Songs

Sunday, December 8, 2013

Diah Purwati

NASIOANALISASI DE JAVASCHE BANK MENJADI BANK INDONESIA ( 1951- 1959)


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd /
Ibu Indah W.P. Utami,S.Pd.,S.Hum.,M.Pd




Oleh
Diah Purwati                                       110731435549

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
            Kesulitan keuangan yang dialami pemerintah Belanda di daerah jajahan memaksa mereka melakukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran di Hindia Belanda. Hal ini menimbulkan munculnya gagasan untuk mendirikan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda. De Javasche Bank merupakan bank besar dan sangat penting pada masa kolonial di Indonesia, karena bank ini diberi ijin untyk mengeluarkan uang. Pembentukan De Javasche Bank atas perintah dari Raja Willem I melalui surat perintah tertanggal 29 Desember 1826 ( Ismail, 2009: 2). Kemudian sebagai landasan kerjanya sendiri, komisaris Jenderal mengeluarkan Surat Keputusan tersebut berupa Oktroi khusus bagi De Javasche Bank. Oktroi pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai 31 Maret 1838. Pada awalnya De Javasche Bank tidak diizinkan untuk beroperasi di luar Jawa.
             Dalam akte pendiriannya sendiri, De Javasche Bank dinyatakan sebagai perusahaan swasta. Tugas utama dari De Javasche Bank adalah untuk memulihkan mata uang dan menyediakan dana untuk bersiap- siap dan menghadapi pembangunan investor yang diperkirakan akan terjadi ( Furnivall, 2009: 108). Namun setelah keluarnya Surat Keputusan dan Komisaris Jenderal Hindia- Belanda pada 8 April 1828, maka tugas De Javasche Bank adalah mengedarkan uang kertas dengan jumlah f 1.000, f 500, f 300, f 200, f 100, f 50 dan f 25 dengan kontrol lebih ketat dari pemerintah ( Ismail, 2009: 18). Setelah diterbitkannya Oktria keempat pada tahun 1860- 1870, De Javasche Bank ditetapkan sebagai kasir pemerintah Hindia- Belanda tanpa adanya imbalan dari pemerintah. Pada tahun pertama sendiri, pengeluaran uang kertas ( alat perkerditan De Javasche Bank sendiri) tidak dibatasi dan diberikan syarat apapun tentang perlunya menyediakan jumlah logam atau emas sebagai jaminan uang kertas yang beredar ( Booth, 1988: 342). Sehingga pada tahun 1839, De Javasche Bank tidak bisa menukar kembali uang yang telah beredar dengan perak dan emas.
            Pada saat pemerintah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, tentara Jepang meminta para direksi bank, termasuk direksi De Javasche Bank yang telah mengungsi ke Bandung untuk menandatangani dan melakukan penyerahan aset- aset bank tanpa syarat. Sedangkan tugas De Javasche Bank digantikan oleh Bank Nanpo Kaihatsu Ginko sebagai bank sirkulasi. Namun pada masa pendudukan Jepang, jumlah mata uang yang beredar bertambah, karena Nanpo Kaihatsu Ginko juga mengedarkan uang Jepang dan uang yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank tetap dikeluarkan sebagai alat pembayaran yang sah.
            Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 Bangsa Indonesia telah memiliki sebuah bank cukup besar yaitu Bank Negara Indonesia ( BNI). Pada awalnya bank ini sudah berstatus sebagai bank sentral dan kemudian setelah KMB menjadi bank pembangunan. Sedangkan De Javasche Bank disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Belanda sebagai bank sentral, akan tetapi pengaruh kepentingan kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank kemudian menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada dibawa pengaruh kepentingan lain ( Rachbini & Tono, 2000: 1).
            Berbagai upaya dilakukan untuk mengikis pengaruh kolonial karena dianggap tidak cocok dengan Indonesia yang merdeka. Hal itulah yang dianggap sebagai perubahan tujuan dan maksud pendirian bank sentral baru yang lebih sesuai dengan cita- cita negara yang merdeka baik secara politis maupun ekonomi. Melalui proses panjang nasionalisasi De Javasche Bank juga sebagai upaya pemerintah untuk memenuhi perangkat-perangkat pemerintahan  dalam menasionalisasikan Bank milik Belanda meskipun sebelumnya juga ada bank-bank yang sudah didirikan sendiri oleh pemerintah Indonesia. Perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda bukan hanya dalam masalah politik  saja untuk mengakhiri sebuah perang, tetapi juga mencakup dalam masalah ekonomi, salah satunya adalah perbankan.
Dengan munculnya Keputusan Presiden 22 Juli 1951 dibentuk Panitia De Javasche Bank pada tanggal 9 Juni 1951. Panitia ini mempenunyai kekuasaan dalam mengambil tindakan – tindakan persiapan dan untuk perundingan – perundingan mengenai nasionalisasi kepada pemerintah pada umumnya dan untuk memajukan. Pada tanggal 15 Desember 1951 telah diumumkan undang – undang tentang nasionalisasi De Javasche Bank N.V (Undang – Undang 1951 No.24, Lembaran Negara RI 1951 No.120). Dalam Undang – Undang ini berisi tentang pencabutan hak kepemilikan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan judul “Nasionalisasi De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia ( 1951- 1959)”.

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah antara lain:
1.      Bagaimana keadaan De Javasche Bank pasca kemerdekaan ( 1945- 1951)?
2.      Bagaimana proses nasionalisasi De Javasche Bank Malang menjadi Bank Indonesia ?
3.      Bagaimana perubahan kelembagaan Bank Indonesia setelah nasionalisasi ( 1951- 1959)

1.3       Tujuan Penulisan Makalah
1.      Mengetahui keadaan De Javasche Bank pasca kemerdekaan ( 1948- 1952).
2.      Mengetahui proses nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia ?
3.      Mengetahui perubahan kelembagaan Bank Indonesia setelah nasionalisasi ( 1951- 1959)

1.4       Ruang Lingkup
1.      Lingkup Spasial
Daerah yang dijadikan tempat adalah Bank Indonesia pada tahun 1945 - 1959 berdasarkan beberapa kantor cabang yang ada di Jawa ( Bandung, Yogyakarta ,Malang, Surabaya, Cirebon, Semarang dan Solo),  Sumatra ( Medan, Palembang dan Padang), Kalimantan ( Pontianak dan Banjarmasin) dan Sulawesi ( Menado, Makassar dan Kendari). Alasan pemilihan ini karena Bank Indonesia adalah bank sentral Indonesia hasil dari nasionalisasi De Javasche Bank. Sedangkan kantor cabangnya tersebar luas di Indonesia.
2.      Lingkup Temporal
Kajian ini di mulai pada tahun 1951 dimana pada saat itu terjadi proses nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dan berakhir pada tahun 1959, dimana dikeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 serta menganut demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin yang berdampak pada penugasan Bank Indonesia.
3.      Lingkup Kajian
Kajian ini memfokuskan pada nasionalisasi De Javasche Bank yang dilalui dengan cara yang rumit. Bagaimana De Javasche Bank setelah kemerdekaan yang mengakibatkan dilakukan proses nasionalisasi. Akibatnya nasionalisasi tersebut membawa perubahan pada susunan oraganisasi dan tugasnya dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia yaitu bank sentral.

1.4       Tinjauan Pustaka
1.      Nasionalisasi
            Proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu, terutama milik asing menjadi milik bangsa atau negara, biasanya diikuti dengan penggantian yg merupakan kompensasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap perusahaan asing (http://www.artikata.com). Sedangkan menurut Ardhana, I Ketut ( 2004) dalam (http://artiistilah.blogspot.com) menyatakan bahwa nasionalisasi memiliki arti perubahan suatu fase transisi dari sistem kolonial ke sistem ekonomi nasional, dimana hak atas kepemilikan semua modal, semua sarana prasarana sah menjadi milik Indonesia. Menurut Djoko Suryo (2004) dalam ( http://artiistilah .blogspot.com) juga menjelaskan bahwa nasionalisasi merupakan proses yang ditandai dengan berbagai langkah atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun bangsa Indonsia dalam proses pemindahan kekuasaan dan kewenangan dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan Indonesia terutama dalam menguasai atau memiliki aset-aset negara baik yang berkaitan dalam bidang politik, administrasi pemerintahan, militer, maupun perekonomian.
2.      De Javasche Bank
            De Javasche Bank berdiri atas perintah Raja Willem I melalui Surat Perintahnya tanggal 29 Desember 1826 sebagai tindak lanjut dari gagasan 1816. Secara konseptual De Javasche Bank ditangani oleh J. C. Baud, Direktur Daerah Jajahan dan Schimmelpenninck, Direktur Urusan Hindia Belanda dari Nederlandsche Handel-Mij ( Ismail, 2009: 2-3). Pembentukan De Javasche Bank itu dilakukan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Leonard Pierre Joseph Burgraaf Du Bus de Gisignies. Pada tanggal 11 Desember 1827 konsepsi Oktroi itu diundangkan oleh Du Bus. Di tangan Du Bus, De Javasche Bank berdiri pada tanggal 24 Januari 1828.
            Tujuan pendirian De Javasche Bank ada dua yaitu, mengatur peredaran uang dan memperluas kredit dengan tuuan mencari keuntungan. Fungsi dan peranan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi berkembang secara gradual berdasarkan Oktroi yang dikeluarkan dari waktu ke waktu. Pada awalnya De Javasche Bank dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak tahu soal-soal perbankan dan karena itu mereka tidak tahu pasti tugas apa yang harus dilaksanakannya. Dalam perjalanan sejarahnya, De Javasche Bank dapat disebut sebagai bank komersial yang beroperasi berdasarkanoctrooi yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda secara periodik. Dalam De Javasche Bankwet  tahun 1922 itu ditegaskan kembali peranan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi tetapi dengan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah. Kebijaksanaan moneter juga harus mendapatkan pengarahan dari pemerintah di negeri Belanda. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu sebenarnya bank telah bertindak dalam fungsi-fungsi yang hanya dapat dilakukan oleh sebuah bank sentral, sekalipun tidak berkedudukan resmi sebagai bank sentral. Dengan kata lain, De Javasche Bank dapat disebut sebagai bank perkreditan dengan hak menerbitkan uang kertas (note-issuing credit bank).
            Berdasarkan undang-undang tahun 1922 itu, dapat disimpulkan fungssi dan tugas De Javasche bank sebagai berikut:
1)      Mengeluarkan uang kertas bank dan dengan begitu dapat menawarkan kepada masyarakat pelayanan dan pengiriman uang, pembukaan rekening giro, menerima deposito berjangka, dan semacamnya;
2)      Melakukan negosiasi dalam wesel luar negeri, memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri;
3)      Memberikan kredit kepada perusahaan dan perorangan, melakukan diskonto terhadap wesel-wesel luar negeri, memberikan pinjaman dna pemberian uang muka dengan jaminan surat-surat berharga atau barang-barang dagangan;
4)      Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek kepada pemerintah Hindia Belanda; dan
5)      Menyelenggarakan kliring di antara bank-bank.

1.5       Metode Penelitian
Metode selalu erat hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu displin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek yang diteliti ( Sjamsuddin, 2008 : 13). Sedangkan untuk mendapatkan suatu peristiwa sejarah yang kritis, diperlukan suatu metode sejarah. Menurut Hamid ( 2011: 40) menyatakan bahwa metode sejarah adalah cara atau teknik dalam merekontruksi peristiwa masa lampau yang terdiri atas empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan sumber ( heuristik), (2) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi ( penafsiran), dan (5) historiografi ( penulisan kisah sejarah). Berdasarkan tahap-tahap di atas, langkah yang ditempuh penulis dalam menyusun makalah penelitian ini adalah:
1.      Pengumpulan Sumber (Heuristik)
            Sumber (sumber sejarah disebut juga data sejarah; bahasa Inggris datum  bentuk tunggal, data bentuk jamak;bahasa Latin datum berarti pemberian) yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Penulis melakukan cara untuk mendapatkan sumber mengenai topik terkait. Awalnya peneliti ingin mengkaji nasionalisasi De Javasche Bank di Kota Malang, namun karena perpustakaan Bank Indonesia yang berada di Jalan Kawi, Malang sedang di renovasi. Kemudian peneliti langsung mendatangi Bank Indonesia Malang yang berada di Jalan Merdeka, Malang. Namun sumber terkait mengenai topik bahasan tersebut sedang tidak bisa di berikan karena perpustakaan yang masih di renovasi. Sehingga untuk mata kuliah sejarah perekonomian ini, topik penelitian di ganti menjadi Nasionalisasi De Javasche Bank di Indonesia yang di kaji dari beberapa kantor cabang. Sumber yang ditemukan oleh penulis di dapat dari Lembaran Negara pada tahun 1951 yang di dapat dari Kantor Badan Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Timur. Kemudian diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber utama dan sumber kedua. Sumber utama merupakan sumber asli yakni bukti yang sejaman dengan suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan sumber kedua yaitu apa yang ditulis oleh sejarawan sekarang ataupun sebelumnya berdasarkan sumber pertama. Menurut penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam sumber primer dan sumber sekunder.
a.       Sumber Primer (pertama)
Sumber primer adalah sumber utama yakni sumber yang sejaman setempat. Sumber sejaman yang ditemukan oleh peneliti adalah Lembaran Negara RI 1951 No.120, Undang- undang 1951 No.24 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank yang kemudian di dukung dengan Undang- undang No. 11 Tahun 1953.
b.      Sumber Sekunder (kedua)
            Sumber kedua merupakan hasil penelitian dan penulisan dari penulis lain yang berdasarkan sumber pertama. Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber sekunder atau kedua yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku Sejarah Bank Indonesia Periode I : 1945 sampai 1959 yang ditulis oleh Djiwandono, dkk, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum oleh Ismail.
2.      Kritik
Tahap yang ketiga dalam penulisan sejarah adalah Kritik. Di dalam penelitian sejarah dikenal dengan kritik ekstern dan intern.
a.       Kritik Eksternal
Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Kritik Eksternal harus dilakukan lebih dahulu karena berhubungan dengan otensitas atau keaslian sumber. Sumber yang dinilai asli itulah yang nantinya akan melalui tahap selanjutnya yang bertujuan untuk mempertanyakan relibilitas sumber.
Dalam melakukan kritik eksternal ini peneliti tidak bisa melakukan terhadap data tertulis karena tidak memungkinkan. .
b.    Kritik Internal
Kritik Internal merupakan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni) (Sjamsuddin, 2008 :143). Di dalam kritik ini peneliti akan berusaha meyakinkan bahwa data yang diperoleh adalah suatu kebenaran.
Sumber-sumber yang lolos pada tahap kritik ekstern akan dikritik kembali, terutama yang menyangkut kebenaran isi sumber. Peneliti telah membandingkan isi sumber-sumber yang ada dengan sumber-sumber yang sezaman serta antara sumber yang satu dengan yang lainnya. Misalnya membandingkan isi Undang- Undang tahun 1951 dengan buku Sejarah Bank Indonesia Periode I : 1945 sampai 1959 yang ditulis oleh Djiwandono
Kritik Internal
Undang- Undang No.24 1951
 
Sumber Primer


 







Sumber sekunder


 




3.      Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah adalah melakukan analisa dari fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh. Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektifitas. Subjektifitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari. Dalam hal ini penulis berusaha menganalisis data- data yang diperoleh yaitu Undang- undang dan sumber sekunder lainnya. Bagaimana langkah awal yang ditempuh pemerintah sebelum dilakukan nasionalisasi, kemudian dilanjutkan dengan proses nasionalisasi dan bagaimana hasil dari nasionalisasi tersebut yang berdampak pada perubahan Bank Indonesia menjadi bank sentral.
Bagan untuk intepretasi








 











4.                   Historiografi
Historiografi adalah kegiatan intelektual yang dilakukan oleh sejarawan untuk mengerahkan segala kemampuan intelektualnya dalam membuat deskripsi, narasi, analiti kritis, serta sintesis dari fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi, teori, hipotesis sehingga menghasilkan suatu bentuk penulisan sejarah yang utuh yang disebut historiografi.
Pola historiogrfi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola deskriptif naratif. Pola Historiografi deskriptif lebih menekankan pada kronologi dan kausalitas dari peristiwa tersebut. Pola ini juga berusaha untuk mengkaitkan antara fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan tulisan yang menarik. Penulisan dalam makalah penelitian ini di mulai dari bagaimana peneliti memperoleh sumber, kemudian dilanjutkan dengan kritik sumber. Selanjutnya melakukan intepretasi berdasarkan kajian pustaka dan sumber yang telah dikritik.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Keadaan De Javasche Bank Pasca kemerdekaan ( 1945- 1951)
            Kemerdekaan Indonesia memberikan kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk membangun dan mengelola negara sesuai dengan keinginan dan aspirasi rakyat sendiri. Di bidanng keuangan sendiri, dalam penjelasan pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang- undang. Ketentuan tentang Bank Indonesia telah tercantum dalam penjelasan pasal 23 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut (Djiwandono, 2005: 18) :
Juga tentang hal macam dan harga mata uang, ditetapkan dengan undang- undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya pada masyarakat. Uang pertama ialah penukar dan pengukur harga. Sebagai alat tukar untuk memudahkan pertukaran – jual- beli- dalam masyarakat. Berhubungan dengan itu, perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat. sebagai pengukur harga untuk dasar penetapan harga masing- masing barang yang dipertukaran. Barang yang menjadi pengukur harga itu mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang tidak teratur. Oleh karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan undang- undang. Berhubungan dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan  Undang- undang.
Pencantuman Bank Indonesia Bank Indonesia dalam Penjelasan UUD 1945 merupakan landasan kuat bagi kehadiran dan peran strategis Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia.
            Berdasarkan keputusan kabinet pada 16 September 1945, maka pemerintah memberikan surat kuasa kepada R.M Margono Djojohadikoesoemo, yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk mempersiapkan pendirian Bank Negara Indonesia atau Jajasan Poesat Bank Indonesia ( JPBI) ( Rahardjo, 2000: 7) . Pada saat itu juga telah ada beberapa bank milik Belanda dan asing yang telah melakukan lalu lintas perdagangan internasional, antara lain De Javasche Bank, De Nederlandsche Handels- maatschappij, De Nederlandsch Indische Escomptomaatschappij, Yokohama- Specie Bank, The Chartered Bank of India, Australia anda China ( Inggris), Overseas Chinese Banking Corporation ( Singapura) dan Bank of China ( Cina).
            Surat kuasa yang diberikan oleh presiden pada 16 September 1945, memberikan wewenang kepada R.M Margono Djojohadikoesoemo untuk mendirikan yayasan ( stichting) yang diberi nama Jajasan Poesat Bank Indonesia dengan Akte Notaris R.M Soerojo di Jakarta, pada tanggal 19 Oktober 1945 ( Djiwandono, dkk, 2005: 22). Jajasan Poesat Bank Indonesia ini pertama kali berkantor di jalan Menteng 23 Jakarta dan R.M Margono Djojohadikoesoemo di angkat oleh Presiden sebagai pimpinan harian ( direktur). Jajasan Poesat Bank Indonesia mendapat wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum, mengeluarkan obligasi, memberikan kredit, menerima simpanan giro, deposito, tabungan dan memberikan penyaluran masalah ekonomi kepada masyarakat.
            Ketika pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan pendirian Bank Negara Indonesia sesuai dengan Perpu No.2 tahun 1946, Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia dengan dibantu oleh NICA yang mengaktifkan kembali De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi untuk wilayah yang diduduki Belanda dengan Oktober 1945. Sehingga secara de facto hingga ditanganinya KMB, di Indonesia terdapat dua bank sirkulasi , yaitu BNI dan De Javasche Bank. Pada saat kondisi perang tersebut, percetakan dan pengedaran uang oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
            Pada tanggal 5 Juli 1946, dikeluarkan Undang- undang No.2 Prp Tahun 1946 tentang Pembentukan dan Penetapan Bank Negara Indonesia sebagai Bank Sirkulasi dan Bank Sentral Milik Negara ( Rahardjo, 2002: 7) . Masalah yang timbul adalah dengan dijadikannya De Javasche Bank sebagai bank sentral dan pembagian tugas antara De Javasche Bank dengan Bank Negara Indonesia. Secara faktual Pemerintah Indonesia selama ini telah mempunyai bank sirkulasi sendiri, sementara De Javasche Bank tetap beroperasi sebagai bank sirkulasi yang berada di bawah kendali Pemerintah Belanda. sebelum di laksanakan KMB, terjadi dua kali perundingan di Yogya dan Jakarta, namun dalam perundingan ini tidak disertakan pimpinan Bank Negara Indonesia untuk membicarakan bank sirkulasi pada masa yang akan datang. Menurut Margono Djojohadikusumo dalam Ismail (2009: 31) menyatakan bahwa akibatnya delegasi Indonesia dianggap masuk perangkap NICA dan BFO yang menghendaki hanya De Javasche Bank yang akan menjadi bank sentral, dan menjadikan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia. Pernyataan Margono Djojohadikusumo dalam Ismail ( 2009: 31)
 “ In the negotiation held at Yogya and Jakarta in the middle of the year 1949, the were some “neglignce and inattention” on the part of Republic side, as result of which the delegated of the R. Of I. In the negotiations were caught in a trap which had been prepared by the opponents ( NICA dan BFO). The trap was the Javasche Bank, the position of which they had planned to restore as the “ Bank of Issue”. Whilst by virture of the Goverment Regulation in lieu of Law No.2 dated 5th July 1946 the only “Bank of Issue” for Indonesia would be BNI. The negligence and the inattention”, which I have referred to, relate to the fact that the five members of the Board of Management (they were still complete although their bank was empty) were not requested to participate in the negotiations even as mere adviser.  
The BFO group was successful in concluding an agreement with the Republican delegation, i.e. the question of “ the bank of issue” had to be dicided by the Parliament later. The Parliament would decide whether a “bank of issue” would have a status as a Goverment bank as BNI or private bank which would be given a charter to print currency notes as N.V De Javasche Bank.”
Pada saat itu BNI juga mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsinya sebagai bank sentral yang wajar, kecuali untuk daerah Aceh ( cabang Kutaraja). Pada tahun 1949, De Javasche Bank menjalankan fungsinya sebagai bank sirkulasi sesuai dengan kesepakatan KMB, sehingga makin menjadikan BNI tidak berfungsi sebagai bank sirkulasi sampai tahun 1955.

2.2       Proses Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
            Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, Konferensi Meja Bundar di selenggarakan di Den Haag. Hatta memimpin Indonesia pada perundingan ini dan suatu uni yang longgar antara Belanda dan RIS disepakati dengan ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. Berbgai jaminan diberikan kepada investasi – investasi Belanda di Indonesia dan disepakati bahwa akan diadakan konsultasi- konsultasi mengenai beberapa masalah keuangan ( Ricklefs, 2010: 487). Banyak pihak Indonesia yang menganggap rencana- rencana tersebut sebagai pembatasan- pembatasan yang tidak adil terhadap kedaulatan mereka. 
            Perbedaan pendapat antara  Hatta dan Sumitro Djojohadikusumo berlanjut hingga Konferensi Meja Bundar. Sumitro menginginkan Bank Negara Indonesia sebagai bank sentral, sebab Bank Negara Indonesia adalah bank yang didirikan oleh Indonesia. Hal ini menjadi seperti yang dikemukan oleh Sumitro Djojohadikusumo, “  Selama Perundingan dalam pikiran delegasi Republik Indonesia, maka Bank Negera Indonesia dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bank pembangunan.” Perbedaan pendapat antara Sumitro dan Hatta menyatakan bahwa ( Ismail, 2009: 33):
At the conference I had serious conflict with Hatta on the three points : the debt problem, the problem of the Java Bank and Irian. The Dutch used the debt as a means of maintaining leverage over many facets of economic and commercial policy. The wanted to keep the tin mines as collateral and they wanted to run the Central Bank.... On the role of the Central Bank, I wanted the BNI  ( Bank Negara Indonesia) to be Central Bank ; thet was our own bank ... I wanted the BNI to become the Central Bank.”

            Alasan dijadikannya De Javasche Bank sebagai bank sentral memang merugikan Indonesia, namun keputusan tersebut tetap diterima. Karena Indonesia masih membutuhkan modal asing dan para pengusaha Belanda dalam membangun ekonomi terutama dalam meningkatkan ekspor.
            Secara faktual, De Javasche Bank masih dipimpin oleh Dr. Houwink yang dianggap terlalu membatasi perusahaan Indonesia dalam melakukan perdagangan dengan asing. Seringkali terjadi perselisihan antara Pemerintah Indonesia dan Pimpinan De Javasche Bank yang berpuncak pada pengunduran diri Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank. Rencana pelaksanaan Nasionalisasi De Javasche Bank diumumkan oleh Menteri Keuangan Mr.Yusuf Wibisono pada wawancara pers tanggal 30 April 1951. Pengumuman itu tidak ada pemberitahuan lebih dahulu kepada direksi De Javasche Bank. Selain itu, Dr. Houwink yang saat itu menjabat sebagai Presiden De Javasche Bank merasa tidak mempunyai kepercayaan dari pemerintah lagi dan tidak mempunyai kekuasaan untuk memenuhi tugasnya sampai akhirnya dia mengundurkan diri ( Djiwandono dkk, 2005: 29).
            Setelah Dr.Houwink mengundurkan diri maka posisi presiden De Javasche Bank digantikan oleh Sjafruddin Prawiranegara atas usul Paul Spies. Awalnya Sjafruddin menolah karena merasa tidak mempunyai pengalaman dalam bidang perbankan, apalagi adalam urusan bank sirkulasi sekaligus bank komersial seperti De Javasche Bank. Namun karena permintaan dari Hatta dan dukungan dari PM Soekiman pada saat itu, maka Sjafruddin Prawiranegara menyetujuinya ( Ismail, 2009: 42- 43).
            Nasionalisasi De Javasche Bank adalah proses pemindahan hak kepemilikan asing (Belanda) ke pemerintahan Indonesia. Nasionalisasi yang terjadi tidak hanya pada perusahaan – perusahaan Belanda saja, namun juga pada aset- aset Belanda lainnya termasuk bank-bank milik bangsa asing. Nasionalisasi ini diambil setelah pemerintah Indonesia menilai Belanda mengingkari keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang Irian Barat. Salah satu keputusan KMB adalah menetapkan De Javasche Bank sebagai bank sentral di Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menyebabkan secara otomatis menghapus status Bank Negara Indonesia yang sejak 1946 bertugas sebagai bank sentral Republik Indonesia.
            Untuk merealisasikan rencana nasionalisasi De Javasche Bank maka dibentuklah Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank pada tanggal 19 Juni 1951 yang diikuti dengan Undang- undang No.24 Tahun 1951. Upaya Nasionalisasi di mulai pada akhir Juli 1951, dengan mengirim Sekjen Kementrian Keunagan Noh. Saubari dan wakil dari De Javasche Bank, Drs. Khouw Bian Tie ke negeri Belanda untuk melakukan negosiasi pembelian saham ( Rahardjo, 2000: 8). Panitia tersebut mempunyai kekuasaan untuk menyiapkan dan mengadakan perundingan – perundingan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank atas nama pemerintah serta untuk mengajukan mengajukan usul-usul nasionalisasi kepada pemerintah pada umumnya dan memajukan rencana Undang – Undang pada khususnya ( Djiwandono dkk, 2005: 30).
Susunan Panitia De Javasche Bank terdiri atas ( Djiwandono, 2005 : 30) :
·         Moh.Sediono              : Sekretaris Jenderal Kementerian Ekonomi dan ketua ;
·         Mr. Soetikno Slamet   : Thesaurier Jenderal Kementerian Keuangan
·         Dr RM Sumitro Djojohadikusumo     : Komisaris pemerintah pada De Javasche Bank.
·         T.R.B Sabaruddin       : Direktur Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri
·         Drs. A Oudt    : Penasihat Umum pada Kementerian Keuangan
·         Drs Khouw Bian Tie   : Penasehat Umum pada Kementerian Perekonomian.
            Dalam tugasnya ini panitia Nasionalisasi akan melaksanakan dua hal yaitu pelaksanaan nasionalisasi yang sebenarnya dan panitia juga berkewajiban juga untuk merencanakan status baru bagi Bank Sentral. Dalam surat Panitia Nasionalisasi kepada Direksi De Javasche Bank menyatakan  akan menghargai jika Direksi De Javasche Bank mau bekerja sama dengan panitia nasionalisasi, dari surat inilah pada tahun 1951 telah melangsungkan beberapa kali perundingan antara panitia nasionalisasi dan direksi De Javasche Bank.
            Untuk melaksanakan bagian pertama dari tugasnya yaitu panitia Nasionalisasi dengan cara membeli saham – saham oleh pemerintah atas dasar sukarela sehingga pada tanggal 3 Agustus 1951 pemerintah mengumumkan bahwa dengan mendahului rencana Undang – undang De Javasche Bank yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, bersedia membeli surat-surat yang ada pada pemegang-pemegang saham ataupun sertifikat dari saham De Javasche Bank dengan kurs 120 % mata uang Nederland dari negeri yang mereka tinggal dengan pengertian bahwa pemegang – pemegang surat-surat nempunyai kewarganaan Indonesia dan menjadi  penduduk devisa Indonesia akan membayar dalam rupiah dengan kurs 360%.  Saham – saham dan sertifikat –sertifikat semuanya berjumlah Rp. 8,95 juta . Sedangkan surat –surat yang belum ditawarkan dikatakan bahwa sebagian besar telah hilang dan tidak akan muncul lagi.
            Setelah tahap pertama nasionalisasi berhasil dilakukan, pemerintah ternyata berhasil mengambil alih 99,4 persen saham De Javasche Bank dan sisanya dianggap hilang karena saat pembelian saham dilakukan 0,6 persen sisa saham ternyata tidak jelas kepemiliknyaannya sehingga De Javasche Bank sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1951 telah diumumkan Undang-undang tentang nasionalisasi De Javasche Bank N. V (Undang- Undang 1951 No.24 Lembaran Negara RI 1951 No.120) yang menjelaskan dalam Undang – Undang ini, acara pencabutan hak kepemilikan ditetapkan dengan Undang – Undang. Pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa De Javasche Bank telah berubah status dari De Javasche Bank ( Bank sirkulasi milik Belanda) menjadi milik pemerintah Indonesia. De Javasche Bank yang telah dinasionalisasi inilah yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia yang kita kenal sekarang sebagai bank sentral. Dengan nasionalisasi tersebut tugas bagian pertama dari panitia nasionalisasi sudah terlaksanakan dan tugas bagian kedua yang lebih sulit dari yang pertama adalah yaitu merencanakan Undang-undang bank baru untuk bank sentral Indonesia yang telah dinasionalisasikan ( Djiwandono, 2005: 31).      
         Secara umum, pembelian saham- saham De Javasche Bank dilakukan pemerintah secara sukarela. Berdasaran Laporan Presiden dan Dewan Komisaris De Javasche Bank 1951- 1952 dalam Ismail (2009: 47), menyatakan bahwa:
Karena telah ternyata, bahwa sebagian besar dari pemegang- pemegang saham telah suka menjual saham/ sertifikatnya kepada Republik Indonesia dengan syarat- syarat sebagai tersebut dalam pengumiman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 3 Agustus 1951 tersebut diatas, maka dapatlah dianggap, bahwa syarat- syarat yang ditawarkan oleh pemerintah dalam pengumumannya tersebut untuk pembelian saham- saham De Javasche Bank N.V oleh bagian terbesar dari pemegang saham disetujui layaknya.”
            Bagi pemegang saham De Javasche Bank yang merasa dirugikan sehubungan dengan nasionalisasi ini, maka mereka bisa memberikan perlindungan dengan cara mengajukan keeratan terhadap nasionalisasi melalui pengadilan, hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 4:
1.      Pemilik-pemilik saham De Javasche Bank N.V., yang sahamnya menurut pasal 2 tersebut di atas dicabut haknya, dan yang tidak menyetujui besarnya pengganti kerugian tersebut dalam pasal 3 di atas, dalam waktu dua bulan mulai dari hari berlakunya Undang-undang ini, diberi kesempatan untuk mengajukan pengaduan menurut peraturan-peraturan acara yang berlaku dalam pengadilan di Indonesia untuk minta ditetapkan oleh Hakim besarnya pengganti kerugian yang seadil-adilnya.
2.      Hakim mendahulukan penjelasan urusan ini.



2.3       Perubahan Sistem Bank Indonesia setelah Nasionalisasi ( 1951- 1959)
                                                               
            Dengan dilakukanya Nasionalisasi terhadap De Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia, maka setidaknya secara formal dan simbolis pemerintah Indonesia telah menegakan kedaulatan ekonomi meskipun baru terjadi setelah delapan tahun Indonesia merdeka. UU Pokok Bank Indonesia secara eksplisit menyebutkan perbedaan mendasar antara Bank Indonesia dengan De Javasche Bank. Fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral secara tegas telah ditetapkan pada pasal 1 ayat (1) Undang- undang No.11 Tahun 1953 tentang pokok Bank Indonesia ( UUPBI). Tugas Bank Indonesia ditetapkan dalam pasal 7, yaitu (1) mengatur nilai uang agar stabil ; (2) menyelenggarakan peredaran uang ; (3) memajukan perkembangan yang sehat dari urusan dari urusan kredit dan urusan bank ; dan (4) melakukan pengawasan kredit.
            Selain itu, Undang- undang Pokok Bank Indonesia juga mengatur kewenangan Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas sebagai alat pembayaran yang sah ( Pasal 8) dan melakukan kegiatan bank umum ( Pasal 13). Alasan dimungkinkannya bank sentral melakukan kegiatan operasional sebagai bank umum adalah untuk memperoleh keuntungan komersial yang sesuai kehendak gubernurnya pada waktu itu, disamping karena ada Undang- undang yang memungkinkan.
            Sebagaimana halnya De Javasche Bank ( DJB), Bank Indonesia juga ditetapkan sebagai badan hukum ( Pasal 1 ayat (2)). Namun, De Javasche Bank berbentuk Naamloose Venootscaft ( NV) atau Perusahaan Terbatas yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Belanda dan masyarakat umumnya, padahal Bank Indonesia merupakan badan hukum yang dilahirkan oleh Undang- undang dan kepemilikan sepenuhnya ada pada negera. Dalam De Javasche Bank Wet ditetapkan bahwa pimpinan dipegang oleh Direksi dan bertanggung jawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham. Sedangkan pada Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasehat. Sedangkan tugas ketiga ditetapkan dalam Undang- undang Pokok Bank Indonesia.
            Tugas dari pimpinan itu, antara lain:
1.      Dewan moneter terdiri dari menteri- menteri yang membidangi keuangan sebagai ketua, menteri Bidang perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia yang masing- masing sebagai anggota ( Pasal 23 (1)). Dalam Pasal 24 ayat (1) ditetapkan bahwa jika Menteri Keuangan sebagai ketua tidak ada, maka Gubernurlah yang menggantikannya. Tugas Dewan Moneter adalah ( Rahardjo, 2000: 20)
a.       Menetapkan kebijakan moneter umum;
b.      Memberikan petunjuk kepada Direksi jika kepentingan umum memerlukannya ;
c.       Mengatur stabilitas nilai rupiah ;
d.      Memajukan perkembangan kredit dan perbnkan, serta ;
e.       Melakukan pengawasan kredit
Seiring dengan perkembangan sistem parlementer dengan perubahan-perubahan kabinetnya, maka keanggotaan Dewan Moneter pun berganti sesuai dengan kabinet pada masanya ( Museum Bank Indonesia, 2007: 6 ):
1)      Pada kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Keuangan dijabat oleh Ong Eng Die dan Menteri Perekonomian dijabat oleh Iskaq Tjokrohadisurjo.
2)      Kabinet Burhanuddin Harahap, Menteri Keuangan dijabat oleh Sumitro Djojohadikusumo dan Menteri Perekonomian dijabat oleh I.J. Kasimo.
3)      Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Menteri Keuangan dijabat oleh Jusuf Wibisono dan Menteri Perekonomian dijabat oleh Burhanuddin.
4)      Kabinet Djuanda, Menteri Keuangan dijabat oleh Soetikno Slamet, Menteri Perdagangan dijabat oleh Rachmat Muljomiseno, Menteri Perindustrian dijabat oleh F.J. Inkiriwang, yang di dalam Dewan Moneter menjabat sebagai anggota pengganti.
Susunan Dewan Moneter kembali berubah setelah Dekrit Presiden 1959.
2.      Direksi bank Indonesia terdiri dari gubernur dan sekurang- kurangnya dua orang direktur atau sebanyak- banyaknya lima orang direktur. Tugas dari direksi menurut Undang- undang Pokok Bank Indonesia adalah ( Rahardjo, 2000: 20) :
a.       Menyelenggarakan kebijakan moneter yang ditetapkan Dewan Moneter ;
b.      Menyelenggarakan pemberian kredit ;
c.       Menyelenggarakan peredaran uang ;
d.      Memudahkan jalanya uang giral ;
e.       Memajukakan jalannya pembayaran dengan luar negeri
3.      Jumlah Dewan Penasehat Bank Indonesia ditetapkan oleh Undang- undang Pokok Bank Indonesia sebanyak sembilan orang yang mempunyai latar belakang keahlian tertentu atau tokoh terkemuka dari kalangan perusahaan, pertanian, atau pemburuhan dengan tugas memberikan nasehat kepada Dewan Moneter ( Djiwandono, 2005: 47) . Dewan penasehat juga mengumumkan nasehat- nasehatnya sepanjang hal tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan negara oleh Pemerintah. Tujuan pembentukan Dewan Penasehat adalah agar Dewan Moneter senantiasa berhubungan dengan dunia usaha, sehingga tindakan- tindakan mereka selalu dapat diuji dengan pendapat- pendapat dari para praktisi.
            Jika dilihat dari kelembagaannya


            Namun menurut beberapa pengamat tugas dan fungsi Bank Indonesia tidak beda jauh dengan De Javasche Bank. Bahkan menilai Bank Indonesia sebagai “ reorganisasi De Javasche Bank”. Adapun persamaanya adalah (http://merahputihku-tuminah.blogspot.com ) :
1.      Bank sentral mengemban tugas untuk mengatur mata uang, sejalan dengan kaidah-kaidah bisnis dan kepentingan umum. Bank sentral diberi hak –hak khusus untuk mengeluarkan uang kertas. Kebijakan diatas sama-sama dilakukan oleh De Javasce Bank maupun Bank Indonesia.
2.      Melaksanakan kegiatan perbankan umum serta memberikan pelayanan jasa perbankan kepada Negara”. Hal ini pernah dilakukan De Javasche Bank sebagai mana diatur dalam De Javasche Bankwet 1922. Dalam hal ini pasal Undang-undang No. 11 Tahun 1953 berisi antara lain bahwa Bank Indonesia wajib menyelenggarakan penyimpanan kas umum Negara dengan cuma-cuma dan bertindak sebagai pemegang kas Republik Indonesia. Bank Indonesia wajib menyelenggarakan dengan cuma-cuma pemindahan uang untuk Republik Indonesia diantara kantor-kantor besar. Bank Indonesia wajib memberikan bantuanya dengan cuma-cuma untuk mengeluarkan dengan langsung surat-surat utang atas beban Republik Indonesia.
3.      Bank sentral harus “ menjaga dan memelihara cadangan kas-kas bank-bank komersial.” Pada masa De Javasche Bank, kewajiban ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi karena pada zaman colonial, dana ini dikirim ke negeri Belanda. Ketentuan tersebut dilaksanakan di Indonesia secara sukarela oleh bank-bank komersial. Namun kewajiban tersebut baru ditetapkan secara resmi oleh keputusan dewan moneter No.28 tanggal 28 Mei 1955, dimana bank-bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah minimum tertentu pada Bank Indonesia, atas kewajiban-kewajiban jangka pendek dan deposito.
4.      Bank sentral “memelihara dan mengelola cadangan cadangan devisa suatu bangsa atau Negara.” Pada masa colonial, emas dan devisa selalu berada dibawah penguasaan De Javasche Bank. Setelah perang dunia II, Bank Indonesia semakin mengontrol dan mengawasi lalu lintas emas dan mata uang asing dengan dibentuknya biro devisa.
5.      Bank sentral “melakukan control terhadap kredit sesuai dengan kebutuhan bisnis dalam rangka melaksanaan kebijaksanaan moneter yang digariskan oleh Negara” Tetapi Bank Indonesia, berdasarkan pasal 7 Undang-undang Pokok Bank Indonesia mengemban tugas itu. Ayat 3 pasal tersebut mengatakan: “Bank memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan bank di Republik Indonesia pada umumnya dan dari urusan bank nasional khususnya.” Demikian pula ayat 4 mengatakan bahwa: “ Bank melakukan pengawasan terhadap urusan kredit.” Pedoman urusan tersebut memang belum ada, tetapi ayat 5 mengatakan: “ Menunggu terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap urusan kredit, maka dengan peraturan pemerintah, dapat diadakan peraturan-peraturan lebih lanjut bagi bank untuk menjalankan pengawasan guna kepentingan kemampuan membayar dan kelanjutan keuangan badan-badan kredit, begitu juga untuk pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang tepat.”

















BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan                                 
            Setelah pengunduran diri Dr. Houwink karena rencana pelaksanaan Nasionalisasi De Javasche Bank diumumkan oleh Menteri Keuangan Mr.Yusuf Wibisono dalam wawancara pers pada tanggal 30 April 1951. Selanjutnya pada 6 Desember 1951 disahkan dan diundang pada 15 Desember 1951 tentang Undang-undang N asionalisasi De Javasche Bank N. V. Pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa De Javasche Bank telah menjadi milik Pemerintah Indonesia.
            Setelah dinasionalisasikan De Javasche Bank, Panitia merumuskan Rencan Undang- undang Pokok Bank Indonesia yang merupakan Undang- undang bagi bank sentral Indonesia dan pada tanggal 19 Mei 1953 Rencana Undang- undang tersebut disahkan oleh Presiden dan diumumkan pada tanggal 2 Juni 1953 ( Undang- undang  No.11 Tahun 1953 tentang Undang- undang Pokok Bank Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1953 No.40). Tugas Bank Indonesia sendiri sebagai bank sentrak mencakup tiga fungsi, yaitu fungsi kebijakan moneter, kebijakan perbankan dan kebijakan sistem pembayaran. Sedangkan untuk meaksanakan tugas tersebut maka dibentuklah tiga dewan, yaitu Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasehat.

3.2       Saran
Berdasarkan isi makalah, maka penulis menghimbau kepada:
·         Pembaca
1.      Untuk lebih mempelajari lagi mengenai nasionaliasasi De Javasche Bank di kantor- kantor cabang yang ada di Indonesia, jika mungkin ada perbedaan karena sejauh ini proses nasionalisasi dapat di katakan hampir sama.



DAFTAR RUJUKAN
Booth. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES.
Djiwandono, dkk. 2005. Sejarah Bank Indonesia Periode I : 1945 – 1959. Jakarta:             Bank Indonesia.
Furnivall. 2009. Hindia Belanda : Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta:           Freedom Institude.
Ismail. 2009. Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum. Yogyakarta : Navila Idea. 
Museum Bank Indonesia. 2007. Sejarah Bank Indonesia :Kelembagaan Periode    1953-1959. Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank         Indonesia
Rachbini, dkk. 2000. Bank Indonesia : Menuju Independensi Bank Sentral.             Jakarta: PT. Mardi Mulyo.
Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Pustaka.
Rahardjo. 2000. Independensi BI dalam Kemelut Politik. Jakarta: PT. Pustaka         Cidesindo.
Tuminah. 2013. Perkembangan Javasche Bank, (online), (http://merahputihku-       tuminah.blogspot.com ) diakses pada 26 November 2013.

Vristian, dkk. 2009. Nasionalisasi De Javasche Bank. ( online),       (http://yopiariscagursejarah.blogspot.com), di akses pada 17 November    2013.

No comments:

Post a Comment