Songs

Sunday, December 8, 2013

Muhammad Erik



DAMPAK BIDANG EKONOMI TERHADAP PERGESERAN NILAI BUDAYA KARAPAN SAPI

Oleh: Mohammad Eric Zulkarnaen (110731435517)
Off B 2011
mohammaderic@gmail.com

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman et nis dan suku, karena memang Indonesia terbentuk dari berbagai suku-suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan masing-masing. Sehingga tidak asing apabila diasumsikan dengan kata bhineka tunggal ika, yang artinya berbeda –beda tetapi tetap satu. Apabila kita melihat dalam konteks global, maka kebudayaan yang dimiliki ini sebetulnya dapat dijadikan aset negara sebagai keungg ulan dan kekayaan budaya khas Indonesia yang tidak tertandingi oleh negara-negara lain sehingga hal tersebut dapat mengangkat citra Indonesia dimata dunia.
Partisipasi masyarakat dalam melestarikan budaya sendiri harus saling terjalin dengan baik, sehingga kesadaran kolektif dan jiwa optimis akan tertanam di setiap manusia Indonesia. Dengan keaneragaman kebudayaan yang muncul dalam keberadaan di nusantara ini, ada beberapa macam kebudayaan yang sangat unik dan tetap dinilai sebagai salah satu kebudayaan yang dihormati, salah satunya adalah karapan sapi. Kerapan Sapi adalah sebagai salah satu wujud hasil budaya yang berupa  kesenian yang mana kerapan sapi merupakan salah satu jenis atraksi yang diangkat dari budaya Madura dan bentuk dari budaya tersebut adalah memperagakan lomba pacuan sapi yang memang khusus untuk dilombakan.  Dalam even karapan sapi para penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya, tetapi sebelum memulai para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi disekelilingi pacuan disertai alat musik seronen perpaduan alat music khas Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin meriah.
Karapan sapi pada awalnya adalah budaya untuk menyambut musim tanam padi dengan maksud membangun komunikasi dan informasi saat tanam ketika hujan mulai jatuh di beberapa bagian pulau. Semua bagian masyarakat biasanya terlibat dan bergembira, baik pemilik sapi maupun pemilik tegal/sawah, walaupun sebenarnya jarang masyarakat di Madura memiliki bersama-sama kedua barang ‘mewah’ tersebut. (Santoso, 2006).
Karapan sapi sekarang tidak lagi dikenal sebagai sebuah ritual kebudayaan pada pertanian, tetapi menjadi ajang perlombaan atau kejuaraan sehingga ada pergeseran fungsi. Yang tadinya berfungsi untuk membangun komunikasi dan informasi serta solidaritas antar masyarkaat bergeser fungsi menjadi untuk mencari pemenang pacuan sapi. Bahkan sudah menjadi even pariwisata di Indonesia yang tidak hanya disaksikan oleh turis local tapi juga turis dari mancanegara pun banyak yang menyaksikan karapan sapi ini.  Pergeseran fungsi ini tentunya akan membawa dampak baik yang diharapkan (positif) maupun dampak yang tidak diharapkan (negatif).

       I.            Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana pengertian dan sistem pertandingan dalam perlombaan karapan sapi?
2.      Bagaimana motivasi dari pengkarap di dalam menjalankan tradisi karapan sapi?
3.      Bagaimana dampak ekonomi terhadap pergeseran kebudayaan karapan sapi?

    II.            Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui bagaimana pengertian dan sistem pertandingan dalam perlombaan karapan sapi.
2.      Untuk mengetahui motivasi dari pengkarap di dalam menjalankan tradisi karapan sapi.
3.      Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap pergeseran kebudayaan karapan sapi

 III.            Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan di Sumenep pada Oktober- November 2013. Jenis data yang akan dijadikan bahan pembahasan adalah data primer dan data skunder. Data  primer didapatkan melalui wawancara langsung. Sedangkan data skunder diperoleh dari penelusuran pustaka. Dampak Ekonomi dapat dilihat terhadap pelaku atau pemilik karapan sapi dan masyarakat. Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar adalah dengan pendekatan biaya yang dikeluarkan oleh pemilik sapi dalam memelihara sapi dan keikutsertaan dalam lomba karena biaya yang dikeluarkan akan mengalir ke masyarakat baik sebagai tenaga kerja maupun penyedia faktor produksi dan peluang ekonomi lainnya.

PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan sistem pertandingan dalam perlombaan karapan sapi

Seperti banyak tradisi di seluruh dunia, kerapan sapi di Madura mempertahankan makin banyak tekanan dari modernisasi dan globalisasi. Sifat tertentu dan rupanya masih ada yang sama dengan pacuan yang muncul 500 tahun yang lalu (Sulaiman, 1984: 9) pada waktu petani-petani dulu memacukan sapinya sedangkan membajak tanah supaya mempercepatkan kerjanya yang membosankan dan berat.
Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi di Pulau Madura. Pada perlombaan tersebut, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu yang disebut kaleles, tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi, dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan sapi lain. (Daroko, dkk, 2010: 162)
Karapan sapi dibagi menjadi dua jenis, yaitu karapan sapi pariwisata dan karapan sapi tradisional. 
1)      Karapan sapi pariwisata diadakan khusus untuk kegiatan pariwisata yang diadakan rutin setiap bulan sekali dan atau insidental sesuai dengan pesanan wisatawan. Wisatawan yang ingin menonton karapan sapi tetapi tidak ada jadwal karapan, maka bisa memesan ke dinas pariwisata dan kebudayaan untuk mengadakan karapan sapi dengan jumlah sapi dan waktu pelaksanaan disepakati bersama dimana biaya penyelengaraan ditanggung oleh wisatawan.
2)      Karapan sapi tradisonal, yaitu karapan sapi yang bertujuan mendapatkan juara atau memperebutkan hadiah. Hal ini yang membedakan dengan karapan sapi pariwisata yang tanpa hadiah. Karapan sapi tradisional juga menjadi objek pariwisata. Dalam pelaksanaanya, ada yang diadakan rutin setiap tahun dan ada yang insidental diadakan misalnya kapolda cup, karapan yang diadakan perorangan untuk acara tertentu, atau karapan yang diadakan kelompok pengkarap.Karapan sapi tradisional yang rutin diselenggarakan setiap tahun adalah memperebutkan piala presiden di pamekasan.
Kompetisi piala presiden secara berurutan dimulai dari 
a)      Tingkat eks kawedanan. Pada tingkat eks kawedanan diambil 6 pasang sapi pemenang - 3 pasang   pemenang atas dan 3 pasang pemenang bawah – untuk kemudian diikutsertakan pada tingakatan selanjutnya.
b)      Tingkat kabupaten. Peserta karapan pada tingkat ini adalah para pemenang di tingkat eks kawedanan. Seperti halnya pada tingkat sebelumnya, pada tingkat kabupaten juga diambil 6 pasang pemenang untuk diikutkan pada tingkat puncak.
c)      Tingkat Karisidenan. Empat kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) masing-masing mengirimkan 6 pasang sapi karapan yang sudah menjadi pemenang di tingkat kabupaten untuk diadu dan diambil 6 pasang pemenang (3 pemenang atas dan  3 pemenang bawah). Tingkat karisidenan merupakan tingkat puncak yang Lokasi penyelenggaraannya diadakan di Kabupaten Pamekasan.

B.       Motivasi Pengkerap
Sapi karapan membutuhkan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. Rata-rata biaya rutin yang dikeluarkan untuk pemeliharaan adalah sekitar Rp. 5.800.000,- per pasang dalam satu bulan.
Dalam pemeliharaan ada dua metode yang dipakai oleh pemilik sapi karapan, yaitu: pertama,  pemilik memelihara sapi di rumahnya dengan memakai tenaga kerja untuk memeliharanya dan mengupahnya secara harian atau bulanan. Setiap pasang sapi karap cukup dipelihara oleh 1 orang/hari.  Kedua, menitipkan sapinya kepada orang lain untuk memelihara tanpa mengupahnya, tetapi biaya pakan dan perawatan tetap dikeluarkan oleh pemilik. Pemilik mengijinkan pemelihara untuk mengikutsertakan sapinya pada lomba karapan sapi di daerah/lokasi pemelihara dan apabila mendapatkan hadiah maka hadiah tersebut menjadi hak pemelihara. Jadi upah pemelihara adalah dari hadiah tersebut. Dalam metode kedua ini, pemelihara tidak mengutamakan orientasi ekonomi tetapi lebih pada hobby.
Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan meliputi
1)      membersihkan kandang sehingga kondisi kandang selalu terjaga kebersihannya sehingga nyaris tidak ada kotoran sapi dalam kandang maupun di pantat sapi
2)      memandikan sapi dua kali sehari agar sapi-sapi tersebut tidak kepanasan karena jamunya memang yang menghangatkan tubuh
3)      memberi pakan baik berupa rumput/dedauanan maupun jamu
4)      memijat  yang lakukan dengan mginjak-injak tubuh sapi agar otot-otot sapi tidak kaku dan aliran darahnya lancar. Orang yang bertugas memandikan dan memijat sapi dikenal dengan tukang obu.
Guna melatih sapi agar bisa berlari kencang maka sapi selalu dilatih pacuan secara rutin minimal 1 kali latihan per bulan dengan 3 kali lintasan setiap latihan. Dalam latihan tersebut, pemilik sapi karapan menggunakan joki yang dibayar setiap latihan dengan besaran tergantung dari kondisi keuangan sipemilik sapi. Besarannya adalah berkisar Rp 50.000 – Rp 500.000/latihan. Biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam pemeliharaan adalah untuk membeli telur yang seakan-akan menjadi pakan utama. Telur yang diberikan adalah telur ayam kampung yang kadang-kadang juga dicampur dengan telur bebek.
Pemberian pakan telur ini bertujuan untuk menambah stamina si sapi dan membuat larinya semakin kencang. Jumlah telur yang diberikan oleh pemilik sapi kerap berbeda-beda, paling sedikit 10 butir/hari untuk sepasang sapi dan paling banyak 200 butir/hari. Besarnya jumlah telur akan sa ngat berpengaruh dengan prestasi sapi. Sapi yang mengkonsumsi 200 butir/hari adalah sapi yang sudah masuk final piala presiden tingkat karisidenan. Komponen biaya terbesar kedua adalah untuk rumput/dedaunan. Rumput atau dedaunan yang diberikan, bukan rumput pakan sapi pada umumnya untuk penggemukan, tetapi rumput atau dedaunan yang bisa memberikan tenaga karena dalam karapan sapi yang dimanfaatkan adalah tenaga si sapi. Daun yang diberikan adalah daun lamtoro beserta buahnya yang masih muda, daun jagung, daun sorgum (bulir dalam istilah lokal Madura) dan daun  beruk ( istilah lokal madura). Jamu yang diberikan pada sapi kerap merupakan parutan kunyit, jahe, temulawak, kunci, gula merah, kopi, miniman bersoda dan anggur malaga. Masing-masing pengkerap mempunyai racikan ramuan tersendiri.
Bagi pengkarap yang kondisi keuangannya besar bisa membeli ramuan khusus yang tidak bisa dibeli oleh pengkarap lain. Biaya untuk ramuan tersebut bisa mencapai Rp 2 juta/pasang/bulan. Sedangkan kalau akan ada acara pertandingan maka biaya juga akan meningkat. Tiga bulan sebelum mengikuti perlombaan, pemeliharaan sapi akan lebih intensif terutama untuk pemberian telur dan jamu. Konsumsi telur yang biasanya akan dinaikkan 50% dari konsumsi pada hari-hari biasa. Demikian juga dengan latihan akan bertambah menjadi 2 kali  dalam sebulan. Selain itu ada biaya yang harus dikeluarkan pada saat mengikuti perlombaan, yaitu: 
1)      Biaya pendaftaran. Besaran biaya pendaftaran tergantung dari hadiah yang diperebutkan berkisar antara Rp 300.000 – 2.500.000
2)      Biaya transportasi. Biaya ini dikeluarkan untuk mengangkut sapi dari kandang dan rombongan pengiring ke lokasi perlombaan. Besarnya tergantung dari jarak antara kandang dengan lokasi perlombaan.
3)      Biaya tenaga kerja pengiring. Setiap pasang sapi membutuhkan 10 tenaga kerja pengiring yang bertugas mempersiapkan sapi dari kandang sampai ke persiapan start di arena perlombaan. Sebelum karapan dimulai, sapi di pegang oleh 10 orang tersebut, masing-masing 5 orang untuk satu sapi. Dua orang paling depan yang memegang kepala (2 sapi) mendapatkan upah masing-masing Rp 250.000/hari dan pengiring yang lain Rp 50.000/hari.
4)      Biaya tambahan untuk joki. Upah joki pada saat latihan berbeda dengan pada saat lomba. Joki akan mendapatkan upah dua kali sampai enam kali lipat dibandingkan pada saat latihan dan akan mendapatkan tambahan lagi kalau menjadi juara.
5)      Biaya konsumsi. Biaya ini dikeluarkan untuk konsumsi rombongan pengiring
6)      Biaya bahan perangsang. Untuk merangsang sapi berlari kencang, pengkarap memberikan bahan-bahan tertentu kepada sapi. Bahan-bahan tersebut adalah: minuman suplemen, balsem, jahe, cabe, dan spirtus. 
7)      Biaya beli nomor peserta. Selain biaya pedaftaran, peserta bisa membeli nomor peserta dimana nomor tersebut akan berpengaruh pada posisi race dan lawan tanding. Nomor ini sering disebut dengan nomor  pathek . Harga nomor ini bisa mencapai 50 juta tergantung dari hadiah yang diperebutkan.
Biaya di atas belum termasuk biaya awal/modal yang meliputi kandang, bibit sapi, dan perlengkapan karapan. Kondisi kandang sapi  kerap berbeda dibanding kandang sapi potong. Kebersihan kandang sapi kerap sangat terjaga.  Bibit sapi biasanya didatangkan dari Pulau Sapudi dengan harga yang sangat variatif. Harga termahal sepasang bibit sapi kerap di Sumenep adalah Rp 450 juta yang ada di Kecamatan Bluto, Sumenep. (hasil wawancara bpk Sukmo)
Berdasarkan kepemilikannya, satu pengkerap bisa memilliki lebih dari sepasang sapi. Satu pengkerap paling banyak memiliki 9 pasang sapi.  Pendapatan yang diperoleh dari pengkarap adalah hanya bersumber dari hadiah yang didapat, dimana dalam setiap lomba hanya diambil 6 pemenang yaitu 3 pemengan atas dan 3 pemenang bawah. Hadiah paling besar adalah mobil. Semakin besar hadiah yang diperoleh maka sapi yang juara adalah sapi yang mendapatkan perlakuan sangat mahal. Sapi tersebut tidak akan diikutkan dalam lomba karapan dengan hadiah  dengan harga di bawah mobil. Dalam satu tahun biasanya ada 5-6 lomba, dengan lomba terbesar memperebutkan piala presiden yang diikuti oleh pengkarap dari seluruh kabupaten di Madura.
Besarnya biaya dan tidak seimbangnya hadiah yang diperoleh menunjukkan bahwa yang menjadikan pengkarap sapi bertahan sampai saat ini adalah bukan dari keuntungan yang diperoleh secara ekonomi. Tetapi ada faktor lain yang mendorong mereka untuk melanggengkan karapan sapi, yaitu hobby.  Pengkerap rela merugi secara ekonomi asalkan  hobby-nya tersalurkan dan secara tersembunyi mempunyai motif gengsi yang sangat tinggi. Pasangan sapi yang bisa menjadi juara akan memberikan gengsi yang tinggi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, pemilik akan berusaha semaksimal mungkin agar sapinya menjadi juara walaupun dengan biaya yang besar.
Besarnya tujuan untuk memperoleh gengsi ini dibuktikan juga dengan menolaknya pengkarap terhadap tawaran sapi yang juara oleh pembeli. Sapi yang sudah pernah menjadi juara, harganya menjadi tinggi apalagi juara pada level karisidenan. Salah satu pengkerap yang sapinya pernah menjadi juara di piala presiden sudah ditawar 700 jutaan, tetapi tidak dilepas dengan alasan ” kalau saya lepas, nanti dia (pemilik baru) yang akan menjadi juara, kalau sudah mulai sakit-sakitan akan saya bawa ke surabaya untuk dipotong”. Alasan ini menunjukkan bahwa pemilik/pengkerap tidak mau disaingi oleh orang lain yang akan menurunkan gengsinya.


C.      Dampak Ekonomi
Secara ekonomi, bagi pengkerap atau pemilik sapi karapan tidak ada keuntungan finansiall yang diperoleh, tetapi adanya karapan sapi mempunyai  multiplyer effect  yang besar bagi masyarakat umum dan pemerintah daerah. Masyarakat yang bisa mendapatkan keuntungan dari adanya karapan sapi adalah:
1)      Masyarakat sebagai tenaga kerja  baik sebagai pemelihara, joki, maupun pengiring/rombongan  dalam karapan. Meskipun jumlahnya tidak besar, tetapi dengan karapan sapi maka ada lapangan pekerjaan. Secara rinci, pihak  yang terlibat sebagai tenaga kerja dalam karapan sapi adalah:
a)                  tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles);
b)                 tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas);
c)                  tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat);
d)                 tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan
e)                  tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).
2)      Masyarakat  penyuplai pakan  baik penyediarumput/dedaunan, jamu, madu, maupun telur. Paling besar mendapatkan keuntungan disini adalah penyuplai telor. Dalam perebutan piala presiden di tingkat kabupaten dilombakan 30 pasang sapi yang berasal dari 5 kawedanan, dimana tiap kawedanan mengirimkan 6 pasang.
3)      Masyarakat  pedagang makanan dan kerajinan . Setiap ada karapan sapi, pedagang makanan dan kerajinan selalu ada di lokasi karapan baik untuk karapan tradisional maupun pariwisata. Pada karapan pariwisata, pemerintah daerah selalu mengundang pedagang makanan lokal dan kerajinan khas madura (cendera mata dan batik). Pedagang datang ke lokasi karena dalam karapa n sapi selalu ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Peneliti belum bisa memperkirakan perhitungan perputaran uang atas transaksi tersebut di lokasi karapan.  Kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara untuk karapan sapi cenderung meningkat
4)      Masyarakat pelaku ekonomi lainnya: perhotelan atau penginapan - terutama untuk tourism mancanegara dan  travel agent. 
5)      Pemerintah daerah mendapatkan retribusi dan pajak 

Dampak lainnya
Hal yang menjadi perhatian kalangan ulama dan pecinta binatang adalah perlakuan terhadap sapi pada saat perlombaan. Agar sapinya lari kencang, apapun dilakukan oleh pengkerap. Sapi-sapi itu berpacu dalam kesakitan, dan pantatnya berdarah. Cairan merah itu meleleh akibat garukan paku sang joki yang ditancapkan pada gagang kayu seperti parut. Tidak hanya itu. Mata, pantat yang luka, dan sekitar lubang anus si sapi diolesi cuka, sambal, dan balsem. Selain paku yang ditancapkan  pada tongkat sepanjang sekitar 15 sentimeter itu, bagian dalam ekor sapi diikat dengan kayu yang juga berpaku. Saat berlari, ekor yang dipasangi kayu berpaku itu naik turun, dan menusuk kulit sekitar dubur sapi. Sapi-sapi itu terlihat meronta, mengentak-entakkan kaki dan mendengus berulang-ulang. Tidak heran jika setiap pasangan sapi karapan harus dipegang oleh banyak orang agar tidak kalap dan lari sembarangan.
Pada kondisi seperti itu, tidak jelas apakah setiap pasangan sapi karapan  berlari karena kekuatan ototny a atau karena ingin lepas dari rasa sakit. Bisa jadi, pasangan sapi akan diadu beberapa kali. Artinya, sapi-sapi tersebut akan mendapatkan perlakuan menyakitkan berulang-ulang.  Seolah tanpa beban, begitu pacuan usai, para pemilik sapi langsung menyembuhkan luka-luka itu, meski tindakan itu menimbulkan rasa sakit baru. Caranya, luka itu ditetesi spiritus, zat cair yang mengandung alkohol dan mudah menguap. Atau ditetesi air pa nas bercampur garam.
Dengan cairan itu luka-luka diyakini bisa cepat kering dan sembuh. Penyiksaan itu merupakan penyimpangan dari budaya asli yang terjadi sejak terlibatnya pemilik modal. Karapan yang semula digelar secara santai untuk hiburan setelah panen berubah menjadi sesuatu yang menegangkan. Apalagi setelah melibatkan gengsi atau taruhan harga diri dan taruhan uang (Pemangku Budaya di Madura). Munculnya penyiksaan pada sapi itu sekitar tahun 1980-an. Diperkirakan, penggunaan paku dan kekerasan lainnya karena semakin kerasnya kompetisi. Maka cara-cara yang digunakan juga melebihi batas kompetisi seperti itu.
Karena itu, alangkah baiknya jika tradisi karapan sapi dikembalikan ke asalnya yang hanya mengadu kekuatan otot sapi (kompas, 2008). Guna menghapuskan penyiksaan sapi, pemerintah bisa membuat peraturan tentang pelarangan penyikasaan dan dilaksanakan secara tegas. Pemerintah bisa memulai untuk karapan sapi pariwisata.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.   Secara ekonomi, memelihara sapi karapan tidak menguntungkan
2.   Motif  pengkerap memelihara sapi kerapan adalah hobby dan status sosial
Dampak ekonomi:
a)                  Membuka peluang kerja
b)                 Memberi peluang usaha untuk pakan sapi, telur ayam kampung, makanan, kerajinan, perhotelan, dan travel agent Memberikan pendapatan daerah dampak lainnya: terjadi tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap hewan (sapi kerap) 
Saran
Pemerintah harus mencari solusi bagaimana agar biaya modal dan pemeliharaan karapan  sapi tidak mahal sehingga kelestarian tradisi karapan sapi tetap terjaga apabila pengkerap beralih orientasi ekonomi. Guna menghapuskan penyiksaan sapi, pemerintah bisa membuat peraturan tentang pelarangan penyikasaan dan dilaksanakan secara tegas. Pemerintah bisa memulai untuk karapan sapi pariwisata.
 DAFTAR PUSTAKA
Daroko, dkk. 2010. Ensiklopedi Pamekasan, Alam, Masyarakat, dan Budaya. Pamekasan: PT. Intan Sejati
Efendi EH., 2010. Pergeseran Fungsi-Fungsi Sosial Budaya Karapan Sapi Pada Masyarakat Desa Ranu Bedali . Skripsi. UMM Malang.
Santoso B.I., 2006. Karapan Sapi Di Pulau Madura Dari Aspek Komunikasi Dan Aspek Local Wisdom Pada Sektor Pertanian: Makalah Sain dan Filsafat. Tidak dipublikasikan.
Sulaiman, BA. 1983-1984. Kerapan Sapi. Proyek Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Suyatno, 2010. Sosiologi: Perubahan Sosial. Undip Press
www.kompas.com, Pantat Dipaku, Mata dan Dubur Diolesi Balsem, Diakses 29 November 2013

No comments:

Post a Comment