NASIOANALISASI
DE JAVASCHE BANK MENJADI BANK INDONESIA ( 1951- 1959)
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd /
Ibu Indah W.P. Utami,S.Pd.,S.Hum.,M.Pd
Oleh
Diah Purwati 110731435549
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesulitan
keuangan yang dialami pemerintah Belanda di daerah jajahan memaksa mereka
melakukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran di Hindia Belanda. Hal
ini menimbulkan munculnya gagasan untuk mendirikan bank sirkulasi untuk Hindia
Belanda. De Javasche Bank merupakan bank besar dan sangat penting pada masa
kolonial di Indonesia, karena bank ini diberi ijin untyk mengeluarkan uang. Pembentukan
De Javasche Bank atas perintah dari Raja Willem I melalui surat perintah
tertanggal 29 Desember 1826 ( Ismail, 2009: 2). Kemudian sebagai landasan
kerjanya sendiri, komisaris Jenderal mengeluarkan Surat Keputusan tersebut
berupa Oktroi khusus bagi De Javasche
Bank. Oktroi pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31
Desember 1837 dan diperpanjang sampai 31 Maret 1838. Pada awalnya De Javasche
Bank tidak diizinkan untuk beroperasi di luar Jawa.
Dalam akte pendiriannya sendiri, De Javasche Bank
dinyatakan sebagai perusahaan swasta. Tugas utama dari De Javasche Bank adalah
untuk memulihkan mata uang dan menyediakan dana untuk bersiap- siap dan menghadapi
pembangunan investor yang diperkirakan akan terjadi ( Furnivall, 2009: 108). Namun
setelah keluarnya Surat Keputusan dan Komisaris Jenderal Hindia- Belanda pada 8
April 1828, maka tugas De Javasche Bank adalah mengedarkan uang kertas dengan
jumlah f 1.000, f 500, f 300, f 200, f 100, f 50 dan f 25 dengan kontrol lebih ketat dari
pemerintah ( Ismail, 2009: 18). Setelah diterbitkannya Oktria keempat pada
tahun 1860- 1870, De Javasche Bank ditetapkan sebagai kasir pemerintah Hindia-
Belanda tanpa adanya imbalan dari pemerintah. Pada tahun pertama sendiri,
pengeluaran uang kertas ( alat perkerditan De Javasche Bank sendiri) tidak
dibatasi dan diberikan syarat apapun tentang perlunya menyediakan jumlah logam
atau emas sebagai jaminan uang kertas yang beredar ( Booth, 1988: 342).
Sehingga pada tahun 1839, De Javasche Bank tidak bisa menukar kembali uang yang
telah beredar dengan perak dan emas.
Pada
saat pemerintah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, tentara Jepang
meminta para direksi bank, termasuk direksi De Javasche Bank yang telah
mengungsi ke Bandung untuk menandatangani dan melakukan penyerahan aset- aset
bank tanpa syarat. Sedangkan tugas De Javasche Bank digantikan oleh Bank Nanpo Kaihatsu Ginko sebagai bank
sirkulasi. Namun pada masa pendudukan Jepang, jumlah mata uang yang beredar
bertambah, karena Nanpo Kaihatsu Ginko
juga mengedarkan uang Jepang dan uang yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank
tetap dikeluarkan sebagai alat pembayaran yang sah.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 Bangsa
Indonesia telah memiliki sebuah bank cukup besar yaitu Bank Negara Indonesia (
BNI). Pada awalnya bank ini sudah berstatus sebagai bank sentral dan kemudian
setelah KMB menjadi bank pembangunan. Sedangkan De Javasche Bank disepakati
oleh pemerintah Indonesia dan Belanda sebagai bank sentral, akan tetapi
pengaruh kepentingan kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De
Javasche Bank kemudian menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank
sentral yang masih berada dibawa pengaruh kepentingan lain ( Rachbini &
Tono, 2000: 1).
Berbagai upaya dilakukan untuk
mengikis pengaruh kolonial karena dianggap tidak cocok dengan Indonesia yang
merdeka. Hal itulah yang dianggap sebagai perubahan tujuan dan maksud pendirian
bank sentral baru yang lebih sesuai dengan cita- cita negara yang merdeka baik
secara politis maupun ekonomi. Melalui proses panjang nasionalisasi De Javasche
Bank juga sebagai upaya pemerintah untuk memenuhi perangkat-perangkat
pemerintahan dalam menasionalisasikan Bank milik Belanda meskipun
sebelumnya juga ada bank-bank yang sudah didirikan sendiri oleh pemerintah
Indonesia. Perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda bukan hanya
dalam masalah politik saja untuk
mengakhiri sebuah perang, tetapi juga mencakup dalam masalah ekonomi, salah
satunya adalah perbankan.
Dengan
munculnya Keputusan Presiden 22 Juli 1951 dibentuk Panitia De Javasche Bank
pada tanggal 9 Juni 1951. Panitia ini mempenunyai kekuasaan dalam mengambil
tindakan – tindakan persiapan dan untuk perundingan – perundingan mengenai
nasionalisasi kepada pemerintah pada umumnya dan untuk memajukan. Pada tanggal
15 Desember 1951 telah diumumkan undang – undang tentang nasionalisasi De
Javasche Bank N.V (Undang – Undang 1951 No.24, Lembaran Negara RI 1951 No.120).
Dalam Undang – Undang ini berisi tentang pencabutan hak kepemilikan dari
pemerintahan Belanda ke pemerintahan Indonesia. Berdasarkan uraian latar
belakang diatas, maka peneliti merumuskan judul “Nasionalisasi De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia ( 1951- 1959)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti
merumuskan masalah antara lain:
1.
Bagaimana keadaan De Javasche Bank pasca
kemerdekaan ( 1945- 1951)?
2.
Bagaimana proses nasionalisasi De
Javasche Bank Malang menjadi Bank Indonesia ?
3.
Bagaimana perubahan kelembagaan Bank
Indonesia setelah nasionalisasi ( 1951- 1959)
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui keadaan De Javasche Bank pasca
kemerdekaan ( 1948- 1952).
2.
Mengetahui proses nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia ?
3.
Mengetahui perubahan kelembagaan Bank
Indonesia setelah nasionalisasi ( 1951- 1959)
1.4 Ruang Lingkup
1. Lingkup
Spasial
Daerah yang dijadikan tempat adalah Bank
Indonesia pada tahun 1945 - 1959 berdasarkan beberapa kantor cabang yang ada di
Jawa ( Bandung, Yogyakarta ,Malang, Surabaya, Cirebon, Semarang dan Solo), Sumatra ( Medan, Palembang dan Padang),
Kalimantan ( Pontianak dan Banjarmasin) dan Sulawesi ( Menado, Makassar dan
Kendari). Alasan pemilihan ini karena Bank Indonesia adalah bank sentral Indonesia
hasil dari nasionalisasi De Javasche Bank. Sedangkan kantor cabangnya tersebar
luas di Indonesia.
2. Lingkup
Temporal
Kajian ini di mulai pada tahun 1951
dimana pada saat itu terjadi proses nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia dan berakhir pada tahun 1959, dimana dikeluarkan Dekrit Presiden
untuk kembali ke UUD 1945 serta menganut demokrasi terpimpin dan ekonomi
terpimpin yang berdampak pada penugasan Bank Indonesia.
3. Lingkup
Kajian
Kajian
ini memfokuskan pada nasionalisasi De Javasche Bank yang dilalui dengan cara
yang rumit. Bagaimana De Javasche Bank
setelah kemerdekaan yang mengakibatkan dilakukan proses nasionalisasi.
Akibatnya nasionalisasi tersebut membawa perubahan pada susunan oraganisasi dan
tugasnya dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia yaitu bank sentral.
1.4 Tinjauan Pustaka
1.
Nasionalisasi
Proses,
cara, perbuatan menjadikan sesuatu, terutama milik asing menjadi milik bangsa
atau negara, biasanya diikuti dengan penggantian yg merupakan kompensasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap perusahaan asing (http://www.artikata.com). Sedangkan menurut Ardhana, I Ketut (
2004) dalam (http://artiistilah.blogspot.com) menyatakan bahwa nasionalisasi memiliki
arti perubahan suatu fase transisi dari sistem kolonial ke sistem ekonomi
nasional, dimana hak atas kepemilikan semua modal, semua sarana prasarana sah
menjadi milik Indonesia. Menurut Djoko Suryo (2004) dalam ( http://artiistilah .blogspot.com) juga menjelaskan bahwa nasionalisasi
merupakan proses yang ditandai dengan berbagai langkah atau tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun bangsa Indonsia dalam
proses pemindahan kekuasaan dan kewenangan dari pemerintahan kolonial ke
pemerintahan Indonesia terutama dalam menguasai atau memiliki aset-aset negara
baik yang berkaitan dalam bidang politik, administrasi pemerintahan, militer,
maupun perekonomian.
2.
De
Javasche Bank
De Javasche Bank berdiri atas perintah Raja Willem I
melalui Surat Perintahnya tanggal 29 Desember 1826 sebagai tindak lanjut dari
gagasan 1816. Secara konseptual De Javasche Bank ditangani oleh J. C. Baud,
Direktur Daerah Jajahan dan Schimmelpenninck, Direktur Urusan Hindia Belanda
dari Nederlandsche Handel-Mij ( Ismail, 2009: 2-3). Pembentukan De Javasche
Bank itu dilakukan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Leonard Pierre
Joseph Burgraaf Du Bus de Gisignies. Pada tanggal 11 Desember 1827
konsepsi Oktroi itu diundangkan
oleh Du Bus. Di tangan Du Bus, De Javasche Bank berdiri pada tanggal 24 Januari
1828.
Tujuan pendirian De Javasche Bank ada dua yaitu, mengatur
peredaran uang dan memperluas kredit dengan tuuan mencari keuntungan. Fungsi
dan peranan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi berkembang secara gradual
berdasarkan Oktroi yang dikeluarkan dari waktu ke waktu. Pada awalnya
De Javasche Bank dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak tahu soal-soal
perbankan dan karena itu mereka tidak tahu pasti tugas apa yang harus
dilaksanakannya. Dalam perjalanan sejarahnya, De Javasche Bank dapat disebut
sebagai bank komersial yang beroperasi berdasarkanoctrooi yang diberikan
oleh pemerintah Hindia Belanda secara periodik. Dalam De Javasche
Bankwet tahun 1922 itu ditegaskan kembali peranan De Javasche Bank
sebagai bank sirkulasi tetapi dengan pengawasan yang lebih ketat dari
pemerintah. Kebijaksanaan moneter juga harus mendapatkan pengarahan dari
pemerintah di negeri Belanda. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu
sebenarnya bank telah bertindak dalam fungsi-fungsi yang hanya dapat dilakukan
oleh sebuah bank sentral, sekalipun tidak berkedudukan resmi sebagai bank
sentral. Dengan kata lain, De Javasche Bank dapat disebut sebagai bank
perkreditan dengan hak menerbitkan uang kertas (note-issuing credit bank).
Berdasarkan undang-undang tahun 1922 itu, dapat disimpulkan
fungssi dan tugas De Javasche bank sebagai berikut:
1) Mengeluarkan
uang kertas bank dan dengan begitu dapat menawarkan kepada masyarakat pelayanan
dan pengiriman uang, pembukaan rekening giro, menerima deposito berjangka, dan
semacamnya;
2) Melakukan
negosiasi dalam wesel luar negeri, memperdagangkan logam mulia dan alat-alat
pembayaran luar negeri;
3) Memberikan
kredit kepada perusahaan dan perorangan, melakukan diskonto terhadap
wesel-wesel luar negeri, memberikan pinjaman dna pemberian uang muka dengan jaminan
surat-surat berharga atau barang-barang dagangan;
4) Bertindak
sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek kepada
pemerintah Hindia Belanda; dan
5) Menyelenggarakan
kliring di antara bank-bank.
1.5 Metode Penelitian
Metode selalu erat hubungannya dengan
suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu
displin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek yang diteliti ( Sjamsuddin, 2008
: 13). Sedangkan untuk mendapatkan suatu peristiwa sejarah yang kritis, diperlukan
suatu metode sejarah. Menurut Hamid ( 2011: 40) menyatakan bahwa metode sejarah
adalah cara atau teknik dalam merekontruksi peristiwa masa lampau yang terdiri
atas empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan
sumber
( heuristik), (2) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi
( penafsiran), dan (5) historiografi
( penulisan
kisah sejarah). Berdasarkan
tahap-tahap di atas, langkah yang ditempuh penulis dalam menyusun makalah
penelitian ini adalah:
1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Sumber (sumber
sejarah disebut juga data sejarah; bahasa Inggris datum bentuk tunggal, data bentuk jamak;bahasa Latin datum berarti pemberian) yang
dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Heuristik
adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Penulis melakukan cara untuk
mendapatkan sumber mengenai topik terkait. Awalnya peneliti ingin mengkaji
nasionalisasi De Javasche Bank di Kota Malang, namun karena perpustakaan Bank
Indonesia yang berada di Jalan Kawi, Malang sedang di renovasi. Kemudian peneliti
langsung mendatangi Bank Indonesia Malang yang berada di Jalan Merdeka, Malang.
Namun sumber terkait mengenai topik bahasan tersebut sedang tidak bisa di
berikan karena perpustakaan yang masih di renovasi. Sehingga untuk mata kuliah
sejarah perekonomian ini, topik penelitian di ganti menjadi Nasionalisasi De
Javasche Bank di Indonesia yang di kaji dari beberapa kantor cabang. Sumber
yang ditemukan oleh penulis di dapat dari Lembaran Negara pada tahun 1951 yang
di dapat dari Kantor Badan Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Timur. Kemudian
diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber utama dan sumber kedua. Sumber utama merupakan sumber asli yakni bukti yang
sejaman dengan suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan sumber kedua yaitu apa
yang ditulis oleh sejarawan sekarang ataupun sebelumnya berdasarkan sumber
pertama.
Menurut penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam
sumber primer dan sumber sekunder.
a. Sumber
Primer (pertama)
Sumber primer adalah sumber utama yakni sumber yang
sejaman setempat. Sumber sejaman yang ditemukan oleh peneliti
adalah Lembaran Negara RI 1951 No.120, Undang- undang 1951 No.24 tentang
Nasionalisasi De Javasche Bank yang kemudian di dukung dengan Undang- undang
No. 11 Tahun 1953.
b. Sumber
Sekunder (kedua)
Sumber kedua merupakan
hasil penelitian dan penulisan dari penulis lain yang berdasarkan sumber
pertama.
Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh
orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat
dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek
tertentu. Sumber sekunder atau kedua yang digunakan dalam
penulisan ini adalah buku Sejarah Bank Indonesia Periode I : 1945 sampai 1959 yang ditulis oleh
Djiwandono, dkk, Bank Indonesia dalam
Perdebatan Politik dan Hukum oleh Ismail.
2.
Kritik
Tahap yang ketiga dalam
penulisan sejarah adalah Kritik. Di dalam penelitian sejarah dikenal dengan
kritik ekstern dan intern.
a.
Kritik Eksternal
Kritik eksternal adalah
cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber
sejarah. Kritik Eksternal harus dilakukan lebih dahulu karena berhubungan
dengan otensitas atau keaslian sumber. Sumber yang dinilai asli itulah yang
nantinya akan melalui tahap selanjutnya yang bertujuan untuk mempertanyakan
relibilitas sumber.
Dalam melakukan kritik
eksternal ini peneliti tidak bisa melakukan terhadap data tertulis karena tidak
memungkinkan. .
b. Kritik Internal
Kritik
Internal merupakan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni)
(Sjamsuddin, 2008 :143). Di dalam kritik ini peneliti akan berusaha meyakinkan
bahwa data yang diperoleh adalah suatu kebenaran.
Sumber-sumber
yang lolos pada tahap kritik ekstern akan dikritik kembali, terutama yang
menyangkut kebenaran isi sumber. Peneliti telah membandingkan isi sumber-sumber
yang ada dengan sumber-sumber yang sezaman serta antara sumber yang satu dengan
yang lainnya. Misalnya membandingkan isi Undang- Undang tahun 1951 dengan buku Sejarah Bank
Indonesia Periode I : 1945 sampai 1959 yang ditulis oleh
Djiwandono
Kritik
Internal
|
Sumber
sekunder
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah adalah melakukan
analisa dari fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama
dengan teori-teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang
menyeluruh.
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektifitas.
Subjektifitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari.
Dalam hal ini penulis berusaha menganalisis data- data yang diperoleh yaitu
Undang- undang dan sumber sekunder lainnya. Bagaimana langkah awal yang
ditempuh pemerintah sebelum dilakukan nasionalisasi, kemudian dilanjutkan
dengan proses nasionalisasi dan bagaimana hasil dari nasionalisasi tersebut
yang berdampak pada perubahan Bank Indonesia menjadi bank sentral.
Bagan
untuk intepretasi
4.
Historiografi
Historiografi adalah kegiatan intelektual yang dilakukan
oleh sejarawan untuk mengerahkan segala kemampuan intelektualnya dalam membuat
deskripsi, narasi, analiti kritis, serta sintesis dari fakta-fakta,
konsep-konsep, generalisasi, teori, hipotesis sehingga menghasilkan suatu
bentuk penulisan sejarah yang utuh yang disebut historiografi.
Pola
historiogrfi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola deskriptif
naratif. Pola Historiografi deskriptif lebih menekankan pada kronologi dan
kausalitas dari peristiwa tersebut. Pola ini juga berusaha untuk mengkaitkan
antara fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan tulisan yang
menarik. Penulisan dalam makalah penelitian ini di mulai dari bagaimana
peneliti memperoleh sumber, kemudian dilanjutkan dengan kritik sumber.
Selanjutnya melakukan intepretasi berdasarkan kajian pustaka dan sumber yang
telah dikritik.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Keadaan De Javasche Bank Pasca
kemerdekaan (
1945- 1951)
Kemerdekaan
Indonesia memberikan kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk membangun dan
mengelola negara sesuai dengan keinginan dan aspirasi rakyat sendiri. Di
bidanng keuangan sendiri, dalam penjelasan pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa
kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang
kertas ditetapkan dengan Undang- undang. Ketentuan tentang Bank Indonesia telah
tercantum dalam penjelasan pasal 23 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai
berikut (Djiwandono, 2005: 18) :
Juga
tentang hal macam dan harga mata uang, ditetapkan dengan undang- undang. Ini
penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya pada masyarakat. Uang
pertama ialah penukar dan pengukur harga. Sebagai alat tukar untuk memudahkan
pertukaran – jual- beli- dalam masyarakat. Berhubungan dengan itu, perlu ada
macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat. sebagai pengukur harga untuk
dasar penetapan harga masing- masing barang yang dipertukaran. Barang yang
menjadi pengukur harga itu mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena
keadaan uang tidak teratur. Oleh karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan
dengan undang- undang. Berhubungan dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang
akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang- undang.
Pencantuman Bank Indonesia Bank Indonesia dalam
Penjelasan UUD 1945 merupakan landasan kuat bagi kehadiran dan peran strategis
Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia.
Berdasarkan
keputusan kabinet pada 16 September 1945, maka pemerintah memberikan surat
kuasa kepada R.M Margono Djojohadikoesoemo, yang pada waktu itu menjabat
sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk mempersiapkan pendirian Bank
Negara Indonesia atau Jajasan Poesat Bank Indonesia ( JPBI) ( Rahardjo, 2000:
7) . Pada saat itu juga telah ada beberapa bank milik Belanda dan asing yang
telah melakukan lalu lintas perdagangan internasional, antara lain De Javasche Bank, De Nederlandsche Handels-
maatschappij, De Nederlandsch Indische Escomptomaatschappij, Yokohama- Specie
Bank, The Chartered Bank of India, Australia anda China ( Inggris), Overseas Chinese Banking Corporation (
Singapura) dan Bank of China ( Cina).
Surat
kuasa yang diberikan oleh presiden pada 16 September 1945, memberikan wewenang
kepada R.M Margono Djojohadikoesoemo untuk mendirikan yayasan ( stichting) yang diberi nama Jajasan
Poesat Bank Indonesia dengan Akte Notaris R.M Soerojo di Jakarta, pada tanggal
19 Oktober 1945 ( Djiwandono, dkk, 2005: 22). Jajasan Poesat Bank Indonesia ini
pertama kali berkantor di jalan Menteng 23 Jakarta dan R.M Margono Djojohadikoesoemo
di angkat oleh Presiden sebagai pimpinan harian ( direktur). Jajasan Poesat
Bank Indonesia mendapat wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum,
mengeluarkan obligasi, memberikan kredit, menerima simpanan giro, deposito,
tabungan dan memberikan penyaluran masalah ekonomi kepada masyarakat.
Ketika
pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan pendirian Bank Negara Indonesia
sesuai dengan Perpu No.2 tahun 1946, Belanda berusaha kembali menjajah
Indonesia dengan dibantu oleh NICA yang mengaktifkan kembali De Javasche Bank
sebagai bank sirkulasi untuk wilayah yang diduduki Belanda dengan Oktober 1945.
Sehingga secara de facto hingga ditanganinya KMB, di Indonesia terdapat dua bank
sirkulasi , yaitu BNI dan De Javasche Bank. Pada saat kondisi perang tersebut,
percetakan dan pengedaran uang oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan
oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Pada
tanggal 5 Juli 1946, dikeluarkan Undang- undang No.2 Prp Tahun 1946 tentang
Pembentukan dan Penetapan Bank Negara Indonesia sebagai Bank Sirkulasi dan Bank
Sentral Milik Negara ( Rahardjo, 2002: 7) . Masalah yang timbul adalah dengan
dijadikannya De Javasche Bank sebagai bank sentral dan pembagian tugas antara
De Javasche Bank dengan Bank Negara Indonesia. Secara faktual Pemerintah
Indonesia selama ini telah mempunyai bank sirkulasi sendiri, sementara De
Javasche Bank tetap beroperasi sebagai bank sirkulasi yang berada di bawah
kendali Pemerintah Belanda. sebelum di laksanakan KMB, terjadi dua kali
perundingan di Yogya dan Jakarta, namun dalam perundingan ini tidak disertakan
pimpinan Bank Negara Indonesia untuk membicarakan bank sirkulasi pada masa yang
akan datang. Menurut Margono Djojohadikusumo dalam Ismail (2009: 31) menyatakan
bahwa akibatnya delegasi Indonesia dianggap masuk perangkap NICA dan BFO yang
menghendaki hanya De Javasche Bank yang akan menjadi bank sentral, dan
menjadikan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi bagi Republik
Indonesia. Pernyataan Margono Djojohadikusumo dalam Ismail ( 2009: 31)
“
In the negotiation held at Yogya and Jakarta in the middle of the year 1949,
the were some “neglignce and inattention” on the part of Republic side, as result
of which the delegated of the R. Of I. In the negotiations were caught in a
trap which had been prepared by the opponents ( NICA dan BFO). The trap was the
Javasche Bank, the position of which they had planned to restore as the “ Bank
of Issue”. Whilst by virture of the Goverment Regulation in lieu of Law No.2
dated 5th July 1946 the only “Bank of Issue” for Indonesia would be BNI. The
negligence and the inattention”, which I have referred to, relate to the fact
that the five members of the Board of Management (they were still complete
although their bank was empty) were not requested to participate in the
negotiations even as mere adviser.
The BFO group was successful in
concluding an agreement with the Republican delegation, i.e. the question of “
the bank of issue” had to be dicided by the Parliament later. The Parliament
would decide whether a “bank of issue” would have a status as a Goverment bank
as BNI or private bank which would be given a charter to print currency notes
as N.V De Javasche Bank.”
Pada saat itu BNI juga mengalami kesulitan dalam
menjalankan fungsinya sebagai bank sentral yang wajar, kecuali untuk daerah
Aceh ( cabang Kutaraja). Pada tahun 1949, De Javasche Bank menjalankan
fungsinya sebagai bank sirkulasi sesuai dengan kesepakatan KMB, sehingga makin
menjadikan BNI tidak berfungsi sebagai bank sirkulasi sampai tahun 1955.
2.2 Proses Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia
Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949,
Konferensi Meja Bundar di selenggarakan di Den Haag. Hatta memimpin Indonesia
pada perundingan ini dan suatu uni yang longgar antara Belanda dan RIS
disepakati dengan ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. Berbgai jaminan
diberikan kepada investasi – investasi Belanda di Indonesia dan disepakati bahwa
akan diadakan konsultasi- konsultasi mengenai beberapa masalah keuangan (
Ricklefs, 2010: 487). Banyak pihak Indonesia yang menganggap rencana- rencana
tersebut sebagai pembatasan- pembatasan yang tidak adil terhadap kedaulatan
mereka.
Perbedaan pendapat antara
Hatta dan Sumitro Djojohadikusumo berlanjut hingga Konferensi Meja
Bundar. Sumitro menginginkan Bank Negara Indonesia sebagai bank sentral, sebab
Bank Negara Indonesia adalah bank yang didirikan oleh Indonesia. Hal ini
menjadi seperti yang dikemukan oleh Sumitro Djojohadikusumo, “ Selama Perundingan dalam pikiran delegasi
Republik Indonesia, maka Bank Negera Indonesia dimaksudkan untuk dijadikan
sebagai bank pembangunan.” Perbedaan pendapat antara Sumitro dan Hatta
menyatakan bahwa ( Ismail, 2009: 33):
At the conference I had serious
conflict with Hatta on the three points : the debt problem, the problem of the
Java Bank and Irian. The Dutch used the debt as a means of maintaining leverage
over many facets of economic and commercial policy. The wanted to keep the tin mines
as collateral and they wanted to run the Central Bank.... On the role of the
Central Bank, I wanted the BNI ( Bank
Negara Indonesia) to be Central Bank ; thet was our own bank ... I wanted the
BNI to become the Central Bank.”
Alasan dijadikannya De Javasche Bank sebagai bank sentral
memang merugikan Indonesia, namun keputusan tersebut tetap diterima. Karena
Indonesia masih membutuhkan modal asing dan para pengusaha Belanda dalam
membangun ekonomi terutama dalam meningkatkan ekspor.
Secara faktual, De Javasche Bank masih dipimpin oleh Dr.
Houwink yang dianggap terlalu membatasi perusahaan Indonesia dalam melakukan
perdagangan dengan asing. Seringkali terjadi perselisihan antara Pemerintah
Indonesia dan Pimpinan De Javasche Bank yang berpuncak pada pengunduran diri
Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank. Rencana pelaksanaan
Nasionalisasi De Javasche Bank diumumkan oleh Menteri Keuangan Mr.Yusuf
Wibisono pada wawancara pers tanggal 30 April 1951. Pengumuman itu tidak ada
pemberitahuan lebih dahulu kepada direksi De Javasche Bank. Selain itu, Dr.
Houwink yang saat itu menjabat sebagai Presiden De Javasche Bank merasa tidak
mempunyai kepercayaan dari pemerintah lagi dan tidak mempunyai kekuasaan untuk
memenuhi tugasnya sampai akhirnya dia mengundurkan diri ( Djiwandono dkk, 2005:
29).
Setelah Dr.Houwink mengundurkan diri maka posisi presiden
De Javasche Bank digantikan oleh Sjafruddin Prawiranegara atas usul Paul Spies.
Awalnya Sjafruddin menolah karena merasa tidak mempunyai pengalaman dalam
bidang perbankan, apalagi adalam urusan bank sirkulasi sekaligus bank komersial
seperti De Javasche Bank. Namun karena permintaan dari Hatta dan dukungan dari
PM Soekiman pada saat itu, maka Sjafruddin Prawiranegara menyetujuinya (
Ismail, 2009: 42- 43).
Nasionalisasi De Javasche Bank adalah proses pemindahan
hak kepemilikan asing (Belanda) ke pemerintahan Indonesia. Nasionalisasi yang
terjadi tidak hanya pada perusahaan – perusahaan Belanda saja, namun juga pada
aset- aset Belanda lainnya termasuk bank-bank milik bangsa asing. Nasionalisasi
ini diambil setelah pemerintah Indonesia menilai Belanda mengingkari keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang Irian Barat. Salah satu keputusan KMB
adalah menetapkan De Javasche Bank sebagai bank sentral di Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang menyebabkan secara otomatis menghapus status Bank
Negara Indonesia yang sejak 1946 bertugas sebagai bank sentral Republik
Indonesia.
Untuk merealisasikan rencana nasionalisasi De Javasche
Bank maka dibentuklah Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank pada tanggal 19
Juni 1951 yang diikuti dengan Undang- undang No.24 Tahun 1951. Upaya
Nasionalisasi di mulai pada akhir Juli 1951, dengan mengirim Sekjen Kementrian
Keunagan Noh. Saubari dan wakil dari De Javasche Bank, Drs. Khouw Bian Tie ke
negeri Belanda untuk melakukan negosiasi pembelian saham ( Rahardjo, 2000: 8). Panitia
tersebut mempunyai kekuasaan untuk menyiapkan dan mengadakan perundingan –
perundingan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank atas nama pemerintah serta
untuk mengajukan mengajukan usul-usul nasionalisasi kepada pemerintah pada
umumnya dan memajukan rencana Undang – Undang pada khususnya ( Djiwandono dkk,
2005: 30).
Susunan Panitia De
Javasche Bank terdiri atas ( Djiwandono, 2005 : 30) :
·
Moh.Sediono : Sekretaris Jenderal Kementerian Ekonomi dan ketua ;
·
Mr. Soetikno Slamet : Thesaurier Jenderal Kementerian Keuangan
·
Dr RM Sumitro Djojohadikusumo : Komisaris pemerintah pada De Javasche
Bank.
·
T.R.B Sabaruddin : Direktur Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri
·
Drs. A Oudt : Penasihat Umum pada Kementerian Keuangan
·
Drs Khouw Bian Tie : Penasehat Umum pada Kementerian
Perekonomian.
Dalam
tugasnya ini panitia Nasionalisasi akan melaksanakan dua hal yaitu pelaksanaan
nasionalisasi yang sebenarnya dan panitia juga berkewajiban juga untuk
merencanakan status baru bagi Bank Sentral. Dalam surat Panitia Nasionalisasi
kepada Direksi De Javasche Bank menyatakan akan menghargai jika
Direksi De Javasche Bank mau bekerja sama dengan panitia nasionalisasi, dari
surat inilah pada tahun 1951 telah melangsungkan beberapa kali perundingan
antara panitia nasionalisasi dan direksi De Javasche Bank.
Untuk
melaksanakan bagian pertama dari tugasnya yaitu panitia Nasionalisasi dengan
cara membeli saham – saham oleh pemerintah atas dasar sukarela sehingga pada
tanggal 3 Agustus 1951 pemerintah mengumumkan bahwa dengan mendahului rencana
Undang – undang De Javasche Bank yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, bersedia membeli surat-surat yang ada pada pemegang-pemegang saham
ataupun sertifikat dari saham De Javasche Bank dengan kurs 120 % mata uang
Nederland dari negeri yang mereka tinggal dengan pengertian bahwa pemegang –
pemegang surat-surat nempunyai kewarganaan Indonesia dan
menjadi penduduk devisa Indonesia akan membayar dalam rupiah dengan
kurs 360%. Saham – saham dan sertifikat –sertifikat semuanya
berjumlah Rp. 8,95 juta . Sedangkan surat –surat yang belum ditawarkan
dikatakan bahwa sebagian besar telah hilang dan tidak akan muncul lagi.
Setelah
tahap pertama nasionalisasi berhasil dilakukan, pemerintah ternyata berhasil
mengambil alih 99,4 persen saham De Javasche Bank dan sisanya dianggap hilang
karena saat pembelian saham dilakukan 0,6 persen sisa saham ternyata tidak
jelas kepemiliknyaannya sehingga De Javasche Bank sepenuhnya dimiliki oleh
pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1951 telah diumumkan Undang-undang
tentang nasionalisasi De Javasche Bank N. V (Undang- Undang 1951 No.24 Lembaran
Negara RI 1951 No.120) yang menjelaskan dalam Undang – Undang ini, acara pencabutan
hak kepemilikan ditetapkan dengan Undang – Undang. Pemerintah mengumumkan
secara resmi bahwa De Javasche Bank telah berubah status dari De Javasche Bank
( Bank sirkulasi milik Belanda) menjadi milik pemerintah Indonesia. De
Javasche Bank yang telah dinasionalisasi inilah yang menjadi cikal bakal Bank
Indonesia yang kita kenal sekarang sebagai bank sentral. Dengan nasionalisasi
tersebut tugas bagian pertama dari panitia nasionalisasi sudah terlaksanakan
dan tugas bagian kedua yang lebih sulit dari yang pertama adalah yaitu
merencanakan Undang-undang bank baru untuk bank sentral Indonesia yang telah
dinasionalisasikan ( Djiwandono, 2005: 31).
Secara
umum, pembelian saham- saham De Javasche Bank dilakukan pemerintah secara
sukarela. Berdasaran Laporan Presiden dan Dewan Komisaris De Javasche Bank
1951- 1952 dalam Ismail (2009: 47), menyatakan bahwa:
“
Karena
telah ternyata, bahwa sebagian besar dari pemegang- pemegang saham telah suka
menjual saham/ sertifikatnya kepada Republik Indonesia dengan syarat- syarat
sebagai tersebut dalam pengumiman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 3
Agustus 1951 tersebut diatas, maka dapatlah dianggap, bahwa syarat- syarat yang
ditawarkan oleh pemerintah dalam pengumumannya tersebut untuk pembelian saham- saham
De Javasche Bank N.V oleh bagian terbesar dari pemegang saham disetujui
layaknya.”
Bagi pemegang saham De
Javasche Bank yang merasa dirugikan sehubungan dengan nasionalisasi ini, maka
mereka bisa memberikan perlindungan dengan cara mengajukan keeratan terhadap
nasionalisasi melalui pengadilan, hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 4:
1.
Pemilik-pemilik saham De Javasche Bank
N.V., yang sahamnya menurut pasal 2 tersebut di atas dicabut haknya, dan yang
tidak menyetujui besarnya pengganti kerugian tersebut dalam pasal 3 di atas,
dalam waktu dua bulan mulai dari hari berlakunya Undang-undang ini, diberi
kesempatan untuk mengajukan pengaduan menurut peraturan-peraturan acara yang
berlaku dalam pengadilan di Indonesia untuk minta ditetapkan oleh Hakim
besarnya pengganti kerugian yang seadil-adilnya.
2.
Hakim mendahulukan penjelasan urusan ini.
2.3 Perubahan Sistem Bank Indonesia setelah
Nasionalisasi ( 1951- 1959)
Dengan dilakukanya Nasionalisasi terhadap De Javasche
Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia, maka setidaknya secara formal dan
simbolis pemerintah Indonesia telah menegakan kedaulatan ekonomi meskipun baru
terjadi setelah delapan tahun Indonesia merdeka. UU Pokok Bank Indonesia secara
eksplisit menyebutkan perbedaan mendasar antara Bank Indonesia dengan De
Javasche Bank. Fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral secara tegas telah
ditetapkan pada pasal 1 ayat (1) Undang- undang No.11 Tahun 1953 tentang pokok
Bank Indonesia ( UUPBI). Tugas Bank Indonesia ditetapkan dalam pasal 7, yaitu
(1) mengatur nilai uang agar stabil ; (2) menyelenggarakan peredaran uang ; (3)
memajukan perkembangan yang sehat dari urusan dari urusan kredit dan urusan
bank ; dan (4) melakukan pengawasan kredit.
Selain
itu, Undang- undang Pokok Bank Indonesia juga mengatur kewenangan Bank
Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas sebagai alat pembayaran yang sah (
Pasal 8) dan melakukan kegiatan bank umum ( Pasal 13). Alasan dimungkinkannya
bank sentral melakukan kegiatan operasional sebagai bank umum adalah untuk
memperoleh keuntungan komersial yang sesuai kehendak gubernurnya pada waktu
itu, disamping karena ada Undang- undang yang memungkinkan.
Sebagaimana
halnya De Javasche Bank ( DJB), Bank Indonesia juga ditetapkan sebagai badan
hukum ( Pasal 1 ayat (2)). Namun, De Javasche Bank berbentuk Naamloose Venootscaft ( NV) atau
Perusahaan Terbatas yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Belanda dan
masyarakat umumnya, padahal Bank Indonesia merupakan badan hukum yang
dilahirkan oleh Undang- undang dan kepemilikan sepenuhnya ada pada negera.
Dalam De Javasche Bank Wet ditetapkan bahwa pimpinan dipegang oleh Direksi dan bertanggung
jawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham. Sedangkan pada Bank Indonesia dipimpin
oleh Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasehat. Sedangkan tugas ketiga
ditetapkan dalam Undang- undang Pokok Bank Indonesia.
Tugas
dari pimpinan itu, antara lain:
1. Dewan
moneter terdiri dari menteri- menteri yang membidangi keuangan sebagai ketua,
menteri Bidang perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia yang masing- masing
sebagai anggota ( Pasal 23 (1)). Dalam Pasal 24 ayat (1) ditetapkan bahwa jika
Menteri Keuangan sebagai ketua tidak ada, maka Gubernurlah yang
menggantikannya. Tugas Dewan Moneter adalah ( Rahardjo, 2000: 20)
a.
Menetapkan kebijakan moneter umum;
b.
Memberikan petunjuk kepada Direksi jika
kepentingan umum memerlukannya ;
c.
Mengatur stabilitas nilai rupiah ;
d.
Memajukan perkembangan kredit dan
perbnkan, serta ;
e.
Melakukan pengawasan kredit
Seiring dengan perkembangan sistem parlementer
dengan perubahan-perubahan kabinetnya, maka keanggotaan Dewan Moneter pun berganti
sesuai dengan kabinet pada masanya ( Museum Bank Indonesia, 2007: 6 ):
1)
Pada kabinet Ali Sastroamidjojo I,
Menteri Keuangan dijabat oleh Ong Eng Die dan Menteri Perekonomian dijabat oleh
Iskaq Tjokrohadisurjo.
2)
Kabinet Burhanuddin Harahap, Menteri Keuangan
dijabat oleh Sumitro Djojohadikusumo dan Menteri Perekonomian dijabat oleh I.J.
Kasimo.
3)
Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Menteri Keuangan
dijabat oleh Jusuf Wibisono dan Menteri Perekonomian dijabat oleh Burhanuddin.
4)
Kabinet Djuanda, Menteri Keuangan dijabat
oleh Soetikno Slamet, Menteri Perdagangan dijabat oleh Rachmat Muljomiseno,
Menteri Perindustrian dijabat oleh F.J. Inkiriwang, yang di dalam Dewan Moneter
menjabat sebagai anggota pengganti.
Susunan Dewan Moneter kembali berubah setelah Dekrit
Presiden 1959.
2. Direksi
bank Indonesia terdiri dari gubernur dan sekurang- kurangnya dua orang direktur
atau sebanyak- banyaknya lima orang direktur. Tugas dari direksi menurut
Undang- undang Pokok Bank Indonesia adalah ( Rahardjo, 2000: 20) :
a.
Menyelenggarakan kebijakan moneter yang
ditetapkan Dewan Moneter ;
b.
Menyelenggarakan pemberian kredit ;
c.
Menyelenggarakan peredaran uang ;
d.
Memudahkan jalanya uang giral ;
e.
Memajukakan jalannya pembayaran dengan
luar negeri
3. Jumlah
Dewan Penasehat Bank Indonesia ditetapkan oleh Undang- undang Pokok Bank
Indonesia sebanyak sembilan orang yang mempunyai latar belakang keahlian
tertentu atau tokoh terkemuka dari kalangan perusahaan, pertanian, atau
pemburuhan dengan tugas memberikan nasehat kepada Dewan Moneter ( Djiwandono,
2005: 47) . Dewan penasehat juga mengumumkan nasehat- nasehatnya sepanjang hal
tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan negara oleh Pemerintah.
Tujuan pembentukan Dewan Penasehat adalah agar Dewan Moneter senantiasa
berhubungan dengan dunia usaha, sehingga tindakan- tindakan mereka selalu dapat
diuji dengan pendapat- pendapat dari para praktisi.
Jika
dilihat dari kelembagaannya
Namun menurut beberapa pengamat tugas dan fungsi Bank
Indonesia tidak beda jauh dengan De Javasche Bank. Bahkan menilai Bank
Indonesia sebagai “ reorganisasi De Javasche Bank”. Adapun persamaanya adalah (http://merahputihku-tuminah.blogspot.com ) :
1. Bank
sentral mengemban tugas untuk mengatur mata uang, sejalan dengan kaidah-kaidah
bisnis dan kepentingan umum. Bank sentral diberi hak –hak khusus untuk
mengeluarkan uang kertas. Kebijakan diatas sama-sama dilakukan oleh De Javasce
Bank maupun Bank Indonesia.
2. Melaksanakan
kegiatan perbankan umum serta memberikan pelayanan jasa perbankan kepada
Negara”. Hal ini pernah dilakukan De Javasche Bank sebagai mana diatur dalam De
Javasche Bankwet 1922. Dalam hal ini pasal Undang-undang No. 11 Tahun 1953
berisi antara lain bahwa Bank Indonesia wajib menyelenggarakan penyimpanan kas
umum Negara dengan cuma-cuma dan bertindak sebagai pemegang kas Republik
Indonesia. Bank Indonesia wajib menyelenggarakan dengan cuma-cuma pemindahan
uang untuk Republik Indonesia diantara kantor-kantor besar. Bank Indonesia
wajib memberikan bantuanya dengan cuma-cuma untuk mengeluarkan dengan langsung
surat-surat utang atas beban Republik Indonesia.
3. Bank
sentral harus “ menjaga dan memelihara cadangan kas-kas bank-bank komersial.”
Pada masa De Javasche Bank, kewajiban ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi
karena pada zaman colonial, dana ini dikirim ke negeri Belanda. Ketentuan
tersebut dilaksanakan di Indonesia secara sukarela oleh bank-bank komersial.
Namun kewajiban tersebut baru ditetapkan secara resmi oleh keputusan dewan
moneter No.28 tanggal 28 Mei 1955, dimana bank-bank komersial diwajibkan untuk
menyimpan suatu jumlah minimum tertentu pada Bank Indonesia, atas
kewajiban-kewajiban jangka pendek dan deposito.
4. Bank
sentral “memelihara dan mengelola cadangan cadangan devisa suatu bangsa atau
Negara.” Pada masa colonial, emas dan devisa selalu berada dibawah penguasaan
De Javasche Bank. Setelah perang dunia II, Bank Indonesia semakin mengontrol
dan mengawasi lalu lintas emas dan mata uang asing dengan dibentuknya biro devisa.
5. Bank
sentral “melakukan control terhadap kredit sesuai dengan kebutuhan bisnis dalam
rangka melaksanaan kebijaksanaan moneter yang digariskan oleh Negara” Tetapi
Bank Indonesia, berdasarkan pasal 7 Undang-undang Pokok Bank Indonesia
mengemban tugas itu. Ayat 3 pasal tersebut mengatakan: “Bank memajukan
perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan bank di Republik
Indonesia pada umumnya dan dari urusan bank nasional khususnya.” Demikian pula
ayat 4 mengatakan bahwa: “ Bank melakukan pengawasan terhadap urusan kredit.”
Pedoman urusan tersebut memang belum ada, tetapi ayat 5 mengatakan: “ Menunggu
terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap
urusan kredit, maka dengan peraturan pemerintah, dapat diadakan peraturan-peraturan
lebih lanjut bagi bank untuk menjalankan pengawasan guna kepentingan kemampuan
membayar dan kelanjutan keuangan badan-badan kredit, begitu juga untuk
pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang
tepat.”
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah pengunduran diri Dr. Houwink karena rencana
pelaksanaan Nasionalisasi De Javasche Bank diumumkan oleh Menteri Keuangan Mr.Yusuf
Wibisono dalam wawancara pers pada tanggal 30 April 1951. Selanjutnya pada 6 Desember
1951 disahkan dan diundang pada 15 Desember 1951 tentang Undang-undang N asionalisasi
De Javasche Bank N. V. Pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa De Javasche
Bank telah menjadi milik Pemerintah Indonesia.
Setelah
dinasionalisasikan De Javasche Bank, Panitia merumuskan Rencan Undang- undang
Pokok Bank Indonesia yang merupakan Undang- undang bagi bank sentral Indonesia
dan pada tanggal 19 Mei 1953 Rencana Undang- undang tersebut disahkan oleh
Presiden dan diumumkan pada tanggal 2 Juni 1953 ( Undang- undang No.11 Tahun 1953 tentang Undang- undang Pokok
Bank Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1953 No.40). Tugas Bank Indonesia sendiri
sebagai bank sentrak mencakup tiga fungsi, yaitu fungsi kebijakan moneter,
kebijakan perbankan dan kebijakan sistem pembayaran. Sedangkan untuk
meaksanakan tugas tersebut maka dibentuklah tiga dewan, yaitu Dewan Moneter,
Direksi dan Dewan Penasehat.
3.2 Saran
Berdasarkan isi makalah, maka penulis menghimbau
kepada:
·
Pembaca
1.
Untuk lebih mempelajari lagi mengenai
nasionaliasasi De Javasche Bank di kantor- kantor cabang yang ada di Indonesia,
jika mungkin ada perbedaan karena sejauh ini proses nasionalisasi dapat di
katakan hampir sama.
DAFTAR RUJUKAN
Booth. 1988. Sejarah
Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES.
Djiwandono, dkk. 2005. Sejarah Bank Indonesia Periode I : 1945 – 1959. Jakarta: Bank Indonesia.
Furnivall. 2009. Hindia Belanda : Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institude.
Ismail. 2009. Bank
Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum. Yogyakarta : Navila Idea.
Museum Bank Indonesia. 2007. Sejarah Bank Indonesia :Kelembagaan
Periode 1953-1959. Unit Khusus Museum Bank
Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Rachbini, dkk. 2000. Bank Indonesia : Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta: PT. Mardi Mulyo.
Ricklefs.
2010. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2008.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Pustaka.
Rahardjo. 2000. Independensi BI dalam Kemelut Politik. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.
Tuminah.
2013. Perkembangan Javasche Bank,
(online), (http://merahputihku- tuminah.blogspot.com ) diakses pada 26 November 2013.
Vristian,
dkk. 2009. Nasionalisasi De
Javasche Bank. ( online), (http://yopiariscagursejarah.blogspot.com), di akses pada 17 November 2013.
No comments:
Post a Comment