Korupsi di Indonesia pada Masa Orde Baru Hingga Masa
Reformasi Tahun 1965-2004
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
Yang dibina oleh Bapak
Prof.Dr.Hariyono,M. Pd / Ibu Indah W.P. Utami,S.pd,M. Hum
AHMAD DANIS FATHURRAHMAN
110731435557
I.
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Masa Orde Baru dan Masa Reformasi bisa dikatakan
sebagai masa yang sangat krusial bagi perjalanan bangsa Indonesia. Kedua masa
ini merupakan masa dimana pondasi-pondasi demokrasi sedang dirangkai dan masih
sangat rapuh. Kedua masa ini juga bisa dikatakan sebagai masa dimana masyarakat
Indonesia mulai mengenal bagaimana negaranya. Dikedua masa inilah upaya-upaya
pengembangan kehidupan bernegara sedang berjalan. Upaya-upaya inilah yang
kadang juga dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Belum
sempurnanya birokrasi dan sistem pemerintahan menjadikan Indonesia sangat
rentan dengan adanya musuh dalam selimut. Hal ini sangat jelas terlihat ketika
di kedua masa ini ada usaha untuk memerangi korupsi tapi disisi lain korupsi
pun juga semakin marak.
Jika kita membicarakan korupsi mungkin tidak lepas
dari perilaku negatif manusia yang saling menyengsarakan sesamanya. Masalah
korupsi barangkali telah sama seajaranya dengan sejarah manusia itu sendiri.
Namun korupsi dalam bentuk dan ruang lingkupnya seperti sekarang ini dengan
bentuk rupa dan cara yang kita hadapi sekarang ini mungkin belum pernah ada
dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Korupsi sekarang ini dapat menjatuhkan
sebuah rezim dan bahkan juga dapat menyengsarakan suatu bangsa.
Korupsi memang dikatakan sudah membudaya sejak dulu,
sebelum dan sesudah kemerdekaan. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk
memberantas korupsi, tetapi hasilnya masih belum belum yang diharapkan.
Sejarawan Indonesia pada umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada
sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang
dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda maupun
pemerintah Hindia Belanda sendiri.
Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah
politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi
itu, khususnya dalam budaya korupsi yang sudah mendarah daging mampu
mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu
lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola
pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan
perilaku curang, amoral, dan oportunis yang menimbulkan tragedi yang besar
dalam bangsa ini.
Dalam makalah ini saya selaku penulis ingin membahas
bagaimana fenomena korupsi di Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia dari era
orde baru sampai era reformasi. Fenomena korupsi di Indonesia ini menurut saya
topik yang menarik untuk dibahas karena perilaku manusia ini sangat
bertentangan dengan segala nilai luhur yang dimiliki manusia itu sendiri. Kita
dapat melihat dampak nyata dari korupsi ini seperti kemiskinan yang melanda
negara ini selama bertahun-tahun. Pemerintah hendaknya lebih tegas dan serius
dalam menangani permasalahan ini karena akan sangat merugikan negara itu
sendiri dan rakyat yang akan menerima dampaknya menjadi semakin menderita atas
ulah oknum yang melakukan korupsi ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
budaya korupsi yang berlangsung di Indonesia?
2. Bagaimana
korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru di Indonesia?
3. Bagaimana
korupsi yang terjadi pada masa Reformasi di Indonesia?
1.3 Tujuan
Makalah
1. Untuk
mengetahui budaya korupsi yang ada di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui jalannya korupsi pada masa pemerintahan orde baru di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui korupsi di Indonesia pada masa Reformasi.
1.4 Metode
Penulisan
Penelitian
sejarah secara umum memiliki empat tahapan yang diantaranya adalah heuristik,
verifikasi, interpretasi dan historiografi.
a.
Heuristik
Heuristik merupakan langkah awal dalam
tahapan penelitian sejarah yakni usaha pengumpulan sumber atau data. Sumber
yang bisa digunakan dalam penelitian sejarah terdiri dari tiga macam yakni
sumber tertulis, sumber lisan dan artefak. Tetapi dalam kajian yang berjudul “Korupsi di Indonesia pada Masa Orde Baru
Hingga Masa Reformasi Tahun 1965-2004” hanya menggunakan sumber-sumber
tertulis. Kajian ini berbasis studi pustaka. Sumber tertulis biasanya didapat
dari buku, babad, majalah, laporan, jurnal, koran, arsip dan lainnya, seperti
pengumpulan buku-buku mengenai sejarah perekonomian di Indonesia.
b.
Verifikasi
Verifikasi merupakan tahapan kedua
setelah heuristik atau pengumppulan sumber atau data. Dalam verifikasi
dikenal dua tahapan lagi yakni kritik intern dan ekstern. Ini
untuk menguji otentisitas dan kreadibilitas dari sumber atau data yang sudah
diperoleh. Pada tahap verifikasi ini peneliti melakukan seleksi ulang terhadap
sumber yang telah diperoleh. Kritik ini dilakukan agar bisa memisahkan sumber
mana saja yang bisa dipakai dan yang disisihkan jika tidak digunakan.
c.
Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran merupakan
tahapan ketiga setelah tahapan verifikasi. Tahapan ini sering disebut sebagai
tempat seorang peneliti bisa menafsirkan atau memprediksikan apa saja makna
yang tersembunyi dari isi. Pada tahap interpretasi peneliti berupaya
menganalisis sumber tertulis, terutama dari buku. Fakta yang terdapat dalam
buku dianalisis secara mendalam dengan cara dibandingkan dengan fakta lain dalam
sumber buku lain untuk mendapat kesimpulan valid mengenai kajian Korupsi di
Indonesia pada Masa Orde Baru Hingga Masa Reformasi.
d.
Historiografi
Ini tahapan terakhir dimana merupakan
tahapan dalam penulisan kembali sejarah setelah data dan fakta terkumpul dan
telah melewati tahapan penelitian sejarah sebelumnya seperti heuristik,
verifikasi, dan interpretasi. Ini disusun berdasarkan kronologi kejadiannya.
Selain itu harus ada tiga unsur yang berhubungan yakni temporal/waktu,
spasial/tempat, dan aktivitas manusianya. Temporal/waktunya adalahpada masa
Orde Baru hingga Masa Reformasi 1956-2004, dengan bertempat di Indonesia dalam
kajian korupsiyang terjadi dan berbagai faktor yang ada disekitarnya.
II.
Pembahasan
2.1 Budaya
Korupsi di Indonesia
Korupsi telah menjadi fenomena budaya yang
keberadaannya terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat kita. Indikasi
yang muncul selain bisa dilihat dari tingginya nilai korupsi, juga dapat
dideteksi dari respon masyarakat terhadap fenomena tersebut dengan membiarkannya
tanpa ada mekanisme untuk mempertanyakan secara serius. Budaya korupsi yang
muncul dalam kehidupan masyarakat kita tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi
diciptakan oleh struktur yang dibangun oleh negara.
Dalam periode pemerintahan Orde Baru membangun
struktur dan format ekonomi politik secara birokratis dan cenderung otoriter.
Melalui hegemoni kekuasaannya negara menekankan tata nilai dan pola relasi
sosial yang tunduk terhadap aturan dan sistem yang diciptakannya. Akibatnya
tidak ada tatanan masyarakat yang tidak sesuai dengan tatanan yang diinginkan
negara. Membudayanya perilaku korupsi dan kolusi telah berjalan selama
bertahun-tahun menimbulkan kerawanan ekonomi yang begitu besar.
Kontribusi nyata yang ditimbulkan dari sistem yang
rapuh ini adalah tidak kuatnya fundamen mikro ekonomi kita, akibatnya kita
rasakan bersama bahwa diantara negara-negara dikawasan Asia mata uang kita mengalami
depresiasi paling besar (Prasetyantoko, 2001: 126 ).
Negara menciptakan tatanan yang
memungkinkan terjadi korupsi dan kolusi bukan tanpa tujuan. Para pemangku
pemerintahan (birokrat) sangat diuntungkan oleh budaya korupsi dan kolusi ini karena
bisa mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Aktualisasi kepentingan pribadi
melalui kekuasaan politik dalam bidang ekonomi telah menumbuhkan penguasaan aset
dan sumber daya ekonomi telah menumpuk pada bagian tertentu sehingga
memunculkan ketimpangan yang begitu mencolok diantara warga masyarakat.
Selain mendapat fasilitas, budaya korupsi memberikan
kekuatan sosial yang besar sehingga tidak muncul usaha dari masyarakat untuk
menggugat sistem tersebut, karena mereka berpartisipasi dalam pembagian
keuntungan secara menipulatif tersebut. Hanya keprihatinan sebagian kecil orang
saja yang akhirnya membuat sistem manipulatif ini kehilangan legitimasinya.
Perilaku korupsi dan manipulasi yang telah membudaya
sampai melibatkan wakil rakyat menjadi fenomena puncak yang harusnya menjadi
bahan refleksi semua pihak yang masih peduli dengan keadilan dan kejujuran.
Baagaimanapun krisis ekonomi yang menimpa perekonomian kita akhir-akhir ini
memberikan banyak pelajaran berharga serta dorongan yang kuat untuk memaksakan
agar sistem yang fair mulai diberlakukan di negara kita. Sudah tidak ada tempat
lagi bagi para pemburu ekonomi yang dari fasilitas Negara dengan melanggengkan
budaya korupsi dan kolusi yang jelas-jelas manipulatif ini( Prasetyantoko,
2001: 127 ).
2.2 Korupsi
yang Terjadi pada Masa Orde Baru
Perubahan sistem politik dari demokrasi terpimpin
menjadi demokrasi pancasila atau masa orde baru membawa perubahan pula pada
orientasi dan kebijakan pembangunan ekonomi. Program pembangunan nasional
dituangkan ke dalam suatu perencanaan bertahap, yakni pembangunan jangka
panjang 25 tahun dan pembangunan lima tahun (Pelita) (Lereissa, 2012: 99).
Program pembangunan yang sangat luar biasa pada masa pemerintahan orde baru ini
tidak disertai dengan birokrasi yang efisien sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai lahan subur untuk korupsi.
Pada pidato
kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967 Presiden Soeharto
menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga
segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi
isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.
Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, terdorong oleh
ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto,
mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi.
Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama
adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun komite ini hanya macan ompong karena
hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) yang tugasnya juga
memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak
lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang
cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode
atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Melonjaknya nilai laju inflasi sebesar lebih dari
empat kali lipat menggambarkan surutnya masa kejayaan rezim Orde Baru yang telah
sekian lama membangun reputasi dalam mengendalikan ekonomi makro melalui
inflasi satu digit. Kita tahu bahwa salah satu indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi rezim Orde Baru adalah kemampuannya mengendalikan inflasi
secara ketat. Surutnya citra kekuasaan yang dalam beberapa kasus di kawasan
Asia disertai dengan pergantian rezim kekuasaan menandai adanya dinamika
ekonomi dan politik yang tak mau saling mempengaruhi.
Dampak krisis ekonomi yang sudah berjalan pada masa
ini, benar-benar memukul beban hidup seluruh lapisan masyarakat. Secara umum
derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun drastis, sebaimana dapat
dilihat dari menurunnya GNP per kapita penduduk dari 1.055 dollar menjadi 463
dollar. Indikator lainnya adalah melonjaknya angka pengangguran yang mencapai
15,4 juta jiwa serta berlipatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 menjadi
79,4 juta jiwa.
Dalam suasana serba kesulitan tersebut peranan modal
asing menjadi prioritas, karena tidak ada lagi sumber pendapatan yang bisa
diharapkan untuk membiayai biaya operasional pembelanjaan Negara akibat
melonjaknya nilai tukar dan memburuknya kinerja ekonomi. Dari sisi internal
perekonomian mengalami defisit neraca pembayaran dan defisit anggaran yang
sama-sama parahnya. Dari sisi eksternal neraca transaksi berjalan dan neraca
modal juga mengalami kondisi yang sama kronisnya. Penyebabnya adalah menurunnya
aliran modal masuk terutama dalam bentuk penananam modal langsung(Prasetyantoko,
2001: 51).
Dalam hal ini pemerintah mengevaluasi orientasi pinjaman
tersebut untuk dijadikan instrument jangka pendek guna menopang usaha jaringan
penyelamatan. Artinya dana cair yang segera akan diterima oleh pemerintah
tersebut akan segera didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam wujud
progam-progam penyelamatan sosial. Birokrasi Negara kita terkenal sangat tidak
efisien sehingga melahirkan budaya korupsi yang begitu tinggi. Jika dilakukan
dalam perangkat birokrasi yang buruk seperti ini progam penyelamatan sosial
yang didanai oleh bantuan CGI tidak akan pernah sampai kepada masyarakat secara
proposional. Laporan PERC ( Political and Economic Risk Consultancy Ltd.
Menempatkan Indonesia dalam rangking pertama dalam daftar Negara yang tingkat
korupsinya paling tinggi di dunia. Dalam kasus kebocoran dana pinjaman
mensinyalir adanya konspirasi birokrasi yang menggerogoti aliran modal pinjaman
dari Bank Dunia( Singgih, 2002: 76 ).
Dengan maraknya kebocoran dalam skala besar dari
aliran dana pinjaman asing ini tidak mengherankan munculnya ketidak percayaan
masyarakat terhadap Negara sebagai institusi yang bertugas mendistribusikannya.
Ketidakpercayaan ini muncul beberapa skenario yang cenderung menegaskan peranan
negara dalam fungsi tersebut. Dengan menyadari situasi yang tidak menguntungkan
bukan saja dimata pihak asing, seharusnya pemerintah mulai menyadari beberapa
distorsi pembangunan terutama menyangkut efisiensi distribusi penyaluran dana
kepada masyarakat harus segera ditangani. Tanpa usaha yang serius untuk
membenahi tatanan birokrasi dari bayang-bayang korupsi, kredibilitas pemerintah
untuk mendapatkan pinjaman dana dari pihak asingakan menurun, baik dimata
masyarakat internasional maupun domestik(Jeffrey, 2001 : 87 ).
Dalam perkembangan situasi yang semakin sarat dengan
persoalan tersebut, dibutuhkan beberapa prasyarat agar pemerintah mampu menarik
perhatian pihak pemberi pinjaman. Dari pihak masyarakat penting memiliki peran
dalam mengkontrol mekanisme penggunaan dana pinjaman tersebut. Salah satunya
adalah melakukan tekanan untuk membongkar segala macam praktek korupsi yang
terjadi sehingga ada jaminan bahwa pemerintah memperhatikan persoalan tersebut
secara riil dan bukan janji politik saja(Prasetyantoko, 2001: 55).
2.3 Korupsi
yang Terjadi pada Masa Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi
lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit virus korupsi yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap Orde Lama serta melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru
Orde Baru semakin terindikasi korupsi juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum
pernah diamalkan secara benar.
Peninggalan masa orde baru yang juga menjadi lahan
subur untuk korupsi pada masa Reformasi adalah dalam bidang perdagangan
internasional. Potensi ekspor Indonesia yang cukup tinggi inlah yang
menggiurkan para oknum untuk memanfaatkan situasi unutk memperoleh keuntungan.
Potensi ekspor Indonesia tersebut dapat dilihat dari
perkembangan ekspor yang menunjukkan bahwa langkah-langkah deregulasi yang
dilaksanakan selama itu telah berhasil memperkuat ketahanan ekonomi nasional
yang semula menggantungkan diri pada perkebunan, kemudian beralih ke migas
kemudian ke setiap sektor yang potensi ekspornya cukup tinggi. Selain itu
terobosan-terobosan pemasaran komoditas perdaganan yang semula ke Eropa dan
Amerika Serikat, selanjutnya banyak diarahkan ke asia dan asia pasifik dengan
jarak transportasi yang relatif dekat dan dengan biaya yang lebih murah. Hal
ini diharapkan agar mampu menambah daya saing di pasar internasional (Soejono,
2010:590).
Terobosan-terobosan dan kemajuan yang diraih pada
masa orde baru inilah yang juga menarik minat oknum untuk memperoleh keuntungan
sendiri dengan memanfaatkan carut-marutnya keadaan politik di Indonesia pada
masa awal reformasi dan tidak efisiennya birokrasi.
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman. Selanjutnya Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres
di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, namun
di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak
itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap
sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung
upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di
luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam
kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat. Proses
pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur
diberhentikan Megawati pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai
kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari
pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara pada
masa pemerintahan Presiden Megawati.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan
kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas
kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh
aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya
Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih
baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat,
ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab
mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama
dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang
dari hati nurani rakyat. Gambaran korupsi seperti ini selalu terjadi disetiap
masa pemerintahan di Indonesia, bahkan hingga saat ini.
III.
Penutup
3.1 Kesimpulan
Korupsi memang dikatakan sudah membudaya sejak dulu,
sebelum dan sesudah kemerdekaan. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk
memberantas korupsi, tetapi hasilnya masih belum belum yang diharapkan.
Sejarawan Indonesia pada umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada
sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang
dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda maupun
pemerintah Hindia Belanda sendiri.
Korupsi telah menjadi fenomena
budaya yang keberadaannya terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat kita.
Indikasi yang muncul selain bisa dilihat dari tingginya nilai korupsi, juga
dapat dideteksi dari respon masyarakat terhadap fenomena tersebut dengan
membiarkannya tanpa ada mekanisme untuk mempertanyakan secara serius. Budaya
korupsi yang muncul dalam kehidupan masyarakat kita tidak terbentuk dengan
sendirinya tetapi diciptakan oleh struktur yang dibangun oleh negara.
Korupsi di Indonesia pada masa orde
baru lebih dilakukan oleh pihak-pihak elit yang berada dipusat karena sistem
pemerintahan orde bagu yang sangat sentralistik hanya berpusat pada pemerintah
pusat. Sedangkan pada masa reformasi dengan lebih diutamakannya otonomi daerah
menjadikan korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat saja, tetapi juga
semakin marak di lingkungan daerah dengan ditambah faktor birokrasi di
Indonesia yang tidak efisien menjadi korupsi ini semakin mudah untuk dilakukan.
Daftar Pustaka
E, Jeffrey. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. PPM :
Jakarta.
Lereissa, R.Z. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Poesponegoro,
Marwati Djoenoed. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Prasetyantoko, A. 2001. Arsitektur Baru Ekonomi Baru Ekonomi Global
Belajar Dari Keruntuhan Ekonomi Asia Tenggara. Gramedia : Jakarta.
Singgih.
2002. Dunia pun Memerangi Korupsi. Pusat
Study Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan : Tangerang.
No comments:
Post a Comment