Perekonomian Indonesia dibawah Blokade Belanda tahun
1945-1950
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah
Perekonomian
yang
dibina oleh Ibu Indah W.P Utami, S.Pd., S. Hum.
oleh
Jeffry
Dwi Kurniawan
110731435556
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
tanggal 8 Maret 1942 angkatan perang Hindia Belanda menyerah kepada bala
tentara angkatan darat Jepang ke XVI. Sejak itu Indonesia berada dalam
pendudukan Jepang yang membawa dampak perubahan ekonomi besar-besaran. Jepang
melakukan penyerbuan ke wilayah selatan dengan tujuan mengeksploitasi ekonomi
dalam rangka mendukung Jepang dalam perang Asia-Pasifik. Produksi bahan makanan
untuk memasok pasukan militer menempati prioritas utama. Perubahan besar
lainnya terjadi disektor pertukaran dan perdagangan. Pulau Jawa menggantungkan
nasibnya pada ekspor perdagangan luar
negeri. Untuk produk-produk tertentu mengalami kesulitan karena terputusnya
mata rantai perdagangan. Subtitusi barang-barang impor harus diproduksi sendiri
seperti tekstil dll. Untuk itu penanaman bahan baku tekstil digalakan oleh
pemerintah Jepang sedangkan yang lain dialihkan
kesektor penanaman lainya. (Leirissa, 2012: 89).
Dengan
kebijakan seperti ini membuat perekonomian Indonesia sangat kacau dan sulit berkembang karena Indonesia
belum mempunyai pejabat yang ahli dalam menangani perekonomian secara intens. Indonesia
sebagai negara baru belum mempunyai pola
dan cara untuk mengatur perekonomian yang mantap. Warisan ekonomi saat pendudukan
Jepang memang sudah sangat buruk akibat membantu membiayai perang Jepang. Kondisi
keamanan di Indonesia pun belum stabil karena mendapat tekanan dari Belanda.
Selain itu, merajalelanya kelompok separatis serta sering terjadinya pergantian
kabinet mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Politik keuangan
yang berlaku di Indonesia pun masih diatur Belanda guna menekan laju pertumbuhan
perekonomian nasional.
Selain
itu, faktor penyebab kacaunya perekonomian Indonesia pada tahun 1945-1950
karena terjadi Inflasi yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena beredarnya
mata uang Jepang dimasyarakat dalam jumlah yang tak terkendali. Beredarnya mata
uang cadangan yang dikeluarkan oleh pasukan Sekutu dari bank-bank yang berhasil
dikuasainya, dikeluarkan untuk biaya operasi dan gaji pegawai yang jumlahnya
mencapai 2,3 milyar. Repubik Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri
sehingga pemerintah tidak dapat menyatakan bahwa mata uang pendudukan Jepang
tidak berlaku. Disisi lain ketersediaan barang menipis bahkan mengalami kelangkaan
dibeberapa daerah. Kelangkaan ini terjadi akibat adanya blokade perekonomian
oleh Belanda. Begitu menariknya kondisi perekonomian Indonesia pasca
kemerdekaan, membuat penulis ingin membahas lebih dalam dan memfokuskan
permasalah tersebut ke dalam makalah yang berjudul Perekonomian Indonesia dibawah Blokade Belanda tahun 1945-1950.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Mengapa Belanda melakukan blokade
perekonomian terhadap Indonesia?
2.
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menembus
blokade Ekonomi?
3.
Bagaimana rancangan mengenai ketahanan
ekonomi?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui alasan Belanda melakukan
blokade perekonomian terhadap Indonesia
2.
Mengetahui kebjakan pemerintah dalam menembus blokade
Ekonomi
3.
Mengetahui rancangan mengenai ketahanan
ekonomi.
1.4 Metode Penelitian.
·
Jenis
Penelitian
Dalam
penelitian ini, penulis memakai studi kepustakaan (library reseach) yang didalamnya menggunakan bahan-bahan pustaka
yang relevan. Kajian pustaka ini menggunakan telaah pustaka untuk memecahkan
masalah dengan kajian kritis yang mendalam. Studi kepustakaan dilakukan dengan
cara pengumpulan data dari berbagai sumber yang kemudian disajikan dengan cara
baru. Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan sumber
sekunder.
Penelitian
ini menggunakan metode penilitian historis sedangkan jenis penelitiannya berupa
deskriptif-narasi. Metode historis digunakan untuk mengkaji secara kritis
mengenai fakta-fakta empiris masa lampau yang berkaitan dengan masalah-masalah
yang sesuai dengan kajian penelitian. Dalam metode sejarah dikenal lima tahap,
yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi. Berikut penjelasan mengenai kelimanya.
a.
Pemilihan
Topik
Menurut
(Kuntowijoyo, 1994: 95) Pemilihan topik sebaiknya digunakan dua pendekatan
yakni, berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Kedekatan emosional
peneliti dengan apa yang akan dikaji sudah sesuai karena kakek penulis semasa
hidup bermata pencaharian sebagai petani pada masa pendudukan Jepang sehingga
beliau mengalami krisis yang disebabkan blokade perekonomian oleh Belanda. Secara
intelektual penelitian ini dilakukan karena penulis pernah membaca literatur
mengenai perekonomian Indonesia pada masa revolusi yaitu pada tahun 1945-1950.
b.
Heuristik
Heuristik, berasal dari bahasa
Yunani yaitu heuriskein yang artinya memperoleh. Heuristik merupakan proses
mencari bahan atau menyelidiki sejarah untuk mendapatkan sumber (Kuntowijoyo,
1994: 95). Penulisan sejarah kini harus mulai menyempurnakan alat-alat
analitisnya dengan cara meminjam konsep serta teori dari ilmu-ilmu sosial
(Kartodirdjo, 1992: 8). Jadi dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan
beberapa pendekatan dengan menggunakan teori
ilmu sosial yaitu menggunakan pendekatan sosiologis dimana terdapat
peristiwa sosial dan nilai-nilai kehidupan.
c.
Kritik
Sumber
Kritik
merupakan kemampuan dalam menilai sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan.
Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik
internal.
·
Kritik eksternal
Menurut (Kartodirdjo, 1992: 10) untuk
mengetahui keautentikan suatu dokumen dapat dilihat melalui identitasnya, yaitu
dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya.
·
Kritik Internal
Menurut (Kartodirdjo, 1992: 10) Kritik internal dilakukan
untuk menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen. Kritik ini dilakukan
dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya,
jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak atau dengan kata lain dapat diklarifikasikan menurut penafsiran yang
diperoleh peneliti, dari subjektifitas sampai objektifitas suatu dokumen.
d.
Interpretasi
Interpretasi
adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkaikannya hingga menjadi satu
kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagai fakta yang ada kemudian
perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan
sehingga ditemukan struktur logisnya sesuai dengan fakta untuk menghindari
suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit.
Menurut (Kuntowijoyo, 1994:100) Interprestasi atau penafsiran sering disebut
sebagai biang subjektivitas. Dalam ilmu sejarah penafsiran ini dilakukan
setelah melewati beberapa kritik dari fakta-fakta yang timbul dari dokumen yang
ditemukan oleh peneliti. Interprestasi merupakan urutan ketiga yang dilakukan
dalam historiografi. Dalam hal interpretasi ini peneliti memiliki dua langkah,
yaitu analisis dan sintetis.
e.
Historiografi
Histografi yaitu penulisan masa lalu oleh
sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Sebagai suatu karya ilmiah, histografi
merupakan fase terakhir dalam sebuah penelitian sejarah. Hasil dalam penelitian
itu kemudian ditulis, dipaparkan dan dilaporkan dalam bentuk karya ilmiah.
Dalam sebuah penelitian sejarah, penekanan yang terjadi terletak pada pemikiran
yang sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi
kausalitasnya. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan penelitian ilmiah ilmu lain.
Setiap penulisan dilakukan sesuai dengan data yang diperoleh. Penyusunan
laporan yang dilakukan secara sistematis dan terperinci memiliki sesuai data
yang didapat diharapkan menggiring kepada suatu kesimpulan yang diharapkan pada
awal penyusunan sebuah penelitian.
BAB II
ISI
2.1 Alasan Belanda
melakukan blokade perekonomian terhadap Indonesia
Menurut
(Marks, 2012:273) berpendapat bahwa kinerja perekonomian di Indonesia selama
masa pendudukan Jepang sangatlah lemah karena tujuan Jepang yaitu melakukan
invasi untuk mengamankan pasokan bahan-bahan mentah seperti minyak, karet dan
bahan-bahan logam lainnya sehingga situasi perang sangat memengaruhi situasi
ekonomi. Pendapatan pemerintah semakin tidak sebanding dengan pengeluarannya.
Hasil produksi perkebunan dan pertanian sebagian besar tidak dapat diekspor
secara normal yang menyebabkan semakin menderitanya masyarakat Indonesia.
Mengetahui situasi tersebut maka Belanda melakukan blokade laut untuk menutup
pintu keluar masuk perdagangan RI. Pemblokadean ini dilakukan pada November
1945. Adapun alasan Belanda melakukan blokade ini yaitu
1. Mencegah
masuknya senjata dan peralatan militer
2. Mencegah
keluarnya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya
3. Melindungi
bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh bangsa Indonesia
Dengan
adanya blokade tersebut menyebabkan barang-barang ekspor RI terlambat terkirim,
barang-barang dagangan milik Indonesia tidak dapat di ekspor bahkan banyak
barang-barang ekspor Indonesia yang dibumi hanguskan, Indonesia semakin lama
semakin kekurangan barang import yang sangat dibutuhkan. Tujuan Belanda
melakukan blokade ini agar perekonomian Indonesia mengalami kekacauan sehingga
membuat rakyat semakin gelisah dan diharapkan rakyat kembali percaya pada
pemerintah Belanda.
Menurut
(Poesponegoro, 2010:273). Barang-barang milik RI berusaha dihancurkan atau
dibumi hanguskan sehingga terjadi kerusuhan sosial karena rakyat tidak percaya
kepada pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda dapat dengan mudah
mengembalikan eksistensinya untuk menekan Indonesia dengan harapan bisa
menguasai kembali. Perbendaharaan keuangan RI memang kosong karena pajak dan
bea masuk lainnya belum ada. Penghasilan pemerintah hanya bergantung kepada
produksi pertanian. Mendapat dukungan dari bidang pertanian inilah pemerintah
Indonesia masih bisa bertahan, sekalipun keadaan perekonomian sangat buruk
sedangkan pengeluarannya semakin bertambah besar. Segala cara dilakukan oleh
Belanda untuk mencekik RI dengan senjata ekonomi.
Pihak
sekutu dibawah Letnan Jendral Sir Montagu Stopford, panglima AFNEI yang baru
memberlakukan uang baru diwilayah yang diduduki sekutu. Uang baru itu dikenal
dengan uang NICA. Uang ini dimaskudkan untuk mengganti mata uang Jepang yang
nilainya sudah sangat menurun. Kurs ditentukan 3%, yaitu setiap f1, uang Jepang
dinilai sama dengan 3 sen uang NICA. Pergantian mata uang ini diumumkan pada 6
Maret 1946. Hal ini membuat Perdana Menteri Sutan Syahrir menentang keras
kebijakan ini karena telah melanggar persetujuan yang telah disepakati bersama.
Dalam persetujuan itu dijelaskan bahwa selama belum adanya penyelesaian politik
mengenai status Indonesia maka tidak akan dikeluarkannya mata uang baru untuk
menghindari kekacauan dibidang ekonomi dan keuangan. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, pemerintah melarang digunakan mata uang NICA dan yang lainnya serta
hanya boleh menggunakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UU No. 17 tahun 1946 yang dikeluarkan
pada tanggal 1 Oktober 1946. Mengenai pertukaran uang Rupiah Jepang diatur
berdasarkan UU No. 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946. Tanggal 25 Oktober
selanjutnya dijadikan sebagai hari keuangan.
Mengenai
pengaturan nilai tukar uang ORI dengan valuta asing (nilai kurs mata uang ORI
di pasar valuta asing) sebenarnya dipegang oleh Bank Negara yang sebelumnya
telah dirintis bentuk prototipenya yaitu dengan pembentukan Bank Rakyat
Indonesia (Shomin Ginko). Namun tugas tersebut pada akhirnya dijalankan oleh
Bank Negara Indonesia (Bank Negara Indonesia 1946) yang dipimpin oleh Margono
Djojohadikusumo. Bank ini merupakan bank umum milik pemerintah yang tujuan awal
didirikannya adalah untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang
ekonomi dan keuangan. BNI didirikan pada 1 November 1946. Meskipun begitu usaha pemerintah untuk menjadikan ORI
sebagai satu-satunya mata uang nasional tidak tercapai karena terpecah-pecahnya
wilayah RI akibat perundingan Indonesia- Belanda. Sehingga di beberapa daerah
mengeluarkan mata uang sendiri, yang berbeda dengan ORI, seperti URIPS (Uang
Republik Propinsi Sumatera) di Sumatera, URIBA (Uang Republik Indonesia Baru)
di Aceh, URIDAB (Uang Republik Indonesia Banten) di Banten dan Palembang. Tindakan
sekutu ini merupakan rangkaian usaha untuk merongrong ketahanan nasional RI
dibidang ekonomi dan keuangan.
2.2 Kebijakan
pemerintah dalam menembus blokade Ekonomi
Selama
satu dasawarsa perekonomian Indonesia tumbuh relatif lamban. Prestasi ekonomi
diukur dengan pendapatan nasional bruto atau produk domestik bruto, perkapitanya
hanya tumbuh setingkat 2,7% pertahun. Dalam masa itu prestasi ekonomi perkapita
bahkan mencapai -0,45% pertahun. Hal ini juga disebabkan pertumbuhan penduduk
yang lebih cepat dari pada pertumbuhan pendapatan nasional. Menurunya
pendapatan perkapita ini juga menyiratkan kenaikan harga-harga umum secara
eksponensial selama periode itu. (Dumary,1996:20)
Menurut
(Ricklefs, 2008: 357) menyebutkan bahwa masalah ekonomi dan sosial yang
dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan Jepang sangat kompleks. Perkebunan
dan instalasi industri diseluruh penjuru negeri rusak berat. Selain itu, laju
pertumbuhan penduduk meningkat lagi. Diperkirakan jumlah penduduk tahun 1950
mencapai 77,2 juta jiwa dan pada tahun 1955 bertambah lagi menjadi 85,4 juta
jiwa. Hal ini membuat produksi pangan meningkat namun tidak cukup.
Mempertahankan
kemerdekaan adalah tekad dan target utama bagi pemerintah dan masyarakat
Indonesia. Dalam konteks itulah, dapat dipahami mengapa suatu program
pembangunan ekonomi yang berencana dan berjangka panjang tidak diketemukan pada
setiap program kabinet. Penekanan prograam ekonomi diletakan pada pemulihan dan
perbaikan keadaan. Oleh karena itu
jangankan mengupayakan pemasukan devisa sebagai anggaran pembiayaan
pembangunan, pembiayaan perjuagan diusahakan melalui berbagai cara, tidak
terkoordinir dan tidak terpusat. Penyelundupan menembus blokade angkatan laut
Belanda merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan tersebut, selain dukungan
masyarakat pedesaaan. (Leirissa, 2012:91)
Kebijakan
pemerintah dalam menembus blokade perekonomian Belanda yaitu melakukan pinjaman
nasional. Dengan adanya persetujuan dari Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP KNIP). Menteri keuangan Ir. Surachman melaksanakan pinjaman
direncanakan akan meliputi Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) yang dibagi
atas dua tahap. Pinjaman akan dibayar kembali selambat-lambatnya dalam waktu 40
tahun. Pada bulan Juli 1946 seluruh penduduk Jawa dan Madura diharuskan
menyetor uangnya kepada Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah pegadaian. Pinjaman
nasional tahap pertama berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp 500.000.000,00.
Pelaksanaan pinjaman ini dinilai sukses. Sukses yang dicapai oleh pemerintah
RI dapat diukur dari dukungan rakyat.
Ditinjau dari segi politik, sukses ini menunjukkan kelirunya perhitungan Belanda
mengenai kekuatan intern RI.
·
Usaha
bersifat politis, yaitu Diplomasi Beras ke India
Menurut
(Dekker,1997:144) Kejadian yang bergolak di Indonesia, dimana berlangsung
pertempuran antara Inggris dan Indonesia telah menarik perhatiaan wakil Ukraina
yaitu Manuisky. Beliau meminta perhatian dewan keamanan PBB untuk memantau keadaan
Indonesia yang genting karena tindakan-tindakan sekutu. Namun gugatan Ukraina
ini kemudian ditolak karena PBB belum berpandangan realistis terhadap persoalanyang
terjadi di Indonesia. RI yang terus diisolasi oleh Belanda menerapkan politik
luar negerinya Syahrir dengan melalui politik bantuan berasnya ke India. Untuk
keperluan inilah, kemudian India mengirimkan wakilnya ke Indonesia untuk
berunding mengenai bantuan itu.
Pada
bulan Agustus 1946 terjadilah persetujuan antara Syarir dengan Punjabi (Punjabi
merupakan delegasi dari India yang dikirim oleh Nehru). Didalam persetujuan itu
ditentukan antara lain tentang pemerintah RI segera menyatakan kesediaannya
untuk membantu pemerintah India dengan mengirimkan 500.000 ton beras ketika
terbetik berita bahwa bangsa itu sedang mengalami surplus sebesar
200.000-400.000 ton. Sebagai imbalannya pemerintah India menjanjikan akan
mengirimkan bahan pakaian, barang tenun, benang, alat-alat pertanian dan ban
mobil yang notabene sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Pengiriman beras
ini dilakukan untuk pertama kalinya melalui
pelabuhan Probolinggo. K.L Punjabi menerima penyerahan beras itu serta
langsung diangkut dengan kapal menuju India.
Politik
beras ini menimbulkan oposisi didalam negeri dengan alasan bahwa kita yang
sedang berjuang masih kekurangan beras bahkan bahan makanan serta Belanda
berusaha menggagalkan pengiriman beras ini seperti menyabot dan membakar tumpukan
padi yang dijumpainya. Belanda benar-benar menyadari bahwa apabila hal ini berhasil
maka pihak luar negeri secara nyata mengakui
kedauatan RI (walaupun India sendiri pada waktu itu belum merdeka). Hal
ini berakibat sangat buruk bagi Belanda karena selalu menggembar-gemborkan
bahwa RI itu sebenarnya tidak ada. Kalau ada itu berarti tidak sah. Keputusan
ini sangat tepat karena India adalah negara Asia yang paling aktif membantu
perjuangan diplomatik di forum internasional dalam dan luar dalam rangka
solidaritas bangsa-bangsa Asia.
·
Mengadakan
hubungan dagang langsung dengan luar negeri.
Membuka
hubungan dagang langsung ke luar negeri dilakukan oleh pihak pemerintah maupun
pihak swasta. Usaha tersebut antara lain
Pemerintah RI mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri.
Usaha ini dirintis oleh badan semi pemerintah yaitu Banking and Tranding
Corporation (BTC) yang dipimpin oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan Dr. Ong
Eng Die. Tujuan dari kontak ini adalah membuka jalur diplomatis ke berbagai
negara. BTC berhasil mengadakan kontrak dengan perusahaan swasta Amerika
Serikat (Isbrantsen Inc) yaitu mereka bersedia membeli barang-barang ekspor
dari Indonesia seperti gula, karet dan teh namun hal ini gagal karena kapal
yang memuat barang dagangan milik Indonesia dicegat oleh Angkatan Laut Belanda
sehingga semua barang-barang tersebut disita di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal
ini membuat jengah Menteri Kemakmuran yang dijabat oleh A.K Gani karena Belanda
melanggar perjanian dengan Indonesia. Oleh sebab itu gudang tempat penyimpanan
barang tersebut dibakar dengan cara menyuap pegawai Belanda.
Kuatnya
blokade angakatan laut Belanda maka usaha untuk menembusnya dipusatkan di
Sumatra karena jaraknya dekat dengan Singapura dan Malaya. Hal ini dilakukan
dengan perahu layar dan kapal motor cepat. Usaha ini secara sistematis
dilakukan sejak tahun 1946 sampai dengan masa perang kemerdekaan. Pelaksanaan
ini dilakukan oleh angaktan laut RI dengan dibantu pemerintah daerah penghasil
bahan ekspor. Sejak tahun 1947 pementah RI membentuk perwakilan resmi di
Singapura yang diberi nama Indonesia Office (Indoff) yang dipimpin oleh Mr
Oetojo Ramelan. Secara resmi Indoff merupakan badan yang memperjuangkan
kepentingan politik luar negeri tetapi
secara rahasia ia adalah pengendali usaha penembus blokade dan usaha
perdagangan barter.
Kementrian Pertahanan juga membentuk
perwakilannya diluar negeri yang disebut Kementerian Pertahanan Usaha Luar
Negeri (KPULN) yang dipimpin oleh Ali Jayengprawiro. Tugas pokoknya yaitu
membeli senjata dan perlengkapan angkatan perang serta memasukannya ke
Indonesia. Selama tahun 1946 pelabuhan Sumatra hanya Belawan yang diduduki
Belanda. Perairan terittorial Sumatra yang sangat luas membuat Belanda tidak
mampu melaksanakan pengawasan yang ketat. Hasil-hasil ekspor Sumatra seperti
karet diselundupkan ke luar negeri terutama di Singapura, pengiriman ini mencapai
jumlah puluhan ribu ton. Selama tahun straits $20.000.000,- sedangkan yang
berasal dari Jawa hanya Straits $1.000.000,-. Sebaliknya barang-barang yang
dikirim ke Sumatra dari Singapura seharga Straits $3.000.000,- dan dari
Singapura ke Jawa seharga Straits $2.000.000,-. (Poesponegoro,
2010:277)
2.3 Rancangan mengenai
ketahanan ekonomi
Karena
situasi yang sangat kacau akibat pendudukan Jepang, pemerintah tidak sempat
melakukan tindakan-tindakan penanggulangan secara konseptional. Barulah pada
Februari 1946 pemerintah mulai memprakarsai usaha untuk memecahkan
masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Prakarsa itu berupa konferensi ekonomi
yang dihadiri oleh para cendekiawan, para gubernur dan pejabat-pejabat lainnya
yang bertanggung jawab langsung mengenai masalah ekonomi di Jawa. Usaha ini
merupakan perintisan dari pemecahan masalah ekonomi secara menyeluruh. Konfrensi
ini dipimpin oleh menteri kemakmuran yaitu Ir. Darmawan Mangunkusumo. Tujuan
konfrensi ini yaitu memecahkan masalah seperti masalah produksi dan distribusi
bahan makanan, masalah sandang dan status adminitrasi perkebunan.
Didalam
masalah produksi dan distribusi bahan makanan masih tetap dilakukan autarki
lokal sebagai kelanjutan sistem ekonomi perang Jepang yang sampai saat itu
belum ada peraturan yang mengubahnya. Sistem ini akan diganti secara
berangsur-angsur dan diganti dengan sistem desentralisasi. Badan Pengawasan
Makanan Rakyat kemudian diganti dengan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan
Makanan Rakyat (PPBM) dibawah supervisi kementrian kemakmuran. PPBM dipimpin
oleh dr. Sudarsono. PPBM merupakan cikal bakal dari Badan Urusan Logistik
(Bulog). Sejak adanya PPBM, larangan pengiriman bahan-bahan antar keresedenan dihapuskan
kecuali beras. Untuk beras masih harus mendapat izin dari Jawatan Kemakmuran.
Tentang adminitrasi perkebunan, konferensi ini menyubangkan beberapa pokok
pikiran mengenai penilaian kembali status dan adminitrasi perkebunan yang
merupakan perusahaan vital bagi RI. Pada masa Kabinet Syahrir II, persoalan
status dan adminitrasi perkebunan berhasil diselesaikan. Semua perkebunan
dikuasai negara dengan sistem sentralisasi dibawah pengawasan menteri
kemakmuran.
Kemudian
pada tanggal 6 Mei 1946, konfrensi ekonomi kedua diadakan di Solo. Ruang
lingkup dalam kofrensi ini lebih luas karena membahas tentang program ekonomi
pemerintah, masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi dan alokasi
tenaga manusia. Dalam hal ini rencana paling konkrit disarankan oleh Moh Hatta
yaitu rehabilitsi pabrik-pabrik gula karena gula merupakan bahan ekspor yang
penting dan pengusahaannya harus dikuasai negara. Hasil ekspor ini diharapkan
dapat dibelikan atau diitukar dengan barang-barang lain yang sangat dibutuhkan
oleh RI. Rencana dan rancangan lainnya yang dibahas dalam konfrensi ekonomi ini
belum dapat direalisasikan dalam waktu singkat.
Menurut
(Poesponegoro, 2010:279) realisasi konkrit adalah penguasaan dan pengubahan
adminitrasi perusahaan gula. Berdasarkan peraturan pemerintah no.3/1946 tanggal
21 Mei 1946 dibentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dengan
status perusahaan negara. BPPGN dipimpin oleh Notosudirdjo. Peraturan mengenai
pabrik gula disusun dengan peraturan pemerintah No 4 tahun 1946, tanggal 6 Juni
1946, mengenai Pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Status PPN
adalah perusahaan negara yang memiliki tugas yaitu
1. Meneruskan
pekerjaan bekas perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Jepang.
2. Mengawasi
perkebunan bekas milik Belanda.
3. Mengawasi
perkebunan-perkebunan lainnya dengan cara mengawasi mutu produksinya dan pulau
Jawa dibagi menjadi beberapa PPN.
Setelah
diadakan dua konfrensi tersebut pemerintah tetap berusaha memecahkan
masalah-masalah ekonomi secara realistis. Atas inisiatif Menteri Kemakmuran dr.
A.K Gani, pada 19 Januari 1947 dibentuklah Planning Board (Badan Perancang
Ekonomi) yang merupakan badan tetap yang bertugas membuat rencana pembangunan
ekonomi untuk jangka waktu dua sampai tiga tahun. Perencanaannya adalah untuk
mengoordinasikan dan menasionalisasikan semua cabang produksi dalam bentuk
badan hukum seperti yang dilakukan pada BPPGN dan PPN. Sesudah Badan Perancang
ini bersidang, Menteri Gani kemudian mengumumkan rencana pemerintah tentang
Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun. Rencana-rencana yang dikemukakan oleh dr.
A.K Gani sebagai langkah pertama yaitu
1. Semua
bangunan umum, perkebunan, dan industri yang sebelum perang menjadi milik negara,
jatuh ke tangan pemerintah RI.
2. Bangunan
umum vital milik asing akan dinasionalisasi dengan pembayaran ganti rugi.
3. Perusahaan
milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap RI.
4. Perusahaan
modal asing lainnya akan dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan
perjanjian RI-Belanda.
Biaya
untuk melaksanakan rancangan ini akan diperoleh dari penanaman modal asing
serta pinjaman dari dalam dan luar negeri. Untuk menampung dana-dana
pembangunan yang direncanakan maka dibentuklah Bank Pembangunan. Pemikiran yang
dituangkan Badan Perancang ini oleh pemerintah dinilai sangat positif.
Perusahaan patungan (Joint Venture) didirikan dengan pengawasan dari negara, tanah-tanah
partikelir dihapuskan. Untuk membiayai rencana pembangunan ekonomi ini,
pemerintah akan mengarahkan dana-dana masyarakat yaitu dengan pinjaman nasional
dan tabungan rakyat, pinjaman dari luar negeri sebagaimana yang telah direncanakan
oleh Planning Board. Biaya lainnya didapat dengan cara mengikutkan badan-badan
swasta.
Rencana
panitia pemikir ini tidak berhasil dilaksanakan karena situasi politik dan
militer tidak memungkinkan. Agresi Militer Belanda Pertama mengakibatkan
sebagian besar daerah republik yang potensi ekonomis jatuh ke tangan mereka.
Wilayah RI yang tinggal dibeberapa keresidenan di Jawa dan Sumatra tergolong
daerah minus dan berpenduduk padat. Akibatnya, kesulitan ekonomi semakin
memuncak. Disamping itu, pemerintah harus pula menanggung konsekuensi
persetujuan Renville yakni pasukan TNI harus ditarik ke wilayah RI dari
kantung-kantung perlawanan yang berada didaerah pendudukan Belanda. Pemerintah
yang dipimpin Moh Hatta melaksanakan tindakan yang realistis yaitu
rasionalisasi. Rasionalisasi ini meliputi penyempurnaan adminitrasi negara,
angkatan perang, dan aparat ekonomi. Sejumlah satuan angkatan perang dan laskar
yang menjadi beban pembiayaan pemerintah, dikurangi secara drastis.
Tenaga-tenaga bekas angkatan perang dan laskar-laskar (rasionalisan) disalurkan
kebidang yang produktif dan diurus oleh kementrian pembangunan dan pemuda.
Dasar
ekonomi adalah produksi petani, maka bidang ini akan dipergiat kembali. Menteri
Urusan Bahan Makanan Kasimo membuat rencana produksi tiga tahun 1948-1950 atau
biasa kita kenal dengan plan Kasimo yang pada dasarnya adalah usaha swasembada
pangan dengan petunjuk pelaksanaan yang praktis. Kasimo menyarankan agar
menanami lahan kosong di Sumatra Timur seluas 281.277 ha. Di Jawa diadakan
intensifikasi dengan menanam bibit pangan dipelihara sebaik-baiknya dalam arti
pencegahan penyembelihan dan penggunaan yang kurang perlu. Sensus hewan harus
dilaksanakan. Disetiap desa dibentuk kebun-kebun bibit untuk memberikan bibit
yang baik bagi rakyat serta menyarankan agar dilaksanakan transmigrasi.
Pada
bulan April 1947, badan perancang dr. A.K Gani diperluas menjadi panitia
pemikir siasat ekonomi. Panitia pemikir ini dipimpin sendiri oleh wakil
presiden Hatta sedangkan dr. A.K Gani menjadi wakilnya. Tugas panitia ini
adalah mempelajari, mengumpulkan data dan memberikan bahan bagi kebijakan pemerintah
dan bahan-bahan guna merencanakan pembangunan ekonomi serta nasihat-nasihat
kepada pemerintah dalam rangka perundingan dengan Belanda. Panitia pemikir ini
dibagi atas delapan bagian yang mempelajari masalah ekonomi yang mendesak pada
waktu itu, yaitu masalah ekonomi umum, masalah perkebunan, masalah industri,
pertambangan dan minyak bumi, masalah hak milik asing, masalah keuangan, masalah
listrik, kereta api dan trem, masalah perburuhan dan masalah-masalah didaerah
pendudukan Belanda.
Panitia
pemikir ini kemudian menghasilkan dasar pokok rancangan ekonomi Indonesia.
Rancangan ini berisi program pembangunan jangka panjang dengan tujuan
memperbesar dan menyebarkan kemakmuran rakyat secara merata dengan cara mengintensifkan
usaha produksi, memajukan pertukaran internasional, mencapai taraf hidup yang
lebih tinggi dan mempertinggi derajat dan kecakapan rakyat. Sektor perdagangan
digiatkan kembali. Impor dibatasi pada barang-barang yang penting seperti bahan
pakaian, bahan baku untuk industri dan alat transpor. Ekspor meliputi
hasil-hasil perkebunan, hasil hutan dan tambang. Penyebaran penduduk dengan
cara memindahkan sejumlah 20 juta penduduk Jawa ke Sumatra selama 15 tahun.
Dengan cara demikian diharapkan kemakmuran di Jawa berkembang dan kemakmuran
baru di Sumatra. Dasar politik ekonomi pemerintah adalah pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 yakni semua perusahaan vital harus dikuasai oleh negara. Perusahaan
itu adalah perusahaan listrik dan air, perusahaan kereta apai dan trem, pos dan
telekomunikasi seta bank sirkulasi. Namun semua hasil pemikiran itu belum
sempat dilaksanakan karena situasi pemberontakan PKI di Madiun kemudian disusul
dengan Agresi Militer Belanda II.
Pada
masa perang kemerdekaan pemerintah mengawasi semua kegiatan ekonomi, peran dan partisipasi
pengusaha-pengusaha swasta kurang begitu menggembirakan. Oleh karena itu,
didalam kongres persatuan ekonomi di Malang, wakil presiden Moh Hatta
menganjurkan agar para pengusaha swasta memperkuat wadah persatuannya. Anjuran
ini mendapat dukungan dari pengusaha. Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE) dibawah
pimpinan B.R. Motik menggiatkan kembali partispasi pengusaha swasta. Tujuannya
adalah menggalang dan melenyapkan individualisme dikalangan organisasi pedagang untuk memperkukuh ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan presiden
Soekarno menjanjikan ke PTE dalam rangka meningkatkan partisipasinya akan
diangkat calon-calon dari PTE didalam Komite Nasional Pusat. Dianjurkan agar
pemerintah daerah membantu usaha-usaha
PTE namun akibat perubahan situasi, perusahaan-perusahaan yang beraada dibawah
PTE menjadi semakin mundur. PTE hanya berhasil mendirikan Bank PTE di
Jogjakarta dengan modal Rp 5.000.000,-. Kegiatan PTE semakin mundur akibat aksi
militer Belanda. PTE kemudian mencurahkan kegiatannya pada bidang perbankan.
Usaha
perdagangan swasta lainnya yang membantu usaha ekonomi pemerintah adalah
Banking and Traiding Corporation (BTC) atau Perseroan Bank Djojohadikusumo
adalah langkah persiapan organisasi badan perdagangan nasional, jika
sewaktu-waktu perjuangan politik beralih ke perjuangan ekonomi. Beberapa
perusahaan lainnya dari kalangan swasta bergabung dalam bentuk gabungan
perusahaan. Misalnya, Gabungan Perusahaan Perindustrian dan Perusahaan Penting
yang berpusat di Malang. Pusat Perusahaan Tembakau Indonesia (Puperti) yang
berpusat di Cirebon. Produksi puperti mencapai 170 juta batang.
Menurut
(Ricklefs, 2008:497) pemulihan eksport Indonesia berlangsung lambat. Minyak
penghasil devisa terbesar kedua setelah karet adalah yang paling besar harapannya
untuk jangka panjang. Pada umumnya kepentingan-kepentingan non-Indonesia tetap
mempunyai arti penting. Shell dan perusahaan-perusahaan Amerika seperti Stanvac
dan Caltex mempunyai posisi yang kuat dibidang industri minyak dan sebagian
besar pelayaran antar pulau berada ditangan perusahaan pelayaran KPM Belanda.
Perbankan didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina.
Orang-orang Cina juga menguasai kebanyakan kredit pedesaan. Bagi para pengamat
yang tahu, tampak jelas bahwa Indonesia secara ekonomi tidak merdeka.
BAB
III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Keadaan
perekonomian Indonesia pada akhir kekuasaan Jepang dan pada awal berdirinya
Republik Indonesia sangat kacau dan sulit berkembang karena belum memiliki
pemerintahan yang baik, dimana belum ada pejabat khusus yang bertugas untuk
menangani perekonomian Indonesia secara khusus. Indonesia sebagai negara baru belum mempunyai pola dan
cara untuk mengatur perekonomian yang mantap. Kondisi keamanan di Indonesia pun
masih belum stabil karena tekanan dari Belanda dan adanya kelompok separatis
yang merajalela serta sering terjadi pergantian kabinet dalam hal ini mendukung
ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk mematahkan
isolasi tersebut dengan cara melakukan pinjaman nasional, diplomasi beras ke
India guna membantu perjuangan diplomatik di forum internasional, mengadakan
hubungan dagang langsung dengan luar negeri seperti Banking and Tranding
Corporation (BTC), membentuk perwakilan resmi di Singapura yang diberi nama
Indonesia Office (Indoff), Kementerian
Pertahanan Usaha Luar Negeri (KPULN).
Daftar
Rujukan
Dekker,
Nyoman.1997. Sejarah pergerakan dan revolusi nasional. Malang: Ikip Malang.
Dumairy. 1996. Perekonomian
Indonesia. Jakarta: Erlangga
Kartodirdjo,
S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Kuntowijoyo.
1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Leirissa,
R.z, Ohorella, G.A dan Tangkilisan,Yuda B. 2012. Sejarah perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Marks,
J.L.V.D.2012. Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara Drama dan Kebijakan
Pertumbuhan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Zaman Jepang dan Zaman
Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs,
MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
___________
2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
No comments:
Post a Comment