Songs

Sunday, December 8, 2013

Ahmad Danis

Korupsi di Indonesia pada Masa Orde Baru Hingga Masa Reformasi Tahun 1965-2004


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
Yang dibina oleh Bapak Prof.Dr.Hariyono,M. Pd / Ibu Indah W.P. Utami,S.pd,M. Hum



AHMAD DANIS FATHURRAHMAN
110731435557
I.                   Pendahuluan
1.1       Latar Belakang
Masa Orde Baru dan Masa Reformasi bisa dikatakan sebagai masa yang sangat krusial bagi perjalanan bangsa Indonesia. Kedua masa ini merupakan masa dimana pondasi-pondasi demokrasi sedang dirangkai dan masih sangat rapuh. Kedua masa ini juga bisa dikatakan sebagai masa dimana masyarakat Indonesia mulai mengenal bagaimana negaranya. Dikedua masa inilah upaya-upaya pengembangan kehidupan bernegara sedang berjalan. Upaya-upaya inilah yang kadang juga dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Belum sempurnanya birokrasi dan sistem pemerintahan menjadikan Indonesia sangat rentan dengan adanya musuh dalam selimut. Hal ini sangat jelas terlihat ketika di kedua masa ini ada usaha untuk memerangi korupsi tapi disisi lain korupsi pun juga semakin marak.
Jika kita membicarakan korupsi mungkin tidak lepas dari perilaku negatif manusia yang saling menyengsarakan sesamanya. Masalah korupsi barangkali telah sama seajaranya dengan sejarah manusia itu sendiri. Namun korupsi dalam bentuk dan ruang lingkupnya seperti sekarang ini dengan bentuk rupa dan cara yang kita hadapi sekarang ini mungkin belum pernah ada dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Korupsi sekarang ini dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan juga dapat menyengsarakan suatu bangsa.
Korupsi memang dikatakan sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk memberantas korupsi, tetapi hasilnya masih belum belum yang diharapkan. Sejarawan Indonesia pada umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri.
Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam budaya korupsi yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan perilaku curang, amoral, dan oportunis yang menimbulkan tragedi yang besar dalam bangsa ini.
Dalam makalah ini saya selaku penulis ingin membahas bagaimana fenomena korupsi di Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia dari era orde baru sampai era reformasi. Fenomena korupsi di Indonesia ini menurut saya topik yang menarik untuk dibahas karena perilaku manusia ini sangat bertentangan dengan segala nilai luhur yang dimiliki manusia itu sendiri. Kita dapat melihat dampak nyata dari korupsi ini seperti kemiskinan yang melanda negara ini selama bertahun-tahun. Pemerintah hendaknya lebih tegas dan serius dalam menangani permasalahan ini karena akan sangat merugikan negara itu sendiri dan rakyat yang akan menerima dampaknya menjadi semakin menderita atas ulah oknum yang melakukan korupsi ini.
1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana budaya korupsi yang berlangsung di Indonesia?
2.      Bagaimana korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru di Indonesia?
3.      Bagaimana korupsi yang terjadi pada masa Reformasi di Indonesia?
1.3       Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui budaya korupsi yang ada di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui jalannya korupsi pada masa pemerintahan orde baru di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui korupsi di Indonesia pada masa Reformasi.
1.4       Metode Penulisan
Penelitian sejarah secara umum memiliki empat tahapan yang diantaranya adalah heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.
a.      Heuristik
       Heuristik merupakan langkah awal dalam tahapan penelitian sejarah yakni usaha pengumpulan sumber atau data. Sumber yang bisa digunakan dalam penelitian sejarah terdiri dari tiga macam yakni sumber tertulis, sumber lisan dan artefak. Tetapi dalam kajian yang berjudul “Korupsi di Indonesia pada Masa Orde Baru Hingga Masa Reformasi Tahun 1965-2004” hanya menggunakan sumber-sumber tertulis. Kajian ini berbasis studi pustaka. Sumber tertulis biasanya didapat dari buku, babad, majalah, laporan, jurnal, koran, arsip dan lainnya, seperti pengumpulan buku-buku mengenai sejarah perekonomian di Indonesia.
b.      Verifikasi
       Verifikasi merupakan tahapan kedua setelah heuristik atau pengumppulan sumber atau data. Dalam verifikasi dikenal dua tahapan lagi yakni kritik intern dan ekstern. Ini untuk menguji otentisitas dan kreadibilitas dari sumber atau data yang sudah diperoleh. Pada tahap verifikasi ini peneliti melakukan seleksi ulang terhadap sumber yang telah diperoleh. Kritik ini dilakukan agar bisa memisahkan sumber mana saja yang bisa dipakai dan yang disisihkan jika tidak digunakan.
c.       Interpretasi
       Interpretasi atau penafsiran merupakan tahapan ketiga setelah tahapan verifikasi. Tahapan ini sering disebut sebagai tempat seorang peneliti bisa menafsirkan atau memprediksikan apa saja makna yang tersembunyi dari isi. Pada tahap interpretasi peneliti berupaya menganalisis sumber tertulis, terutama dari buku. Fakta yang terdapat dalam buku dianalisis secara mendalam dengan cara dibandingkan dengan fakta lain dalam sumber buku lain untuk mendapat kesimpulan valid mengenai kajian Korupsi di Indonesia pada Masa Orde Baru Hingga Masa Reformasi.
d.      Historiografi
       Ini tahapan terakhir dimana merupakan tahapan dalam penulisan kembali sejarah setelah data dan fakta terkumpul dan telah melewati tahapan penelitian sejarah sebelumnya seperti heuristik, verifikasi, dan interpretasi. Ini disusun berdasarkan kronologi kejadiannya. Selain itu harus ada tiga unsur yang berhubungan yakni temporal/waktu, spasial/tempat, dan aktivitas manusianya. Temporal/waktunya adalahpada masa Orde Baru hingga Masa Reformasi 1956-2004, dengan bertempat di Indonesia dalam kajian korupsiyang terjadi dan berbagai faktor yang ada disekitarnya.

II.                Pembahasan
2.1       Budaya Korupsi di Indonesia
Korupsi telah menjadi fenomena budaya yang keberadaannya terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat kita. Indikasi yang muncul selain bisa dilihat dari tingginya nilai korupsi, juga dapat dideteksi dari respon masyarakat terhadap fenomena tersebut dengan membiarkannya tanpa ada mekanisme untuk mempertanyakan secara serius. Budaya korupsi yang muncul dalam kehidupan masyarakat kita tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi diciptakan oleh struktur yang dibangun oleh negara.
Dalam periode pemerintahan Orde Baru membangun struktur dan format ekonomi politik secara birokratis dan cenderung otoriter. Melalui hegemoni kekuasaannya negara menekankan tata nilai dan pola relasi sosial yang tunduk terhadap aturan dan sistem yang diciptakannya. Akibatnya tidak ada tatanan masyarakat yang tidak sesuai dengan tatanan yang diinginkan negara. Membudayanya perilaku korupsi dan kolusi telah berjalan selama bertahun-tahun menimbulkan kerawanan ekonomi yang begitu besar.
Kontribusi nyata yang ditimbulkan dari sistem yang rapuh ini adalah tidak kuatnya fundamen mikro ekonomi kita, akibatnya kita rasakan bersama bahwa diantara negara-negara dikawasan Asia mata uang kita mengalami depresiasi paling besar (Prasetyantoko, 2001: 126 ).
            Negara menciptakan tatanan yang memungkinkan terjadi korupsi dan kolusi bukan tanpa tujuan. Para pemangku pemerintahan (birokrat) sangat diuntungkan oleh budaya korupsi dan kolusi ini karena bisa mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Aktualisasi kepentingan pribadi melalui kekuasaan politik dalam bidang ekonomi telah menumbuhkan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi telah menumpuk pada bagian tertentu sehingga memunculkan ketimpangan yang begitu mencolok diantara warga masyarakat.
Selain mendapat fasilitas, budaya korupsi memberikan kekuatan sosial yang besar sehingga tidak muncul usaha dari masyarakat untuk menggugat sistem tersebut, karena mereka berpartisipasi dalam pembagian keuntungan secara menipulatif tersebut. Hanya keprihatinan sebagian kecil orang saja yang akhirnya membuat sistem manipulatif ini kehilangan legitimasinya.
Perilaku korupsi dan manipulasi yang telah membudaya sampai melibatkan wakil rakyat menjadi fenomena puncak yang harusnya menjadi bahan refleksi semua pihak yang masih peduli dengan keadilan dan kejujuran. Baagaimanapun krisis ekonomi yang menimpa perekonomian kita akhir-akhir ini memberikan banyak pelajaran berharga serta dorongan yang kuat untuk memaksakan agar sistem yang fair mulai diberlakukan di negara kita. Sudah tidak ada tempat lagi bagi para pemburu ekonomi yang dari fasilitas Negara dengan melanggengkan budaya korupsi dan kolusi yang jelas-jelas manipulatif ini( Prasetyantoko, 2001: 127 ).
2.2       Korupsi yang Terjadi pada Masa Orde Baru
Perubahan sistem politik dari demokrasi terpimpin menjadi demokrasi pancasila atau masa orde baru membawa perubahan pula pada orientasi dan kebijakan pembangunan ekonomi. Program pembangunan nasional dituangkan ke dalam suatu perencanaan bertahap, yakni pembangunan jangka panjang 25 tahun dan pembangunan lima tahun (Pelita) (Lereissa, 2012: 99). Program pembangunan yang sangat luar biasa pada masa pemerintahan orde baru ini tidak disertai dengan birokrasi yang efisien sehingga dapat dimanfaatkan sebagai lahan subur untuk korupsi.
 Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967 Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi.
Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun komite ini hanya macan ompong karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) yang tugasnya juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Melonjaknya nilai laju inflasi sebesar lebih dari empat kali lipat menggambarkan surutnya masa kejayaan rezim Orde Baru yang telah sekian lama membangun reputasi dalam mengendalikan ekonomi makro melalui inflasi satu digit. Kita tahu bahwa salah satu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi rezim Orde Baru adalah kemampuannya mengendalikan inflasi secara ketat. Surutnya citra kekuasaan yang dalam beberapa kasus di kawasan Asia disertai dengan pergantian rezim kekuasaan menandai adanya dinamika ekonomi dan politik yang tak mau saling mempengaruhi.
Dampak krisis ekonomi yang sudah berjalan pada masa ini, benar-benar memukul beban hidup seluruh lapisan masyarakat. Secara umum derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun drastis, sebaimana dapat dilihat dari menurunnya GNP per kapita penduduk dari 1.055 dollar menjadi 463 dollar. Indikator lainnya adalah melonjaknya angka pengangguran yang mencapai 15,4 juta jiwa serta berlipatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 menjadi 79,4 juta jiwa.
Dalam suasana serba kesulitan tersebut peranan modal asing menjadi prioritas, karena tidak ada lagi sumber pendapatan yang bisa diharapkan untuk membiayai biaya operasional pembelanjaan Negara akibat melonjaknya nilai tukar dan memburuknya kinerja ekonomi. Dari sisi internal perekonomian mengalami defisit neraca pembayaran dan defisit anggaran yang sama-sama parahnya. Dari sisi eksternal neraca transaksi berjalan dan neraca modal juga mengalami kondisi yang sama kronisnya. Penyebabnya adalah menurunnya aliran modal masuk terutama dalam bentuk penananam modal langsung(Prasetyantoko, 2001: 51).
Dalam hal ini pemerintah mengevaluasi orientasi pinjaman tersebut untuk dijadikan instrument jangka pendek guna menopang usaha jaringan penyelamatan. Artinya dana cair yang segera akan diterima oleh pemerintah tersebut akan segera didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam wujud progam-progam penyelamatan sosial. Birokrasi Negara kita terkenal sangat tidak efisien sehingga melahirkan budaya korupsi yang begitu tinggi. Jika dilakukan dalam perangkat birokrasi yang buruk seperti ini progam penyelamatan sosial yang didanai oleh bantuan CGI tidak akan pernah sampai kepada masyarakat secara proposional. Laporan PERC ( Political and Economic Risk Consultancy Ltd. Menempatkan Indonesia dalam rangking pertama dalam daftar Negara yang tingkat korupsinya paling tinggi di dunia. Dalam kasus kebocoran dana pinjaman mensinyalir adanya konspirasi birokrasi yang menggerogoti aliran modal pinjaman dari Bank Dunia( Singgih, 2002: 76 ).
Dengan maraknya kebocoran dalam skala besar dari aliran dana pinjaman asing ini tidak mengherankan munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap Negara sebagai institusi yang bertugas mendistribusikannya. Ketidakpercayaan ini muncul beberapa skenario yang cenderung menegaskan peranan negara dalam fungsi tersebut. Dengan menyadari situasi yang tidak menguntungkan bukan saja dimata pihak asing, seharusnya pemerintah mulai menyadari beberapa distorsi pembangunan terutama menyangkut efisiensi distribusi penyaluran dana kepada masyarakat harus segera ditangani. Tanpa usaha yang serius untuk membenahi tatanan birokrasi dari bayang-bayang korupsi, kredibilitas pemerintah untuk mendapatkan pinjaman dana dari pihak asingakan menurun, baik dimata masyarakat internasional maupun domestik(Jeffrey, 2001 : 87 ).
Dalam perkembangan situasi yang semakin sarat dengan persoalan tersebut, dibutuhkan beberapa prasyarat agar pemerintah mampu menarik perhatian pihak pemberi pinjaman. Dari pihak masyarakat penting memiliki peran dalam mengkontrol mekanisme penggunaan dana pinjaman tersebut. Salah satunya adalah melakukan tekanan untuk membongkar segala macam praktek korupsi yang terjadi sehingga ada jaminan bahwa pemerintah memperhatikan persoalan tersebut secara riil dan bukan janji politik saja(Prasetyantoko, 2001: 55).
2.3       Korupsi yang Terjadi pada Masa Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit virus korupsi yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap Orde Lama serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru semakin terindikasi korupsi juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara benar.
Peninggalan masa orde baru yang juga menjadi lahan subur untuk korupsi pada masa Reformasi adalah dalam bidang perdagangan internasional. Potensi ekspor Indonesia yang cukup tinggi inlah yang menggiurkan para oknum untuk memanfaatkan situasi unutk memperoleh keuntungan.
Potensi ekspor Indonesia tersebut dapat dilihat dari perkembangan ekspor yang menunjukkan bahwa langkah-langkah deregulasi yang dilaksanakan selama itu telah berhasil memperkuat ketahanan ekonomi nasional yang semula menggantungkan diri pada perkebunan, kemudian beralih ke migas kemudian ke setiap sektor yang potensi ekspornya cukup tinggi. Selain itu terobosan-terobosan pemasaran komoditas perdaganan yang semula ke Eropa dan Amerika Serikat, selanjutnya banyak diarahkan ke asia dan asia pasifik dengan jarak transportasi yang relatif dekat dan dengan biaya yang lebih murah. Hal ini diharapkan agar mampu menambah daya saing di pasar internasional (Soejono, 2010:590).
Terobosan-terobosan dan kemajuan yang diraih pada masa orde baru inilah yang juga menarik minat oknum untuk memperoleh keuntungan sendiri dengan memanfaatkan carut-marutnya keadaan politik di Indonesia pada masa awal reformasi dan tidak efisiennya birokrasi.
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Selanjutnya Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat. Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur diberhentikan Megawati pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi. Upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati nurani rakyat. Gambaran korupsi seperti ini selalu terjadi disetiap masa pemerintahan di Indonesia, bahkan hingga saat ini.




III.             Penutup
3.1       Kesimpulan
Korupsi memang dikatakan sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk memberantas korupsi, tetapi hasilnya masih belum belum yang diharapkan. Sejarawan Indonesia pada umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri.
            Korupsi telah menjadi fenomena budaya yang keberadaannya terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat kita. Indikasi yang muncul selain bisa dilihat dari tingginya nilai korupsi, juga dapat dideteksi dari respon masyarakat terhadap fenomena tersebut dengan membiarkannya tanpa ada mekanisme untuk mempertanyakan secara serius. Budaya korupsi yang muncul dalam kehidupan masyarakat kita tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi diciptakan oleh struktur yang dibangun oleh negara.
            Korupsi di Indonesia pada masa orde baru lebih dilakukan oleh pihak-pihak elit yang berada dipusat karena sistem pemerintahan orde bagu yang sangat sentralistik hanya berpusat pada pemerintah pusat. Sedangkan pada masa reformasi dengan lebih diutamakannya otonomi daerah menjadikan korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat saja, tetapi juga semakin marak di lingkungan daerah dengan ditambah faktor birokrasi di Indonesia yang tidak efisien menjadi korupsi ini semakin mudah untuk dilakukan.





Daftar Pustaka
E, Jeffrey. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. PPM : Jakarta.
Lereissa, R.Z. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Poesponegoro, Marwati Djoenoed. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Prasetyantoko, A. 2001. Arsitektur Baru Ekonomi Baru Ekonomi Global Belajar Dari Keruntuhan Ekonomi Asia Tenggara. Gramedia : Jakarta.
Singgih. 2002. Dunia pun Memerangi Korupsi. Pusat Study Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan : Tangerang.

 

No comments:

Post a Comment