Songs

Sunday, December 8, 2013

Anita Dyah Ayu R



PERDAGANGAN CANDU DI JAWA PADA MASA KOLONIAL TAHUN 1860-1910

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof.Dr Hariyono,M.Pd dan Ibu Indah W.P Utami S.Pd, S. Hum, M.Pd


Oleh:

Anita Dyah Ayu R            110731435526

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Candu merupakan getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu dengan nama latin (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang. Selama berabad-abad, di Jawa candu pernah menjadi komoditas perdagangan yang diperebutkan oleh kalangan Imperialis karena menjanjikan keuntungan besar.  Candu atau yang sering disebut dengan opium terkenal di kalangan para pecandu jauh-jauh abad sebelum maraknya narkotika. Tanaman opium sendiri punya nama beken yaitu “bunga poppy” (papaver somniverum) yang bukan asli tanaman dari Indonesia. Bunga poppy ini berasal dari Turki dan Persia yang dibawa masuk oleh pedagang Arab ke Jawa.
Ketika Belanda pertama kali menjejakkan kaki di pesisir Jawa pada akhir abad ke-16, candu sudah menjadi komoditas penting di tingkat internasional. Meski sistem perdagangan candu belum terbentuk secara formal hingga tahun 1809, para pedagang Tionghoa bersama EIC (Kongsi Dagang Inggris) telah memproduksi dan menjual candu di Jawa sejak dua abad sebelumnya.
Babak baru monopoli Belanda atas perdagangan candu di Jawa bermula ketika Amangkurat II, Raja Mataram dimana memberi hak monopoli perdagangan candu kepada VOC (Kongsi Dagang Belanda) pada tahun 1677. Peredaran candu baru diperbolehkan secara masif di kawasan pantai selatan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta pada permulaan abad ke-19. Ekspansi Belanda dijalankan sejak tahun 1830 dengan membuat sistem cocoktanam dan pendirian kantor perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman. Pada tahun 1870-an ini opium ada dimana-mana di tanah Jawa. Sejak itulah peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di kalangan masyarakat Jawa. Dengan masuknya candu ke pedalaman ini membuat pemerintah Belanda mengadakan transaksi penyelundupan atau pasar gelap dalam mengoperasikan candu ke konsumennya, serta pada waktu itu orang-orang Thionghoa ini mempunyai peran yaitu sebagai pak opium cabang atas dimana pak opium Thionghoa cabang atas ini merupakan elite kecil yang memegang kekuasaan di wilayah Jawa Kolonial. Dari paparan diatas maka penulis mengambil judul “Perdagangan Candu Di Jawa Pada Masa Kolonial Tahun 1860-1910”
1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan Uraian dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah perdagangan candu di Jawa?
2.      Bagaimana penyelundupan atau pasar gelap perdagangan candu di Jawa pada masa Kolonial tahun 1860-1910?
3.      Bagaimana pak opium Thionghoa Cabang Atas di Jawa pada masa Kolonial tahun 1860-1910?

1.3    Tujuan
Dari paparan rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui sejarah perdagangan candu di Jawa.
2.      Untuk mengetahui penyelundupan atau pasar gelap perdagangan candu di Jawa pada masa Kolonial tahun 1860-1910.
3.      Untuk mengetahui pak opium Thionghoa Cabang Atas di Jawa pada masa Kolonial tahun 1860-1910.

1.4    Metode
1.    Ruang Lingkup
a.    Lingkup Spasial : penulisan makalah ini hanya mencakup satu karisedenan yaitu karisedenan Jawa dikarenakan penulis ingin fokus mengetahui tentang perdagangan candu di wilayah Jawa.
b.    Lingkup Temporal : penulisan dipusatkan pada kisaran tahun 1860-1910.  Sebenarnya sejak tahun 1830 ekspansi Belanda sudah dijalankan dengan membuat sistem cocok tanam dan pendirian kantor perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman, akan tetapi ada tahun 1870-an ini opium ada dimana-mana di tanah Jawa hingga tahun 1910. Sejak itulah peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di kalangan masyarakat Jawa.
c.    Lingkup kajian : penulis lebih memfokuskan pada perdagangan candu di Jawa, dikarenakan pada saat itu perdagangan candu sudah meluas dikalangan masyarakat, sehingga muncul pasar gelap atau penyelundupan, dimana orang Thionghoa mendominasi perdagangan candu tersebut.
2.    Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah sebagai acuannya. Dalam metode sejarah dikenal lima tahap, yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Berikut penjelasan mengenai kelimanya:
1)   Pemilihan Topik
Pemilihan topik sebaiknya digunakan dua pendekatan yaitu, berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Dalam pemilihan topik ini penulis menggunakan kedekatan emosional dikarenakan penulis sangat tertarik dengan hal yang berhubungan dengan perdagangan yaitu perdagangan candu pada masa Kolonial di Jawa pada tahun 1860-1910.
2)   Heuristik
Heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah.  Sumber yang ditemukan oleh penulis kemudian diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber utama dan sumber kedua. Sumber utama merupakan sumber asli yakni bukti yang sejaman dengan suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan sumber kedua yaitu apa yang ditulis oleh sejarawan sekarang ataupun sebelumnya berdasarkan sumber pertama.  Menurut penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam sumber primer dan sumber sekunder.
Dalam penulisan ini hanya menggunakan sumber Sekunder, dikarenakan hanya menggunakan literatur buku saja. Sumber kedua merupakan hasil penulisan dari penulis lain yang berdasarkan sumber pertama. Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Dalam hal ini penulis menemukan salah satu sumber sekunder berupa Candu Tempoe Doeloe Pemerintahan Pengedar dan Pecandu 1860-1910 oleh James R Rush(2012) dalam buku ini menjelaskan tentang perdagangan candu pada tahun 1860-1910.
3) Kritik Sumber
Kritik merupakan kemampuan dalam menilai sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan. Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
a.    Kritik eksternal
Dilakukan untuk mengetahui keautentikan suatu dokumen yang dapat dilihat melalui kenyataan identitasnya, yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya (Kartodirdjo, 1992: 10).
b.    Kritik Internal
Kritik internal dilakukan untuk menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen. Kritik dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak (Kartodirdjo, 1992: 10).
4)      Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkaikannya hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagai fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya sesuai dengan fakta untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit.
5)   Historiografi
Penulisan sejarah atau historigrafi merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses peristiwa sejarah. Pada proses penulisan, fakta satu dihubungkan dengan fakta yang lainnya berdasarkan konsep pemikiran yang sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi kausalitas (sebab-akibat).


BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Sejarah Perdagangan Candu Di Jawa
Candu atau opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter. Daunnya jorong dengan tepi bergerigi, bunga opium bertangkai panjang dan keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri dari satu bunga dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah. Bunga opium sangat indah hingga beberapa spesies Papaver lazim dijadikan tanaman hias. Buah opium berupa bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau.
Candu masuk ke Jawa sudah berabad-abad lalu, akan tetapi tepatnya kapan tidak diketahui. Ketika orang-orang Belanda pertama kali mendarat di Jawa pada akhir abad ke-16, candu atau opium sudah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional. Dalam usahanya untuk mendominasi perdagangan lokal selama berabad-abad berikutnya, para saudagar Belanda bersaing dengan orang-orang Inggris, Denmark dan Arab. Akhir, pada tahun 1677 Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) berhasil membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II dari Jawa yang menjamin diberikannya monopoli kepada VOC untuk mengimpor candu atau opium kedalam wilayah kerajaan Mataram dan mengedarkannya kedalam negeri. Setahun kemudian kerajaan lain yang lebih kecil, Cirebon, menyepakati perjanjian serupa(Rush, 2012: 27). Dari situlah awal dari Belanda melakukan monopoli terhadap candu atau opium di Jawa, dimana akhirnya Belanda memperluas perjanjian itu untuk merebut seluruh Hindia dan menjaganya dengan hati-hati hingga koloni itu hilang.
Lalulintas candu atau opium Belanda di Jawa meningkat secara signifikan setelah perjanjian 1677, dan J.C Baud sudah memperhitungkan bahwa sejak 1619 hingga 1799 VOC secara resmi membawa rata-rata 56.000 kilogram opium mentah ke Jawa setiap tahunnya. Peredaran opium tersedia luas di Jawa pada permulaan abad ke-19, khususnya didaerah pesisir utara dengan kota-kota pelabuhannya dan di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta yang padat penduduknya(Rush, 2012: 28). Pendapatan yang dihasilkan dari monopoli opium resmi meningkat secara dramatis pada seperempat abad pertama di abad ke-19. Pada tahun 1820 ada 372 tempat terpisah di Yogyakarta yang menerima lisensi untuk menjual opium, yaitu hampir dari setiap pos bea cukai utama, sub-pos cukai dan pasar di Kesultanan, banyak dari para bangsawan penghisap opium diketahui ada diantara pasukan perang Diponegoro, dan selama Perang Jawa banyak diantaranya anggota pasukannya jatuh sakitketika pasokan opium terganggu. Akan tetapi persebaran opium di Jawa tidak merata.
Pada saat itu jumlah penduduk pulau jawa pada abad ke-19 sekitar 28 samapi 30 jutaan, di tambah yang belum termuat jadi kira-kira 30 juta penduduk untuk mempermudah nanti dalam perhitunganya. Dimana jumlah orang Belanda sekitar 26 ribu yang berada di pulau Jawa dan orang Cina sekitar 200 ribu. Dari situ kita bisa melihat dari 26 ribu orang bisa menguasai pulau Jawa yang berjumlah kurang lebih 30 juta jiwa pribumi (Poerwanto, 2005: 70). Dengan banyaknya penduduk Belanda yang tinggal di Jawa mengakibatkan penduduk Belanda tersebut mendominasi perdagangan dan segala aktifitas di Jawa.
Pada abad ke-19 menghisap opium menjadi ciri umum kehidupan kota dan desa di Jawa. Diantara orang-orang Belanda yang lebih menyukai gin, opium adalah sifat buruk yang diasosiasikan dengan orang-orang blasteran, orang-orang jahat. Namun di kalangan orang Thionghoa, kebiasaan ini populer. Dikota-kota pesisir dan kota-kota pedalaman tempat mereka tinggal, para orang Thionghoa kaya menikmati pipa opium di rumah mereka dan di klub-klub opium pribadi, sedangkan orang-orang dari golongan yang lebih miskin berbagi tempat menghisap opium di pondok-pondok umum dengan penduduk setempat.
Pada tahun 1870 candu atau opium ada dimana-mana di tanah Jawa. Setiap desa memiliki sejumlah pemakai tetap dan orang-orang hanya kadang-kadang saja menggunakan opium. Tampaknya opium sudah lama menjadi sesuatu yang menarik floating population di Jawa, yaitu para pengembara, para pedagang keliling, dan tukang-tukang serta sekelompok pekerja upahan yang jumlahnya terus membengkak. Mereka bekerja memasang batang-batang rel, memetik kopi, memotong tebu, mengangkat barang-barang pasokan serta hasil-hasil produksi di sebuah perusahaan ekonomi swasta abad ke-19(Rush, 2012: 30).
Di kalangan priyayi, opium sudah lama menjadi sebuah sisi keramatamahan dan kehidupan bermasyarakat.  Misalnya saja, di Jawa Tengah, tamu laki-laki secara rutin disuguhi opium pada pesta-pesta kaum bangsawan. Didalam masyarakat desa perkebunan yang bersahaja, berbagai perayaan yang menandai berakhirnya panen padi atau dimulainya musim petik kopi sering sekali disertai dengan dibagi-bagikannya candu atau opium kepada kaum laki-laki, pada pesta-pesta di desa sudah menjadi kebiasaan umum bagi tuan rumah untuk menyediakancandu atau opium untuk orang-orang yang biasa mnghisapnya. Para pemimpin desa yang hadir pun dijamu dengan cara ini.
Orang-orang Jawa mengkonsumsi opium dengan berbagai cara, tergantung pada alat dan selera mereka. Dalam mengkonsumsi candu ini barang yang diperlukan adalah candu, opium mentah yang disuling dan kemudian dicampur dengan penguat rasa serta sejumlah campuran bahan lainnya. Orang yang lebih kaya menghisap candu yang lebih mahal dengan menggunakan alat penghisap atau pipa yang sangat bagus (badudan). Sedangkan rakyat kebanyakan menghisap campuran yang lebih rendah kualitasnya dengan menggunakan pipa (pipa sekali pakai yang terbuat dari datang daun pepaya atau pipa buatan rumah) dan menikmati ramuan yang lebih murah, seperti tike, daun awar-awar (ficus septica) dirajang halus dan dicampur dengan candu dan gula(Rush, 2012: 31).
Orang-orang Jawa membeli opium dengan penghasilan mereka sebagai kuli perkebunan, pedagang kecil serta pekerja rendahan dan dari hasil penjualan hasil-hasil ladangnya, juga setelah tahun 1870 mereka membeli opium dari uang sewa atas tanah-tanah mereka yang yang digunakan untuk pertanian, dikarenakan pada tahun 1870 adanya undang-undang Agraria membuka Jawa bagi perusahaan swsta. Kebebasan dan keamana para pengusaha dijamin, hanya orang-orang Indonesialah yang dapat memiliki tanah tetapi orang-orang Asing diperkenankan untuk menyewanyadari pemerintah sampai 75 tahun atau dari para pemilik pribumi untuk masa paling lama antara 5 sampai 20 tahun(tergantung pada persyaratan hak pemilikan tanah) (Ricklef, 2008: 271 )
Kebanyakan mereka mengkonsumsi opium dikarenakan opium memberi mereka energi dan membantu mereka agar tetap terjaga pada malam hari. Laki-laki yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan manual yang sulit ini seringkali mengandalkan opium, oleh karena itu para manager perkebunan menyediakan opium atau candu untuk kuli-kuli mereka. Para peronda desa dan pelakon pertunjukan-pertunjukan semalam suntuk, para dalang wayang kulit, dan para penabuh gamelan juga mengandalkan opium untuk menjaga agar tetap terjaga. Hal ini  membuat sebagian besar masyarakat buruh menjatuhkan pemenuhan kebutuhan kesenangan mereka dengan mengkonsumsi opium.
Orang-orang Jawa pada abad ke-19 sangat rentan terhadap penyakit, dikarenakan faktor lingkungan yaitu dari keadaan rumah-rumah mereka yang terbuat dari bambu dan rumput, berukuran sempit, lembab, dan manjadi sarang binatang-binatang seperti tikus dan kecoa. Pada tahun 1880 hanya 5% penduduk yang mendapat suntikan anticacar dan hanya ada satu dokter pribumi, yang disebut Dokter Jawa untuk setiap 345.000 orang. Para tukang jamu dan dukun Jawa yang mengkhususkan diri pada pengobatan-pengobatan esetorik dan magis juga gagal menghadapi kondisi ini dan karenanya tidaklah mengherankan bila opium menjadi bagian berharga dari stok obat orang-orang Jawa.
Selama akhir abad ke-19, pengaruh fakta-fakta yang dilakukan Belanda terhadap monopoli umum di Jawa sangat besar. Pertama kenyataan bahwa mayoritas pengguna opium adalah orang-orang Jawa asli, yang kesejahteraannya menjadi tanggung jawab Belanda, dan bukannya orang-orang Thionghoa yang menurut pengamatan Belanda terlalu mementingkan kemakmurannyasendiri, memberikan pertimbangan moral yang dan krisis terhadap kebijakan-kebijakan opim Belanda yang lebih ditentukan oleh perolehan pajak itu. Kedua, kenyataan bahwa pasar opium utama di Jawa adalah sebuah pasar yang menyebar, tersusun dari ratusan ribu individu yang masing-masing hanya membeli opium seharga beberapa sen per harinya, tapi justru sangat menentukan besar dan luasnya lembaga yang dirancang untuk memasok pasar itu yaitu pak opium Jawa(Rush, 2012: 43).
Pada awal abad ke-20 Belanda mengesahkan perdagangan opium di Banten dan dataran-dataran tinggi sekitarnya, opium yang dijual disana lebih sedikit dibandingkan tempat-tempat lain di Jawa. Pasar-pasar opium terkaya ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semakin ke timur dari Pulau Jawa penggunaan opium atau candu juga semakin bebas, terutama di wilayah yang sekarang menjadi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur (Alfred, 2009: 35).
2.2  Penyelundupan atau Pasar Gelap Perdagangan Candu Di Jawa pada Masa Kolonial Tahun 1860-1910
Bunga opium (paper somniferum) tidak ditanam di Jawa. Tampaknya semua opium resmi yang dikonsumsi di Jawa pada abad ke-19 berasal dari Turki dan Persia atau British Bengal. Pemerintah Hinda membelinya melalui pedagang swasta Belanda di Levant, pada pelelangan di Calcuta atau dari agen-agen British Singapore dan mengalirkannya dalam jeda yang teratur kepada para pengepak opium di Jawa melalui gudang-gudang di Batavia, Semarang dan Surabaya.
Memonopoli impor opium mentah ke Jawa adalah satu-satunya langkah admnistratif jangka panjang yang diambil oleh Belanda untuk mengontrol jumlah opium yang sampai ke penduduk. Upaya monopoli terhadap pembatasan jumlah opium resmi berarti lebih sedikit opium yang tersedia untuk dikonsumsi. Disamping itu, dengan membebankan harga yang sangat tinggih kepada para pengepak untuk opium resmi yang dibelinya dan mendorong pajak yang tinggi pula, para penguasa Belanda berpendapat bahwa opium akan terlalu mahal untuk disebarluaskan dikalangan rakyat. Oleh sebab itu, kecuali pada 1855-1862 dan dari 1870-1872, Batavia memberikan batasan jumlah opium yang disediakan untuk tiap-tiap pak. Pengepak opium menerima jatah dalam jumlah acak yang dibayar dengan harga selngit(Rush, 2012: 70).
 Dengan menyediakan opium yang sangat sedikit, Belanda menciptakan permintaan untuk sumber alternatif. Akibat pematokan harga yang terlalu tinggi, hal ini tentu memberikan keuntungan bagi para pemasok pasar gelap. Selain itu, karena kepentingan Belanda yang sebenarnya dalam urusan opium terletak pada pajak pak, peraturan opium yang tidak berhubungan untuk memicu pemenuhan kewajiban keuangan pak tidak diterapkan secara ketat. Apalagi karena peraturan-peratuan ini diterapkan kepada para penguasa pribumi Jawa dan pak opium itu sendiri. Perpaduan antara kebijakan yang lemah, pemerintah kolonial yang umumnya bekerja secara tidak langsung, serta garis pantai pulau Jawa yang panjang dan rentan menciptakan kondisi yang ideal bagi munculnya pasar gelap. Opium gelap pun mulai menyerbu Jawa.
Opium masuk ke Hindia lewat Eropa, Cina, Singapura dan kerajaan-kerajaan serta entrepot. Seperti juga opium resmi, opium gelap berasal dari Timur Tengah dan British India. Opium ilegal itu sampai di Jawa setelah berpindah-pindah tangandi Singapura dan kemudian di Bali, kemudian masuk ke Jawa. Dari situ mulai ada persaingan antara opium resmi dengan opium ilegal. Pada tahun 1860, Christian Castens menuliskan:
 “ Bisa dipastikan jarang sekali satu hari tanpa sejumlah besar opium (ilegal) diimpor masuk, kalau tidak disini ya di tempat-tempat lain di saentero Pulau Jawa ini. Serta dia memperkirakan jumlah opium ilegal dalam waktu satu tahun jauh melebihi jumlah yang dipasok pemerintah opium legal, 60% opium yang dikonsumsi di Jawa merupakan opium gelap atau ilegal” (Rush, 2012: 70).
Jadi dapat di pastikan bahwa kebanyakan opium yang dikonsumsi di Jawa pada masa Kolonial ini merupakan opium hasil selundupan atau opium ilegal. Penyelundupan opium pada masa itu seperti hal yang lumrah, hal ini dikarenakan murahnya pembelian opium mentah di Singapura, Cina dan pelabuhan-pelabuhan bebas di Kepulaun Indonesia, dan mudahnya opium melewati bea cukai yang tidak efisien dan menarik pajak di Belanda Jawa. Penyelundupan pengiriman-pengiriman besar tersebut diatur oleh kepentingan-kepentingan pak opium dan ditangani oleh saudagarpenyelundup profesional. Opium tersebut datang bersamaan di antara barang-barang lain tersembunyi dikoper-koper besar beralas palsu, dikemas diantara barang-barang pribadi serta dijejali dalam kerangka binatang dan buah-buahan.
Dalam melakukan penyelundupan, hal terpenting adalah volume pengiriman yang dipesan oleh para pedagang Thionghoa-Jawa kaya(para pengepak opium dan musuh-musuhnya). Para pengepak dan penyelundup kelas kakap, kalau bukan orang sama pasti berasal dari elite Jawa yang sama. Penyelundupan opium adalah bagian rutin persaingan komersial orang-orang Thionghoa, aspek lain dari peperangan antara raja-raja.
Keadaan geografis Kepulauaan Indonesia dan beragamnya politik pada abad ke-19 menciptakan kemungkinan penyelundupan yang hampir tanpa batas, dimana dalam melakukan penyelundupan ini dimulai dengan pembelian opium mentah. Para penghasut Tionghoa yang menggerakkan penyelundupan di Jawa mungkin memiliki penghubung langsung di Singapura untuk tujuan ini, misalnya saja sanak saudaranya. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tampaknya menggunakan jasa perantara rumah-rumah dagang setempat yang mengurus penjualan opium dalam partai besar.
Perusahaan milik orang Armenia yang berkantor di Surabaya mendominasi perdagangan ini. Mereka membeli opium melalui agen-agen di Turki, India dan Singapore untuk rekan-rekan Tionghoa mereka dan kemudian mengirimkannya ke Bali(Rush, 2012: 72). Dimana Bali merupakan tempat ideal untuk memindahkan opium, di dalam dan di luar pelabuhan alamnya yang begitu banyak, banyak kapal kecil Pribumi menggerakkan kehidupan perdagangan pulau setempat. Perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan Bali dan Jawa selalu ppadat hampir sepanjang tahun, dimana angin muson membuat pelayaran menjadi menyenangkan pada April hingga Desember, lalu lintas air yang aktif ini dengan sempurna menyelubungi pengiriman barang-barang ilegal. Dimana dalam menyelesaikan pembayaran mereka menggunakan wesel yang diuangkan di bank-bank Kolonial, seperti Javasche Bank di Semarang.
Pada abad ke-19 kekuasaan Belanda hanya berlaku di kerajaan-kerajaan Bali tertentu dan itu pun tidak ketat. Misalnya saja di Buleleng yang merupakan kekuasaan dari Pemerintah Belanda dan tempat kedudukan seorang asisten residen. Tahun 1861 peraturan pak opium secara resmi mengizinkan pengepak mengekspor opium dalam jumlah besar. Dari Bali, opium dipindahkan ke beberapa pelabuhan di pulau-pulau di luar Jawa selain Pulau Jawa itu sendiri(Rush, 2012: 73). Jadi pada tahun 1861 Batavia mengakhiri percobaan selama tujuh tahun dimana para pengepak diperbolehkan membeli pasokan opium dalam jumlah yang tak terbatas.
Pada tahun-tahun berikutnya yang ditandai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan perdagangan, tarif pak meningkat secara konsisten meskipun jatah-jatah resmi meningkat, tetap berada jauh di bawah permintaan. Tentu saja para saudagar Jawa-Thionghoa tetap memandang pak-pak opium sebagai investasi yang menguntungkan, dimana dapat diketahui bahwa dengan memanfaatkan jabatannya mereka sebagai pengepak opium untuk bisa melakukan transaksi sembunyi-sembunyi yang tidak bisa dilakukannya secara terbuka yaitu mengimpor tambahan untuk diedarkan melalui sebuah jaringan pak pengecer.
Pada tahun 1873, para pengepak menaikkan atau menurunkan harga mereka sebagai atas persaingan dengan pasar gelap, harga eceran pak sangat bervariasi dari satu ke lain toko dan dari satu ke lain pak, misalnya satu mata cantu pak hanya seharga 12 sen di Semarang, tetapi mencapai 32 sen di Batavia. Perbedaan harga semacam itu terjadi hingga berakhirnya sistem pak dan memberikan indikator garis tentang kekuatan pasar gelap. Ketika Ho Yam Lo membanting harga opiumnya hingga ke tingkat harga pasar gelap pada September dan Oktober 1875, penjualan harian di pak Semarang pun meningkat empat kali lipat, akan tetapi dengan peningkatan ini semakain besar Ho menyadari bahwa ia tidak bisa terus-terusan mengimbangi harga para pesaingnya dengan kewajibannya kepada bendahara kolonial, pada November Ho menaikkan harga opiumnya(Rush, 2012: 85).
Para pengepak tidak bisa menanggapi tantangan pasar gelap hanya dengan mengimpor sendiri opium gelap dan menurunkan harga, pengeluaran-pengeluaran mereka terlalu banyak. Mereka juga tidak bisa menghapus penyelundupan samasekali. Ketika Belanda mengetahuinya, mereka meminta investasi besar-besaran untuk hasil yang paling sedikit sekalipun.
Dalam penyelundupan opium tersebut keterlibatan priyayi semacam itu tidak umum ditemui, khususnya dalam kepangeranan. Di karisedenan-karisedenan pemerintah sering demi kepentingan mereka sendiri, para bupati dan pejabat pura-pura tidak melihat kegiatan pak yang terlarang, bahkan membantunya secara aktif. Serta sejumlah insiden yang melibatkan orang-orang Eropa dan Eurasia dalam penyelundupan opium juga mencuat kepermukaan. Pada tahun 1881 dan 1882 tidak kurang dari 21 orang Eropa diadili di Karisedenan Semarang atas tuduhan penyelundupan opium termasuk juga beberapa perempuan(Rush, 2012: 82-83).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelundupan opium pada abad ke-19 sama sekali bukan hal baru seperti halnya usaha-usaha lain yang dilakukan untuk mengendalikan serta membatasi perdagangan komoditas yang berharga dan mudah dibawa-bawa, usaha Belanda memonopoli perdagangan opium di Jawa kelihatannya justru mendorong usaha untuk menghindari monopoli, selama periode setelah 1860 impor dan distribusi opium ilegal telah menjadi bagian rutin dalam sistem pak.  Akan tetapi hak menjual candu oleh pemerintah dihapuskan secara bertahap mulai tahun 1984 dan digantikan oleh Administrasi Candu negara di seluruh Jawa pada awal tahun 1904.

2.3 Pak Opium Thionghoa Cabang Atas Di Jawa Pada Masa Kolonial Tahun  1860-1910
Pak opium Thionghoa adalah elite kecil tetapi berkuasa di wilayah Jawa kolonial. Mereka beserta keluarga dan partner usahanya adalah kelompok cabang atas komunitas Thionghoa Jawa, dimana mereka adalah orang Thionghoa yang paling kaya dan sukses, Belanda mengangkat yang paling berpengaruh diantara mereka menjadi pejabat-pejabat Thionghoa, secara kolektif mereka bertindak sebagai penyangga eksklusif antara komunitas Thionghoa dan Pemerintah Belanda(Rush, 2012: 89).
Berdiri diantara orang Eropa dan Pribumi, dan dibutuhkan kedua golongan itu, para orang Thionghoa bisa mengenakan tol pada keduanya. Sebagai pemegang semua toko opium, pegadaian, dan rumah judi kekayaan yang baru tercipta yang jatuh ketangan orang Jawa sama banyaknya dengan yang masuk ke kantong orang Thionghoa, pada tahun 1867 pemasukan dari opium naik dari f. 10,5 juta menjadi f. 18,7 juta pada tahun 1897(Furnifal, 2009: 226-227).  Orang Thionghoa maju lebih pesat selama periode ini dari pada orang Eropa.
Kekayaan dan kekuasaan Cabang Atas dasarnya berakar daripada kendali atas jaringan perdagangan Thionghoa yang luas dan kompetitif serta mendominasi hampir seluruh kegiatan perekonomian orang non-Eropa di Jawa. Pak-pak opium juga terlibat dalam jaringan perdagangan Thionghoa dan memainkan peranan penting disana. Pengolahan sebuah pak opium berarti menempatkan para pemimpin di jaringan ini dalam sebuah posisi yang mendominasi kegiatan perdagangan di wilayah luas, bahkan seringkali seluruh karesidenan. Hal tersebut erat kaitannya dengan persaingan dalam pasar opium Jawa, persaingan yang jauh lebih besar untuk merebut keuntungan di perdagangan eceran dan pengendalian pasar beras(Rush, 2012: 89).
Para anggota komunitas Tionghoa Jawa abad ke-19 adalah keturunan dari kebudayaan istimewa Tionghoa-Indonesia yang telah terbentuk selama beberapa ratus tahun, pemukiman permanen orang Tionghoa pertama di Jawa didirikan di enterpot utara sekitar abad ke-14. Pada tahun 1832 pejabat-pejabat Tionghoa yang ditunjuk Belanda hanya ada 13 kota besar dan kota kecil di Jawa tetapi pada akhir sudah menyebar ke 33 lokasi dan pada pertengahan abad ke-19 sistem ini benar-benar berkembang dan pada tahun 1830 sejumlah peraturan diperkenalkan.
Pada tahun 1945 Be dan Tan mengikat persekutuan komersial dan perkantorannya dengan perkawinan antara anak laki-laki pertama Be Ing Tjioe, Be Biauw Tjoan(Letnan Tionghoa termuda) di Jawa pada usia 21 tahun dengan anak perempuan Tan. Pada tahun 1862 Be dan Tan senior diangkat menjadi mayor. Pada tahun 1865 hingga 1972 jabatan bisa dipegangnya dengan aman, pada saat pihak Batavia mencopot gelarnya karena kegiatan-kegiatan opium gelap yang dilakukannya hingga kematiannya pada 1904(Rush, 2012: 100). Dan selama setengah abad Be Biuw Tjoan menjadi unggul diantara Cabang Atas di Jawa.
Kelompok keluarga Be-Tan adalah salah satu dari sedikita tatanan keluarga peranakan yang mendominasi pak opium Jawa sejak pertengahan Abad. Pada masa jabatan pak 1887-1889, tiga kelompok semacam itu pada awalnya mengendalikan 13 dari 20 pak, yaitu Batavia, Krawang, Banten dan Bagelan. Tiga pak yang menguntungkan di Jawa Tengah yaitu Semarang, Yogyakarta, dan Kedu telah dikuasai oleh kelompok pesaing yang berkedudukan di Semarang ddan dikepalai oleh Ho Yam Lo. Seorang pengusaha mandiri yang memasuki persewaan pak pada tahun 1870an dalam kemitraan dengan keluarga orang Amerika(Andreas). Ho menjadi salah satu dari orang Tionghoa paling kaya di Jawa Tengah.
Kongsi Kediri menguasai pak-pak Cirebon, Tegal Pekanbaru, Pekalongan, Rembang, dan Jepara, serta memiliki keluarga dekat dengan pak lainnya, Kapitan Ttionghoa dari pak Kediri Tan Kok Tan dan pengepak Besuki The Tjaij King. Tatanan pak opium pejabat Tionghoa seperti kelompok Be dan Tan serta kelompok Ho di Semarang dan Kongsi Kediri pada kenyataanya merupakan pangkal-pangkal dari karingan kerja sosial-ekonomi yang sangat besar. Selain bergerak dalam bidang pak pajak dan kontrak, orang-orang Tionghoa kaya juga menanam modalnya di berbagai macam perusahaan lainnya. Misalnya para peranakan membiayai produksi dan pengolahan anggur beras, roti, minyak, kulit, yang paling penting gula(Rush, 2012: 113-114).
Jadi dapat diketahui bahwa pada abad ke-19 kehadiran orang Tionghoa di Jawa merupakan sebuah jaringan kerja toko dan pondok opium, rumah jagal, rumah gadai, toko dan depot garam, dll. Tampak jelas bahwa hukum-hukum Kolonial yang dirancang untuk memusatkan orang-orang Tionghoa untuk tetap tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh kota-kota pesisir maupun kota-kota kecilpedalaman tidak mampu menyingkirkan mereka dari dunia desa, akan tetapi justru memungkinkan kelompok orang Tionghoa kuat tertentu mendapatkan pengaruh yang dominan terhadap penduduk Tioonghoa lainnya yang tinggal di daerah perkampungan kumuh. Sebuah kenyataan lain bahwa kebanyakan pengepak opium adalah pejabat-pejabat Tionghoa tingkat tinggi.pejabat-pejabat yang lebih rendah tingkatnya dalam banyak kasus, adalah sanak saudara dan para klien mereka. Akan tetapi, tidak ada tatanan Tionghoa yang bisa mendominasi sepenuhnya sebauh karesidenan.

           


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Candu atau opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Candu masuk ke Jawa sudah berabad-abad lalu, peredaran candu baru diperbolehkan secara masif di kawasan pantai selatan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta pada permulaan abad ke-19. Ekspansi Belanda dijalankan sejak tahun 1830 dengan membuat sistem cocoktanam dan pendirian kantor perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman. Pada tahun 1870-an ini opium ada dimana-mana di tanah Jawa. Sejak itulah peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di kalangan masyarakat Jawa.
Perpaduan antara kebijakan yang lemah, pemerintah kolonial yang umumnya bekerja secara tidak langsung, serta garis pantai pulau Jawa yang panjang dan rentan menciptakan kondisi yang ideal bagi munculnya pasar gelap hal ini dikarenakan pematokan harga yang terlalu tinggi, hal ini tentu memberikan keuntungan bagi para pemasok pasar gelap. Pada saat itu opium yang dikonsumsi masyarakat Jawa merupakan opium hasil dari selundupan, dimana penyelundupan merupakan bagian rutin persaingan komersial orang-orang Thionghoa, aspek lain dari peperangan antara raja-raja. Pak opium Thionghoa adalah elite kecil tetapi berkuasa di wilayah Jawa kolonial. Pada saat itu para pak Tionghoa Cabang Atas ini terlibat dalam jaringan perdagangan Thionghoa dan memainkan peranan penting di Jawa.

3.2  Saran
Bagi Pembaca
·         Diharapkan pembaca lebih selektif dalam memilih bahan bacaan dan semakin menumbuhkan minat dalam membaca serta menambah wawasan.
·         Kepada pembaca hendaknya lebih cermat dan teliti lagi dalam memperhatikan detail-detail kalimat yang ada dalam makalah agar tidak menimbulkan penafsiran ganda.


DAFTAR RUJUKAN


Furnifal, J.S. 2009. Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Poerwanto, Hari. 2005. Orang China Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Ricklefs M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Rush, James R. 2012. Candu Tempoe Doeloe Pemerintahan Pengedar dan Pecandu 1860-1910. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wallace, Alferd Russel. 2009. Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
http://id.wikipedia.org/wiki/Opium (Online) tanggal 25 November 2013 pukul 15.15.



No comments:

Post a Comment