KONDISI EKONOMI INDONESIA (HINDIA BELANDA) PADA MASA DEPRESI
EKONOMI TAHUN 1930
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah
Perekonomian
yang
dibina oleh Bapak Prof. Dr. Haryono,
M.Pd. dan Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.
Oleh:
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik,
serta diatara dua benua yaitu benua Australia dan Asia. Selain memiliki wilayah
laut yang luas ndonesia memiliki wilayah yang subur, rempah-rempah adalah
komoditas utama dalam perdagangan. Karena harga rempah-rempah yang mahal di
Eropa banyak negara-negara Eropa yang berusaha menguasai Indonesia, misal
Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Belanda merupakan
negara Eropa yang paling lama menjajah Indonesia yang pada waktu itu di sebut
Hindia Belanda. Pemerintah Belanda membangun Indonesia sebagai basis ekonomi.
Pertanian dan perkebunan di kembangkan pada masa Belanda karena tanah di
Indonesia subur dan kaya Sumber Daya Alam. Selama Belanda menguasai Indonesia
Belanda yang menguasai ekonomi Indonesia yang merugikan rakyat, bahkan Belanda
menopoli perdagangan di Indonesia. Selama Belanda meguasai Indonesia produksi
ekspor yang dari sektor perkebunan dan pertanian sangat produktif, sehingga
menghasilkan keuntungan yang besar untuk Belanda sementara rakyat Indoesia
hidup miskin. Namun perekonomian yang dibangun dengan kokoh akhirnya runtuh
akibat Krisis tahun 1930 atau Depresi Ekonomi tahun 1930. Dalam krisis tersebut
keuangan Hindia Belanda menjadi benar-benar jatuh serta tingkat produksi
perkebunan turun dratis.
Bagaimana yang saat itu
memonopoli pasar Internasional bisa mengalami kemunduran akibat krisis yang
awalnya sendiri tidak terjadi di Hindia Belanda. Dengan alasan tersebut penulis
mengambil judul “KONDISI EKONOMI INDONESIA (HINDIA
BELANDA) PADA MASA DEPRESI EKONOMI TAHUN
1930” .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
penyebab terjadinya Depresi Ekonomi 1930?
2. Bagaimana
kondisi ekonomi masyarakat Indonesia (Hindia Belanda) pada masa Depresi
Ekonomi?
3. Bagaimana
langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda dalam mengatasi Depresi Ekonomi tahun
1930?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas
penulis menentukan tujuannya sebagai berikut:
1. Mengetahui
penyebab terjadinya Depresi Ekonomi tahun 1930.
2. Mengetahui
kondisi ekonomi masyarakat Indonesia (Hindia Belanda) pada masa Depresi
Ekonomi.
3. Mengetahui
langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda dalam mengatasi Depresi Ekonomi tahun
1930.
1.4 Metode
Metode yang digunakan penulis
adalah Metode penelitian deskriptif adalah salah satu metode penelitan yang banyak
digunakan pada penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu kejadian.
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan Teknik Studi Pustaka karena topik
yang diteliti merupakan kejadian mas lampau. “Studi kepustakaan adalah teknik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan
masalah yang dipecahkan”(Nazir, 2011: 111). Setelah iu penulis menggunakan
metode heuristik untuk mencari sumber-sumber yang terpecaya. Kemudian dilakukan
dengan Kritik Sumber untuk mendapatkan data-data yang autentik. Kemudia penulis
menginterpretasi fakta-fakta berdasarkan sumber untuk mengetahui hubungan serta
kaitan-kaitan antar fakta. Sehingga mampu menghasilkan Histeriografi diman
afakta-fakta di interpretasikan dalam bentuk tulisan.
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Depresi
Ekonomi Tahun 1930
Tahun
–tahun setelah pasca Perang Dunia I merupakan awal tahun-tahun kemakmuran. Di
Eropa maupun Hindia Belanda mendapat keuntungan besar dari Skema Pembatasan
Stevenson yang tidak diikuti oleh Belanda. Menurut Funival (2009:451), “masuknya
pada tahun 1925 varietas baru tebu, POJ 2878, meningkatkan hasil dari 1,97 juta
ton gula pada tahun 1926 menjadi 2,94 juta ton pada tahun 1928;
diperkenalkannnya tanaman sela diperkebunan meningkatkan ekspor minyak kelapa
dari 5,202 ton pada 1924 menjadi 21,515 ton pada 1927, dan serat dari 31.909
ton menjadi 46.500 ton”. Pada saat itu juga meningkatnya impor mobil yang
menandakan banyak beberapa orang yang menjadi orang kaya baru. Dalam pemasukan
keuangan Pemerintah Hindia Belanda mengalami peningkatan keuangan yang tahun
1923 sebesar f. 650 juta menjadi f.848 juta tahun 1929. Pengeluaran dari
pemerintah Hindia Belanda juga mengalami kenaikan dari f. 666 juta pada tahun
1924 menjadi f.903 juta pada 1929.
Kemakmuran
ini tidak berjalan lama karena tidak memiliki dasar yang kuat. Sementara produksi
berkembang pasar menyusut ,khususnya untuk produk utama Jawa yaitu gula.
Inggris sedang meningkatkan produksi gula bit berlipat-lipat, dan di Jepang
produksi gula naik dari 3,6 juta kwintal pada tahun 1920-1921 menjadi 9,5 juta
kwintal pada tahun 1928-1929. Sejak tahun 1926 harga-harga turun; gula dari
f.17,14 per 100kg menjadi f.12,52 pada 1929, timah dari f.3.440 per ton menjadi
f.2.400 per ton, dan harga karet turun dengan berakhirnya pembatasan Stevenson.
Sementara itu, pinjaman yang dilakukan Pemerintah dengan tingkat bunga tetap
masih harus dibayar, walaupun ada penurunan nilai hasil bumi Jawa. Jadi pada
1929 Hindia Belanda tidak semakmur yang terlihat.
Pada
tahun 1929 terdapat gagal panen yang besar. Kemudian terjadi krisis di bursa
saham Wall Street di New York, Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena
spekulasi para pialang dalam perdagangan saham
di bursa saham Wallstreet menyebabkan jatuhnya indeks kumulatif yang
menyeret harga saham hingga menurun tajam. Sebelum terjadi harga sahamyang
anjlok, saham-saham di Wall Street terus mengalami kenaikan dengan cepat hingga
rata-rata PER pada saham-saham di indeks Standar & Poor’s sempat mencapai
32,6 kali yang berarti sangat mahal. Kenaikan saham yang terlalu cepat tersebut
didorong oleh aksi sekuritas dan bank, yang memberikan pinjaman dalam jumlah
besar kepada investor dan trader untuk terus membeli saham, termasuk dengan
cara short selling. Ketika para pemegang saham sadar merasa harga saham terlalu
mahal maka langsung menjual saham untuk mendapat keuntungan, dan diikuti oleh
para pelaku pasar yang panik sehingga harga saham di Wall Street langsung
anjlok. Pada saat bursa saham anjlok tepat terjadi pada hari Selasa sehingga
sering disebut The Black Tuesday.
Perekonomian Amerika Serikat sehingga merasakan imbasnya. Kegiatan ekonomi
menjadi mengalami penurunan, harga barang turun dan banyak terjadi
pemberhentian hubungan kerja di mana-mana.
Kejatuhan
perekonomian Amerika Serikat itu mempengaruhi perekonomian internasional .
perdagangan duni a menjadi lesu yang memukul negara-negara produsen , terutama
komoditas pertanian dan perkebunan. Krisis global itu berkaitan dengan
beberaapa proses perkembangan ekonomi yang tidak saling terduga saling
berkovergensi pada tahun 1929. “Faktor-faktor penyebab antara lain mekanisme
pertanian di negara maju yang menimbulkan pengangguran, mempertahankan nilai
tinggi roduk pertanian, khususnya terigu rasonaisasi dalam industri khususnya
di Amerika Serikat, dan sebagai pemicunya adalah spekulasi saham di Wall Street
New York dan bursa di London”
(Poesponegoro, 2010:252).
Saat
Krisis tersebut penetrasi Jepang sangat mempengaruhi Ekonomi Dunia yang membuat
Eropa dan Amerika kelabakan. Dalam Krisis tersebut banyak barang-barang impor
jepang yang menyerbu pasar Eropa untuk kualitas superior terutama pada
tahun-tahun 1930-1931. Jepang bukan hanya memasok barang yang berharga murah
daripada pemanufaktur Eropa namun juga memperhatikan kebutuhan pasar dan selera
pasar. Invasi ekspor Jepang diarahkan pada produk Inggris, sehingga Belanda merasa
aman. Pengimpor Eropa memproteksi dengan menolak memperdagangkan barang dagang
dari Jepang. Namun pihak Belanda mengimpor kapas Jepang atau tidak mengimpor
apapun. Pada tahun 1930 saat mulai depresi ekonomi Jepang adalah sumber utama
keramik, kaca, semen dan kayu dan menguasai separo perdagangan terutama keramik
dan semen.
Menurut
Furnivall (2009:455) menyatakan sebagai berikut.
...
Tahun 1932 setelah jatuhnya Yen Jepang maju
ke depan ‘bola lampu, besi lembaran, pipa besi tuang, atap besi berlapis seng,
kawat, paku kawat, kabel listrik, akumulator, sepeda dan onderdil, bir pengawet
kan, gula-gula sabun, sabun, soda kaustik, resin, semen, superfosfat, kotak
tripleks, tegel dinding, kaca jendela, kertas, pecah-belah, gerabah,
pernak-pernik, barang besi kecil, ban sepeda, dan karbid’, dan pada tahun 1934
‘praktis tidak mungkin menyebut menyebut katerogi barang mana pun di mana
industri Eropa dan Amerika bisa bersaing dengan Jepang’.
2.2 Keadaan Ekonomi
Masyrakat Indonesia (Hindia Belanda) pada saat Depresi tahun 1930.
Akibat
lansung yang dirasakan masyarakat Indonesia adalah kehilangan usaha, pendapatan
dan pendapatan. Petani di desa kehilangan penghasilan ketika hasil pertanian
mereka tidak dapat di jual. Reaksi terhadap krisis adalah bahwa petani hendak
mengurangi ketergantungan pada impor beras karena telah menurunnya atau
kehilangan daya beli, dan menggantikan panen tanaman komersial dengan
meningkatkan usaha menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sendiri. Jika para petai meakukan penanaman sejumlah tanaman para petani
memilih menananm tanaman yang harganya relatif tidak berubah. Selain itu para
petani akan berusaha mengurangi biaya produksi untuk meningkatkan keuntungan mereka.
Penurunan upah buruh langsung di rasakan oleh buruh Industri.
Upah
di pabrik gula sebelum setelah krisis (Poesponegoro, 2010:256)
No
|
Pembayaran
|
Sebelum Krisis
|
Tahun Krisis
|
1.
2.
3.
|
Upah
Maandor per bulan
Kuli
di kebun (per hari)
Kuli
harian di pabrik (per hari)
|
18
gulden
40-45
sen gulden
25-35
sen gulden
|
7,50
gulden
10-14
sen gulden
10
sen gulden
|
Fluktuasi
harga tadinya menjadi fenomena umum, tetapi kini harga untuk seluruh ekspor
utama indonesia turun secara bersamaan dan menimbulkan bencana. Karena ekspor
turun maka impor harus di kurangi termasuk bahan makanan. Pendapatan pemerintah
Hindia Belanda yang sebagian besar
diperoleh dari retribusi dan pajak terhadap pendapatan dan pengeluaran. Maka,
Batavia sekarang menghadapi krisis pendapatan. Menurut Rickleft (2010:401)
“Pajak tanah yang dibayarkan terutama oleh rakyat Indonesia juga turun, tetapi
tak secepat harga beras, produk pertanian terbesar, sehingga beban pajak riil
bagi rakyat Indonesia naik”.
Angka
Indeks Impor dan Ekspor (1925=100)
Tahun
|
Ekspor
|
Impor
|
1925
1929
1930
1931
1932
1933
1934
|
100
460
30
21
18
18,5
20
|
100
88
80
61
51
44
43
|
Keadaan
jumlah pengangguran yang terdaftar pada masa-masa 1931-1936, per kelompok warga
di perkotaan Pulau Jawa.
No
|
Tahun
|
Eropa
|
Indonesia
|
Cina
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
|
Januari
1931
November
1931
1932
1933
1934
1935
1936
|
1.882
2.042
3.095
3.575
3.829
4.801
5.709
|
3.224
5.696
8.018
9.851
11.671
12.942
17.663
|
Tidak
tercatat
Tidak
tercatat
743
930
1.205
1.104
1.109
|
Pada
tahun 1930 ari jumlah 12.898 pekerja Indonesia yang mencari pekerjaan pada
Kantor Perburuan (Kantoor van Arbeid).
No
|
Pekerjaan
|
Jumlah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Pegawai
rendahan, pengetik, dan pencatat
Pelayan
rumah tangga
Pengangkat
barang (portir)
Seniman
Supir
dan ahli Listrik
Mandor
Penjaga
|
3.837
(126 perempuan)
1.622
(640 perempuan)
1.640
796
1.585
1.133
(2 perempuan)
|
Sensus
penduduk tahu 1930 memperliatkan 30%
dari angkatan kerja di Pulau Jawa
sebesar 20.279.642 tinggal di pedesaan dan bekerja di lapangan
pertanian, yang menghasilkan pangan untuk konsumsi sendiri dan untuk barter. Di
samping perekonomian yang dikuasai asing di satu pihak dan perekonomian desa di
lain pihak, ada kelas menengah yang terdiri atas pengusaha pertanian luar di
Jawa, pedagang eceran, pengusaha swasta, pegawai bergaji tetap,dan penyedia
jasa perorangan yang menjadi peratara
dalam dua sektor tersebut.
Beberapa
kota di Indonesia yang merupakan sentra Ekonomi mengalami krisis cukup Parah
misal Jogjakarta. Di Jogyakarta banyak perkebunan tebu dan pabrik gula yang
sudah beroperasi bertahun-tahun, selain itu di Jogyakarta juga banyak uasaha
pembuatan batik, kerajinan perak, dan kerajinan anyaman bambu. Namun saat
terjadi depresi perusahaan perkebunan menjadi lesu, perusahaan perkebunan
menanggapi penurunan dengan pengurangan dan penghematan di bidang produksi dan
pengualaran. Luas penanaman tebu dari 17.594 hekatare menyusut menjadi 13.697
hektare tahun 1931, dan terus menyusut dari hingga 6.449 hektar tahun 1932
menjadi 1.110 hektare tahun 1933. Setelah masa depresipun lahan penanaman tebu
meningkat namun luas penanaman tidak mencapai setengah keseluruhannya pada saat
masa sebelum depresi ekonomi. “Lahan-lahan yang di telantarkan itu di
kembalikan pada kesultanan dan pakualaman, yang mencapai 5000 hektare”
(Poesponegoro, 2010:258)
Dampak
Sumatra Timur banyak sektor ekspor yang hancur terutama hasil perkebunan
seperti teh, karet, kopra dan tembakau karena kemerosotan harga dan permintaan.
Karena depresi terjadi pengurangan kuli 80% sejumlah 335.000 tahun 1930 dan
pengurangan pegawai administrasi dan pengawas sebanyak 42%. “Amandemen Blaine
dari Kongres Amerika Serikat pada tahun 1929 dan berlaku tanggal 1 Juni 1932,
mengakibatkan pemulangan kuli secara besar-besaran ke Pulau Jawa” (poesponegoro, 2010:259).
Di
Surabaya khir tahun 1930 industri logam memperhentikan 1.073 pekerjanya dan
industri lain 1.350 pekeja. Penghematan pengeluaran dengan melakukan
pennggatian pegawai, pegawai yang lama bekerja dan bergaji tinggi diganti pegawai
muda dengan mau di bayar dengan gaji rendah. Tahun 1931 perusahaan kereta api
Belanda melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pegawai dan buruh. Tindakan
serupa juga dilakukan oleh penggadaian dengan memecat pegawainya dari tahun
1931 sampai 1934 dengan jumlah keseluruhan 2.158 orang dengan memperoleh uang
tunggu sebesar 60 sen gulden. Banyak masyarakat yang berkemampuan lebih memilih
bekerja di bawah tingkat kualitas mereka dengan gaji rendah. Perusahaan rokok
asing Bristish Tobacco Co di Surabaya emecat hampir 2000 pegawainya. Sebagian
pegawai pulang ke kampung halaman masing-masing dan mencari pekerjaan sebagai
pemotongan padi dan tebu. Walau belum tentu di tempat asal mereka mendapat
pekerjaan, pemenuhan kebutuhan untuk menyambung hidup tidak sulit untuk
diperoleh dengan bantuan kerabat dan keluarga.
Di
Cirebon yang merupakan pelabuhan impor ekspor sejak tahun 1859. Tahun 1930
jumlah komoditi gula yang akan di ekspor terus mengalami penurunan. Di Cirebon
terdapat Gula di Sinanglaut, Ciledug, dan Kersana upah buruh pada tahun-tahun
depresi tahun 1920 25-35 sen per hari.
Tahun 1932 upah buruh pria 18-20 sen perhari dan wanita 15 sen per hari. Tahun
1935-1936 menjadi 12-15 sen untuk buruh pria dan 7-8 sen untuk buruh wanita. Untuk memenuhi kebutuhan
menurut Wahid (2009: 114) “Puluhan ribu penduduk bermigrasi ke Kuningan untuk
mengumpulkan sampah pabrik-pabrik singkong dan umbi-umbi jalar”. Untuk memenuhi
pangan sehari-hari mereka mencampur nasi dengan akar pisang dan pepaya tak
jarang banyak masyarakat yang keracunan karena memakan buah busuk.
Di
daerah luar Jawa petani karet sulit untuk perpindah ke tanaman ekspor lainnya.
Hal ini disebabkan harga fluktuatif yang berkaitan dengan produksi. Petani
kopra lebih stabil dengan adanya kontra kopra yang menjamin harga dan pasokan,
walau peran pedagang perantara Cina sangat kuat. Di Minahasa juga mengalami kemerosotan
sehingga petani-petani kecil membutuhkan pekerja-pekerja kontrak yang murah dan
memotong pengeluaran untuk keperluan yang tidak perlu.
Industri
minyak bumi untuk ekspor hanya sedikit terganggu krisis. Industri yang pada
modal dalam proses eksploitasinya baik muaai awal penemuan sumber pengeboran,
penyulingan, dan penyebaran di kuasai modal raksasa asing dan pemerintah. Namun
akibat krisis memaksa memperlakukan pengurangan tenaga kerja sekitar 3.300
pekerja di pengeboran BPM Sumatra Utara.
Selain BPM Sumatra Utara kilang minyak di Plaju, Muara Enim, Muri Hilir,
pengeboran NIAM dari Jambi, kilang minyak Standard Oil di sungai Gerong dan beberapa kilang minyak di
Kalimantan kilang minyak Kutai, kilang minyak Sungai Mahakam dan Balikpapan
mengalami hal yang serupa yaitu pengurangan jumlah tenaga kerja hampir separo
dari keseluruhan.
Pemasukan
dan Pengeluaran Pemerintah Hindia Belanda
Tahun
|
Pemasukan
|
Pengeluaran
|
1929
1930
1031
|
f 8407
juta
f
739,8 juta
f
580,5 juta
|
f
832,2 juta
f
825,1 juta
f
735 juta
|
Keuangan
Negara Hindia Belanda mulai menurun drastis dari tahun 1929 yang tidak bisa
ditutupi dengan pengurangan pengeluaran. Namun pengeuaran hanya dilakukan
setengah hati sehingga pada awal tahun
1929-1930 hanya sedikit sekali pengurangannya. Sumber keuangan Hindia
Belanda sebagian besar dari pajak penghasilan dan konsumsi, perniagaan,
perusahaan, monopoli negara maka saat terjadi depresi ekonomi langsung
berdampak besar. Beberapa tahu terakhir pemerintah Hindia Belanda mendapatkan
dana untuk kepentingan pengeluaran dari pinjaman dan juga ada infliks besar
modal Eropa. Setelah krisis modal wasta tidak memberikan keuntungandan bunga
dari akun yang mengering. Namun pemerintah Hindia Belanda harus membayar bunga
atas modal yang dipinjam.
Katerogi
Utama Pemasukan Bersih, 1929-1931 (f.juta)
Tahun
|
1929
|
1930
|
1931
|
Pemajakan:
1. Pajak
tanah
Pajak
lain:
1. Penghasilan
dan keutungan
2. Konsumsi
3. Lalu
lintas
4. Lain-lain
Total
Pajak Lain
Monopoli
Produk
Industri
Lain-lain
Tota
Pemasukan Bersih
|
43,6
119,6
150,9
28,2
1,8
300,5
52,9
44,6
48,8
33,6
|
46,8
108,2
133.3
23,7
0,7
265,9
45,5
14,5
35,3
30,6
|
48,9
77,8
107,7
19,2
0.8
205,5
34,7
2,6
27,1
27,9
|
524,2
|
438,6
|
346,7
|
Dalam
sektor Pendidikan, kemerosotan itu tidak menghalangi kegiatan belajar-mengajar.
Tidak ada sekolah yang ditutup. Perkembangan yang tampak adalah pembukaan
sekolah-sekolah baru. Sebuah sekolah
teknik tingkat menengah membuka pengajaran yakni Prinses Juiana School yang
berbahasa Belanda tahun 1929. Sebuah pendidikan persiapan calon mahasiswa
perguruan tinggi dibuka pada tahun 1937, yaitu Hoge Burger School (HBS).
Sekolah yang milik Pribumi yaitu Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar
Dewantara tetap berkembang pesat. Dalam waktu singkatTaman Siswa telah mencapai
52 buah dengan jumlah murid 6500 orang. Tahun 1930 Jawa Tengah terdapat
sembilan. Perguruan Taman Siswa, yaitu Tegal, Pemalang, Slawi, Kroya, Magelang,
Godean, Pedan, Soerakarta. Dan di Jawa Tengah sendiri jumlah meningkat menjadi
42 cabang.
2.3
Langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda Mengatasi Depresi 1930
Reaksi pertama dari
pemerintah Hindia Belanda terhadap depresi ekonomi adalah pertama dengan
meningkatkan produksi pertanian sambil mengurangi pengeluaran biaya. Tapi
rupanya bahwa hasil bumi lokal
bagaimanapun murahnya tidak dapat dijual
karena produk luar tidak dapat di beli.
Dalam keadaan seperti perusahaan lokal beralih ke manufaktur dan
pemanufakturan asing membuka cabang di Hindia Belanda untuk penjualan
barang-barang yang tidak bisa lagi diimpor. Pada saat yang sama gerakan swadesi
merangsang manufaktur pribumi. Seperti usaha
Institut Teksil Pemerintah di
Bandung institut tersebut meningkatkan jumlah pertenunan pribumi dan banyak
pabrik kecil diikuti perkembangan
inustri lokal dan peningkatan tekniktukang kayu pribumi yang membuat perkakas
tenun, keduanya dipupuk oleh institut tersebut.
Pemerintah Hindia
Belanda melakukan pembatasan Industri . Peningkatan produksi pertanian dan
pembangunan produksi industrial. Tapi penetrasi Jepang membuktikan bahwa
langkah ekonomi tidak cukup dan bahwa campur tangan Negara diperlukan baik
untuk mempertahankan maupun merebu kembali pasar asing, dan untuk melindungi
industri baru.
Furnivall (2009:458) menyimpulkan bahwa
Ini sama sekali bertentangan dengan
tradisi Belanda sejak tahun 1870; mereka sangat yakin akan kewiraswastaan
individual serta persaingan bebas dan perdagangan bebas, dan mereka makin kuat
berpegangan pada pandangan itu ketika perusahaan karet (yang sebetulnya
sebagian besar Britania) mendapatkan keuntungan besar dengan menolak bergabung
dalam Skema Pembatasan Stevenson.
Untuk
sektor gula di adakan Rencana Chadbourne yang digunakan untuk pembatasan global
terhadap gula dan semakin banyak penguasaha yang melepaskan diri dari Seriakat
Podusen Gula (VJP). Semenjak bulan-bulan awal 1931 stok gula masih cukup besar
sehingga pemerintah kolonial berpikir ulang untuk campur tangan. Namun di China
Dan India Britania masing-masing meningkatkan beacukai per Januari dan Maret
tahu 1931, sehigga Hindia Belanda membalas dengan menerima rencana Chadborne.
Pada Mei Ordinasi Ekspor Gula melarang ekspor gula tanpa izin selama lima
tahun; diikuti Dekrit Ekspor Gula yang menentukan kuantitas total yang boleh
diekspor setiap tahunnya. Semakin banyak
yang meninggalkan Serikat Produsen Gula sehingga terbentuklah NIVAS satu
organisasi sentra yang harus dimasuki Produsen.
Restriksi
Timah juga diperdebatkan. Selain Pemerintah kontrol atas produksi timah
bergantung pada dua atau tiga korporasi besar sehingga mudah dilakukan pengaturan
daipada sektor gula. Hindia Belanda bergabung dengan Komite Timah Internasional
yang mengontrol 95% timah di dunia. Kemudian pemerintah Hindia Belanda
berkerjasama dengan Kartel Timah Internasional untuk menghabiskan stok timah
yang berlebih.
Untuk
produksi restriksi teh mulai di tinggalkan karena gagal pada tahun 1931, namun
mulai dipiirkan lagi karena Inggris menaikan bea teh. Pemerintah Hindia Belanda
melakukan peningkatan harga dan peningkatan prosentase. Retriksi atas Kina
semenjak diterapkan tahun 1933 memiliki hasil bagus. Dan hindia Belanda punya
monopoli atas produksi kina, walau kapasitas produksi potensial melampaui
konsumsi dunia sebesar 100 %, organisasi perkebunan berhasil mengatur agar
produksi tetap pada batas-batas yang menguntungkan. Untuk kapuk yang juga
dimonopoli Hindia Belanda perlu adanya regulasi, seperti peningkatan mutu
tanaman dan meregulasi perdagangan ekspor dan impor.
Untuk
produksi karetpun juga di batasi dengan perjanjian pembatasan karet harga karet
terus menerus menurun, jumlah espor karet di Indonesia mengalami penurunan dari
587 juta gulden tahun 1925 menjadi 34 juta gulden pada tahun 1932. “setelah
perundingan yang lama, akhirnya Perjanjian Pengaturan Karet Internasional mulai
berlaku pada pertengahan tahun 1934, dengan menurunkan produksi dari seluruh
negara penghasil karet alam di Asia Selatan dan Tenggara” (Booth,1988:267). Dan dalam restriksi Karet cukup berhasil walau
dilakukan dengan meningkatkan terus menerus bea karet.
Proteksi
Pasar dan Manufaktur. Sejak tahun 1931 karena tekanan keadaan, kebijakan laisser-faire tradisional sudah
disingkirkan dan sebagian besar produk ekspor utama Hindia Belanda sudah berada
di bawah kontrol. Poteksi dilakukan untuk melindungi pasar lokal dalam negeri
maupun juga pembangunan industrial baru, perlindungan pasar pertama-tama
diupayakan untuk produk pertanian. Jatuhnya harga padi di Siam, Burma dan
Indochina mengancam membanjirnya beras dipasaran dengan harga yang lebih rendah
dari harga yang didapat petani. Pembatasan impor beras ke Jawa dibatasi mulai
Maret 1933 dan di wilayah selain Jawa dan Bali disupplay dengan beras Jawa dan
Bali.
Restriksi
Impor Kedelai, Indonesia masa Hindia Belanda mengimpor kedelai dari Manchuria
sehingga pemerintah Hindia Belanda melarang impor kedelai kecuali dengan izin.
Hal ini dimaksudkan untuk melindungi industri-industri baru yang muncul,
khususnya juga untuk melawan masuknya barang Jepang setelah devaluasi yen.
Sistem kuota diberlakukan untuk mengupayakan pertukaran langsung barang antara
Hindia Belanda dan Holland, dan jagung di ekspor untuk ditukarkan dengan kain.
Jepang berusaha mengontrol perkapalan, impor, dan distribusi barangdari jepang
sehingga semua ekspor dan impor Hindia Belanda terancam oleh Jepang.
Pada
tahun 1935 Hindia Belanda melakukan langkah Perizinan Impor yang membuat
wewenang kepada pemerintah untuk membuat pengimpor barang disyaratkan memiliki
izin impor. Pada awal 1935 sistem diterapkan untuk berbagai macam impor misal
barang enamel, sepeda dan onderdil, perkakas makan, lampu minyak, sikt gigi dan
semua barag kapas. Perlindungan lebih jauh diberikan kepada produsen lokal
dengan Ordinansi Regulasi Industri tahun 1934, yang mensyaratkan izin resmi
untuk perluasan atau pendirian perusahaan. Dan kemudian di susul kebijakan
Ordinasi Ekspor Krisis dan Ordinasi culture krisis yang dimaksudkan untuk memungkinkan pembatasan sementara
terhadap ekspor produk kecil, terutama untuk mencegah kekurangan kebutuhan
hidup lokal. Sebenarnya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak
efektif dan tidak dapat mngentaskan masyarakat Indonesia dari krisis bahkan
sampai Jepang datang.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pada
saat Depresi Ekonomi tahun 1930 mengungkapkan bahwa hubungan antara kepentingan
perkebunan dan kepentingan pemerintah Hindia Belanda sangat erat. Pada saat
krisis tersebut semua sektor ekonomi terkena imbas terutama pertanian dan perkebunan. Banyak
lahan pertanian dan perkebunan yang mengalami penyusutan baik produlsinya
maupun lahannya sendiri. Di saat krisis tersebut perekonomian Jepang dilihat
dari ekspor menguasai pasar Internasional, sehingga negara-negara Eropa
bersaing secara ketat. Begitu juga dengan pemerintah Belanda yang di Indonesia yang sangat protektif
dengan produk impor dari Jepang. Masyarakat Indonesia mengalami dampaknya
seperti pengangguran dan penurunan upah buruh, banyak perusahaan serta
perkebunan yang memperhentiakn buruh untuk menghemat pengeluaran. Sektor
pendidikan sepertinya tidak terkena dampak karena pada saat utuah banyak
sekolah-sekolah pribumi tetap berkembang dengan pesat. Pemerintah Hindia
Belanda berupaya mengatasi dengan Pembatasan Produksi dan Proteksi Pasar &
Manufaktur walau tidak dapat mengembalikan perekonomian Indonesia (Hindia
Belanda) seperti sedia kala.
Daftar
Rujukan
Poesponegoro,
M.D. & Notosusanto, N. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia V (Soejono, R.P. & Leirissa R.Z). Jakarta: Balaipustaka.
Ricleft.
2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Wahid,
Abdul. 2009. Bertahan Di Tengah Krisis
Komunitas Tionghoa Dan Ekonomi Kota Cirebon Pada Masa Depresi Ekonomi,1930-1940. Yogyakarta: Ombak.
Furnivall.
J.F. 2009. Hindia Belanda Studi Tentang
Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom institut.
Booth, Anne & dkk.
1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta:
LP3 ES
Nazir. M. 2011. Metode Penelitian.
No comments:
Post a Comment