1946, Belanda berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya dengan melakukan aksi militer yang terkenal
dengan istilah Clash I. Bersamaan dengan itu, empat buah kantor DJB pun
ikut dibuka yaitu DJB Palembang, Cirebon, Malang, dan Padang.
Pada Clash II, tanggal 19
Desember 1948, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, sehingga tiga kantor DJB
pun ikut dibuka yaitu Yogyakarta, Solo, dan Kediri. Gambaran keadaan negara
Republik Indonesia (RI) yang terpecah-pecah seperti yang diuraikan di atas
menjadikan embrio bank sentral Indonesia yang akan tumbuh menjadi tersendat. Di
samping itu, kondisi tersebut berimbas dan berpengaruh pada kinerja dan
pelaksanaan tugas-tugas BNI. Kantor-kantor BNI yang lazimnya menggunakan gedung
kantor DJB ikut menyingkir bersamaan dengan didudukinya kota bersangkutan, dan
DJB ternyata dibuka kembali. Akhirnya BNI tidak bisa menjalankan fungsi bank
sentralnya.
Dengan prakarsa Dewan Keamanan PBB,
diselenggarakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan keputusan pengakuan
kedaulatan penuh atas RI pada tanggal 27 September 1949, dengan bentuk negara
RIS. KMB juga menetapkan bahwa yang bertindak sebagai bank sirkulasi adalah
DJB. Keputusan KMB ini juga mengakibatkan berubahnya status dan fungsi BNI
menjadi bank umum.
Belanda mengingkari keputusan Konferensi
Meja Bundar (KMB) tentang Irian Barat.
Akibatnya pemerintah Indonesia
memutuskan untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peristiwa ini membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi, termasuk
keinginan menasionalisasi De Javasche Bank (DJB). Pada tanggal 30 April
1951, Menteri Keuangan RI, Mr. Jusuf Wibisono, dalam wawancara persnya
mengumumkan niat pemerintah Indonesia untuk menasionalisasi DJB menjadi bank
sirkulasi. Pernyataan yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak
DJB ini menyebabkan Presiden DJB, Dr A. Houwink memutuskan untuk mengundurkan
diri.
Selanjutnya, berdasarkan Surat
Keputusan Presiden No. 123 tanggal 12 Juli 1951, diangkatlah Mr. Sjafruddin
Prawiranegara menjadi Presiden DJB. Keterangan resmi mengenai nasionalisasi ini
disampaikan Perdana Menteri, dr. Sukiman Wirjosandjojo kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 118 tanggal 2 Juli
1951, yang berlaku surut sejak tanggal 19 Juni 1951, dibentuklah "Panitia
Nasionalisasi De Javasche Bank NV", dengan ketua Mohamad Sediono dan
anggota-anggota yang terdiri atas Mr. Soetikno Slamet, Dr. R.M.
Soemitro Djojohadikoesoemo, T.R.B
Sabarudin, serta Drs. Khouw Bian Tie. Panitia ini bertugas menasionalisasi DJB
dan merencanakan status baru bagi bank sentral Indonesia. Dalam melaksanakan
tugas tersebut, langkah pertama yang dilakukan oleh panitia adalah dengan
membeli saham kepemilikan DJB oleh pemerintah dengan kurs 120% dalam valuta
uang Belanda atau valuta lain sesuai tempat tinggal pemilik saham dengan kurs
sebanding, dan kurs 360% untuk pemilik saham WNI atau penduduk dalam rupiah.
Dengan cara ini kepemilikan DJB bisa diambil alih sebesar 99,4%.
Sisanya 0,6% dianggap hilang karena
tidak jelas pemiliknya Dan tanggal 15 Desember 1951, DJB resmi dinasionalisasi
berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1951. Tugas Panitia Nasionalisasi DJB
selanjutnya adalah menyusun rancangan undangundang tentang Bank Indonesia
sebagai bank sentral, yang disahkan DPR tanggal 10 April 1953 dengan sebutan
Undang-undang Pokok Bank Indonesia No. 11 tahun 1953 dan dinyatakan mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Dengan demikian Bank Indonesia resmi menjadi
bank sentral Indonesia.
Bank Indonesia mempunyai beberapa
perbedaan dengan pendahulunya, De Javasche Bank. Jika unsur pimpinan DJB adalah
direksi, penasehat, komisaris pemerintah, dan dewan komisaris, maka unsur
pimpinan Bank Indonesia adalah dewan moneter, direksi, dan dewan penasehat.
Selain itu, jika direksi DJB terdiri atas presiden, wakil presiden I dan II,
direktur, serta direktur I dan II, maka di lain pihak direksi Bank Indonesia
terdiri atas gubernur dan beberapa anggota direksi.
Bentuk badan hukum antara DJB dan Bank
Indonesia juga berbeda. Bila badan
hukum DJB berbentuk Naamlooze
Vennootschap (NV), maka bentuk badan hokum Bank Indonesia adalah
berdasarkan undang-undang.
Ditinjau dari tugasnya, kedua
institusi ini pun berbeda. Bila DJB tidak diberikan tugas lain di bidang
moneter dan perbankan selain mengedarkan uang dan menerima laporan bank-bank
secara berkala, maka Bank Indonesia menurut UU No. 11/1953 bertugas memajukan
perkembangan perbankan yang sehat berkaitan dengan urusan kredit dan urusan
bank di Indonesia. Di samping itu, dalam hal campur tangan pemerintah, DJB
cukup independen, meskipun dalam beberapa hal harus mendapat persetujuan dari
pemerintah gubernur jenderal. Lain halnya dengan Bank Indonesia yang
mengakomodir unsur pemerintah di dalam struktur organisasinya yaitu menteri
keuangan dan menteri perekonomian sebagai ketua dan anggota Dewan Moneter.
Kekuasaan Dewan Moneter ini sangat kuat karena selain menetapkan kebijakan umum
di bidang moneter, juga dalam hal-hal lain yang dianggap terkait dengan
kepentingan umum, termasuk penetapan tarif-tarif bank. Sebuah tonggak sejarah mengenai pendirian bank sentral di Indonesia
telah dipancangkan. Meskipun kehadiran Dewan Moneter sebagai unsur pimpinan
Bank Indonesia menjadikan struktur organisasi lembaga ini tidak dapat
sepenuhnya independen dari pemerintah, namun kehadiran Bank Indonesia sebagai
bank sentral telah memberikam andil besar dalam perjalanan perekonomian dan
moneter di Indonesia pada masa mendatang.
2.2
Sejarah Kelembagaan BI
Setelah nasionalisasi De Javasche
Bank (DJB) tahun 1951, Panitia nasionalisasi DJB melanjutkan tugasnya dengan
merumuskan RUU Pokok Bank Indonesia (BI) yang merupakan UU bagi bank sentral
Indonesia. Dalam konsiderans UU nasionalisasi DJB disebutkan bahwa negara RI
sebagai negara merdeka dan berdaulat harus memiliki bank sentral yang bersifat
nasional. Nasionalisasi DJB merupakan proses awal pembentukan bank sentral.
Setelah nasionalisasi De Javasche
Bank (DJB) tahun 1951, Panitia nasionalisasi DJB
melanjutkan tugasnya dengan merumuskan
RUU Pokok Bank Indonesia (BI) yang merupakan UU bagi bank sentral Indonesia.
Dalam konsiderans UU nasionalisasi DJB disebutkan bahwa negara RI sebagai
negara merdeka dan berdaulat harus memiliki bank sentral yang bersifat
nasional. Nasionalisasi DJB merupakan proses awal pembentukan bank sentral.
RUU tersebut disampaikan Pemerintah
kepada Parlemen pada bulan September 1952. Tanggal 10 April 1953 Parlemen telah
memberikan persetujuan atas RUU tersebut. Tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut
disahkan Presiden dan diumumkan pada tanggal 2 Juni 1953 (UU No.11 tahun 1953
tentang UU Pokok BI, Lembaran Negara tahun 1953 No.40) dan dinyatakan berlaku
sejak tanggal 1 Juli 1953. BI berdiri berdasarkan UU No.11 tahun 1953 (Lembaran
Negara RI tahun 1953 No.40). Dalam Bab I pasal 1 UU tersebut ditetapkan bahwa
dengan nama BI didirikan suatu bank untuk menggantikan De Javasche Bank dan
bertindak sebagai bank sentral di Indonesia. Berdasarkan UU No.11 tahun 1953,
BI memiliki 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fungsi yang terkait dengan kebijakan
moneter, kebijakan perbankan serta memperlancar lalu lintas pembayaran. Sesuai
dengan berlakunya UU Pokok BI tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 dicatat dan
diperingati sebagai hari lahir atau hari jadi BI. Tugas BI diatur dalam Bab II
pasal 7 sampai dengan pasal 20 UU No.11 tahun 1953.
Dalam UU No.11 tahun 1953 tentang UU
Pokok BI disebutkan bahwa tanggung jawab atas kebijakan moneter berada pada
pemerintah. Kebijakan moneter ditetapkan oleh Dewan Moneter sedangkan Direksi
BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter umum yang ditetapkan oleh Dewan
Moneter. UU tersebut juga menyatakan bahwa BI melakukan pengawasan terhadap
urusan kredit, menyelenggarakan peredaran uang, mempermudah jalannya uang giral
di Indonesia dan memajukan jalannya pembayaran dengan luar negeri. Berdasarkan
pasal 7 ayat (5) UU pokok BI 1953, pada bulan Januari 1955 dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1955 tentang pengawasan urusan kredit. Sejak
saat itu BI mulai mempersiapkan organisasi dan tenaga di bidang pengawasan bank
yang secara formal terbentuk tahun 1957. Dalam bidang moneter BI mulai
melakukan pengendalian uang beredar dengan menggunakan reserves requirement dan
pembatasan kredit bank.
3.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Gagasan pembentukan bank sentral telah
muncul sejak pembahasan materi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam sidang-sidang
BPUPKI dan PPKI. Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal
23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank sentral dimulai
dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono
Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian,
didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI.
Sebagai bank sentral dalam masa revolusi, BNI
tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu, De Javasche
Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kembali
membuka cabang-cabangnya di wilayah yang dikuasai oleh NICA sejak awal 1946.
Pada 1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menetapkan DJB sebagai bank
sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank
umum.
Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus
1950, Republik Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang
independen dan bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada
nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski
masih berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951, DJB
dinasionalisasi dan kepemilikan sahamnya berhasil diselesaikan oleh
Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang
penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah
namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk RI.
DAFTAR RUJUKAN
Panglaykim, J. 1984. Perkembangan industri perbankan dan Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB) di Indonesia: suatu pengantar. Jakarta: Andi Offset.
Rachbani, Didik & Suwidi Tono. 2000. Bank Indonesia: menuju independensi
bank sentral. Jakarta: Mardi Mulyo.
Rahardjo, M.D. 1995. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Online:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia
(diakses pada 1 Desember pukul
15.00 WIB)
http://www.bi.go.id/web/id (diakses pada
1 Desember pukul
15.00 WIB)
Download Here
No comments:
Post a Comment