Songs

Sunday, December 8, 2013

Evi Lailatul



KONTROVERSI BANTUAN IMF, UTANG LUAR NEGERI, DAN STABILITAS RUPIAH


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
Yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono, Mpd dan
Ibu Indah W.P. Utami, Spd, S. Hum, M.Pd



Oleh:

Evi Lailatul Hidayah
(110731435547)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Ekonomi merupakan kata yang tidak asing lagi pada pendengaran kita. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dengan masalah ekonomi. Karena masalah ekonomi sangatlah banyak dan terkadang rumit. Masalah ekonomi bisa terjadi secara individu, kelompok, bahkan sampai Negara. Misalnya saja Negara kita yaitu Indonesia, dimana Negara ini termasuk Negara yang berkembang sehingga masalah ekonomi yang menimpa sangatlah banyak dan kompleks. Apalagi dengan jumlah penduduk atau SDM yang banyak dan tidak didukung dengan kemampuannya (dalam hal ini untuk mengikuti perkembangan jaman).
Misalnya saja pada peristiwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia dalam kurun waktu 1997-1999 yang berakhir dengan adanya reformasi. Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Dapat dikatakan untuk mengatasi masalah krisis yang melanda Indonesia khususnya dalam kurun watu 1997-1999. Indonesia meminta bantuan kepada IMF. Sehingga IMF mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Namun hal tersebut sebenarnya tidaklah baik, karena perekonomian Negara kita seperti di kemudikan oleh orang lain. Karena dalam ha ini IMF mengeluarkan kebijakan-kebijakan, dimana kebijakan tersebut dirasa kurang menguntungkan bagi Indonesia. Namun tetap dilaksanakan Indonesia, karena tidak ada pilihan lain lagi untuk mengatasi krisis yang sangat kacau.
Dari penjelasan diatas mendorong saya untuk membuat makalah yang berjudul “Kontroversi Bantuan IMF, Utang Luar Negeri, dan Stabilitas Rupiah di Indonesia Pada tahun 1997-1999”.
1.2.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah peranan IMF (International Monetary Fund) dalam dalam perekonomian Indonesia pada tahun 1997-1999.
2.    Bagaimanakah dampak IMF (International Monetary Fund) dalam dalam perekonomian Indonesia (utang luar negeri dan stabilitas rupiah) pada tahun 1997-1999.

1.3.   Tujuan
1.    Untuk mengetahui peranan IMF (International Monetary Fund) dalam dalam perekonomian Indonesia pada tahun 1997-1999.
2.    Untuk mengetahui dampak IMF (International Monetary Fund) dalam dalam perekonomian Indonesia (utang luar negeri dan stabilitas rupiah) pada tahun 1997-1999.
1.4  Metode Penelitian
·         Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memakai studi kepustakaan (library reseach) yang didalamnya menggunakan bahan-bahan pustaka yang relevan. Kajian pustaka ini menggunakan telaah pustaka untuk memecahkan masalah dengan kajian kritis yang mendalam. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara pengumpulan data dari berbagai sumber yang kemudian disajikan dengan cara baru. Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan sumber sekunder.
Penelitian ini menggunakan metode penilitian historis sedangkan jenis penelitiannya berupa deskriptif-narasi. Metode historis digunakan untuk mengkaji secara kritis mengenai fakta-fakta empiris masa lampau yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sesuai dengan kajian penelitian. Dalam metode sejarah dikenal lima tahap, yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Berikut penjelasan mengenai kelimanya.
a.      Pemilihan Topik
Menurut (Kuntowijoyo, 1994: 95) Pemilihan topik sebaiknya digunakan dua pendekatan yakni, berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Kedekatan emosional peneliti dengan apa yang akan dikaji sudah sesuai karena peniliti sudah pernah merasakan keadaan tersebut (krisis ekonomi 1997-1999), meskipun pada waktu itu peneliti masih anak-anak. Selain itu orang-orang disekitar peneliti juga merasakan dan mengetahui  hal yang sama. Secara intelektual penelitian ini dilakukan karena penulis pernah membaca literatur mengenai perekonomian Indonesia pada masa krisis 1997-1999.

b.      Heuristik
Heuristik, berasal dari bahasa Yunani yaitu  heuriskein yang artinya memperoleh. Heuristik merupakan proses mencari bahan atau menyelidiki sejarah untuk mendapatkan sumber (Kuntowijoyo, 1994: 95). Penulisan sejarah kini harus mulai menyempurnakan alat-alat analitisnya dengan cara meminjam konsep serta teori dari ilmu-ilmu sosial (Kartodirdjo, 1992: 8). Jadi dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan dengan menggunakan teori  ilmu sosial yaitu menggunakan pendekatan sosiologis dimana terdapat peristiwa sosial dan nilai-nilai kehidupan.
c.       Kritik Sumber
Kritik merupakan kemampuan dalam menilai sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan. Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
·         Kritik eksternal
Menurut (Kartodirdjo, 1992: 10) untuk mengetahui keautentikan suatu dokumen dapat dilihat melalui identitasnya, yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya.
·         Kritik Internal
       Menurut (Kartodirdjo, 1992: 10) Kritik internal dilakukan untuk menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen. Kritik ini dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak atau dengan kata lain dapat diklarifikasikan menurut penafsiran yang diperoleh peneliti, dari subjektifitas sampai objektifitas suatu dokumen.
d.      Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai-kannya hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagai fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya sesuai dengan fakta untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit.
Menurut (Kuntowijoyo, 1994:100) Interprestasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Dalam ilmu sejarah penafsiran ini dilakukan setelah melewati beberapa kritik dari fakta-fakta yang timbul dari dokumen yang ditemukan oleh peneliti. Interprestasi merupakan urutan ketiga yang dilakukan dalam historiografi. Dalam hal interpretasi ini peneliti memiliki dua langkah, yaitu analisis dan sintetis.
e.       Historiografi
   Histografi yaitu penulisan masa lalu oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Sebagai suatu karya ilmiah, histografi merupakan fase terakhir dalam sebuah penelitian sejarah. Hasil dalam penelitian itu kemudian ditulis, dipaparkan dan dilaporkan dalam bentuk karya ilmiah. Dalam sebuah penelitian sejarah, penekanan yang terjadi terletak pada pemikiran yang sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi kausalitasnya. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan penelitian ilmiah ilmu lain. Setiap penulisan dilakukan sesuai dengan data yang diperoleh. Penyusunan laporan yang dilakukan secara sistematis dan terperinci.dan diharapkan data sesuai dengan apa yang diperoleh. Kemudian dari sanalah akan dicapai pada suatu kesimpulan yang diharapkan pada awal penyusunan sebuah penelitian. 






























BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Peranan IMF (International Monetary Fund) Dalam Perekonomian Indonesia Pada Tahun 1997-1999.
A.    Sejarah Tentang IMF (International Monetary Fund)
IMF bersama Bank Dunia (World Bank) dilahirkan melalui pasal-pasal perjanjian (Articles of Agreement) yang dirumuskan dalam koferensi internasional di bidang moneter dan keuangan di Bretton Woods, New Hampshire, USA, 1-22 Juli 1944. Kemudian melahirkan perjanjian yang dikenal dengan Bretton Woods. Dimana dari perjanjian ini yang pokok isinya menjelaskan  sistem, yang intinya mewajibkan seluruh negara penanda tangan perjanjian tersebut (awalnya 44 negara) untuk mengkaitkan nilai tukar mata uangnya (pegged rate) terhadap emas dengan kelonggaran hanya plus minus 1 %.
IMF yang secara resmi berdiri tanggal 27 Desember 1945 setelah 29 negara menanda tangani Articles of Agreement, dan memiliki tugas utama untuk mengawasi negara-negara penanda tangan agar mematuhi apa yang telah disepakatinya, bahkan apabila ada penyimpangan diatas plus minus 1% maka perlu persetujuan khusus dari IMF. Sesuai kesepakatan ini pula Dollar Amerika dikurskan  ke emas dengan rate US$ 35 per troy ounce emas.
Namun  Negara  Amerika Serikat yang menjadi promotor Bretton Woods dan juga IMF, ternyata menjadi negara pertama yang secara diam-diam melanggar kesepakatan bersama tersebut. Bahkan kecurangan ini mulai mendapatkan protes oleh sekutu Amerikat Sendiri yaitu Generale De Gaulle dari Perancis yang pada tahun 1968 mengatakan kesewenang-wenangan Amerika sebagai mengambil hak istimewa yang berlebihan (exorbitant privilege).
Keingkaran Amerika Serikat mencapai puncaknya, ketika secara sepihak Amerika Serikat memutuskan untuk tidak lagi (mengkaitkan) dollar-nya dengan cadangan emas yang mereka miliki, karena memang mereka tidak mampu lagi. Kejadian ini tentu mengguncang dunia karena sejak saat itu Dollar Amerika tidak bisa lagi dipercayai nilainya sampai sekarang.
Yang menarik adalah, dari keingkaran Amerika Serikat ini seharusnya masyarakat dunia sudah menyadari bahwa IMF telah gagal menjalankan fungsinya untuk mengawasi para anggota, agar mengkaitkan mata uangnya terhadap emas dan tidak lebih dari plus minus 1 %. Kegagalan IMF menjalankan fungsi utama ini seharusnya  membuat IMF bubar karena tidak ada lagi alasan untuk menjustifikasi keberadaannya.
Namun apa yang terjadi kemudian adalah hal yang justru dapat membongkar siapa sebenarnya IMF. Hanya sekitar empat bulan setelah tanggal yang seharusnya menjadi tanggal kematian IMF, yaitu 15 Agustus 1971, pada tanggal 18 Desember 1971, IMF justru dihidupkan kembali dalam bentuknya yang baru melalui perjanjian yang disebut sebagai Smithsonian Agreement dan ditanda tangani di Smithsonian Institute. Dari dua nama yang terakhir ini tentu tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami, minimal ‘keeratan hubungan’ antara IMF dan Yahudi.
Berdirinya IMF dan lembaga-lembaga ekonomi internasional lainnya seperti world bank, GAAT, dan IBRD (international bank for reconstruction and development) merupakan imbas dari lahirnya ideologi liberalisme, yang buah dari itu, melahirkan sektor ekonomi pemikiran baru yaitu kapitalisme.
B.     Peranan IMF (International Monetary Fund) dalam perekonomian Indonesia
Krisis nilai tukar yang terjadi sebagai akibat penularan dari krisis di Thailand telah melanda Indonesia dalam tahun 1997-1999, tidak saja di bidang ekonomi tetapi berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter di Indonesia secara cepat menjalar menjadi krisis perbankan, krisis ekonomi, dan berlanjut ke krisis sosial-politik dan bidang-bidang lain.
Ketika IMF memasuki suatu negara, mereka tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan kepala tim ekonom Bank Dunia, IMF biasanya mengembangkan program 4 langkah yaitu:
1.      Program ”privatisasi”, yang menurut Stiglitz lebih tepat diguna-kan sebgai program penyuapan. Pada program ini, perusahaan-peruysahaan milik negara yang menjadi penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar.
2.      Program ”Liberalisasi Pasar Modal” , yang dalam teorinya, dere-gulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan dana devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjukkan oleh IMF.
3.      ”Pricing” atau penentuan harga sesuai dengan pasar, sebuah istilah yang muluk untuk menaikkan program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air  bersih dan BBM. Tahapan ini akan menuju tahapan ”kerusuhan IMF”, yaitu sebuah kekacau-an di dalam negara penerima bantyuan IMF dalam skup multidi-mensi. banyaknya kerusuhan, aksi demonstrasi yang dibubarkan dengan gas air mata, peluru dan tank. Hal ini akan menyebabkan pelarian modal (capilat flight) dan kebangkrutan pemerintah setempat.
4.      ”Strategi Pengentasan Kemiskinan” yaitu ”Pasar Bebas”. Akibat program ini adalah penguasa kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku bunga dsampai 60% dari bank lokal, dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari  AS dan Eropa, dimana suku bunga berkisar tidaklebih antara 6-7%. Program ini mematikan kaum kapitalis lokal. (ZA. Maulani, 2003: 184-189)

Indonesia menjadi anggota resmi IMF sejak 15 April 1954. Namun pada Mei 1965 Indonesia keluar. Karena terjadi kerusuhan  1964-1965 seperti G30/S/PKI. Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada tanggal 23 Februari 1967. Dari sini dapat diketahui bahwa sesungguhnya Indonesia telah menjadi anggota IMF sejak kepemimpinan Orde Lama Soekarno. Namun ini tidak berarti Indonesia ketika itu melihat IMF sebagai lembaga keuangan yang dibutuhkan pinjamannya. Melainkan ini lebih merupakan tren negara-negara di berbagai belahan dunia untuk bergabung dalam IMF.
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia merupakan efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal Juli 1997 yang melanda pasar valuta asing di kawasan Asia dan mempengaruhi pasar valas di Indonesia yang beroperasi dalam perekonomian nasional. Hal ini menyebabkan  krisis dan melanda semua aspek kehidupan masyarakat, karena pasar keuangan domestik sudah terintegrasi ke dalam pasar keuangan global. Krisis di Indonesia menjadi sangat parah karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorisasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Dan untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah kita meminta bantuan kepada IMF. Tetapi bantuan tersebut tentunya tidak diberikan secara percuma.
Dapat kita analisis bahwa, sebenarnya IMF memberikan  bantuan kepada Indonesia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pada saat terjadi krisis awal tahun 1997 telah terjadi likuiditas dan penurunan suku bunga , dan nilai tukar rupiah merosot secara tajam. Secara teoritis, kurs rupiah terhadap valuta asing ditentukan oleh purchasing power parity, yaitu sekeranjang barang dan jasa yang identic dan representative dapat dibeli dengan beberapa rupiah di Indonesia, dan beberapa dolar AS (kwik,1999: 51-52).
Antara tahun 1967 sampai 1997 IMF (dan Bank Dunia) telah membuat perekonomian Indonesia menjadi terbuka untuk dipegang oleh pemodal Barat (khususnya Amerika Serikat) melalui dorongan untuk menjalankan deregulasi dan swastanisasi. Beberapa perusahaan asing yang menjadi investasi Amerika Serikat di Indonesia adalah Exon Mobil di Kalimantan, PT Freeport di Papua, CALTEX di Sumatera, dan Newmont di Kalimantan.
Pengaruh IMF terhadap Indonesia, tentu tidak lepas dari peran Amerika Serikat. Pengaruh IMF dan pemodal baratnya ini sangat terasa, karena pada keadaan genting sekalipun Indonesia tidak dapat menentukan keadaan negaranya sendiri. Contohnya saja pada masa krisis moneter pertengahan 1997. Saat itu puluhan juta orang terdepak ke bawah garis kemiskinan. Namun IMF (dan Bank Dunia) tetap memaksa pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi dan menjalankan privatisasi perusahaan milik negara. Disamping itu pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah. Tekanan tersebut justru memperbanyak kemiskinan. Dan seluruh kebijakan tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan investor asing, yaitu perusahaan-perusahaan besar di negara pemegang saham utama lembaga ini. Pelayanan ini diberikan dengan membukakan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor melalui pengurangan subsidi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan). Termasuk menghilangkan subsidi pada listrik, tarif telepon dan bahan bakar minyak.
Karena Amerika Serikat adalah negara yang berpengaruh paling kuat dalam IMF, maka patuhnya Indonesia pada IMF ini dapat dikatakan pula patuhnya Indonesia pada Amerika. Hal ini menunjukkan politik luar negeri Indonesia yang condong ke barat. Karena mau tidak mau Indonesia harus menunjukkan kerjasama yang baik dengan Amerika Serikat (Barat).
2.2.   Dampak IMF (International Monetary Fund) Dalam Perekonomian Indonesia (Utang Luar Negeri dan Stabilitas Rupiah) Pada Tahun 1997-1999.
Pada pertengahan 1997 Indonesia mengalami krisis yang parah dan puluhan juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Namun IMF dan Bank Dunia tetap memaksa pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi dan menjalankan privatisasi perusahaan milik negara. Di samping itu pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah. Seluruh tekanan itu justru meluaskan kemiskinan. Seorang birokrat senior IMF mengaku bahwa seluruh kebijakan tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan investor asing, yang tidak lain adalah perusahaan-perusahaan besar di negara pemegang saham utama lembaga ini.
Sejak terjadinya krisis tersebut, nilai rupiah terus mengalami penurunun. Penurunan nilai rupiah terus berlangsung walaupun hampir setiap hari Bank Indonesia melakukan intervensi. Dalam melakukan intervensi BI tidak pernah mengumumkannya, tetapi masayarakat dapat mengetahuinya lewat pers dan dunia perbankan yang setiap harinya menerbitkan bulletin tentang pasar valas (valuta asing). Setelah melakukan intervensi, barulah BI memberitahu DPR. Tetapi tidak mengatakan jumlahnya. Sebenarnya maksud dari intervensi tersebut tidaklah jelas, dapat dikatakan bahwa tujuannya adalah tidak untuk mempertahankan nilai rupiah pada level ter tentu, melainkan hanya untuk mempertahankan agar nilai rupiah tidak merosot terlalu tajam.
Dikatakan juga bahwa arus modal masuk (dalam capital account) yang sebelum krisis diperkirakan akan masuk sebesar 10.5 milyar dolar AS ternyata menjadi minus 200 juta dolar AS (Kwik, 1999: 74). Dari sana dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan deficit transaksi yang besar, cadangan devisa yang kita miliki dalam waktu singkat akan terkuras habis.
Setelah Indonesia menerima paket bantuan IMF dengan resensi ekonomi sebagai harga yang harus dibayar, dengan rupiah yang sudah terdepresiasi sekitar 66 persen, mungkin defisit transaksi berjalan diperkirakan tidak akan sebesar itu. Namun mengecilnya juga tidak terlampau banyak. Dan defisit ini harus ditutup, dan yang dipakai ialah dana bantuan IMF dan kawan-kawan.
Ada tiga sokoguru pembangunan ekonomi Indonesia. Yang pertama adalah minyak, kedua adalah kekayaan alam, terutama kayu, dan ketiga adalah utang luar negeri (Kwik, 1999:87). Dapat dikatakan bahwa utang luar negeri Negara kita sudah sangatlah banyak yaitu diatas 100 milyar dolar AS. Utang yang demikian besarnya, dengan sendirinya akan membuat beban pembayaran yang berat. Di dalam ekonomi indikatornya adalah Debt Service Racio (DSR), yang maksimalnya 20 persen. Sedangkan untuk Indonesia dengan keadaan yang seperti itu DSRnya mencapai 30 persen. Meskipun kita sudah meminta bantuan IMF namun hal tersebut tidak dapat mengatasi masalah, malah terkadang menambah masalah. Sehingga utang luar negeri kita tetap banyak.
Berdasarkan semua fakta diatas, bahwa kita perlu mempertimbangkan meminta bantuan dari Bank Dunia, CGI, dan IMF. Memang dari situ kita akan disodori paket reformasi yang tidak bias dibuat main-main lagi. Tetapi, bukankah reformasi yang tidak bisa dimain-mainkan lagi yang kita butuhkan sekarang?
Kecuali kekurangan pasokan devisa, yang cukup krusial adalah soal kepercayaan masyarakat kepada pemegang kebijakan. Ketika rentang intervensi diperlebar sampai delapan kali dan akhirnya dibubarkan, masyarakat merasa “dibodohi” (kwik, 1999: 56). Namun kita tidak dapat begitu saja menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Karena pada saat itu pemerintah memang tidak dapat menopang nilai rupiah dengan menggunakan cadangannya. Kalau dipaksakan, cadangan akan habis tanpa ada hasilnya.
Ada hal  menarik yang perlu dicermati dari peran IMF adalah ketika lembaga ini  ingin ikut campur dalam praktek  masalah-masalah kebijakan ekonomi secara mendetail. Bahkan merambah pada kebijakan politik dari negara-negara yang dibantunya. Untuk kasus negara kita, mulai dari cengkeh dan tarif nol persen untuk beras, sampai skandal Bank Bali, audit Pertamina, mengurus RUU anti korupsi, konflik pasca penentuan pendapat di Timtim, kasus Atambua, mengejar 20 debitor terbesar, revisi APBN, mempersoalkan pergantian menko dan kepala BPPN, pasal-pasal amandemen UU BI dan yang lainnya, semuanya IMF ingin campur tangan.
Selanjutnya apa yang kita peroleh dengan menerapkan program-program ekonomi dari IMF tersebut? Pertama, penerapan rezim kurs mengambang bebas. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa penguatan kurs selama era penerapan rezim kurs mengambang bebas yang terjadi selama era 1997-1999 bahkan sampai sekarang adalah karena faktor-faktor politik yang tak bisa diprediksi dan non manageable. Sangat beresiko mewujudkan pemulihan ekonomi kalau faktor penting seperti kurs rupiah yang stabil dan kuat terwujud oleh faktor-faktor yang non manageable dan unpredictable tersebut. Ini akan menyulitkan para pembuat kebijakan dalam memprediksi dampak kebijakan-kebijakan fiskal dan moneternya terhadap kurs rupiah dan selanjutnya pada variabel-variabel ekonomi lainnya seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, ekspor-import dan lain-lain.
Kedua, kebijakan moneter ketat, kebijakan ini telah banyak dikritik pedas para pengamat dan pelaku bisnis. Karena dalam  kebijakan ini telah mematikan sektor riil, karena sulitnya  dana investasi dengan suku bunga rendah yang berdampak lanjut meningkatkan jumlah pengangguran. Disamping kebijakan tersebut juga membebani APBN. Sedangkan misi kebijakan moneter ketat untuk menekan inflasi dan capital outflow masih harus diklarifikasikan kontribusinya untuk Indonesia karena; pertama, inflasi di negara kita bukan hanya masalah moneter, tetapi juga bisa karena faktor distorsi di sektor riil, misalnya karena praktek-praktek monopoli atau oligopoli, ganjalan distribusi, KKN (transaction cost) yang tinggi yang dikenal dengan istilah supply side inflation atau inflasi yang terjadi karena rupiah yang tetap terpuruk dibandingkan dolar sehingga input produksi industri Indonesia yang pada umumnya dari luar negeri dan harus dibeli dengan dolar, menjadi naik nilainya ketika dirupiahkan, akibatnya barang-jasa yang input produksinya impor tersebut juga akan naik (import inflation).
Kedua kebijakan suku bunga tinggi untuk menekan capital outflow juga masih dipertanyakan. Karena informasi yang dapat kita tangkap dari kalangan dunia usaha, masuknya modal asing ke dalam negeri lebih besar karena masalah country risk khususnya stabilitas sosial politik dan keamanan dan law enforcement.
Ketiga, kebijakan penerapan fiskal ketat dan liberalisasi perdagangan dan sistem finansial yang termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan seperti pencabutan subsidi, penarikan pajak tinggi, privatisasi dan penjualan aset-aset perusahaan domestik secara murah dan saling bersaing. Sehingga dapat diperoleh dari kebijakan yang seperti ini adalah rakyat semakin sengsara karena subsidi mereka dihapuskan dan daya beli turun, tetapi penghematan uang negara tetap tidak terwujud karena korupsi tetap merajalela. Di sisi lain dengan penjualan aset domestik yang saling bersaing ke pihak asing hanya berdampak pihak asing akan semakin menentukan formulasi kebijaksanaan ekonomi dan sosial Indonesia dan penguasaan devisa pun akan berada di tangan mereka dengan intensitas yang lebih besar.
Utang luar negeri melahirkan ketergantungan Negara berkembang terhadap para Negara dan lembaga kreditor (Daniel, 2009: 135). Dari sini dapat disumpulkan bahwa banyak Negara berkembang yang dilanda krisis meminta bantuan kepada Negara-negara yang maju dan lembaga keuangan dunia seperti IMF, untuk mengatasi masalah perekonomian Negara tersebut. Dan hal tersebut menyebabkan ketergantungan untuk meminta bantuan Negara lain. Dan hal tersebut menyebabkan keterkungkungan Indonesia dalam utang, tambal sulam APBN dalam mengajukan dan membayar utang tiap tahun, sehingga kebijakan anggaran ketat, privatisasi, dan pencabutan subsidi menjadi konskuensi paling rasional dalam pembayaran utang luar negeri.
Dan mungkin yang terakhir adalah membuat Indonesia berhutang sampai jumlah yang fantansis, yaitu Rp. 1.800 Trilyun. Hal ini membuat rakyat bahkan yang masih balita, menanggung sekitar Rp. 90 juta per orang. Paket – paket kebijakan yang disarankan IMF yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah krisis yang terjadi 1997 tidak tercapai. Malah hanya membuat pemerintah pusing untuk membayar tagihan hutang setiap periode jatuh temponya.
Beban utang luar negeri yang sangat besar ini telah mengikis kapabilitas pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi kebutuhan publik yang tercermin dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Utang luar negeri Negara sudah menjadi beban yang kronis dari APBN sehingga anggaran Negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk manuver demi pemenuhan kebutuhan publik (Danial, 2009:132). Tetapi di dalam masalah utang luar negeri, yang amat penting adalah melihat trend ada kecenderungan dari waktu-kewaktu. Dari segi ini maka trendnya adalah semakin berat bagi Indonesia (Sjahrir, 1991:93).
Sedangkan untuk masalah stabilitas nilai rupiah, dalam hal ini presiden Soeharto mengatakan dalam pidato pertanggungjawabannya kepada MPR tanggal 1 maret 1998, Presiden soeharto minta kepada Dana Moneter Internasionaldan kepala Negara sahabat untuk memberikan unsur “plus” pada paket reformasi IMF. Yang diminta amat jelas, yaitu konsep bagaimana menurunkan kurs dolar untuk menstabilkannya pada angka wajar (Kwik, 1999: 115).
Untuk menurunkan kurs dan menstabilkannya perlu gebrakan dalam bentuk melayani setiap permintaan dolar dengan cadangan devisa yang cukup. Namun pemerintah kita tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup. Sehingga perlu diupayakan sampai bias pinjam devisa dalamjumlah yang mencukupi. Supaya tidak menimbulkan salah paham, paket reformasi dari IMF harus tetap dijalankan secepatnya. Kalau tidak, utang baru yang dipakai untuk memperkuat dan stabilisasi nilai rupiah pada tingkat yang wajar hanya akan merupakan bom waktu. Jadi tergantung bagaimana pemerintah dalam menyikapi hal tersebut.
Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia adalah akibat dari ketidakmatangan IMF dalam mengatur program-program yang cocok untuk Indonesia. Mereka hanya mementingkan liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi di Indonesia untuk kepentingan perekonomian internasional. Padahal secara pendekatan ekonomi politik tidak akan mungkin dapat merubah sistem perekonomian suatu negara menjadi negara berbasis pasar dalam waktu “sekejap malam”. Hal ini ditambah buruk dengan tidak ada transparasi dari pemerintah Indonesia . ketidakjelasan langkah-langkah IMF membuat para pengusaha berspekulasi untuk menarik kesimpulan sendiri-sendiri yang mengakibatkan hancurnya nilai mata uang rupiah. Di lain pihak pemerintah Indonesia juga tidak serius dalam penanganan krisis ini karena tidak menjalankan agenda-agenda perubahan yang sudah disepakati oleh RI. Jadi selain karena IMF, krisis multidimensi berkepanjangan juga disebabkan oleh orang-orang dalam di Indonesia.



























BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Indonesia merupakan Negara yang berkembang dan majemuk. Dalam perekonomiannya Indonesia pernah mengalami krisis yang terjadi antara tahun 1997 sampai 1999. Dan krisis tersebut endapat pengarug dari Thailand. Untuk mengatasi krisis yang melanda Indonesia pemerintah meminta bantuan kepada IMF. Namun sebenarnya bantuan yang dikeluarkan IMF tidaklah murni bantuan. Tetapi ada embel-embel tertentu yang dapat merugikan Indonesia. Seperti IMF ikut campur dalam urusan pengeluaran kebijakan ekonomi Indonesia. Yang kebanyakan kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan masalah baru seperti bertambahnya utang luar negeri dan mengganggu stabilitas rupiah. Karena nilai tukar rupiah yang semakin turun terhadap dolar AS. Namun kita tidak dapat menyalahkan pemerintah begitu saja, karena pemerintah juga tidak memiliki jalan lain selain menempuh hal tersebut. Jadi sebelum kita meminta bantuan kita harus memperhitungkan konsekuensi yang akan diperoleh.
















Daftar Rujukan
-, 2002. Makro Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gie,K,K. 1999. Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia Badai Belum Akan Segera Berlalu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maulana, ZA. 2003. Zionisme: gerakan Menaklukan Dunia. Jakarta: Pustaka Amanah.
Nafis,M,D. 2009.Indonesia Terjajah Kuasa Neoliberalisme Atas Daulat Rakyat. Jakarta: Inside-press.
Kartodirjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Kuntowijoyo. 1994. Metodolodi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Sjahrir, 1991. Analisis Ekonomi IndonesiaI. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.


Luqman. 2011.(online), IMF  The Economic Hit (http://luqmankareem.blogspot.com), diakses 2 desember 2013
 

No comments:

Post a Comment