DAMPAK
BIDANG EKONOMI TERHADAP PERGESERAN NILAI BUDAYA KARAPAN SAPI
Oleh:
Mohammad Eric Zulkarnaen (110731435517)
Off
B 2011
mohammaderic@gmail.com
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bangsa yang kaya
akan keanekaragaman et nis dan suku, karena memang Indonesia terbentuk dari
berbagai suku-suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan
masing-masing. Sehingga tidak asing apabila diasumsikan dengan kata bhineka
tunggal ika, yang artinya berbeda –beda tetapi tetap satu. Apabila kita melihat
dalam konteks global, maka kebudayaan yang dimiliki ini sebetulnya dapat
dijadikan aset negara sebagai keungg ulan dan kekayaan budaya khas Indonesia
yang tidak tertandingi oleh negara-negara lain sehingga hal tersebut dapat
mengangkat citra Indonesia dimata dunia.
Partisipasi masyarakat dalam
melestarikan budaya sendiri harus saling terjalin dengan baik, sehingga
kesadaran kolektif dan jiwa optimis akan tertanam di setiap manusia Indonesia.
Dengan keaneragaman kebudayaan yang muncul dalam keberadaan di nusantara ini,
ada beberapa macam kebudayaan yang sangat unik dan tetap dinilai sebagai salah
satu kebudayaan yang dihormati, salah satunya adalah karapan sapi. Kerapan Sapi
adalah sebagai salah satu wujud hasil budaya yang berupa kesenian yang mana kerapan sapi merupakan
salah satu jenis atraksi yang diangkat dari budaya Madura dan bentuk dari
budaya tersebut adalah memperagakan lomba pacuan sapi yang memang khusus untuk
dilombakan. Dalam even karapan sapi para
penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya,
tetapi sebelum memulai para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi
disekelilingi pacuan disertai alat musik seronen perpaduan alat music khas
Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin meriah.
Karapan sapi pada awalnya adalah budaya
untuk menyambut musim tanam padi dengan maksud membangun komunikasi dan
informasi saat tanam ketika hujan mulai jatuh di beberapa bagian pulau. Semua
bagian masyarakat biasanya terlibat dan bergembira, baik pemilik sapi maupun
pemilik tegal/sawah, walaupun sebenarnya jarang masyarakat di Madura memiliki
bersama-sama kedua barang ‘mewah’ tersebut. (Santoso, 2006).
Karapan sapi sekarang tidak lagi dikenal
sebagai sebuah ritual kebudayaan pada pertanian, tetapi menjadi ajang
perlombaan atau kejuaraan sehingga ada pergeseran fungsi. Yang tadinya
berfungsi untuk membangun komunikasi dan informasi serta solidaritas antar
masyarkaat bergeser fungsi menjadi untuk mencari pemenang pacuan sapi. Bahkan
sudah menjadi even pariwisata di Indonesia yang tidak hanya disaksikan oleh
turis local tapi juga turis dari mancanegara pun banyak yang menyaksikan
karapan sapi ini. Pergeseran fungsi ini
tentunya akan membawa dampak baik yang diharapkan (positif) maupun dampak yang
tidak diharapkan (negatif).
I.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
pengertian dan sistem pertandingan dalam perlombaan karapan sapi?
2. Bagaimana
motivasi dari pengkarap di dalam menjalankan tradisi karapan sapi?
3. Bagaimana
dampak ekonomi terhadap pergeseran kebudayaan karapan sapi?
II.
Tujuan
Tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk
mengetahui bagaimana pengertian dan sistem pertandingan dalam perlombaan
karapan sapi.
2. Untuk
mengetahui motivasi dari pengkarap di dalam menjalankan tradisi karapan sapi.
3. Untuk
mengetahui dampak ekonomi terhadap pergeseran kebudayaan karapan sapi
III.
Metodologi
Penelitian
Penelitian
dilakukan di Sumenep pada Oktober- November 2013. Jenis data yang akan
dijadikan bahan pembahasan adalah data primer dan data skunder. Data primer didapatkan melalui wawancara langsung.
Sedangkan data skunder diperoleh dari penelusuran pustaka. Dampak Ekonomi dapat
dilihat terhadap pelaku atau pemilik karapan sapi dan masyarakat. Untuk
mengetahui dampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar adalah dengan pendekatan
biaya yang dikeluarkan oleh pemilik sapi dalam memelihara sapi dan
keikutsertaan dalam lomba karena biaya yang dikeluarkan akan mengalir ke
masyarakat baik sebagai tenaga kerja maupun penyedia faktor produksi dan
peluang ekonomi lainnya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan sistem pertandingan dalam perlombaan karapan sapi
Seperti banyak tradisi di seluruh dunia,
kerapan sapi di Madura mempertahankan makin banyak tekanan dari modernisasi dan
globalisasi. Sifat tertentu dan rupanya masih ada yang sama dengan pacuan yang
muncul 500 tahun yang lalu (Sulaiman, 1984: 9) pada waktu petani-petani dulu
memacukan sapinya sedangkan membajak tanah supaya mempercepatkan kerjanya yang membosankan
dan berat.
Karapan sapi merupakan istilah untuk
menyebut perlombaan pacuan sapi di Pulau Madura. Pada perlombaan tersebut,
sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu yang disebut kaleles, tempat joki berdiri dan
mengendalikan pasangan sapi, dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan sapi
lain. (Daroko, dkk, 2010: 162)
Karapan sapi dibagi menjadi dua jenis,
yaitu karapan sapi pariwisata dan karapan sapi tradisional.
1) Karapan
sapi pariwisata diadakan khusus untuk kegiatan pariwisata yang diadakan rutin
setiap bulan sekali dan atau insidental sesuai dengan pesanan wisatawan.
Wisatawan yang ingin menonton karapan sapi tetapi tidak ada jadwal karapan,
maka bisa memesan ke dinas pariwisata dan kebudayaan untuk mengadakan karapan
sapi dengan jumlah sapi dan waktu pelaksanaan disepakati bersama dimana biaya
penyelengaraan ditanggung oleh wisatawan.
2) Karapan
sapi tradisonal, yaitu karapan sapi yang bertujuan mendapatkan juara atau
memperebutkan hadiah. Hal ini yang membedakan dengan karapan sapi pariwisata
yang tanpa hadiah. Karapan sapi tradisional juga menjadi objek pariwisata.
Dalam pelaksanaanya, ada yang diadakan rutin setiap tahun dan ada yang
insidental diadakan misalnya kapolda cup, karapan yang diadakan perorangan
untuk acara tertentu, atau karapan yang diadakan kelompok pengkarap.Karapan
sapi tradisional yang rutin diselenggarakan setiap tahun adalah memperebutkan
piala presiden di pamekasan.
Kompetisi piala presiden secara
berurutan dimulai dari
a) Tingkat
eks kawedanan. Pada tingkat eks kawedanan diambil 6 pasang sapi pemenang - 3
pasang pemenang atas dan 3 pasang
pemenang bawah – untuk kemudian diikutsertakan pada tingakatan selanjutnya.
b) Tingkat
kabupaten. Peserta karapan pada tingkat ini adalah para pemenang di tingkat eks
kawedanan. Seperti halnya pada tingkat sebelumnya, pada tingkat kabupaten juga
diambil 6 pasang pemenang untuk diikutkan pada tingkat puncak.
c) Tingkat
Karisidenan. Empat kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan
Sumenep) masing-masing mengirimkan 6 pasang sapi karapan yang sudah menjadi
pemenang di tingkat kabupaten untuk diadu dan diambil 6 pasang pemenang (3
pemenang atas dan 3 pemenang bawah).
Tingkat karisidenan merupakan tingkat puncak yang Lokasi penyelenggaraannya
diadakan di Kabupaten Pamekasan.
B.
Motivasi
Pengkerap
Sapi karapan membutuhkan biaya
pemeliharaan yang tidak sedikit. Rata-rata biaya rutin yang dikeluarkan untuk
pemeliharaan adalah sekitar Rp. 5.800.000,- per pasang dalam satu bulan.
Dalam pemeliharaan ada dua metode yang
dipakai oleh pemilik sapi karapan, yaitu: pertama, pemilik memelihara sapi di rumahnya dengan
memakai tenaga kerja untuk memeliharanya dan mengupahnya secara harian atau
bulanan. Setiap pasang sapi karap cukup dipelihara oleh 1 orang/hari. Kedua, menitipkan sapinya kepada orang lain
untuk memelihara tanpa mengupahnya, tetapi biaya pakan dan perawatan tetap
dikeluarkan oleh pemilik. Pemilik mengijinkan pemelihara untuk mengikutsertakan
sapinya pada lomba karapan sapi di daerah/lokasi pemelihara dan apabila
mendapatkan hadiah maka hadiah tersebut menjadi hak pemelihara. Jadi upah
pemelihara adalah dari hadiah tersebut. Dalam metode kedua ini, pemelihara
tidak mengutamakan orientasi ekonomi tetapi lebih pada hobby.
Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan
meliputi
1) membersihkan
kandang sehingga kondisi kandang selalu terjaga kebersihannya sehingga nyaris
tidak ada kotoran sapi dalam kandang maupun di pantat sapi
2) memandikan
sapi dua kali sehari agar sapi-sapi tersebut tidak kepanasan karena jamunya
memang yang menghangatkan tubuh
3) memberi
pakan baik berupa rumput/dedauanan maupun jamu
4) memijat yang lakukan dengan mginjak-injak tubuh sapi
agar otot-otot sapi tidak kaku dan aliran darahnya lancar. Orang yang bertugas
memandikan dan memijat sapi dikenal dengan tukang obu.
Guna melatih sapi agar bisa berlari
kencang maka sapi selalu dilatih pacuan secara rutin minimal 1 kali latihan per
bulan dengan 3 kali lintasan setiap latihan. Dalam latihan tersebut, pemilik
sapi karapan menggunakan joki yang dibayar setiap latihan dengan besaran
tergantung dari kondisi keuangan sipemilik sapi. Besarannya adalah berkisar Rp
50.000 – Rp 500.000/latihan. Biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam
pemeliharaan adalah untuk membeli telur yang seakan-akan menjadi pakan utama.
Telur yang diberikan adalah telur ayam kampung yang kadang-kadang juga dicampur
dengan telur bebek.
Pemberian pakan telur ini bertujuan
untuk menambah stamina si sapi dan membuat larinya semakin kencang. Jumlah
telur yang diberikan oleh pemilik sapi kerap berbeda-beda, paling sedikit 10
butir/hari untuk sepasang sapi dan paling banyak 200 butir/hari. Besarnya
jumlah telur akan sa ngat berpengaruh dengan prestasi sapi. Sapi yang
mengkonsumsi 200 butir/hari adalah sapi yang sudah masuk final piala presiden
tingkat karisidenan. Komponen biaya terbesar kedua adalah untuk
rumput/dedaunan. Rumput atau dedaunan yang diberikan, bukan rumput pakan sapi
pada umumnya untuk penggemukan, tetapi rumput atau dedaunan yang bisa
memberikan tenaga karena dalam karapan sapi yang dimanfaatkan adalah tenaga si
sapi. Daun yang diberikan adalah daun lamtoro beserta buahnya yang masih muda,
daun jagung, daun sorgum (bulir dalam istilah lokal Madura) dan daun beruk ( istilah lokal madura). Jamu yang
diberikan pada sapi kerap merupakan parutan kunyit, jahe, temulawak, kunci,
gula merah, kopi, miniman bersoda dan anggur malaga. Masing-masing pengkerap
mempunyai racikan ramuan tersendiri.
Bagi pengkarap yang kondisi keuangannya
besar bisa membeli ramuan khusus yang tidak bisa dibeli oleh pengkarap lain.
Biaya untuk ramuan tersebut bisa mencapai Rp 2 juta/pasang/bulan. Sedangkan
kalau akan ada acara pertandingan maka biaya juga akan meningkat. Tiga bulan
sebelum mengikuti perlombaan, pemeliharaan sapi akan lebih intensif terutama
untuk pemberian telur dan jamu. Konsumsi telur yang biasanya akan dinaikkan 50%
dari konsumsi pada hari-hari biasa. Demikian juga dengan latihan akan bertambah
menjadi 2 kali dalam sebulan. Selain itu
ada biaya yang harus dikeluarkan pada saat mengikuti perlombaan, yaitu:
1) Biaya
pendaftaran. Besaran biaya pendaftaran tergantung dari hadiah yang diperebutkan
berkisar antara Rp 300.000 – 2.500.000
2) Biaya
transportasi. Biaya ini dikeluarkan untuk mengangkut sapi dari kandang dan
rombongan pengiring ke lokasi perlombaan. Besarnya tergantung dari jarak antara
kandang dengan lokasi perlombaan.
3) Biaya
tenaga kerja pengiring. Setiap pasang sapi membutuhkan 10 tenaga kerja
pengiring yang bertugas mempersiapkan sapi dari kandang sampai ke persiapan
start di arena perlombaan. Sebelum karapan dimulai, sapi di pegang oleh 10
orang tersebut, masing-masing 5 orang untuk satu sapi. Dua orang paling depan
yang memegang kepala (2 sapi) mendapatkan upah masing-masing Rp 250.000/hari
dan pengiring yang lain Rp 50.000/hari.
4) Biaya
tambahan untuk joki. Upah joki pada saat latihan berbeda dengan pada saat
lomba. Joki akan mendapatkan upah dua kali sampai enam kali lipat dibandingkan
pada saat latihan dan akan mendapatkan tambahan lagi kalau menjadi juara.
5) Biaya
konsumsi. Biaya ini dikeluarkan untuk konsumsi rombongan pengiring
6) Biaya
bahan perangsang. Untuk merangsang sapi berlari kencang, pengkarap memberikan
bahan-bahan tertentu kepada sapi. Bahan-bahan tersebut adalah: minuman
suplemen, balsem, jahe, cabe, dan spirtus.
7) Biaya
beli nomor peserta. Selain biaya pedaftaran, peserta bisa membeli nomor peserta
dimana nomor tersebut akan berpengaruh pada posisi race dan lawan tanding.
Nomor ini sering disebut dengan nomor
pathek . Harga nomor ini bisa mencapai 50 juta tergantung dari hadiah yang
diperebutkan.
Biaya di atas belum termasuk biaya
awal/modal yang meliputi kandang, bibit sapi, dan perlengkapan karapan. Kondisi
kandang sapi kerap berbeda dibanding
kandang sapi potong. Kebersihan kandang sapi kerap sangat terjaga. Bibit sapi biasanya didatangkan dari Pulau
Sapudi dengan harga yang sangat variatif. Harga termahal sepasang bibit sapi
kerap di Sumenep adalah Rp 450 juta yang ada di Kecamatan Bluto, Sumenep. (hasil
wawancara bpk Sukmo)
Berdasarkan kepemilikannya, satu
pengkerap bisa memilliki lebih dari sepasang sapi. Satu pengkerap paling banyak
memiliki 9 pasang sapi. Pendapatan yang
diperoleh dari pengkarap adalah hanya bersumber dari hadiah yang didapat,
dimana dalam setiap lomba hanya diambil 6 pemenang yaitu 3 pemengan atas dan 3
pemenang bawah. Hadiah paling besar adalah mobil. Semakin besar hadiah yang
diperoleh maka sapi yang juara adalah sapi yang mendapatkan perlakuan sangat
mahal. Sapi tersebut tidak akan diikutkan dalam lomba karapan dengan
hadiah dengan harga di bawah mobil.
Dalam satu tahun biasanya ada 5-6 lomba, dengan lomba terbesar memperebutkan
piala presiden yang diikuti oleh pengkarap dari seluruh kabupaten di Madura.
Besarnya biaya dan tidak seimbangnya
hadiah yang diperoleh menunjukkan bahwa yang menjadikan pengkarap sapi bertahan
sampai saat ini adalah bukan dari keuntungan yang diperoleh secara ekonomi.
Tetapi ada faktor lain yang mendorong mereka untuk melanggengkan karapan sapi,
yaitu hobby. Pengkerap rela merugi
secara ekonomi asalkan hobby-nya
tersalurkan dan secara tersembunyi mempunyai motif gengsi yang sangat tinggi.
Pasangan sapi yang bisa menjadi juara akan memberikan gengsi yang tinggi bagi
pemiliknya. Oleh karena itu, pemilik akan berusaha semaksimal mungkin agar
sapinya menjadi juara walaupun dengan biaya yang besar.
Besarnya tujuan untuk memperoleh gengsi
ini dibuktikan juga dengan menolaknya pengkarap terhadap tawaran sapi yang
juara oleh pembeli. Sapi yang sudah pernah menjadi juara, harganya menjadi
tinggi apalagi juara pada level karisidenan. Salah satu pengkerap yang sapinya
pernah menjadi juara di piala presiden sudah ditawar 700 jutaan, tetapi tidak
dilepas dengan alasan ” kalau saya lepas, nanti dia (pemilik baru) yang akan
menjadi juara, kalau sudah mulai sakit-sakitan akan saya bawa ke surabaya untuk
dipotong”. Alasan ini menunjukkan bahwa pemilik/pengkerap tidak mau disaingi
oleh orang lain yang akan menurunkan gengsinya.
C.
Dampak
Ekonomi
Secara ekonomi, bagi pengkerap atau
pemilik sapi karapan tidak ada keuntungan finansiall yang diperoleh, tetapi
adanya karapan sapi mempunyai multiplyer
effect yang besar bagi masyarakat umum
dan pemerintah daerah. Masyarakat yang bisa mendapatkan keuntungan dari adanya
karapan sapi adalah:
1) Masyarakat
sebagai tenaga kerja baik sebagai
pemelihara, joki, maupun pengiring/rombongan
dalam karapan. Meskipun jumlahnya tidak besar, tetapi dengan karapan
sapi maka ada lapangan pekerjaan. Secara rinci, pihak yang terlibat sebagai tenaga kerja dalam
karapan sapi adalah:
a)
tukang tongko (orang yang bertugas
mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles);
b)
tukang tambeng (orang yang menahan tali
kekang sapi sebelum dilepas);
c)
tukang gettak (orang yang menggertak
sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat);
d)
tukang tonja (orang yang bertugas
menarik dan menuntun sapi); dan
e)
tukang gubra (anggora rombongan yang
bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).
2) Masyarakat
penyuplai pakan baik penyediarumput/dedaunan, jamu, madu,
maupun telur. Paling besar mendapatkan keuntungan disini adalah penyuplai
telor. Dalam perebutan piala presiden di tingkat kabupaten dilombakan 30 pasang
sapi yang berasal dari 5 kawedanan, dimana tiap kawedanan mengirimkan 6 pasang.
3) Masyarakat pedagang makanan dan kerajinan . Setiap ada
karapan sapi, pedagang makanan dan kerajinan selalu ada di lokasi karapan baik
untuk karapan tradisional maupun pariwisata. Pada karapan pariwisata,
pemerintah daerah selalu mengundang pedagang makanan lokal dan kerajinan khas
madura (cendera mata dan batik). Pedagang datang ke lokasi karena dalam karapa
n sapi selalu ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Peneliti belum bisa memperkirakan perhitungan perputaran uang atas transaksi
tersebut di lokasi karapan. Kunjungan
wisatawan domestik dan mancanegara untuk karapan sapi cenderung meningkat
4) Masyarakat
pelaku ekonomi lainnya: perhotelan atau penginapan - terutama untuk tourism
mancanegara dan travel agent.
5) Pemerintah
daerah mendapatkan retribusi dan pajak
Dampak lainnya
Hal yang menjadi perhatian kalangan
ulama dan pecinta binatang adalah perlakuan terhadap sapi pada saat perlombaan.
Agar sapinya lari kencang, apapun dilakukan oleh pengkerap. Sapi-sapi itu
berpacu dalam kesakitan, dan pantatnya berdarah. Cairan merah itu meleleh
akibat garukan paku sang joki yang ditancapkan pada gagang kayu seperti parut.
Tidak hanya itu. Mata, pantat yang luka, dan sekitar lubang anus si sapi
diolesi cuka, sambal, dan balsem. Selain paku yang ditancapkan pada tongkat sepanjang sekitar 15 sentimeter
itu, bagian dalam ekor sapi diikat dengan kayu yang juga berpaku. Saat berlari,
ekor yang dipasangi kayu berpaku itu naik turun, dan menusuk kulit sekitar
dubur sapi. Sapi-sapi itu terlihat meronta, mengentak-entakkan kaki dan
mendengus berulang-ulang. Tidak heran jika setiap pasangan sapi karapan harus
dipegang oleh banyak orang agar tidak kalap dan lari sembarangan.
Pada kondisi seperti itu, tidak jelas
apakah setiap pasangan sapi karapan
berlari karena kekuatan ototny a atau karena ingin lepas dari rasa
sakit. Bisa jadi, pasangan sapi akan diadu beberapa kali. Artinya, sapi-sapi
tersebut akan mendapatkan perlakuan menyakitkan berulang-ulang. Seolah tanpa beban, begitu pacuan usai, para
pemilik sapi langsung menyembuhkan luka-luka itu, meski tindakan itu
menimbulkan rasa sakit baru. Caranya, luka itu ditetesi spiritus, zat cair yang
mengandung alkohol dan mudah menguap. Atau ditetesi air pa nas bercampur garam.
Dengan cairan itu luka-luka diyakini
bisa cepat kering dan sembuh. Penyiksaan itu merupakan penyimpangan dari budaya
asli yang terjadi sejak terlibatnya pemilik modal. Karapan yang semula digelar
secara santai untuk hiburan setelah panen berubah menjadi sesuatu yang
menegangkan. Apalagi setelah melibatkan gengsi atau taruhan harga diri dan
taruhan uang (Pemangku Budaya di Madura). Munculnya penyiksaan pada sapi itu
sekitar tahun 1980-an. Diperkirakan, penggunaan paku dan kekerasan lainnya
karena semakin kerasnya kompetisi. Maka cara-cara yang digunakan juga melebihi
batas kompetisi seperti itu.
Karena itu, alangkah baiknya jika
tradisi karapan sapi dikembalikan ke asalnya yang hanya mengadu kekuatan otot
sapi (kompas, 2008). Guna menghapuskan penyiksaan sapi, pemerintah bisa membuat
peraturan tentang pelarangan penyikasaan dan dilaksanakan secara tegas.
Pemerintah bisa memulai untuk karapan sapi pariwisata.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Secara ekonomi, memelihara sapi karapan
tidak menguntungkan
2. Motif
pengkerap memelihara sapi kerapan adalah hobby dan status sosial
Dampak
ekonomi:
a)
Membuka peluang kerja
b)
Memberi peluang usaha untuk pakan sapi,
telur ayam kampung, makanan, kerajinan, perhotelan, dan travel agent Memberikan
pendapatan daerah dampak lainnya: terjadi tindak kekerasan atau penyiksaan
terhadap hewan (sapi kerap)
Saran
Pemerintah
harus mencari solusi bagaimana agar biaya modal dan pemeliharaan karapan sapi tidak mahal sehingga kelestarian tradisi
karapan sapi tetap terjaga apabila pengkerap beralih orientasi ekonomi. Guna
menghapuskan penyiksaan sapi, pemerintah bisa membuat peraturan tentang pelarangan
penyikasaan dan dilaksanakan secara tegas. Pemerintah bisa memulai untuk
karapan sapi pariwisata.
DAFTAR
PUSTAKA
Daroko,
dkk. 2010. Ensiklopedi Pamekasan, Alam,
Masyarakat, dan Budaya. Pamekasan: PT. Intan Sejati
Efendi
EH., 2010. Pergeseran Fungsi-Fungsi
Sosial Budaya Karapan Sapi Pada Masyarakat Desa Ranu Bedali . Skripsi. UMM
Malang.
Santoso
B.I., 2006. Karapan Sapi Di Pulau Madura
Dari Aspek Komunikasi Dan Aspek Local Wisdom Pada Sektor Pertanian: Makalah Sain
dan Filsafat. Tidak dipublikasikan.
Sulaiman,
BA. 1983-1984. Kerapan Sapi. Proyek Media
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Suyatno,
2010. Sosiologi: Perubahan Sosial. Undip Press
www.kompas.com,
Pantat Dipaku, Mata dan Dubur Diolesi
Balsem, Diakses 29 November 2013
No comments:
Post a Comment