Songs

Sunday, December 8, 2013

Agus Mujib



SEJARAH PEMBENTUKAN BANK SENTRAL
DI INDONESIA TAHUN 1953



MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
Yang dibina oleh Ibu Indah W. P. Utami



Oleh
Agus Mujib     110731435540

1.      PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang

Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Posisi Bank Sentral adalah posisi yang sangat vital dalam perekonomian suatu negara. Karena beberapa hal di atas maka penulis tertarik untuk membahas tentang sejarah perekonomian dengan judul “Sejarah Pembentukan Bank Sentral di Indonesia Tahun 1953”

1.1  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana awal mula gagasan pembentukan bank sentral di Indonesia?
2.      Bagaimana sejarah kelembagaan BI?

1.2  Tujuan

1.      Mengetahui awal mula gagasan pembentukan Bank Sentral di Indonesia.
2.      Mengetahui SEJARAH Kelembagaan BI.
2. PEMBAHASAN
    2.1 Sejarah Pembentukan Bank Sentral di Indonesia

Gagasan pembentukan bank sentral telah muncul sejak pembahasan materi
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank sentral dimulai dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono
Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian, didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI.
Sebagai bank sentral dalam masa revolusi, BNI tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu, De Javasche Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kembali membuka cabang – cabangnya di wilayah yang dikuasai oleh NICA sejak awal 1946. Pada 1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum. Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang independen dan bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951, DJB dinasionalisasi dan kepemilikan sahamnya berhasil diselesaikan oleh Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk RI.
Sejarah mencatat bahwa aktivitas perekonomian dan keuangan menjadi tulang punggung dalam perjalanan suatu bangsa. Dalam hal ini peran bank sentral sangat dibutuhkan sebagai sebuah lembaga yang memang diserahi tugas mengontrol sistem moneter dan perbankan suatu negara yang kebijakannya akan berdampak pada perekonomian. Dalam menjalankan tugas tersebut, umumnya bank sentral memiliki wewenang mengedarkan uang, di samping memiliki fungsi dan wewenang mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan perbankan.
Seperti diketahui, bank merupakan lembaga perantara keuangan. Selain itu, bank sentral berperan pula sebagai sumber terakhir pinjaman bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, atau dikenal dengan istilah lender of the last resort. Lebih jauh lagi, bank sentral juga mempunyai peran pengendali sistem moneter. Dari fungsi ini, menjadi lebih jelas lagi bahwa bank sentral juga berperan dalam pengembangan sistem perkreditan yang sehat. Sebagai negara yang sedang berusaha bangkit dari kehancuran selama masa penjajahan, para pendiri negara ini pun menyadari bahwa Indonesia memerlukan suatu bank sentral. Pemikiran ini muncul sejak pembahasan materi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada tanggal 5 Juli 1946, lahirlah Undang-Undang No. 2 Prp. 1946 mengenai pendirian Bank Negara Indonesia (BNI), dilanjutkan dengan meleburkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" ke dalam bank tersebut yang berkantor pusat di gedung bekas bank milik Belanda, De Javasche Bank Yogyakarta. Walau status BNI sebagai bank sentral tidak tercantum secara tegas dalam Undang-Undang No. 2 Prp. 1946, namun beberapa pasalnya mengamanatkan tugas kebanksentralan, antara lain dinyatakan dalam pasal 1, pasal 6, pasal 7, dan pasal 10.
Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini mengejutkan Belanda dengan NICA-nya ketika mereka datang kembali ke nusantara dan membuat situasi menjadi memanas. Belanda yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia mencoba merebut kembali wilayah Indonesia satu per satu. Seiring dengan itu, mereka juga membuka kembali beberapa kantor De Javasche Bank (DJB) di wilayah-wilayah yang berhasil didudukinya.
Peta perebutan wilayah ditandai dengan berdirinya DJB Jakarta, Semarang, Manado, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, Bandung, Medan, dan Makassar. Tanggal 21 Juli 1946, Belanda berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan melakukan aksi militer yang terkenal dengan istilah Clash I. Bersamaan dengan itu, empat buah kantor DJB pun ikut dibuka yaitu DJB Palembang, Cirebon, Malang, dan Padang.
Pada Clash II, tanggal 19 Desember 1948, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, sehingga tiga kantor DJB pun ikut dibuka yaitu Yogyakarta, Solo, dan Kediri. Gambaran keadaan negara Republik Indonesia (RI) yang terpecah-pecah seperti yang diuraikan di atas menjadikan embrio bank sentral Indonesia yang akan tumbuh menjadi tersendat. Di samping itu, kondisi tersebut berimbas dan berpengaruh pada kinerja dan pelaksanaan tugas-tugas BNI. Kantor-kantor BNI yang lazimnya menggunakan gedung kantor DJB ikut menyingkir bersamaan dengan didudukinya kota bersangkutan, dan DJB ternyata dibuka kembali. Akhirnya BNI tidak bisa menjalankan fungsi bank sentralnya.
Dengan prakarsa Dewan Keamanan PBB, diselenggarakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan keputusan pengakuan kedaulatan penuh atas RI pada tanggal 27 September 1949, dengan bentuk negara RIS. KMB juga menetapkan bahwa yang bertindak sebagai bank sirkulasi adalah DJB. Keputusan KMB ini juga mengakibatkan berubahnya status dan fungsi BNI menjadi bank umum.
Belanda mengingkari keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang Irian Barat.
Akibatnya pemerintah Indonesia memutuskan untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi, termasuk keinginan menasionalisasi De Javasche Bank (DJB). Pada tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan RI, Mr. Jusuf Wibisono, dalam wawancara persnya mengumumkan niat pemerintah Indonesia untuk menasionalisasi DJB menjadi bank sirkulasi. Pernyataan yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak DJB ini menyebabkan Presiden DJB, Dr A. Houwink memutuskan untuk mengundurkan diri.
Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 123 tanggal 12 Juli 1951, diangkatlah Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Presiden DJB. Keterangan resmi mengenai nasionalisasi ini disampaikan Perdana Menteri, dr. Sukiman Wirjosandjojo kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 118 tanggal 2 Juli 1951, yang berlaku surut sejak tanggal 19 Juni 1951, dibentuklah "Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank NV", dengan ketua Mohamad Sediono dan anggota-anggota yang terdiri atas Mr. Soetikno Slamet, Dr. R.M.
Soemitro Djojohadikoesoemo, T.R.B Sabarudin, serta Drs. Khouw Bian Tie. Panitia ini bertugas menasionalisasi DJB dan merencanakan status baru bagi bank sentral Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, langkah pertama yang dilakukan oleh panitia adalah dengan membeli saham kepemilikan DJB oleh pemerintah dengan kurs 120% dalam valuta uang Belanda atau valuta lain sesuai tempat tinggal pemilik saham dengan kurs sebanding, dan kurs 360% untuk pemilik saham WNI atau penduduk dalam rupiah. Dengan cara ini kepemilikan DJB bisa diambil alih sebesar 99,4%.
Sisanya 0,6% dianggap hilang karena tidak jelas pemiliknya Dan tanggal 15 Desember 1951, DJB resmi dinasionalisasi berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1951. Tugas Panitia Nasionalisasi DJB selanjutnya adalah menyusun rancangan undangundang tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral, yang disahkan DPR tanggal 10 April 1953 dengan sebutan Undang-undang Pokok Bank Indonesia No. 11 tahun 1953 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Dengan demikian Bank Indonesia resmi menjadi bank sentral Indonesia.
Bank Indonesia mempunyai beberapa perbedaan dengan pendahulunya, De Javasche Bank. Jika unsur pimpinan DJB adalah direksi, penasehat, komisaris pemerintah, dan dewan komisaris, maka unsur pimpinan Bank Indonesia adalah dewan moneter, direksi, dan dewan penasehat. Selain itu, jika direksi DJB terdiri atas presiden, wakil presiden I dan II, direktur, serta direktur I dan II, maka di lain pihak direksi Bank Indonesia terdiri atas gubernur dan beberapa anggota direksi.
Bentuk badan hukum antara DJB dan Bank Indonesia juga berbeda. Bila badan
hukum DJB berbentuk Naamlooze Vennootschap (NV), maka bentuk badan hokum Bank Indonesia adalah berdasarkan undang-undang.
Ditinjau dari tugasnya, kedua institusi ini pun berbeda. Bila DJB tidak diberikan tugas lain di bidang moneter dan perbankan selain mengedarkan uang dan menerima laporan bank-bank secara berkala, maka Bank Indonesia menurut UU No. 11/1953 bertugas memajukan perkembangan perbankan yang sehat berkaitan dengan urusan kredit dan urusan bank di Indonesia. Di samping itu, dalam hal campur tangan pemerintah, DJB cukup independen, meskipun dalam beberapa hal harus mendapat persetujuan dari pemerintah gubernur jenderal. Lain halnya dengan Bank Indonesia yang mengakomodir unsur pemerintah di dalam struktur organisasinya yaitu menteri keuangan dan menteri perekonomian sebagai ketua dan anggota Dewan Moneter. Kekuasaan Dewan Moneter ini sangat kuat karena selain menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, juga dalam hal-hal lain yang dianggap terkait dengan kepentingan umum, termasuk penetapan tarif-tarif bank. Sebuah tonggak sejarah mengenai pendirian bank sentral di Indonesia telah dipancangkan. Meskipun kehadiran Dewan Moneter sebagai unsur pimpinan Bank Indonesia menjadikan struktur organisasi lembaga ini tidak dapat sepenuhnya independen dari pemerintah, namun kehadiran Bank Indonesia sebagai bank sentral telah memberikam andil besar dalam perjalanan perekonomian dan moneter di Indonesia pada masa mendatang.

2.2    Sejarah Kelembagaan BI

Setelah nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) tahun 1951, Panitia nasionalisasi DJB melanjutkan tugasnya dengan merumuskan RUU Pokok Bank Indonesia (BI) yang merupakan UU bagi bank sentral Indonesia. Dalam konsiderans UU nasionalisasi DJB disebutkan bahwa negara RI sebagai negara merdeka dan berdaulat harus memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Nasionalisasi DJB merupakan proses awal pembentukan bank sentral.
Setelah nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) tahun 1951, Panitia nasionalisasi DJB
melanjutkan tugasnya dengan merumuskan RUU Pokok Bank Indonesia (BI) yang merupakan UU bagi bank sentral Indonesia. Dalam konsiderans UU nasionalisasi DJB disebutkan bahwa negara RI sebagai negara merdeka dan berdaulat harus memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Nasionalisasi DJB merupakan proses awal pembentukan bank sentral.
RUU tersebut disampaikan Pemerintah kepada Parlemen pada bulan September 1952. Tanggal 10 April 1953 Parlemen telah memberikan persetujuan atas RUU tersebut. Tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut disahkan Presiden dan diumumkan pada tanggal 2 Juni 1953 (UU No.11 tahun 1953 tentang UU Pokok BI, Lembaran Negara tahun 1953 No.40) dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1953. BI berdiri berdasarkan UU No.11 tahun 1953 (Lembaran Negara RI tahun 1953 No.40). Dalam Bab I pasal 1 UU tersebut ditetapkan bahwa dengan nama BI didirikan suatu bank untuk menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral di Indonesia. Berdasarkan UU No.11 tahun 1953, BI memiliki 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fungsi yang terkait dengan kebijakan moneter, kebijakan perbankan serta memperlancar lalu lintas pembayaran. Sesuai dengan berlakunya UU Pokok BI tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 dicatat dan diperingati sebagai hari lahir atau hari jadi BI. Tugas BI diatur dalam Bab II pasal 7 sampai dengan pasal 20 UU No.11 tahun 1953.
Dalam UU No.11 tahun 1953 tentang UU Pokok BI disebutkan bahwa tanggung jawab atas kebijakan moneter berada pada pemerintah. Kebijakan moneter ditetapkan oleh Dewan Moneter sedangkan Direksi BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter umum yang ditetapkan oleh Dewan Moneter. UU tersebut juga menyatakan bahwa BI melakukan pengawasan terhadap urusan kredit, menyelenggarakan peredaran uang, mempermudah jalannya uang giral di Indonesia dan memajukan jalannya pembayaran dengan luar negeri. Berdasarkan pasal 7 ayat (5) UU pokok BI 1953, pada bulan Januari 1955 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1955 tentang pengawasan urusan kredit. Sejak saat itu BI mulai mempersiapkan organisasi dan tenaga di bidang pengawasan bank yang secara formal terbentuk tahun 1957. Dalam bidang moneter BI mulai melakukan pengendalian uang beredar dengan menggunakan reserves requirement dan pembatasan kredit bank.


3.      PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Gagasan pembentukan bank sentral telah muncul sejak pembahasan materi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank sentral dimulai dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian, didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI.
 Sebagai bank sentral dalam masa revolusi, BNI tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu, De Javasche Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kembali membuka cabang-cabangnya di wilayah yang dikuasai oleh NICA sejak awal 1946. Pada 1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum.
Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang independen dan bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951, DJB dinasionalisasi dan kepemilikan sahamnya berhasil diselesaikan oleh
Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU No. 11/1953 tentang penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk RI.





DAFTAR RUJUKAN

Panglaykim, J. 1984. Perkembangan industri perbankan dan Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB) di Indonesia: suatu pengantar. Jakarta: Andi Offset.
Rachbani, Didik & Suwidi Tono. 2000. Bank Indonesia: menuju independensi
bank sentral. Jakarta: Mardi Mulyo.
Rahardjo, M.D. 1995. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta:
Pustaka LP3ES.

Online:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia (diakses pada 1 Desember pukul
15.00 WIB)
http://www.bi.go.id/web/id (diakses pada 1 Desember pukul
15.00 WIB)

Download Here

 

No comments:

Post a Comment