PERDAGANGAN CANDU DI JAWA PADA MASA
KOLONIAL TAHUN 1860-1910
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof.Dr
Hariyono,M.Pd dan Ibu Indah W.P Utami S.Pd, S. Hum, M.Pd
Oleh:
Anita Dyah Ayu R
110731435526
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Candu
merupakan getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu dengan nama
latin (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum
matang. Selama berabad-abad, di Jawa candu pernah menjadi komoditas perdagangan
yang diperebutkan oleh kalangan Imperialis karena menjanjikan keuntungan besar.
Candu atau yang sering disebut dengan opium terkenal di kalangan para
pecandu jauh-jauh abad sebelum maraknya narkotika. Tanaman opium sendiri punya nama beken yaitu
“bunga poppy” (papaver somniverum) yang bukan asli tanaman dari
Indonesia. Bunga poppy ini berasal dari Turki dan Persia yang dibawa masuk oleh
pedagang Arab ke Jawa.
Ketika
Belanda pertama kali menjejakkan kaki di pesisir Jawa pada akhir abad ke-16,
candu sudah menjadi komoditas penting di tingkat internasional. Meski sistem
perdagangan candu belum terbentuk secara formal hingga tahun 1809, para
pedagang Tionghoa bersama EIC (Kongsi Dagang Inggris) telah memproduksi dan
menjual candu di Jawa sejak dua abad sebelumnya.
Babak baru
monopoli Belanda atas perdagangan candu di Jawa bermula ketika Amangkurat II,
Raja Mataram dimana memberi hak monopoli perdagangan candu kepada VOC (Kongsi
Dagang Belanda) pada tahun 1677. Peredaran candu baru diperbolehkan secara masif
di kawasan pantai selatan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta pada permulaan abad
ke-19. Ekspansi Belanda dijalankan sejak tahun 1830 dengan membuat sistem
cocoktanam dan pendirian kantor perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman.
Pada tahun 1870-an ini opium ada dimana-mana di tanah Jawa. Sejak itulah
peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di kalangan masyarakat Jawa. Dengan
masuknya candu ke pedalaman ini membuat pemerintah Belanda mengadakan transaksi
penyelundupan atau pasar gelap dalam mengoperasikan candu ke konsumennya, serta
pada waktu itu orang-orang Thionghoa ini mempunyai peran yaitu sebagai pak
opium cabang atas dimana pak opium Thionghoa cabang atas ini merupakan elite
kecil yang memegang kekuasaan di wilayah Jawa Kolonial. Dari paparan diatas
maka penulis mengambil judul “Perdagangan
Candu Di Jawa Pada Masa Kolonial Tahun 1860-1910”
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan Uraian dari latar belakang diatas maka rumusan masalah
yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
sejarah perdagangan candu di Jawa?
2. Bagaimana
penyelundupan atau pasar gelap perdagangan candu di Jawa pada masa Kolonial tahun
1860-1910?
3. Bagaimana
pak opium Thionghoa Cabang Atas di Jawa pada masa Kolonial tahun 1860-1910?
1.3
Tujuan
Dari paparan rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui sejarah perdagangan candu di Jawa.
2. Untuk
mengetahui penyelundupan atau pasar gelap perdagangan candu di Jawa pada masa
Kolonial tahun 1860-1910.
3. Untuk
mengetahui pak opium Thionghoa Cabang Atas di Jawa pada masa Kolonial tahun
1860-1910.
1.4
Metode
1.
Ruang
Lingkup
a. Lingkup
Spasial : penulisan makalah ini hanya mencakup satu karisedenan yaitu
karisedenan Jawa dikarenakan penulis ingin fokus mengetahui tentang perdagangan
candu di wilayah Jawa.
b. Lingkup
Temporal : penulisan dipusatkan pada kisaran tahun 1860-1910. Sebenarnya sejak tahun 1830 ekspansi Belanda
sudah dijalankan dengan membuat sistem cocok tanam dan pendirian kantor
perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman, akan tetapi ada tahun 1870-an
ini opium ada dimana-mana di tanah Jawa hingga tahun 1910. Sejak itulah
peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di kalangan masyarakat Jawa.
c. Lingkup
kajian : penulis lebih memfokuskan pada perdagangan candu di Jawa, dikarenakan
pada saat itu perdagangan candu sudah meluas dikalangan masyarakat, sehingga
muncul pasar gelap atau penyelundupan, dimana orang Thionghoa mendominasi
perdagangan candu tersebut.
2.
Jenis
Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode
penelitian sejarah sebagai acuannya. Dalam metode sejarah dikenal lima tahap,
yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi. Berikut penjelasan mengenai kelimanya:
1)
Pemilihan
Topik
Pemilihan topik sebaiknya digunakan dua
pendekatan yaitu, berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Dalam
pemilihan topik ini penulis menggunakan kedekatan emosional dikarenakan penulis
sangat tertarik dengan hal yang berhubungan dengan perdagangan yaitu
perdagangan candu pada masa Kolonial di Jawa pada tahun 1860-1910.
2)
Heuristik
Heuristik
adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah.
Sumber yang ditemukan oleh penulis kemudian diklasifikasikan menjadi dua
yaitu sumber utama dan sumber kedua. Sumber utama merupakan sumber asli yakni bukti yang sejaman dengan suatu
peristiwa yang terjadi. Sedangkan sumber kedua yaitu apa yang ditulis oleh
sejarawan sekarang ataupun sebelumnya berdasarkan sumber pertama.
Menurut
penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam sumber primer dan sumber
sekunder.
Dalam
penulisan ini hanya menggunakan sumber Sekunder, dikarenakan hanya menggunakan
literatur buku saja. Sumber kedua
merupakan hasil penulisan dari penulis lain yang berdasarkan sumber pertama.
Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh
orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat
dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek
tertentu. Dalam hal ini penulis menemukan
salah satu sumber sekunder
berupa Candu
Tempoe Doeloe Pemerintahan Pengedar dan Pecandu 1860-1910 oleh
James R Rush(2012) dalam buku ini menjelaskan tentang perdagangan candu pada
tahun 1860-1910.
3) Kritik Sumber
Kritik merupakan kemampuan dalam menilai
sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan. Kritik sumber dibedakan menjadi
dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
a. Kritik
eksternal
Dilakukan untuk mengetahui
keautentikan suatu dokumen yang dapat dilihat melalui kenyataan identitasnya,
yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya
(Kartodirdjo, 1992: 10).
b. Kritik
Internal
Kritik internal dilakukan untuk
menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen. Kritik dilakukan dengan
cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya,
jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak (Kartodirdjo, 1992: 10).
4)
Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta
sejarah dan merangkaikannya hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan
masuk akal. Dari berbagai fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai
bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur
logisnya sesuai dengan fakta untuk menghindari suatu penafsiran yang
semena-mena akibat pemikiran yang sempit.
5)
Historiografi
Penulisan sejarah atau historigrafi
merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses peristiwa sejarah. Pada proses
penulisan, fakta satu dihubungkan dengan fakta yang lainnya berdasarkan konsep
pemikiran yang sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi
kausalitas (sebab-akibat).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perdagangan Candu Di Jawa
Candu atau opium merupakan tanaman semusim
yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman
hanya sekitar satu meter. Daunnya jorong dengan tepi bergerigi, bunga opium
bertangkai panjang dan keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri
dari satu bunga dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih
serta merah cerah. Bunga opium sangat indah hingga beberapa spesies Papaver
lazim dijadikan tanaman hias. Buah opium berupa
bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau.
Candu masuk ke Jawa sudah berabad-abad
lalu, akan tetapi tepatnya kapan tidak diketahui. Ketika orang-orang Belanda
pertama kali mendarat di Jawa pada akhir abad ke-16, candu atau opium sudah
menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional. Dalam usahanya untuk
mendominasi perdagangan lokal selama berabad-abad berikutnya, para saudagar
Belanda bersaing dengan orang-orang Inggris, Denmark dan Arab. Akhir, pada
tahun 1677 Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) berhasil membuat perjanjian
dengan Raja Amangkurat II dari Jawa yang menjamin diberikannya monopoli kepada
VOC untuk mengimpor candu atau opium kedalam wilayah kerajaan Mataram dan
mengedarkannya kedalam negeri. Setahun kemudian kerajaan lain yang lebih kecil,
Cirebon, menyepakati perjanjian serupa(Rush, 2012: 27). Dari situlah awal dari Belanda
melakukan monopoli terhadap candu atau opium di Jawa, dimana akhirnya Belanda
memperluas perjanjian itu untuk merebut seluruh Hindia dan menjaganya dengan
hati-hati hingga koloni itu hilang.
Lalulintas candu atau opium Belanda di
Jawa meningkat secara signifikan setelah perjanjian 1677, dan J.C Baud sudah
memperhitungkan bahwa sejak 1619 hingga 1799 VOC secara resmi membawa rata-rata
56.000 kilogram opium mentah ke Jawa setiap tahunnya. Peredaran opium tersedia
luas di Jawa pada permulaan abad ke-19, khususnya didaerah pesisir utara dengan
kota-kota pelabuhannya dan di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta yang padat
penduduknya(Rush, 2012: 28). Pendapatan yang dihasilkan dari monopoli opium
resmi meningkat secara dramatis pada seperempat abad pertama di abad ke-19. Pada
tahun 1820 ada 372 tempat terpisah di Yogyakarta yang menerima lisensi untuk
menjual opium, yaitu hampir dari setiap pos bea cukai utama, sub-pos cukai dan
pasar di Kesultanan, banyak dari para bangsawan penghisap opium diketahui ada
diantara pasukan perang Diponegoro, dan selama Perang Jawa banyak diantaranya anggota
pasukannya jatuh sakitketika pasokan opium terganggu. Akan tetapi persebaran
opium di Jawa tidak merata.
Pada saat itu jumlah penduduk pulau jawa
pada abad ke-19 sekitar 28 samapi 30 jutaan, di tambah yang belum termuat jadi kira-kira
30 juta penduduk untuk mempermudah nanti dalam perhitunganya. Dimana jumlah orang
Belanda sekitar 26 ribu yang berada di pulau Jawa dan orang Cina sekitar 200 ribu.
Dari situ kita bisa melihat dari 26 ribu orang bisa menguasai pulau Jawa yang
berjumlah kurang lebih 30 juta jiwa pribumi (Poerwanto, 2005: 70). Dengan
banyaknya penduduk Belanda yang tinggal di Jawa mengakibatkan penduduk Belanda
tersebut mendominasi perdagangan dan segala aktifitas di Jawa.
Pada abad ke-19 menghisap opium menjadi
ciri umum kehidupan kota dan desa di Jawa. Diantara orang-orang Belanda yang
lebih menyukai gin, opium adalah sifat buruk yang diasosiasikan dengan
orang-orang blasteran, orang-orang jahat. Namun di kalangan orang Thionghoa,
kebiasaan ini populer. Dikota-kota pesisir dan kota-kota pedalaman tempat
mereka tinggal, para orang Thionghoa kaya menikmati pipa opium di rumah mereka
dan di klub-klub opium pribadi, sedangkan orang-orang dari golongan yang lebih
miskin berbagi tempat menghisap opium di pondok-pondok umum dengan penduduk
setempat.
Pada tahun 1870 candu atau opium ada
dimana-mana di tanah Jawa. Setiap desa memiliki sejumlah pemakai tetap dan
orang-orang hanya kadang-kadang saja menggunakan opium. Tampaknya opium sudah
lama menjadi sesuatu yang menarik floating
population di Jawa, yaitu para pengembara, para pedagang keliling, dan
tukang-tukang serta sekelompok pekerja upahan yang jumlahnya terus membengkak.
Mereka bekerja memasang batang-batang rel, memetik kopi, memotong tebu,
mengangkat barang-barang pasokan serta hasil-hasil produksi di sebuah
perusahaan ekonomi swasta abad ke-19(Rush, 2012: 30).
Di kalangan priyayi, opium sudah lama
menjadi sebuah sisi keramatamahan dan kehidupan bermasyarakat. Misalnya saja, di Jawa Tengah, tamu laki-laki
secara rutin disuguhi opium pada pesta-pesta kaum bangsawan. Didalam masyarakat
desa perkebunan yang bersahaja, berbagai perayaan yang menandai berakhirnya
panen padi atau dimulainya musim petik kopi sering sekali disertai dengan
dibagi-bagikannya candu atau opium kepada kaum laki-laki, pada pesta-pesta di
desa sudah menjadi kebiasaan umum bagi tuan rumah untuk menyediakancandu atau
opium untuk orang-orang yang biasa mnghisapnya. Para pemimpin desa yang hadir
pun dijamu dengan cara ini.
Orang-orang Jawa mengkonsumsi opium dengan
berbagai cara, tergantung pada alat dan selera mereka. Dalam mengkonsumsi candu
ini barang yang diperlukan adalah candu, opium mentah yang disuling dan
kemudian dicampur dengan penguat rasa serta sejumlah campuran bahan lainnya.
Orang yang lebih kaya menghisap candu yang lebih mahal dengan menggunakan alat
penghisap atau pipa yang sangat bagus (badudan).
Sedangkan rakyat kebanyakan menghisap campuran yang lebih rendah kualitasnya
dengan menggunakan pipa (pipa sekali pakai yang terbuat dari datang daun pepaya
atau pipa buatan rumah) dan menikmati ramuan yang lebih murah, seperti tike,
daun awar-awar (ficus septica)
dirajang halus dan dicampur dengan candu dan gula(Rush, 2012: 31).
Orang-orang Jawa membeli opium dengan
penghasilan mereka sebagai kuli perkebunan, pedagang kecil serta pekerja
rendahan dan dari hasil penjualan hasil-hasil ladangnya, juga setelah tahun
1870 mereka membeli opium dari uang sewa atas tanah-tanah mereka yang yang
digunakan untuk pertanian, dikarenakan pada tahun 1870 adanya undang-undang
Agraria membuka Jawa bagi perusahaan swsta. Kebebasan dan keamana para pengusaha
dijamin, hanya orang-orang Indonesialah yang dapat memiliki tanah tetapi
orang-orang Asing diperkenankan untuk menyewanyadari pemerintah sampai 75 tahun
atau dari para pemilik pribumi untuk masa paling lama antara 5 sampai 20 tahun(tergantung
pada persyaratan hak pemilikan tanah) (Ricklef, 2008: 271 )
Kebanyakan mereka mengkonsumsi opium
dikarenakan opium memberi mereka energi dan membantu mereka agar tetap terjaga
pada malam hari. Laki-laki yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan manual yang
sulit ini seringkali mengandalkan opium, oleh karena itu para manager
perkebunan menyediakan opium atau candu untuk kuli-kuli mereka. Para peronda
desa dan pelakon pertunjukan-pertunjukan semalam suntuk, para dalang wayang
kulit, dan para penabuh gamelan juga mengandalkan opium untuk menjaga agar
tetap terjaga. Hal ini membuat sebagian
besar masyarakat buruh menjatuhkan pemenuhan kebutuhan kesenangan mereka dengan
mengkonsumsi opium.
Orang-orang Jawa pada abad ke-19 sangat
rentan terhadap penyakit, dikarenakan faktor lingkungan yaitu dari keadaan
rumah-rumah mereka yang terbuat dari bambu dan rumput, berukuran sempit,
lembab, dan manjadi sarang binatang-binatang seperti tikus dan kecoa. Pada
tahun 1880 hanya 5% penduduk yang mendapat suntikan anticacar dan hanya ada
satu dokter pribumi, yang disebut Dokter
Jawa untuk setiap 345.000 orang. Para tukang jamu dan dukun Jawa yang
mengkhususkan diri pada pengobatan-pengobatan esetorik dan magis juga gagal
menghadapi kondisi ini dan karenanya tidaklah mengherankan bila opium menjadi
bagian berharga dari stok obat orang-orang Jawa.
Selama akhir
abad ke-19, pengaruh fakta-fakta yang dilakukan Belanda terhadap monopoli umum
di Jawa sangat besar. Pertama kenyataan bahwa mayoritas pengguna opium adalah
orang-orang Jawa asli, yang kesejahteraannya menjadi tanggung jawab Belanda,
dan bukannya orang-orang Thionghoa yang menurut pengamatan Belanda terlalu
mementingkan kemakmurannyasendiri, memberikan pertimbangan moral yang dan
krisis terhadap kebijakan-kebijakan opim Belanda yang lebih ditentukan oleh
perolehan pajak itu. Kedua, kenyataan bahwa pasar opium utama di Jawa adalah
sebuah pasar yang menyebar, tersusun dari ratusan ribu individu yang
masing-masing hanya membeli opium seharga beberapa sen per harinya, tapi justru
sangat menentukan besar dan luasnya lembaga yang dirancang untuk memasok pasar
itu yaitu pak opium Jawa(Rush, 2012: 43).
Pada awal
abad ke-20 Belanda mengesahkan perdagangan opium di Banten dan dataran-dataran
tinggi sekitarnya, opium yang dijual disana lebih sedikit dibandingkan
tempat-tempat lain di Jawa. Pasar-pasar opium terkaya ada di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Semakin ke timur dari Pulau Jawa penggunaan opium atau candu juga
semakin bebas, terutama di wilayah yang sekarang menjadi perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Timur (Alfred, 2009: 35).
2.2 Penyelundupan atau Pasar Gelap Perdagangan
Candu Di Jawa pada Masa Kolonial Tahun 1860-1910
Bunga opium (paper somniferum) tidak ditanam di Jawa.
Tampaknya semua opium resmi yang dikonsumsi di Jawa pada abad ke-19 berasal
dari Turki dan Persia atau British Bengal. Pemerintah Hinda membelinya melalui
pedagang swasta Belanda di Levant, pada pelelangan di Calcuta atau dari
agen-agen British Singapore dan mengalirkannya dalam jeda yang teratur kepada
para pengepak opium di Jawa melalui gudang-gudang di Batavia, Semarang dan
Surabaya.
Memonopoli impor
opium mentah ke Jawa adalah satu-satunya langkah admnistratif jangka panjang
yang diambil oleh Belanda untuk mengontrol jumlah opium yang sampai ke
penduduk. Upaya monopoli terhadap pembatasan jumlah opium resmi berarti lebih
sedikit opium yang tersedia untuk dikonsumsi. Disamping itu, dengan membebankan
harga yang sangat tinggih kepada para pengepak untuk opium resmi yang dibelinya
dan mendorong pajak yang tinggi pula, para penguasa Belanda berpendapat bahwa
opium akan terlalu mahal untuk disebarluaskan dikalangan rakyat. Oleh sebab itu,
kecuali pada 1855-1862 dan dari 1870-1872, Batavia memberikan batasan jumlah
opium yang disediakan untuk tiap-tiap pak. Pengepak opium menerima jatah dalam
jumlah acak yang dibayar dengan harga selngit(Rush, 2012: 70).
Dengan menyediakan opium yang sangat sedikit,
Belanda menciptakan permintaan untuk sumber alternatif. Akibat pematokan harga
yang terlalu tinggi, hal ini tentu memberikan keuntungan bagi para pemasok
pasar gelap. Selain itu, karena kepentingan Belanda yang sebenarnya dalam
urusan opium terletak pada pajak pak, peraturan opium yang tidak berhubungan
untuk memicu pemenuhan kewajiban keuangan pak tidak diterapkan secara ketat. Apalagi
karena peraturan-peratuan ini diterapkan kepada para penguasa pribumi Jawa dan
pak opium itu sendiri. Perpaduan antara kebijakan yang lemah, pemerintah
kolonial yang umumnya bekerja secara tidak langsung, serta garis pantai pulau
Jawa yang panjang dan rentan menciptakan kondisi yang ideal bagi munculnya
pasar gelap. Opium gelap pun mulai menyerbu Jawa.
Opium masuk ke
Hindia lewat Eropa, Cina, Singapura dan kerajaan-kerajaan serta entrepot.
Seperti juga opium resmi, opium gelap berasal dari Timur Tengah dan British
India. Opium ilegal itu sampai di Jawa setelah berpindah-pindah tangandi
Singapura dan kemudian di Bali, kemudian masuk ke Jawa. Dari situ mulai ada
persaingan antara opium resmi dengan opium ilegal. Pada tahun 1860, Christian
Castens menuliskan:
“ Bisa
dipastikan jarang sekali satu hari tanpa sejumlah besar opium (ilegal) diimpor
masuk, kalau tidak disini ya di tempat-tempat lain di saentero Pulau Jawa ini.
Serta dia memperkirakan jumlah opium ilegal dalam waktu satu tahun jauh
melebihi jumlah yang dipasok pemerintah opium legal, 60% opium yang dikonsumsi
di Jawa merupakan opium gelap atau ilegal” (Rush, 2012: 70).
Jadi dapat di
pastikan bahwa kebanyakan opium yang dikonsumsi di Jawa pada masa Kolonial ini
merupakan opium hasil selundupan atau opium ilegal. Penyelundupan opium pada
masa itu seperti hal yang lumrah, hal ini dikarenakan murahnya pembelian opium
mentah di Singapura, Cina dan pelabuhan-pelabuhan bebas di Kepulaun Indonesia,
dan mudahnya opium melewati bea cukai yang tidak efisien dan menarik pajak di
Belanda Jawa. Penyelundupan pengiriman-pengiriman besar tersebut diatur oleh kepentingan-kepentingan
pak opium dan ditangani oleh saudagarpenyelundup profesional. Opium tersebut
datang bersamaan di antara barang-barang lain tersembunyi dikoper-koper besar
beralas palsu, dikemas diantara barang-barang pribadi serta dijejali dalam
kerangka binatang dan buah-buahan.
Dalam melakukan
penyelundupan, hal terpenting adalah volume pengiriman yang dipesan oleh para pedagang
Thionghoa-Jawa kaya(para pengepak opium dan musuh-musuhnya). Para pengepak dan
penyelundup kelas kakap, kalau bukan orang sama pasti berasal dari elite Jawa
yang sama. Penyelundupan opium adalah bagian rutin persaingan komersial
orang-orang Thionghoa, aspek lain dari peperangan antara raja-raja.
Keadaan
geografis Kepulauaan Indonesia dan beragamnya politik pada abad ke-19
menciptakan kemungkinan penyelundupan yang hampir tanpa batas, dimana dalam
melakukan penyelundupan ini dimulai dengan pembelian opium mentah. Para
penghasut Tionghoa yang menggerakkan penyelundupan di Jawa mungkin memiliki
penghubung langsung di Singapura untuk tujuan ini, misalnya saja sanak
saudaranya. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tampaknya menggunakan jasa
perantara rumah-rumah dagang setempat yang mengurus penjualan opium dalam
partai besar.
Perusahaan milik
orang Armenia yang berkantor di Surabaya mendominasi perdagangan ini. Mereka
membeli opium melalui agen-agen di Turki, India dan Singapore untuk rekan-rekan
Tionghoa mereka dan kemudian mengirimkannya ke Bali(Rush, 2012: 72). Dimana
Bali merupakan tempat ideal untuk memindahkan opium, di dalam dan di luar
pelabuhan alamnya yang begitu banyak, banyak kapal kecil Pribumi menggerakkan
kehidupan perdagangan pulau setempat. Perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan
Bali dan Jawa selalu ppadat hampir sepanjang tahun, dimana angin muson membuat pelayaran
menjadi menyenangkan pada April hingga Desember, lalu lintas air yang aktif ini
dengan sempurna menyelubungi pengiriman barang-barang ilegal. Dimana dalam menyelesaikan
pembayaran mereka menggunakan wesel yang diuangkan di bank-bank Kolonial,
seperti Javasche Bank di Semarang.
Pada abad ke-19
kekuasaan Belanda hanya berlaku di kerajaan-kerajaan Bali tertentu dan itu pun
tidak ketat. Misalnya saja di Buleleng yang merupakan kekuasaan dari Pemerintah
Belanda dan tempat kedudukan seorang asisten residen. Tahun 1861 peraturan pak
opium secara resmi mengizinkan pengepak mengekspor opium dalam jumlah besar.
Dari Bali, opium dipindahkan ke beberapa pelabuhan di pulau-pulau di luar Jawa selain
Pulau Jawa itu sendiri(Rush, 2012: 73). Jadi pada tahun 1861 Batavia mengakhiri
percobaan selama tujuh tahun dimana para pengepak diperbolehkan membeli pasokan
opium dalam jumlah yang tak terbatas.
Pada tahun-tahun
berikutnya yang ditandai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan
perdagangan, tarif pak meningkat secara konsisten meskipun jatah-jatah resmi
meningkat, tetap berada jauh di bawah permintaan. Tentu saja para saudagar
Jawa-Thionghoa tetap memandang pak-pak opium sebagai investasi yang
menguntungkan, dimana dapat diketahui bahwa dengan memanfaatkan jabatannya
mereka sebagai pengepak opium untuk bisa melakukan transaksi sembunyi-sembunyi
yang tidak bisa dilakukannya secara terbuka yaitu mengimpor tambahan untuk
diedarkan melalui sebuah jaringan pak pengecer.
Pada tahun 1873,
para pengepak menaikkan atau menurunkan harga mereka sebagai atas persaingan
dengan pasar gelap, harga eceran pak sangat bervariasi dari satu ke lain toko
dan dari satu ke lain pak, misalnya satu mata cantu pak hanya seharga 12 sen di
Semarang, tetapi mencapai 32 sen di Batavia. Perbedaan harga semacam itu
terjadi hingga berakhirnya sistem pak dan memberikan indikator garis tentang
kekuatan pasar gelap. Ketika Ho Yam Lo membanting harga opiumnya hingga ke
tingkat harga pasar gelap pada September dan Oktober 1875, penjualan harian di
pak Semarang pun meningkat empat kali lipat, akan tetapi dengan peningkatan ini
semakain besar Ho menyadari bahwa ia tidak bisa terus-terusan mengimbangi harga
para pesaingnya dengan kewajibannya kepada bendahara kolonial, pada November Ho
menaikkan harga opiumnya(Rush, 2012: 85).
Para pengepak
tidak bisa menanggapi tantangan pasar gelap hanya dengan mengimpor sendiri
opium gelap dan menurunkan harga, pengeluaran-pengeluaran mereka terlalu banyak.
Mereka juga tidak bisa menghapus penyelundupan samasekali. Ketika Belanda
mengetahuinya, mereka meminta investasi besar-besaran untuk hasil yang paling
sedikit sekalipun.
Dalam
penyelundupan opium tersebut keterlibatan priyayi semacam itu tidak umum
ditemui, khususnya dalam kepangeranan. Di karisedenan-karisedenan pemerintah
sering demi kepentingan mereka sendiri, para bupati dan pejabat pura-pura tidak
melihat kegiatan pak yang terlarang, bahkan membantunya secara aktif. Serta
sejumlah insiden yang melibatkan orang-orang Eropa dan Eurasia dalam
penyelundupan opium juga mencuat kepermukaan. Pada tahun 1881 dan 1882 tidak
kurang dari 21 orang Eropa diadili di Karisedenan Semarang atas tuduhan
penyelundupan opium termasuk juga beberapa perempuan(Rush, 2012: 82-83).
Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa penyelundupan opium pada abad ke-19 sama sekali bukan
hal baru seperti halnya usaha-usaha lain yang dilakukan untuk mengendalikan
serta membatasi perdagangan komoditas yang berharga dan mudah dibawa-bawa,
usaha Belanda memonopoli perdagangan opium di Jawa kelihatannya justru mendorong
usaha untuk menghindari monopoli, selama periode setelah 1860 impor dan
distribusi opium ilegal telah menjadi bagian rutin dalam sistem pak. Akan tetapi hak menjual candu oleh pemerintah
dihapuskan secara bertahap mulai tahun 1984 dan digantikan oleh Administrasi
Candu negara di seluruh Jawa pada awal tahun 1904.
2.3
Pak Opium Thionghoa Cabang Atas Di Jawa Pada Masa Kolonial Tahun 1860-1910
Pak
opium Thionghoa adalah elite kecil tetapi berkuasa di wilayah Jawa kolonial. Mereka
beserta keluarga dan partner usahanya adalah kelompok cabang atas komunitas
Thionghoa Jawa, dimana mereka adalah orang Thionghoa yang paling kaya dan
sukses, Belanda mengangkat yang paling berpengaruh diantara mereka menjadi
pejabat-pejabat Thionghoa, secara kolektif mereka bertindak sebagai penyangga
eksklusif antara komunitas Thionghoa dan Pemerintah Belanda(Rush, 2012: 89).
Berdiri
diantara orang Eropa dan Pribumi, dan dibutuhkan kedua golongan itu, para orang
Thionghoa bisa mengenakan tol pada keduanya. Sebagai pemegang semua toko opium,
pegadaian, dan rumah judi kekayaan yang baru tercipta yang jatuh ketangan orang
Jawa sama banyaknya dengan yang masuk ke kantong orang Thionghoa, pada tahun 1867
pemasukan dari opium naik dari f. 10,5 juta menjadi f. 18,7 juta pada tahun
1897(Furnifal, 2009: 226-227). Orang
Thionghoa maju lebih pesat selama periode ini dari pada orang Eropa.
Kekayaan
dan kekuasaan Cabang Atas dasarnya berakar daripada kendali atas jaringan
perdagangan Thionghoa yang luas dan kompetitif serta mendominasi hampir seluruh
kegiatan perekonomian orang non-Eropa di Jawa. Pak-pak opium juga terlibat
dalam jaringan perdagangan Thionghoa dan memainkan peranan penting disana. Pengolahan
sebuah pak opium berarti menempatkan para pemimpin di jaringan ini dalam sebuah
posisi yang mendominasi kegiatan perdagangan di wilayah luas, bahkan seringkali
seluruh karesidenan. Hal tersebut erat kaitannya dengan persaingan dalam pasar
opium Jawa, persaingan yang jauh lebih besar untuk merebut keuntungan di
perdagangan eceran dan pengendalian pasar beras(Rush, 2012: 89).
Para
anggota komunitas Tionghoa Jawa abad ke-19 adalah keturunan dari kebudayaan
istimewa Tionghoa-Indonesia yang telah terbentuk selama beberapa ratus tahun,
pemukiman permanen orang Tionghoa pertama di Jawa didirikan di enterpot utara
sekitar abad ke-14. Pada tahun 1832 pejabat-pejabat Tionghoa yang ditunjuk
Belanda hanya ada 13 kota besar dan kota kecil di Jawa tetapi pada akhir sudah
menyebar ke 33 lokasi dan pada pertengahan abad ke-19 sistem ini benar-benar
berkembang dan pada tahun 1830 sejumlah peraturan diperkenalkan.
Pada
tahun 1945 Be dan Tan mengikat persekutuan komersial dan perkantorannya dengan
perkawinan antara anak laki-laki pertama Be Ing Tjioe, Be Biauw Tjoan(Letnan
Tionghoa termuda) di Jawa pada usia 21 tahun dengan anak perempuan Tan. Pada
tahun 1862 Be dan Tan senior diangkat menjadi mayor. Pada tahun 1865 hingga
1972 jabatan bisa dipegangnya dengan aman, pada saat pihak Batavia mencopot
gelarnya karena kegiatan-kegiatan opium gelap yang dilakukannya hingga
kematiannya pada 1904(Rush, 2012: 100). Dan selama setengah abad Be Biuw Tjoan
menjadi unggul diantara Cabang Atas di Jawa.
Kelompok
keluarga Be-Tan adalah salah satu dari sedikita tatanan keluarga peranakan yang
mendominasi pak opium Jawa sejak pertengahan Abad. Pada masa jabatan pak
1887-1889, tiga kelompok semacam itu pada awalnya mengendalikan 13 dari 20 pak,
yaitu Batavia, Krawang, Banten dan Bagelan. Tiga pak yang menguntungkan di Jawa
Tengah yaitu Semarang, Yogyakarta, dan Kedu telah dikuasai oleh kelompok
pesaing yang berkedudukan di Semarang ddan dikepalai oleh Ho Yam Lo. Seorang
pengusaha mandiri yang memasuki persewaan pak pada tahun 1870an dalam kemitraan
dengan keluarga orang Amerika(Andreas). Ho menjadi salah satu dari orang
Tionghoa paling kaya di Jawa Tengah.
Kongsi
Kediri menguasai pak-pak Cirebon, Tegal Pekanbaru, Pekalongan, Rembang, dan
Jepara, serta memiliki keluarga dekat dengan pak lainnya, Kapitan Ttionghoa
dari pak Kediri Tan Kok Tan dan pengepak Besuki The Tjaij King. Tatanan pak
opium pejabat Tionghoa seperti kelompok Be dan Tan serta kelompok Ho di
Semarang dan Kongsi Kediri pada kenyataanya merupakan pangkal-pangkal dari
karingan kerja sosial-ekonomi yang sangat besar. Selain bergerak dalam bidang
pak pajak dan kontrak, orang-orang Tionghoa kaya juga menanam modalnya di berbagai
macam perusahaan lainnya. Misalnya para peranakan membiayai produksi dan
pengolahan anggur beras, roti, minyak, kulit, yang paling penting gula(Rush,
2012: 113-114).
Jadi
dapat diketahui bahwa pada abad ke-19 kehadiran orang Tionghoa di Jawa
merupakan sebuah jaringan kerja toko dan pondok opium, rumah jagal, rumah
gadai, toko dan depot garam, dll. Tampak jelas bahwa hukum-hukum Kolonial yang
dirancang untuk memusatkan orang-orang Tionghoa untuk tetap tinggal di
perkampungan-perkampungan kumuh kota-kota pesisir maupun kota-kota kecilpedalaman
tidak mampu menyingkirkan mereka dari dunia desa, akan tetapi justru
memungkinkan kelompok orang Tionghoa kuat tertentu mendapatkan pengaruh yang
dominan terhadap penduduk Tioonghoa lainnya yang tinggal di daerah perkampungan
kumuh. Sebuah kenyataan lain bahwa kebanyakan pengepak opium adalah
pejabat-pejabat Tionghoa tingkat tinggi.pejabat-pejabat yang lebih rendah
tingkatnya dalam banyak kasus, adalah sanak saudara dan para klien mereka. Akan
tetapi, tidak ada tatanan Tionghoa yang bisa mendominasi sepenuhnya sebauh
karesidenan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Candu
atau opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di
pegunungan kawasan subtropis. Candu masuk ke Jawa sudah berabad-abad lalu, peredaran
candu baru diperbolehkan secara masif di kawasan pantai selatan Jawa, Surakarta
dan Yogyakarta pada permulaan abad ke-19. Ekspansi Belanda dijalankan sejak
tahun 1830 dengan membuat sistem cocoktanam dan pendirian kantor perdagangan
candu di berbagai daerah pedalaman. Pada tahun 1870-an ini opium ada
dimana-mana di tanah Jawa. Sejak itulah peredaran dan konsumsi candu meluas
cepat di kalangan masyarakat Jawa.
Perpaduan
antara kebijakan yang lemah, pemerintah kolonial yang umumnya bekerja secara
tidak langsung, serta garis pantai pulau Jawa yang panjang dan rentan
menciptakan kondisi yang ideal bagi munculnya pasar gelap hal ini dikarenakan
pematokan harga yang terlalu tinggi, hal ini tentu memberikan keuntungan bagi
para pemasok pasar gelap. Pada saat itu opium yang dikonsumsi masyarakat Jawa
merupakan opium hasil dari selundupan, dimana penyelundupan merupakan bagian
rutin persaingan komersial orang-orang Thionghoa, aspek lain dari peperangan
antara raja-raja. Pak opium Thionghoa adalah elite kecil tetapi berkuasa di
wilayah Jawa kolonial. Pada saat itu para pak Tionghoa Cabang Atas ini terlibat
dalam jaringan perdagangan Thionghoa dan memainkan peranan penting di Jawa.
3.2 Saran
Bagi Pembaca
·
Diharapkan pembaca lebih selektif dalam
memilih bahan bacaan dan semakin menumbuhkan minat dalam membaca serta menambah
wawasan.
·
Kepada pembaca hendaknya lebih cermat
dan teliti lagi dalam memperhatikan detail-detail kalimat yang ada dalam
makalah agar tidak menimbulkan penafsiran ganda.
DAFTAR
RUJUKAN
Furnifal, J.S. 2009. Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi
Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
Kartodirdjo,
S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Poerwanto, Hari. 2005. Orang China Khek dari Singkawang. Depok:
Komunitas Bambu.
Ricklefs M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Rush, James R. 2012. Candu Tempoe Doeloe Pemerintahan Pengedar
dan Pecandu 1860-1910. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wallace, Alferd Russel.
2009. Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah
Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
Septian, Bani. 2012. Opium ( bunga asal narkoba) (Online) http://embeniseptian.blogspot.com/2012/01/opium-bunga-asal-narkoba.html
diakses tanggal 25 November 2013 pukul 15.26.
http://id.wikipedia.org/wiki/Opium
(Online) tanggal 25 November 2013 pukul 15.15.
No comments:
Post a Comment