Songs

Sunday, December 8, 2013

Isma Wulandari

KONDISI EKONOMI INDONESIA (HINDIA BELANDA) PADA MASA DEPRESI EKONOMI TAHUN  1930
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Haryono, M.Pd. dan Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.


Oleh:

Isma Wulandari                                   110731435539

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta diatara dua benua yaitu benua Australia dan Asia. Selain memiliki wilayah laut yang luas ndonesia memiliki wilayah yang subur, rempah-rempah adalah komoditas utama dalam perdagangan. Karena harga rempah-rempah yang mahal di Eropa banyak negara-negara Eropa yang berusaha menguasai Indonesia, misal Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Belanda merupakan negara Eropa yang paling lama menjajah Indonesia yang pada waktu itu di sebut Hindia Belanda. Pemerintah Belanda membangun Indonesia sebagai basis ekonomi. Pertanian dan perkebunan di kembangkan pada masa Belanda karena tanah di Indonesia subur dan kaya Sumber Daya Alam. Selama Belanda menguasai Indonesia Belanda yang menguasai ekonomi Indonesia yang merugikan rakyat, bahkan Belanda menopoli perdagangan di Indonesia. Selama Belanda meguasai Indonesia produksi ekspor yang dari sektor perkebunan dan pertanian sangat produktif, sehingga menghasilkan keuntungan yang besar untuk Belanda sementara rakyat Indoesia hidup miskin. Namun perekonomian yang dibangun dengan kokoh akhirnya runtuh akibat Krisis tahun 1930 atau Depresi Ekonomi tahun 1930. Dalam krisis tersebut keuangan Hindia Belanda menjadi benar-benar jatuh serta tingkat produksi perkebunan turun dratis.
Bagaimana yang saat itu memonopoli pasar Internasional bisa mengalami kemunduran akibat krisis yang awalnya sendiri tidak terjadi di Hindia Belanda. Dengan alasan tersebut penulis mengambil judul “KONDISI EKONOMI INDONESIA (HINDIA BELANDA) PADA MASA DEPRESI EKONOMI TAHUN  1930” .
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana penyebab terjadinya Depresi Ekonomi 1930?
2.      Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Indonesia (Hindia Belanda) pada masa Depresi Ekonomi?
3.      Bagaimana langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda dalam mengatasi Depresi Ekonomi tahun 1930?
1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas penulis menentukan tujuannya sebagai berikut:
1.      Mengetahui penyebab terjadinya Depresi Ekonomi tahun 1930.
2.      Mengetahui kondisi ekonomi masyarakat Indonesia (Hindia Belanda) pada masa Depresi Ekonomi.
3.      Mengetahui langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda dalam mengatasi Depresi Ekonomi tahun 1930.
1.4  Metode
Metode yang digunakan penulis adalah Metode penelitian deskriptif adalah salah satu metode penelitan yang banyak digunakan pada penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu kejadian. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan Teknik Studi Pustaka karena topik yang diteliti merupakan kejadian mas lampau. “Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan”(Nazir, 2011: 111). Setelah iu penulis menggunakan metode heuristik untuk mencari sumber-sumber yang terpecaya. Kemudian dilakukan dengan Kritik Sumber untuk mendapatkan data-data yang autentik. Kemudia penulis menginterpretasi fakta-fakta berdasarkan sumber untuk mengetahui hubungan serta kaitan-kaitan antar fakta. Sehingga mampu menghasilkan Histeriografi diman afakta-fakta di interpretasikan dalam bentuk tulisan.



PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Depresi Ekonomi Tahun 1930
Tahun –tahun setelah pasca Perang Dunia I merupakan awal tahun-tahun kemakmuran. Di Eropa maupun Hindia Belanda mendapat keuntungan besar dari Skema Pembatasan Stevenson yang tidak diikuti oleh Belanda. Menurut Funival (2009:451), “masuknya pada tahun 1925 varietas baru tebu, POJ 2878, meningkatkan hasil dari 1,97 juta ton gula pada tahun 1926 menjadi 2,94 juta ton pada tahun 1928; diperkenalkannnya tanaman sela diperkebunan meningkatkan ekspor minyak kelapa dari 5,202 ton pada 1924 menjadi 21,515 ton pada 1927, dan serat dari 31.909 ton menjadi 46.500 ton”. Pada saat itu juga meningkatnya impor mobil yang menandakan banyak beberapa orang yang menjadi orang kaya baru. Dalam pemasukan keuangan Pemerintah Hindia Belanda mengalami peningkatan keuangan yang tahun 1923 sebesar f. 650 juta menjadi f.848 juta tahun 1929. Pengeluaran dari pemerintah Hindia Belanda juga mengalami kenaikan dari f. 666 juta pada tahun 1924 menjadi f.903 juta pada 1929.
Kemakmuran ini tidak berjalan lama karena tidak memiliki dasar yang kuat. Sementara produksi berkembang pasar menyusut ,khususnya untuk produk utama Jawa yaitu gula. Inggris sedang meningkatkan produksi gula bit berlipat-lipat, dan di Jepang produksi gula naik dari 3,6 juta kwintal pada tahun 1920-1921 menjadi 9,5 juta kwintal pada tahun 1928-1929. Sejak tahun 1926 harga-harga turun; gula dari f.17,14 per 100kg menjadi f.12,52 pada 1929, timah dari f.3.440 per ton menjadi f.2.400 per ton, dan harga karet turun dengan berakhirnya pembatasan Stevenson. Sementara itu, pinjaman yang dilakukan Pemerintah dengan tingkat bunga tetap masih harus dibayar, walaupun ada penurunan nilai hasil bumi Jawa. Jadi pada 1929 Hindia Belanda tidak semakmur yang terlihat.
Pada tahun 1929 terdapat gagal panen yang besar. Kemudian terjadi krisis di bursa saham Wall Street di New York, Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena spekulasi para pialang dalam perdagangan saham  di bursa saham Wallstreet menyebabkan jatuhnya indeks kumulatif yang menyeret harga saham hingga menurun tajam. Sebelum terjadi harga sahamyang anjlok, saham-saham di Wall Street terus mengalami kenaikan dengan cepat hingga rata-rata PER pada saham-saham di indeks Standar & Poor’s sempat mencapai 32,6 kali yang berarti sangat mahal. Kenaikan saham yang terlalu cepat tersebut didorong oleh aksi sekuritas dan bank, yang memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada investor dan trader untuk terus membeli saham, termasuk dengan cara short selling. Ketika para pemegang saham sadar merasa harga saham terlalu mahal maka langsung menjual saham untuk mendapat keuntungan, dan diikuti oleh para pelaku pasar yang panik sehingga harga saham di Wall Street langsung anjlok. Pada saat bursa saham anjlok tepat terjadi pada hari Selasa sehingga sering disebut  The Black Tuesday. Perekonomian Amerika Serikat sehingga merasakan imbasnya. Kegiatan ekonomi menjadi mengalami penurunan, harga barang turun dan banyak terjadi pemberhentian hubungan kerja di mana-mana.
Kejatuhan perekonomian Amerika Serikat itu mempengaruhi perekonomian internasional . perdagangan duni a menjadi lesu yang memukul negara-negara produsen , terutama komoditas pertanian dan perkebunan. Krisis global itu berkaitan dengan beberaapa proses perkembangan ekonomi yang tidak saling terduga saling berkovergensi pada tahun 1929. “Faktor-faktor penyebab antara lain mekanisme pertanian di negara maju yang menimbulkan pengangguran, mempertahankan nilai tinggi roduk pertanian, khususnya terigu rasonaisasi dalam industri khususnya di Amerika Serikat, dan sebagai pemicunya adalah spekulasi saham di Wall Street  New York dan bursa di London” (Poesponegoro, 2010:252).
Saat Krisis tersebut penetrasi Jepang sangat mempengaruhi Ekonomi Dunia yang membuat Eropa dan Amerika kelabakan. Dalam Krisis tersebut banyak barang-barang impor jepang yang menyerbu pasar Eropa untuk kualitas superior terutama pada tahun-tahun 1930-1931. Jepang bukan hanya memasok barang yang berharga murah daripada pemanufaktur Eropa namun juga memperhatikan kebutuhan pasar dan selera pasar. Invasi ekspor Jepang diarahkan pada produk Inggris, sehingga Belanda merasa aman. Pengimpor Eropa memproteksi dengan menolak memperdagangkan barang dagang dari Jepang. Namun pihak Belanda mengimpor kapas Jepang atau tidak mengimpor apapun. Pada tahun 1930 saat mulai depresi ekonomi Jepang adalah sumber utama keramik, kaca, semen dan kayu dan menguasai separo perdagangan terutama keramik dan semen.
Menurut Furnivall (2009:455) menyatakan sebagai berikut.
... Tahun 1932 setelah jatuhnya Yen Jepang  maju ke depan ‘bola lampu, besi lembaran, pipa besi tuang, atap besi berlapis seng, kawat, paku kawat, kabel listrik, akumulator, sepeda dan onderdil, bir pengawet kan, gula-gula sabun, sabun, soda kaustik, resin, semen, superfosfat, kotak tripleks, tegel dinding, kaca jendela, kertas, pecah-belah, gerabah, pernak-pernik, barang besi kecil, ban sepeda, dan karbid’, dan pada tahun 1934 ‘praktis tidak mungkin menyebut menyebut katerogi barang mana pun di mana industri Eropa dan Amerika bisa bersaing dengan Jepang’.
2.2 Keadaan Ekonomi Masyrakat Indonesia (Hindia Belanda) pada saat Depresi tahun 1930.
Akibat lansung yang dirasakan masyarakat Indonesia adalah kehilangan usaha, pendapatan dan pendapatan. Petani di desa kehilangan penghasilan ketika hasil pertanian mereka tidak dapat di jual. Reaksi terhadap krisis adalah bahwa petani hendak mengurangi ketergantungan pada impor beras karena telah menurunnya atau kehilangan daya beli, dan menggantikan panen tanaman komersial dengan meningkatkan usaha menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Jika para petai meakukan penanaman sejumlah tanaman para petani memilih menananm tanaman yang harganya relatif tidak berubah. Selain itu para petani  akan berusaha mengurangi biaya produksi  untuk meningkatkan keuntungan mereka. Penurunan upah buruh langsung di rasakan oleh buruh Industri.
Upah di pabrik gula sebelum setelah krisis (Poesponegoro, 2010:256)
No
Pembayaran
Sebelum Krisis
Tahun Krisis
1.
2.
3.
Upah Maandor per bulan
Kuli di kebun (per hari)
Kuli harian di pabrik (per hari)
18 gulden
40-45 sen gulden
25-35 sen gulden
7,50 gulden
10-14 sen gulden
10 sen gulden

Fluktuasi harga tadinya menjadi fenomena umum, tetapi kini harga untuk seluruh ekspor utama indonesia turun secara bersamaan dan menimbulkan bencana. Karena ekspor turun maka impor harus di kurangi termasuk bahan makanan. Pendapatan pemerintah Hindia Belanda  yang sebagian besar diperoleh dari retribusi dan pajak terhadap pendapatan dan pengeluaran. Maka, Batavia sekarang menghadapi krisis pendapatan. Menurut Rickleft (2010:401) “Pajak tanah yang dibayarkan terutama oleh rakyat Indonesia juga turun, tetapi tak secepat harga beras, produk pertanian terbesar, sehingga beban pajak riil bagi rakyat Indonesia naik”.
Angka Indeks Impor dan Ekspor (1925=100)
Tahun
Ekspor
Impor
1925
1929
1930
1931
1932
1933
1934
100
460
30
21
18
18,5
20
100
88
80
61
51
44
43

Keadaan jumlah pengangguran yang terdaftar pada masa-masa 1931-1936, per kelompok warga di perkotaan Pulau Jawa.
No
Tahun
Eropa
Indonesia
Cina
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Januari 1931
November 1931
1932
1933
1934
1935
1936
1.882
2.042
3.095
3.575
3.829
4.801
5.709
3.224
5.696
8.018
9.851
11.671
12.942
17.663
Tidak tercatat
Tidak tercatat
743
930
1.205
1.104
1.109

Pada tahun 1930 ari jumlah 12.898 pekerja Indonesia yang mencari pekerjaan pada Kantor Perburuan (Kantoor van Arbeid).
No
Pekerjaan
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pegawai rendahan, pengetik, dan pencatat
Pelayan rumah tangga
Pengangkat barang (portir)
Seniman
Supir dan ahli Listrik
Mandor Penjaga
3.837 (126 perempuan)
1.622 (640 perempuan)
1.640
796
1.585
1.133 (2 perempuan)

Sensus penduduk tahu  1930 memperliatkan 30% dari angkatan kerja di Pulau Jawa  sebesar 20.279.642 tinggal di pedesaan dan bekerja di lapangan pertanian, yang menghasilkan pangan untuk konsumsi sendiri dan untuk barter. Di samping perekonomian yang dikuasai asing di satu pihak dan perekonomian desa di lain pihak, ada kelas menengah yang terdiri atas pengusaha pertanian luar di Jawa, pedagang eceran, pengusaha swasta, pegawai bergaji tetap,dan penyedia jasa perorangan  yang menjadi peratara dalam dua sektor tersebut.
Beberapa kota di Indonesia yang merupakan sentra Ekonomi mengalami krisis cukup Parah misal Jogjakarta. Di Jogyakarta banyak perkebunan tebu dan pabrik gula yang sudah beroperasi bertahun-tahun, selain itu di Jogyakarta juga banyak uasaha pembuatan batik, kerajinan perak, dan kerajinan anyaman bambu. Namun saat terjadi depresi perusahaan perkebunan menjadi lesu, perusahaan perkebunan menanggapi penurunan dengan pengurangan dan penghematan di bidang produksi dan pengualaran. Luas penanaman tebu dari 17.594 hekatare menyusut menjadi 13.697 hektare tahun 1931, dan terus menyusut dari hingga 6.449 hektar tahun 1932 menjadi 1.110 hektare tahun 1933. Setelah masa depresipun lahan penanaman tebu meningkat namun luas penanaman tidak mencapai setengah keseluruhannya pada saat masa sebelum depresi ekonomi. “Lahan-lahan yang di telantarkan itu di kembalikan pada kesultanan dan pakualaman, yang mencapai 5000 hektare” (Poesponegoro, 2010:258)
Dampak Sumatra Timur banyak sektor ekspor yang hancur terutama hasil perkebunan seperti teh, karet, kopra dan tembakau karena kemerosotan harga dan permintaan. Karena depresi terjadi pengurangan kuli 80% sejumlah 335.000 tahun 1930 dan pengurangan pegawai administrasi dan pengawas sebanyak 42%. “Amandemen Blaine dari Kongres Amerika Serikat pada tahun 1929 dan berlaku tanggal 1 Juni 1932, mengakibatkan pemulangan kuli secara besar-besaran ke Pulau Jawa”  (poesponegoro, 2010:259).
Di Surabaya khir tahun 1930 industri logam memperhentikan 1.073 pekerjanya dan industri lain 1.350 pekeja. Penghematan pengeluaran dengan melakukan pennggatian pegawai, pegawai yang lama bekerja dan bergaji tinggi diganti pegawai muda dengan mau di bayar dengan gaji rendah. Tahun 1931 perusahaan kereta api Belanda melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pegawai dan buruh. Tindakan serupa juga dilakukan oleh penggadaian dengan memecat pegawainya dari tahun 1931 sampai 1934 dengan jumlah keseluruhan 2.158 orang dengan memperoleh uang tunggu sebesar 60 sen gulden. Banyak masyarakat yang berkemampuan lebih memilih bekerja di bawah tingkat kualitas mereka dengan gaji rendah. Perusahaan rokok asing Bristish Tobacco Co di Surabaya emecat hampir 2000 pegawainya. Sebagian pegawai pulang ke kampung halaman masing-masing dan mencari pekerjaan sebagai pemotongan padi dan tebu. Walau belum tentu di tempat asal mereka mendapat pekerjaan, pemenuhan kebutuhan untuk menyambung hidup tidak sulit untuk diperoleh dengan bantuan kerabat dan keluarga.
Di Cirebon yang merupakan pelabuhan impor ekspor sejak tahun 1859. Tahun 1930 jumlah komoditi gula yang akan di ekspor terus mengalami penurunan. Di Cirebon terdapat Gula di Sinanglaut, Ciledug, dan Kersana upah buruh pada tahun-tahun depresi   tahun 1920 25-35 sen per hari. Tahun 1932 upah buruh pria 18-20 sen perhari dan wanita 15 sen per hari. Tahun 1935-1936 menjadi 12-15 sen untuk buruh pria dan 7-8 sen untuk  buruh wanita. Untuk memenuhi kebutuhan menurut Wahid (2009: 114) “Puluhan ribu penduduk bermigrasi ke Kuningan untuk mengumpulkan sampah pabrik-pabrik singkong dan umbi-umbi jalar”. Untuk memenuhi pangan sehari-hari mereka mencampur nasi dengan akar pisang dan pepaya tak jarang banyak masyarakat yang keracunan karena memakan buah busuk.
Di daerah luar Jawa petani karet sulit untuk perpindah ke tanaman ekspor lainnya. Hal ini disebabkan harga fluktuatif yang berkaitan dengan produksi. Petani kopra lebih stabil dengan adanya kontra kopra yang menjamin harga dan pasokan, walau peran pedagang perantara Cina sangat kuat. Di Minahasa juga mengalami kemerosotan sehingga petani-petani kecil membutuhkan pekerja-pekerja kontrak yang murah dan memotong pengeluaran untuk keperluan yang tidak perlu.
Industri minyak bumi untuk ekspor hanya sedikit terganggu krisis. Industri yang pada modal dalam proses eksploitasinya baik muaai awal penemuan sumber pengeboran, penyulingan, dan penyebaran di kuasai modal raksasa asing dan pemerintah. Namun akibat krisis memaksa memperlakukan pengurangan tenaga kerja sekitar 3.300 pekerja di pengeboran BPM Sumatra Utara.  Selain BPM Sumatra Utara kilang minyak di Plaju, Muara Enim, Muri Hilir, pengeboran NIAM dari Jambi, kilang minyak Standard Oil di sungai  Gerong dan beberapa kilang minyak di Kalimantan kilang minyak Kutai, kilang minyak Sungai Mahakam dan Balikpapan mengalami hal yang serupa yaitu pengurangan jumlah tenaga kerja hampir separo dari keseluruhan.
Pemasukan dan Pengeluaran Pemerintah Hindia Belanda
Tahun
Pemasukan
Pengeluaran
1929
1930
1031
f  8407  juta
f 739,8  juta
f 580,5 juta
f 832,2 juta
f 825,1 juta
f 735 juta

Keuangan Negara Hindia Belanda mulai menurun drastis dari tahun 1929 yang tidak bisa ditutupi dengan pengurangan pengeluaran. Namun pengeuaran hanya dilakukan setengah hati sehingga pada awal tahun  1929-1930 hanya sedikit sekali pengurangannya. Sumber keuangan Hindia Belanda sebagian besar dari pajak penghasilan dan konsumsi, perniagaan, perusahaan, monopoli negara maka saat terjadi depresi ekonomi langsung berdampak besar. Beberapa tahu terakhir pemerintah Hindia Belanda mendapatkan dana untuk kepentingan pengeluaran dari pinjaman dan juga ada infliks besar modal Eropa. Setelah krisis modal wasta tidak memberikan keuntungandan bunga dari akun yang mengering. Namun pemerintah Hindia Belanda harus membayar bunga atas modal yang dipinjam.
Katerogi Utama Pemasukan Bersih, 1929-1931 (f.juta)
Tahun
1929
1930
1931
Pemajakan:
1.      Pajak tanah
Pajak lain:
1.      Penghasilan dan keutungan
2.      Konsumsi
3.      Lalu lintas
4.      Lain-lain
Total Pajak Lain
Monopoli
Produk
Industri
Lain-lain
Tota Pemasukan Bersih

           43,6

119,6
150,9
   28,2
     1,8
         300,5
           52,9
           44,6
           48,8
           33,6

             46,8

108,2
133.3
   23,7
     0,7
           265,9
             45,5
             14,5
             35,3
             30,6

            48,9

  77,8
107,7
   19,2
     0.8
          205,5
            34,7
              2,6
            27,1
            27,9
         524,2
           438,6
          346,7

Dalam sektor Pendidikan, kemerosotan itu tidak menghalangi kegiatan belajar-mengajar. Tidak ada sekolah yang ditutup. Perkembangan yang tampak adalah pembukaan sekolah-sekolah  baru. Sebuah sekolah teknik tingkat menengah membuka pengajaran yakni Prinses Juiana School yang berbahasa Belanda tahun 1929. Sebuah pendidikan persiapan calon mahasiswa perguruan tinggi dibuka pada tahun 1937, yaitu Hoge Burger School (HBS). Sekolah yang milik Pribumi yaitu Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara tetap berkembang pesat. Dalam waktu singkatTaman Siswa telah mencapai 52 buah dengan jumlah murid 6500 orang. Tahun 1930 Jawa Tengah terdapat sembilan. Perguruan Taman Siswa, yaitu Tegal, Pemalang, Slawi, Kroya, Magelang, Godean, Pedan, Soerakarta. Dan di Jawa Tengah sendiri jumlah meningkat menjadi 42 cabang.
2.3 Langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda Mengatasi Depresi 1930
Reaksi pertama dari pemerintah Hindia Belanda terhadap depresi ekonomi adalah pertama dengan meningkatkan produksi pertanian sambil mengurangi pengeluaran biaya. Tapi rupanya bahwa hasil bumi  lokal bagaimanapun murahnya tidak dapat dijual  karena produk luar tidak dapat di beli.  Dalam keadaan seperti perusahaan lokal beralih ke manufaktur dan pemanufakturan asing membuka cabang di Hindia Belanda untuk penjualan barang-barang yang tidak bisa lagi diimpor. Pada saat yang sama gerakan swadesi merangsang manufaktur pribumi. Seperti usaha  Institut Teksil  Pemerintah di Bandung institut tersebut meningkatkan jumlah pertenunan pribumi dan banyak pabrik kecil  diikuti perkembangan inustri lokal dan peningkatan tekniktukang kayu pribumi yang membuat perkakas tenun, keduanya dipupuk oleh institut tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan Industri . Peningkatan produksi pertanian dan pembangunan produksi industrial. Tapi penetrasi Jepang membuktikan bahwa langkah ekonomi tidak cukup dan bahwa campur tangan Negara diperlukan baik untuk mempertahankan maupun merebu kembali pasar asing, dan untuk melindungi industri baru.
 Furnivall (2009:458) menyimpulkan bahwa
Ini sama sekali bertentangan dengan tradisi Belanda sejak tahun 1870; mereka sangat yakin akan kewiraswastaan individual serta persaingan bebas dan perdagangan bebas, dan mereka makin kuat berpegangan pada pandangan itu ketika perusahaan karet (yang sebetulnya sebagian besar Britania) mendapatkan keuntungan besar dengan menolak bergabung dalam Skema Pembatasan Stevenson.
Untuk sektor gula di adakan Rencana Chadbourne yang digunakan untuk pembatasan global terhadap gula dan semakin banyak penguasaha yang melepaskan diri dari Seriakat Podusen Gula (VJP). Semenjak bulan-bulan awal 1931 stok gula masih cukup besar sehingga pemerintah kolonial berpikir ulang untuk campur tangan. Namun di China Dan India Britania masing-masing meningkatkan beacukai per Januari dan Maret tahu 1931, sehigga Hindia Belanda membalas dengan menerima rencana Chadborne. Pada Mei Ordinasi Ekspor Gula melarang ekspor gula tanpa izin selama lima tahun; diikuti Dekrit Ekspor Gula yang menentukan kuantitas total yang boleh diekspor setiap tahunnya.  Semakin banyak yang meninggalkan Serikat Produsen Gula sehingga terbentuklah NIVAS satu organisasi sentra yang harus dimasuki Produsen.
Restriksi Timah juga diperdebatkan. Selain Pemerintah kontrol atas produksi timah bergantung pada dua atau tiga korporasi besar sehingga mudah dilakukan pengaturan daipada sektor gula. Hindia Belanda bergabung dengan Komite Timah Internasional yang mengontrol 95% timah di dunia. Kemudian pemerintah Hindia Belanda berkerjasama dengan Kartel Timah Internasional untuk menghabiskan stok timah yang berlebih.
Untuk produksi restriksi teh mulai di tinggalkan karena gagal pada tahun 1931, namun mulai dipiirkan lagi karena Inggris menaikan bea teh. Pemerintah Hindia Belanda melakukan peningkatan harga dan peningkatan prosentase. Retriksi atas Kina semenjak diterapkan tahun 1933 memiliki hasil bagus. Dan hindia Belanda punya monopoli atas produksi kina, walau kapasitas produksi potensial melampaui konsumsi dunia sebesar 100 %, organisasi perkebunan berhasil mengatur agar produksi tetap pada batas-batas yang menguntungkan. Untuk kapuk yang juga dimonopoli Hindia Belanda perlu adanya regulasi, seperti peningkatan mutu tanaman dan meregulasi perdagangan ekspor dan impor.
Untuk produksi karetpun juga di batasi dengan perjanjian pembatasan karet harga karet terus menerus menurun, jumlah espor karet di Indonesia mengalami penurunan dari 587 juta gulden tahun 1925 menjadi 34 juta gulden pada tahun 1932. “setelah perundingan yang lama, akhirnya Perjanjian Pengaturan Karet Internasional mulai berlaku pada pertengahan tahun 1934, dengan menurunkan produksi dari seluruh negara penghasil karet alam di Asia Selatan dan Tenggara” (Booth,1988:267).  Dan dalam restriksi Karet cukup berhasil walau dilakukan dengan meningkatkan terus menerus bea karet.
Proteksi Pasar dan Manufaktur. Sejak tahun 1931 karena tekanan keadaan, kebijakan laisser-faire tradisional sudah disingkirkan dan sebagian besar produk ekspor utama Hindia Belanda sudah berada di bawah kontrol. Poteksi dilakukan untuk melindungi pasar lokal dalam negeri maupun juga pembangunan industrial baru, perlindungan pasar pertama-tama diupayakan untuk produk pertanian. Jatuhnya harga padi di Siam, Burma dan Indochina mengancam membanjirnya beras dipasaran dengan harga yang lebih rendah dari harga yang didapat petani. Pembatasan impor beras ke Jawa dibatasi mulai Maret 1933 dan di wilayah selain Jawa dan Bali disupplay dengan beras Jawa dan Bali.
Restriksi Impor Kedelai, Indonesia masa Hindia Belanda mengimpor kedelai dari Manchuria sehingga pemerintah Hindia Belanda melarang impor kedelai kecuali dengan izin. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi industri-industri baru yang muncul, khususnya juga untuk melawan masuknya barang Jepang setelah devaluasi yen. Sistem kuota diberlakukan untuk mengupayakan pertukaran langsung barang antara Hindia Belanda dan Holland, dan jagung di ekspor untuk ditukarkan dengan kain. Jepang berusaha mengontrol perkapalan, impor, dan distribusi barangdari jepang sehingga semua ekspor dan impor Hindia Belanda terancam oleh Jepang.
Pada tahun 1935 Hindia Belanda melakukan langkah Perizinan Impor yang membuat wewenang kepada pemerintah untuk membuat pengimpor barang disyaratkan memiliki izin impor. Pada awal 1935 sistem diterapkan untuk berbagai macam impor misal barang enamel, sepeda dan onderdil, perkakas makan, lampu minyak, sikt gigi dan semua barag kapas. Perlindungan lebih jauh diberikan kepada produsen lokal dengan Ordinansi Regulasi Industri tahun 1934, yang mensyaratkan izin resmi untuk perluasan atau pendirian perusahaan. Dan kemudian di susul kebijakan Ordinasi Ekspor Krisis dan Ordinasi culture krisis yang dimaksudkan  untuk memungkinkan pembatasan sementara terhadap ekspor produk kecil, terutama untuk mencegah kekurangan kebutuhan hidup lokal. Sebenarnya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak efektif dan tidak dapat mngentaskan masyarakat Indonesia dari krisis bahkan sampai Jepang datang.











PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada saat Depresi Ekonomi tahun 1930 mengungkapkan bahwa hubungan antara kepentingan perkebunan dan kepentingan pemerintah Hindia Belanda sangat erat. Pada saat krisis tersebut semua sektor ekonomi terkena imbas  terutama pertanian dan perkebunan. Banyak lahan pertanian dan perkebunan yang mengalami penyusutan baik produlsinya maupun lahannya sendiri. Di saat krisis tersebut perekonomian Jepang dilihat dari ekspor menguasai pasar Internasional, sehingga negara-negara Eropa bersaing secara ketat. Begitu juga dengan pemerintah Belanda  yang di Indonesia yang sangat protektif dengan produk impor dari Jepang. Masyarakat Indonesia mengalami dampaknya seperti pengangguran dan penurunan upah buruh, banyak perusahaan serta perkebunan yang memperhentiakn buruh untuk menghemat pengeluaran. Sektor pendidikan sepertinya tidak terkena dampak karena pada saat utuah banyak sekolah-sekolah pribumi tetap berkembang dengan pesat. Pemerintah Hindia Belanda berupaya mengatasi dengan Pembatasan Produksi dan Proteksi Pasar & Manufaktur walau tidak dapat mengembalikan perekonomian Indonesia (Hindia Belanda) seperti sedia kala.









Daftar Rujukan
Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V (Soejono, R.P. & Leirissa R.Z). Jakarta: Balaipustaka.
Ricleft. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Wahid, Abdul. 2009. Bertahan Di Tengah Krisis Komunitas Tionghoa Dan Ekonomi Kota Cirebon Pada Masa Depresi Ekonomi,1930-1940. Yogyakarta: Ombak.
Furnivall. J.F. 2009. Hindia Belanda Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom institut.
Booth, Anne & dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3 ES
Nazir. M. 2011. Metode Penelitian. 

No comments:

Post a Comment