PERANAN
BANTEN SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DI NUSANTARA PADA ABAD KE-17
MAKALAH
Diajukan
untuk tugas matakuliah Sejarah
Ekonomi
Oleh
Ibu Indah P.W. Utami, S.Pd.,
S.Hum., M.pd.
OLEH
:
Gagah Arif Prawira Dijaya
110731435516
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kepulauan Nusantara jauh sebelum
kedatangan bangsa Barat merupakan sebuah jalur perdagangan Internasional yang
sudah cukup terkenal. Pada masa ini jalur yang dilewati pedagang adalah jalur
darat dan lebih dikenal dengan jalur sutera (silk road). Jalur sutera ini
menghubungkan Cina (Tiongkok) melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut
Tengah dan merupakan jalur-jalur yang digunakan oleh kafilah. Meskipun jalan
melalui darat ini banyak digunakan pada saat itu tetapi jalur perniagaan
melalui laut pun sudah mulai berkembang pula. Jalur laut tersebut dimulai dari
Cina yang melalui Laut Cina, Selat Malaka, Calicut (India) menuju Teluk Persia,
Syam, sampai ke Laut Tengah (Suroyo, 2007: 8). Pada masa ini komoditas Nusantara
yang sampai ke India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) adalah rempah-rempah,
kayu wangi, kapur barus, dan kemenyan.
Kerajaan Nusantara yang
menghasilkan barang-barang tersebut adalah Sriwijaya, Majapahit sampai Mataram.
Pada masa ini Kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya merupakan sebuah kekuatan
besar di bagian barat Nusantara bahkan pelabuhannya merupakan sebuah tempat
terjadinya transaksi internasional setelah berhasil mengamankan jalur
perdagangan di Selat Malaka. Untuk menunjang kegiatan perniagaannya yang
meliputi Asia Tenggara sampai ke India dan Madagaskar maka Sriwijaya juga
mempunyai kapal-kapal sendiri.
Selain Kerajaan Sriwijaya, di Pulau
Jawa yang diwakili oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah yang merupakan saingan dari
Sriwijaya. Meskipun corak dari sistem ekonominya lebih kepada pertanian tetapi
perdagangan lautnya pun cukup kuat. Memasuki abad ke-13 pengaruh kedua kerajaan
ini mulai memudar seiring dengan semakin berkembangnya agama islam yang dibawa
oleh para pedagang dari Gujarat dan Persia. Ditambah mulai munculnya Kerajaan
Samudra Pasai di Sumatra yang kemudian menguasai Malaka. Berkembangnya
Nusantara sebagai pusat perdagangan internasional terutama Malaka dikarenakan
beberapa faktor antara lain letak geografis pelabuhan-pelabuhan yang ada di
Nusantara.
Sebagai Negara kepulauan yang
dilewati garis khatulistiwa dan dua angin musim serta diapit dua samudera
sehingga Nusantara sangat strategis untuk jalur perdagangan. Dengan lokasi yang
seperti ini menyebabkan setiap pedagang yang melewati jalur ini untuk singgah
sebentar memperbaiki kapal dan sekedar mengisi kebutuhan kapal untuk berlayar kembali. Dari proses inilah terjadi
interaksi dengan para pedagang yang ada di Nusantara.
Seiring berjalannya waktu semakin
berkembanglah pelabuhan yang ada di Nusantara setelah Konstantinopel di Eropa
dikuasai oleh Kesultanan Turki yang otomatis menutup jalur perdagangan orang-orang
Eropa. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari jalan langsung untuk mencari
komoditas Nusantara yang dijual di Eropa seperti rempah-rempah. Akhirnya di mulailah
ekspedisi maritim bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara yang dimulai oleh Portugis,
Spanyol kemudian Inggris dan Belanda. Mereka awalnya hanya bertujuan untuk
mencari rempah-rempah dan berdagang. Namun, akhirnya muncul pikiran untuk
menguasai daerah tersebut di bawah pimpinan Alfonso d’ Albuquerque akhirnya Malaka
jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 (Suroyo, 2007: 11). Namun, ternyata
apa yang dilakukan oleh Portugis tersebut ternyata salah dikarenakan Malaka
hanya daerah persinggahan saja tidak memiliki bahkan menghasilkan barang-barang
dagang. Dikuasainya Malaka oleh Portugis tidak menghambat perputaran barang
yang dijual-belikan, justru kemudian memunculkan berbagai macam pelabuhan dan kota-kota
dagang baru di Nusantara antara kain Makassar, Maluku, dan Banten.
Dengan demikian ada perubahan alur
pengalihan perdagangan yang awalnya ke Selat Malaka kemudian menuju ke Selat
Sunda. Peralihan jalur ini juga dipengaruhi oleh ambisi Banten untuk menguasai
Lampung dan Palembang yang ingin memonopoli perdagangan yang ada di Selat
Sunda. Dengan berpindahnya jalur tanpa melalui Malaka yang akhirnya membuat Banten
menjadi sebuah pelabuhan internasional setelah Malaka dan ditambah dikuasainya
Sunda Kalapa oleh Banten. Maka dimulailah perdagangan baru di Nusantara.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Peranan Banten
Sebagai Kota Dagang?
2. Bagaimanakah Pola
Perdagangan di Kesultanan Banten?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk Mengetahui Peranan Banten
Sebagai Kota Dagang.
2. Untuk Mengetahui Pola
Perdagangan di Kesultanan Banten.
1.4 METODE PENELITIAN
Dalam usaha memecahkan masalah
penelitian, peranan metode penelitian sangat penting, karena keberhasilan
tujuan akan tercapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Metode harus
disesuaikan dengan objek yang akan diteliti. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah historis atau sejarah. Pemilihan metode ini karena objek
yang diteliti oleh peneliti adalah peristiwa masa lampau serta berdasarkan permasalahan yang dikaji
oleh peneliti, sehingga tujuannya adalah merekonstruksikan peristiwa masa
lampau tersebut.
Helius Syamsudin (1994: 3) “metode
adalah suatu cara untuk berbuat suatu, suatu prosedur untuk membuat seseuatu,
keteraturan dalam berbuat, berencana dan lain-lain, suatu susunan atau sistem
yang teratur”. Sementara menurut Nugroho Notosusanto (1971: 35) “metode
penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara
kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah
sejarah yang dapat dipercaya”. Metode ini merupakan proses merekonstruksikan
peristiwa-peristiea masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata.
Dari beberapa pendapat diatas dapat
dijelaskan bahwa metode historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis dan menghubungkannya dengan
menggunakan langkah-langkah metode historis yang ada, sehingga menghasilkan
suatu cerita sejarah, untuk memperoleh sumber yang otentik dan sahih.
Menurut Nugroho Notosusanto (1971:
18) dalam penelitian historis meliputi empat kegiatan, yaitu:
1. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan
menghimpun jejak-jejak masa lampau yang merupakan peristiwa sejarah dengan cara
melakukan pengumpulan bahan-bahan tertulis, tercetak, dan sumber lain yang
relevan dengan penelitian ini. Untuk dapat menentukan sumber-sumber sejarah
maka penelitian perlu mengadakan pengklasifikasian atau penggolongan berbagai
macam sumber agar penelitian yang dilakukan tidak mengalami kesulitan.
Dalam penelitian ini untuk
menemukan sumber-sumber sejarah digunakan studi pustaka. Studi pustaka
dilakukan di perpustakaan, didalam perpustakaan ditemukan buku-buku yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yakni “Peranan
Banten Sebagai Kota Perdagangan di Nusantara pada Abad ke-17”
2. Kritik Sumber
Kritik sumber adalah kegiatan untuk
menyelidiki data sejarah, apakah data tersebut otentik dan sahih atau tidak.
Dalam penelitian ini dilakukan kritik sumber secara ekstern dan intern:
a) Kritik ekstern
yaitu: meneliti apakah data itu autentik, yaitu kenyataan identitasnya, bukan
tiruan, turunan atau palsu, kesemuanya dilakukan dengan meneliti bahan
yang dipakai, jenis dan tulisan,
gaya bahasa, misalnya penulis melihat
kebenaran dengan melihat penerbit, tahun penerbitan buku yang dipakai sebagai
sumber. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat
tanggal, bulan, tahun serta siapa yang mengarang atau penulis sumber tersebut,
dengan mengidentifikasi latar belakang dari pengarang.
b) Kritik intern,
yaitu: meneliti isinya apakah isinya pernyataan, fakta-fakta dan ceritanya
dapat dipercaya. Untuk itu perlu diidentifikasikan penulisnya, beserta sifat
dan waktunya, daya ingatan, jauh dekatnya dengan peristiwa dalam waktu, dengan
kata lain perlu dicek apakah pernyataanya dapat diandalkan, misalnya penulis
melihat biografi pengarang dan membandingkan buku satu dengan buku yang lainnya. Kritik intern dalam penelitian
ini dilakukan dengan cara membandingkan sumber yan satu dengan sumber yang
lain, sehingga didapatkan fakta sejarah yang benar-benar relevan dengan tema
penelitian, misalnya dengan membandingkan buku “Banten: Kota Pelabuhan
Jalan Sutera; Kumpulan Makalah Diskusi”
dan “Catatan Sejarah dan Arkeologi:
Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten”.
3. Interpretasi
Interpretasi adalah kegiatan
menafsirkan data atau sumber yang telah diteliti keaslianya, setelah melalui
kritik sumber yang akan didapatkan informasi tersebut dapat disusun fakta-fakta
sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya. Susunan fakta-fakta sejarah yang
diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu dengan yang lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang selaras dan masuk akal. Peristiwa yang satu harus
dimasukkan kedalam konteks peristiwa yang lain yang melingkupinya. Proses
penafsiran menjadi suatu proses kisah sejarah yang integral, menyangkut proses
seleksi sejarah. Untuk proses seperti itu harus menggunakan fakta-fakta yang
relevan dan menyingkirkan fakta-fakta yang tidak relevan.
Interpretasi dalam penelitian ini
dilakukan dengan menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-
fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah diseleksi tersebut dihubungkan satu sama
lain sehingga muncul fakta yang relevan
yang akan menjadi satu kesatuan kisah sejarah.
4. Historiografi
Historiografi merupakan kegiatan
menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah yang disajikan dalam bentuk cerita
sejarah. Untuk menyusun cerita sejarah tersebut dibutuhkan ketrampilan dalam
menyusun kalimat yang selaras dan benar, sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Langkah terakhir ini merupakan suatu langkah penulisan jejak-jejak sejarah yang
telah dikumpulkan dan dianalisis menjadi suatu cerita sejarah yang disajikan dalam bentuk tulisan. Usaha
yang dilakukan untuk menarik kesimpulan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya
tulis selalu berdasarkan pada semua fakta yang diperoleh dalam kegiatan
penelitian, dilengkapi dengan imajinasi penulis yang rasial dan selaras. Pada
tahap ini dilakukan untuk menyusun fakta sejarah menjadi sebuah kisah yang
disajikan dalam bentuk tulisan tentang “Peranan Banten Sebagai Kota
Perdagangan di Nusantara pada Abad ke-17”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERANAN BANTEN SEBAGAI KOTA DAGANG
Banten memiliki ciri yang secara
umum ditemukan pula pada kota-kota Islam sejaman di bagian-bagian lain di
dunia. Sebagian besar pusat kegiatan yang terkemuka. sebagaimana Muslim di
Indonesia dan Afrika, juga negara-negara Arab, memiliki istana, pasar-pasar dan
mesjid-mesjid. Pemukiman dibagi menurut pekerjaan dan etnik, sebagaiman hal ini
juga terdapat di kota-kota Islam di dunia. Sejarah kota banyak dipengaruhi oleh
demografi serta ekologi, struktur spesial, pola-pola okupasi serta
faktor-faktor sosial penduduk kota. Dari struktur fisik misalnya, dapat
dibedakan konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi bangunan yang berada di dalam
dan di luar sektor benteng kota. Secara fisik kebanyakan kota-kota muslim
berada pada silangan jalan pengangkutan darat, sungai, selat teluk atau pantai
laut bebas yang amat potensial bagi kelancaran dan pengembangan lintas orang,
barang dan jasa. Pada tata ruang tersebut biasanya terdapat gudang-gudang,
sarana transportasi, tempat penginapan, tempat ibadah, kantor-kantor urusan
pajak dan cukai, rumah makan, toko-toko dan mungkin tempat hiburan.
Banten adalah sebuah kota penting
di daerah Jawa, hal ini sudah terjadi sebelum munculnya zaman Islam. Banten
menjadi kota penting bagi perdagangan dan pelayaran. Pada waktu itu, kota
pelabuhan Banten dibawah kekuasaan raja Hindu Sunda yaitu Pajajaran. Daerah ini
dibawah kekuasaan adipati yang ditempatkan di bandar itu, dengan kotanya yang
terletak di tepi sungai. Pada awalnya pusat kota Banten tidak berada di
pesisir, akan tetapi terletak di suatu tempat yang dinamakan Banten Girang,
walaupun Banten pesisir pada saat itu sudah merupakan pelabuhan dagang. Banten
yang kemudian bergeser ke daerah pesisir adalah kota pelabuhan Banten setelah
berkembangnya agama dan pemerintahan Islam (Suroyo, 2007: 113).
Pada tahun 1513, dalam laporan
perjalanan Tome Pires disebutkan bahwa Banten merupakan salah satu bandar
kerajaan Sunda Pajajaran, yang dikepalai oleh seorang Syahbandar. Pada
zamannya, Banten telah menjangkau wilayah Sumatera dan kepulauan Maladewa dalam
segi perdagangan. Komoditi dagang unggulan Banten adalah lada, beras dan bahan
makanannya lain yang menjadi daya tarik bagi para pedagang juga para pelaut
asing untuk datang ke Banten. Adapun sumber lain mengatakan bahwa sebelum
masuknya Islam, daerah pesisir Banten sudah merupakan bandar internasional.
Dengan kata lain Banten telah menjadi jaringan jalur sutera (Silk Road ). Hal yang demikian didukung
oleh letak geografis Banten yang strategis bagi lalu lintas pelayaran dan
perdagangan, baik antar daerah ataupun antar kerajaan di Nusantara.
Seperti halnya kota-kota di Eropa,
Banten juga dikelilingi oleh berbagai tembok kota, yang dimensinya tidak
terlalu jelas dan dibuat dari bata. Dinding batas kota tersebut jelas digunakan
sebagai pertahanan. Di bagian atas ditempatkan meriam dan dibeberapa bagian
didirikan menara pengawas. Untuk memasuki kota, seseorang harus melalui
pintu-pintu gerbang di beberapa bagian. Pintu-pintu tersebut dijaga ketat dan
sulit didekati karena dapat teramati oleh para penjaga. Terdapat tiga buah
pintu gerbang untuk masuk ke dalam kota Banten, yaitu satudi selatan disebut
sebagai pintu gunung yang berhadapan dengan Gunung Gededan satu lagi di utara
yang disebut sebagai pintu air. Pembuatan tembok kota dilanjutkan ketika akan
terjadi serangan dari Mataram pada tahun 1598, tetapi ketika ancaman menyurut,
tembok-tembok tersebut terabaikan, dan
akhirnya mulai runtuh.
Di dalam tembok kota Banten
terdapat tiga jalan, tetapi jalan-jalan tersebut tidak dikeraskan sehingga
sangat berlumpur. Di lain hal itu, seluruh bagian kota dapat dilalui perahu
yang dilengkapi dengan sarana-sarana transportasi yang efisien bagi penduduk
dan barang. Sistem transportasi dalam kota dihubungkan dengan dua sungai, baik
yang mengalir dari sebelah timur maupun barat kota. Jalan masuk menuju jaringan
transportasi air di dalam kota ini juga diawasi dan dikendalikan dengan
perintang-perintang bambu, yang bila malam hari direndahkan atau diturunkan.
Setelah menjadi kerajaan Islam dan
ibu kotanya pindah ke daerah pesisir (Banten lama sekarang) pada tahun 1526,
bandar Banten semakin berkembang dengan pesat. Banten menjadi salah satu bandar
terpenting di Nusantara dan sekitarnya, serta dikunjungi dan ditinggali oleh
bangsa-bangsa dari berbagai negeri di Asia maupun Eropa. Keberhasilan Banten
terutama di dorong oleh kedudukan Banten yang sudah mandiri dan lepas dari
kekuasaan kerajaan Hindu Sunda/Pajajaran. Banten bahkan dapat menguasai
daerah-daerah lain seperti Lampung dan Sunda Kelapa. Dengan demikian, penguasa
Banten secara bebas dapat dan mampu mengembangkan ibukota kerajaan itu menjadi
kota bandar yang besar (Suroyo, 2007: 114).
Terdapat catatan mengenai Banten
yaitu tentang pasar Banten yang terdapat di luar tembok kota sebelah timur
dekat pantai. Sekitar tahun 1600, pasar ini tampaknya merupakan gabungan dari
fungsi perdagangan besar dengan perdagangan eceran, asing dengan domestik,
laki-laki dengan perempuan dan bahan makanan sehari-hari dengan barang dagangan
dari tempat yang jauh. Setiap pagi dapat ditemui para saudagar dari berbagai
bangsa seperti Portugis, Arab,Turki, Cina, Keling, Pegu, Melayu, Benggala,
Gujarat, Malabar, Abesinia dan juga dari setiap daerah di Hindia untuk
melakukan aktivitas dagang. Perempuan setempat menjual lada, juga bahan makanan
kepada pembeli asing, sementara setiap kelompok saudagar asing mempunyai tempat
untuk menjual barang-barang mereka. Ini sekaligus merupakan pasar harian untuk
bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, gula, ikan dan daging, dan
tempat untuk menjual hewan ternak, tekstil, lada, cengkih, senjata, perkakas
dan barang-barang logam. Pasar itu diatur oleh Syahbandar yang mengadakan
pengadilan apabila ada persengketaan dagang.
Pada abad ke-16, lada memang
merupakan komoditi ekspor terpenting. Komoditi itu awalnya terbatas
diperdagangkan di Sunda Kelapa, tetapi kemudian meluas sampai Banten. Orang
Portugis juga senantiasa singgah di Banten untuk kepentingan perdagangan
rempah-rempah khususnya lada. Demikian juga orang Cina, tidak mau ketinggalan
dalam perdagangan lada tersebut. Seperti telah dijelaskan di bagian depan,
pendiri Banten sebagai kerajaan maritim Islam adalah Syarif Nurullah atau Sunan
Gunung Jati atau Fatahillah. Dialah penyebar agama Islam di Jawa Barat,
terutama di Banten dan Cirebon.
Ada yang mengatakan bahwa Banten
merupakan emporium tebesar di Nusantara atau bahkan lebih besar dari pada
Malaka. Banten merupakan tempat pertemuan dari jalur-jalur perniagaan dari
Nusantara, bahkan dari luar Nusantara seperti Cina, India dan Timur Tengah. Hal
ini bisa dipahami karena masa kejayaan Banten bersamaan dengan kedatangan
bangsa-bangsa Barat ke Asia yang juga ikut aktif terlibat dalam dunia
perdagangan. Selain itu, Banten berhasil mencegah Portugis untuk menguasai
perdagangannya seperti terjadi di Malaka.
Adapun Banten menurut Verhaghen,
yang didasarkan pada kunjungannya bulan Maret 1600. Di pusat kota terdapat
sebuah bangunan besar tempat kediaman raja Banten yang disebut istana
Surosowan. Di depan istana, di sebelah utara, itu terdapat lapangan terbuka
yang berukuran luas yang disebut dengan alun-alun. Sejumlah kegiatan
diselenggarakan di alun-alun, termasuk di antaranya kegiatan pertemuan dewan
kerajaan, sidang pengadilan dan beberapa kegiatan publik lainnya. Di pagi hari,
alun-alun juga digunakan untuk penyelenggaraan pasar.
Bangunan datar yang ditinggikan dan
beratap didirikan di dekat istana, digunakan oleh raja untuk bertatap muka atau
untuk tempat menunggu raja, yang disebut dengan srimanganti. Di sebelah barat
didirikan mesjid utama. Kediaman para syahbandar menempati sisi timur
alun-alun, sedangkan di tepi utara dibatasi oleh sebuah sungai. Di sudut timur
laut alun-alun di atas tepi sungai, ditempati bangunan beratap untuk melindungi
beberapa parahu perang, beberapa fusta dan beberapa perahu besar lainnya.
Sebuah sumber dari tahun 1680 menyebutkan bahwa sultan Agung memiliki 25 kapal
yang digerakkan dengan dayung. Gajah milik raja juga ditempatkan di dekat
penambatan kapal-kapal itu.
Nama lain bagi Surosowan, mungkin
lebih awal, yaitu Kedaton Pakuwuhan. Tempat tinggal raja yang pertama di Banten
mungkin didirikan didekat Karangantu, tetapi antara tahun 1552 dan 1570, pada
masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, barulah dimulai pembangunan istana di
situs istana di Banten. Di dekat pintu gerbang pertama istana, terlihat
beberapa rumah rendah yang diapit oleh dua rumah jaga tempat tentara-tentara
ditugaskan. Di dekatnya terdapat gudang persenjataan, kemudian ruangan yang
disediakan bagi para pengrajin. Beberapa di antara mereka mungkin adalah pengrajin
emas, suatu pekerjaan biasa yang dikuasai oleh para penguasa Indonesia.
Dari peta kota pelabuhan Banten
tahun 1620 dapat diketahui bahwa disebelah kanan kota Banten terdapat wilayah
pemukiman pedagang yang terdiri dari orang-orang asing terutama etnis Cina. Di
sebelah kirinya terdapat pasar yang lebih besar, tempat para pedagang asing
melakukan transaksi jual beli (perdagangan internasional). Sementara itu
bersebelahan dengan pasar tersebut terdapat perkampungan para pengrajin atau
biasanya disebut artisan. Pada bagian paling dalam, yaitu kota keraton Banten,
dikelilingi oleh benteng lengkap dengan gardu-gardu jaga. Dalam lingkungan kota
keraton terdapat istana dan paseban serta pasar di sebelah utara. Sementara di
sebelah paseban terdapat masjid, sementara di sebelah kiri keraton terdapat
bangunan-bangunan kerajaan untuk menyimpan senjata, mesiu dan sebagainya.
Selanjutnya dengan jarak yang saling berjauhan adalah kediaman para bangsawan
yang dikelilingi perumahan penduduk pengikut mereka. Menurut Michrob (1993: 18)
adapun dari peta tersebut dapat dijelaskan menurut fungsinya sebagai berikut:
a. Kompleks
keraton Surosowan terbukti merupakan quarter untuk melaksanakan industri logam,
meliputi pelumeran, peleburan, pengecorandan penempaan baik perunggu, besi
bahkan emas (untuk mata uangBanten)
b. Sukadiri
merupakan salah satu tempat kegiatan industri logam dan tembikar. Sukadiri
meliputi Kepandean (logam) dan Pajantran (industritenun)
c. Panjunan
merupakan tempat kegiatan industri tembikar sekaligus tempat bermukim para
pengrajin tembikar dan nelayan
d. Jembatan
Rante juga merupakan areal industri perunggu dan besi.
e. Penjaringan
merupakan tempat pertukangan jaring.
f. Pamarican
merupakan salah satu tempat penyimpanan dan pengolahan rempah-rempah.
g. Pabeanmerupakan
areal pemukiman sekaligus tempat pergudangan keramik dan tempat penarikan
cukai.
h. Pacinan
merupakan konsentrasi pemukiman ras Cina dengan aktivitas bidang jasa, terutama
perdagangan.
i.
Karangatu menjadi
tempat pemukiman orang-orang asing (Arab, Turki, Malaya, dan lain-lain),
sekaligus sebagai pelabuhan, pasar dan pusat aktivitas nelayan.
j.
Kagongan tempat
pembuatan benda-benda logam terutama gong.
k. Daerah
sepanjang Daerah Aliran Sungai Cibanten yang menghasilkan kelapa, sayur dan
padi.
2.2 POLA
PERDAGANGAN DI KESULTANAN BANTEN
A. Penggunaan Mata Uang dan Sistem Barter
Berkembangnya perdagangan di Banten
seiring pula dengan peningkatan sistem perekonomian dan keadaan politik. Dalam
hal perekonomian, pola perdagangan di Banten menggunakan alat tukar yang sah
berupa mata uang, sehingga para pedagang asing harus menukarnya dengan mata
uang yang berlaku di Banten untuk melakukan perdagangan. Pada mulanya uang yang
beredar adalah uang ‘picis’ dari tembaga yang berasal dari Cina (1590).
Kejadian tersebut secara tidak langsung menjadikan para pedagang Cina
memonopoli pasar uang di Banten. Mereka dapat membeli keperluan apapun termasuk
lada dengan uang picis tersebut. Selain itu, di Banten beredar juga uang
Banten, Belanda, dan Inggris (Michrob, 1993: 33).
Disamping menggunakan mata uang,
para pedagang juga masih menggunakan sistem barter (tukar barang) untuk
mendapatkan lada dari Banten. Sebagaimana keterangan dari Suroyo (2007: 99) bahwa
transaksi di pasar dilakukan dengan mempergunakan mata uang sebagai alat
pembayaran. Bentuk transaksi lainnya adalah barter yang dilakukan oleh orang
Cina untuk memperoleh lada.
B. Penetapan Satuan Berat untuk Tanaman Lada
Ciri dari pola perdagangan di
pelabuhan Banten adalah penggunaan ukuran dan satuan berat timbangan yang
digunakan untuk menimbang lada. Diketahui bahwa satu gantang berisi kira-kira 3
pon menurut timbangan Belanda, selain itu satu bahar sama dengan 375 pon.
Sedangkan pada zaman sekarang satu pon sama dengan ½ kilogram (Michrob, 1993:
170).
C. Penerapan Bea Cukai dan Pajak
Permintaan lada yang besar dan
harga lada yang cukup tinggi, mengakibatkan pemasukan devisa yang sangat besar
bagi kas Kesultanan Banten. Selain itu, pendapatan diperoleh juga dari
penerapan bea cukai terhadap barang yang masuk dan keluar pelabuhan Banten.
Sedangkan untuk barang ekspor yang bukan merupakan hasil Kesultanan sendiri,
dikenakan pajak yang lebih besar dari pada hasil dalam negeri, yaitu lada.
Besarnya pajak tidaklah sama antara satu pedagang dengan pedagang lainnya.
Diketahui bahwa pedagang Belanda dikenakan 8%, sedangkan pedagang Cina hanya
5%, tetapi mereka diharuskan membawa hadiah barang tembikar Cina.
D. Tipe Pasar untuk Tanaman Lada
Menurut Michrob (1993: 26), De
Houtman telah menggambarkan pembagian pasar di Banten menurut jenis
komoditasnya. Lada termasuk jenis pasar ‘tipe H’ yang menghimpun rempah-rempah,
benih dan biji-biji kering sebagaimana yang ada di salah satu pasar paling
terkenal dan teramai di Banten, yaitu Pasar Karangantu . Jadi, jenis komoditas
dapat mempengaruhi juga jenis pasar yang menjual komoditas tertentu.
E. Pola Perdagangan di Banten
Semakin berkembangnya perdagangan
lada di Banten menimbulkan persaingan di antara para pedagang dengan
menggunakan pola perdagangan masing-masing. Para pedagang Belanda untuk pertama
kalinya masuk Banten pada tahun 1596 untuk mencari rempah-rempah. Para pedagang
Belanda menggunakan pola perdagangan dengan mengandalkan persekutuan dagangnya,
yakni VOC (1602). Melalui VOC, para pedagang Belanda berusaha mempengaruhi
Sultan Banten agar mendapatkan hak monopoli dan mendapatkan harga
serendah-rendahnya dalam pembelian lada.
Berbeda halnya dengan para pedagang
Cina yang tidak lagi menunggu kedatangan para petani lada di pasar ataupun
membelinya dari penguasa Banten, mereka mendatangi langsung ketempat penanaman
lada di pedalaman, sehingga banyak pula para pedagang Cina yang memindahkan
permukimannya ke daerah pedalaman (selatan). Usahanya ini cukup memberikan
keuntungan berlipat ganda, walaupun jumlah lada yang mereka bawa terbatas
dikarenakan sarana transportasi yang kurang memadai dan jalan yang sulit
ditempuh. Bahkan, mereka menukar barangnya (sistem barter) untuk mendapatkan
lada secara langsung.
F. Pelaku Perdagangan di Banten
Dalam Perdagangan Nusantara,
terutama perdagangan pelayaran. Pelaku perdagangan dan pelayaran secara umum
dibagi dua yaitu pelaku perdagangan dan pelaku pelayaran. Namun jika dilihat
dalam kasus banten, pelaku perdagangan lebih berperan dibandingkan dengan
pelaku pelayaran. Hal tersebut berkaitan dengan posisi Banten yang sangat
strategis karena berada di jalur
pelayaran perdagangan sehingga menjadikan wilayah ini sebagai tempat
transit bagi kapal-kapal dagang. Selain itu, kawasan Banten merupakan penghasil
lada. Oleh karena itu Banten menjadi pelabuhan yang penting.
Perdagangan di Banten erat
kaitannya dengan peran syahbandar pada wilayah itu. Secara umum syahbandar
dapat diartikan sebagai penguasa pelabuhan, atau raja pelabuhan. Tugas utama
Syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan orang yang dibawahinya,
dalam hal ini termasuk pengawasan di pasar dan gudang. Ia mengawasi timbangan,
ukuran barang dagang, dan mata uang. Dalam perdagangan dan pelayaran,
Syahbandar merupakan penengah. Oleh karena itu syahbandar biasanya diangkat
dari kalangan saudagar asing. Syahbandar memberi petunjuk mengenai cara-cara
berdagang setempat, ia pula menaksir barang dan menentukan pajak yang harus
dipenuhi serta bentuk yang harus diserahkan sebagai upeti kepada raja. Nahkoda,
penumpang, dan awak kapal tidak diperkenankan melakukan sesuatu tanpa
sepengetahuan syahbandar (Djoened & Notosusanto, 2010: 146).
Oleh karena itu syahbandar memegang
peranan yang penting dalam perdagangan di Nusantara.Untuk kasus Banten,
keberadaan Syahbandar sudah lama disinyalir keberadaannnya. Pada bulan Agustus
1522, utusan Portugis yang bernama Henrique Leme yang dikirim untuk melakukan
perundingan dagang dengan kerajaan Banten menyebutkan bahwa di antara lawan
bicaranya ada Bengar Xabendar da Terra (yaitu Bengar, syahbandar negeri itu).
Dalam kesaksian tersebut ada hal menarik yaitu penggabungan jabatan tersebut
dengan pekerjaan lain yang berhubungan dengan pungutan fiskal, yakni pabean. Di
tempat itulah, yang letaknya tepat di tengah-tengah pelabuhan, berlangsung
acara penimbangan dan penilaian barang-barang dagangan, serta penetapan jumlah
bea yang harus dibayar. Di situlah bertugas syahbandar yang juga bertanggung jawab
atas pabean
Sepanjang abad 16 dan 17, di Banten
hanya ada satu pejabat yang melayani para nahkoda dan pedagang dari semua
bangsa. Salah seorang tokoh yang paling terkenal adalah syahbandar asal tamil
yang ditemui oleh Belanda pada kedatangan pertama pada tahun 1596 yang dipimpin
oleh Cornelis de Houtman. Syahbandar
pada masa itu kadang bertugas sebagai juru bahasa atau penerjemah.
Syahbandar dapat berbahasa Portugis yang umum ditemukan di pelabuhan-pelabuhan
dan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar (lingua Franca). Namun pada paruh kedua
abad ke 17, yang dipilih menjadi syahbandar banten hampir semuanya Tionghoa
yang telah menjadi sangat berpengaruh dalam perdagangan antarpulau, hal ini
disebabkan oleh besarnya hubungan dagang dengan jung-jung yang dating dari Cina
dan secara umum hubungan dengan Cina (Michrob, 1993: 180).
Selain Syahbandar, pelaku
perdagangan yang lain adalah nahkoda. ia bertugas mengepalai segala sesuatu
yang berhubungan dengan kapal dan muatan. Untuk
perjalanan jauh biasanya ada dua jenis nahkoda, yaitu nahkoda laut dan
nahkoda darat. Nahkoda laut bertanggung jawab mengenai pelayaran, sedangkan
nahkoda darat bertanggung jawab mengenai muatan (Suroyo, 2007: 118).
G. Eksploitasi Sumber Daya Lingkungan Banten
Sejarah mengenai Kesultanan Banten
telah menunjukkan bahwa sebagain kebutuhan dan perlengkapan hidup masyarakatnya
berasal dari lingkungan setempat. Berbagai upaya dan daya dilakukan agar
potensi sumber daya lingkungan dapat dimanfaatkan, sehingga dapat menunjang
kota Banten selama beberapa abad. Di antara rangkaian sumber daya yang
dimilikinya, tentu ada salah satu sumber daya yang lebih dikembangkan sebagai
tumpuan perekonomian pada masa itu. Dari sumber tertulis disebutkan bahwa
Kesultanan Banten menghasilkan lada yang merupakan komoditi penting didunia
perdagangan internasional pada masa lalu.
Banten telah dikenal sebagai
pelabuhan pengekspor dan penghasil lada pada masa lalu. Pada masa itu Banten
merupakan pelabuhan pengekspor beras, bahan makanan dan lada. Pada masa itu
lada merupakan bahan rempah yang sangat disukai oleh orang-orang di benua
Eropa, sehingga para pedagang asing berdatangan ke kawasan penghasil lada di
daerah Nusantara ini (Djajadiningrat, 1994: 139).
Ketika itu, daerah penghasil lada
di Nusantara ialah Aceh, Jambi, Palembang, Lampung, Pasai, Pidi, Bengkulu, di
pulau Sumatera, Banten, dan di pulau Jawa. Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan
Banten di peroleh dari daerah-daerah setempat, Palembang, Bengkulu serta
Lampung. Daearah-daerah yang letaknya di Sumatera ini, di bawah pengawasan
pemerintahan Banten. Permintaan akan lada meningkat, sehingga perdagangan
komoditi ini memberikan laba yang sangat besar. Karena itu Sultan Banten
mengadakan monopoli perniagaan terhadap barang rempah ini.
Di daerah Banten sendiri, lada
dibudidayakan di kawasan pedalaman. Ada banyak petani lada datang dengan perahu
dari pedalaman ke kota Banten di pesisir
pada waktu musim hujan. Kedatangan petani ini sangat diharapkan oleh
para saudagar, karena mereka dapat membeli dan mengumpulkannya sebelum dibawa
ke negeri masing-masing. Setiap tahun mereka berusaha mendapatkan lada sebanyak
mungkin supaya dapat diangkut sesuai dengan kapasitas kapal.
Timbullah persaingan di antara para
pedagang tersebut, sehingga masing-masing berusaha untuk memperkuat posisinya
dengan berbagai macam cara. Pedagang Belanda dengan mengandalkan persekutuan
dagangnya, VOC, berusaha mempengaruhi Sultan Banten agar mendapatkan hak
monopoli pembelian lada. Sedangkan pedagang Cina tidak lagi menunggu kedatangan
petani lada di pasar,tetapi mendatangi langsung ke tempat penanaman lada di
pedalaman.
Permintaan lada yang besar dan
harga yang cukup tinggi, mengakibatkan pemasukan devisa yang sangat besar bagi
kas Kesultanan Banten. Untuk barangekspor yang bukan merupakan hasil Kesultanan
Banten sendiri, dikenakan pajak yang lebih besar dari pada hasil dalam negeri,
yaitu lada. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng (1651-1680) perdagangan
mencapai puncaknya, terlebih karena sultan ini banyak berperan langsung dalam
perdagangan. Lada masih tetap diandalkan sebagai produk ekspor terpenting di
Banten.
H. Dampak Perubahan Pola Perdagangan akibat VOC
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng
(1651-1680), perdagangan mencapai puncaknya, terlebih lagi Sultan ini banyak
berperan langsung dalam dunia perdagangan. Setelah tahun 1638, keadaan situasi
politik di dalam negeri Banten berubah ketika VOC berhasil menanamkan
pengaruhnya dengan mendapatkan hak monopoli pembelian lada. Bahkan, para
pedagang asing lainnya tidak diperkenankan untuk berdagang di pelabuhan Banten
lagi. Peranan Sultan pun semakin surut dalam bidang ekonomi, sehingga pemasukan
kas Banten pun menurun. Bahkan, pada akhirnya Kesultanan Banten pun mengalami
kemunduran dalam dunia perdagangan.
Setelah Belanda menguasai Kota
Banten pada tahun1682, semua wilayah penghasil lada mengirimkannya ke Batavia.
Oleh karena itu, pola perdangangan di Banten berubah seiring mendominasinya
peranan VOC yang mengakibatkan hilangnya kejayaan Kesultanan Banten dalam
menguasai perdagangan lada di Nusantara. Kemunduran dalam hal kepentingan
ekonomi terhadap lada menyebabkan dunia baru dalam permintaan. Pemerintah kolonial
Belanda mengalihkan penanaman pada jenis tanaman lainnya, terutamaa karet dan
kelapa sawit (Djajadiningrat, 1994: 35).
Kultur lada telah menjadikan
pemerintahan Banten kaya dan makmur, sehingga semakin banyak lada yang
dihasilkan, maka kekayaan semakin meningkat terutama bagi mereka yang terlibat
dalam perdagangan lada. Menyusutnya perdagangan lada mengakibatkan pula
mundurnya jaringan pelayaran dan perdagangan lain di kawasan ini. Lada
merupakan sumber kekayaan bagi Banten, sehingga mampu berkembang selama
beberapa abad, tetapi lada pula yang menyebabkan daerah ini menjadi miskin di
samping terjadi faktor-faktor lain.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Nusantara pada abad ke-17 sedang
menghadapi masa kurun niaga yang ditandai banyaknya kegiatan perdagangan, baik
sesama kerajaan di Nusantara maupun dari luar Nusantara. Nusantara telah
menjadi jalur perdagangan internasional
yang menghubungkan para pedagang diberbagai belahan dunia, khususnya Asia dan
Eropa. Para pedagang dari luar Nusantara ramai berdatangan ke Nusantara untuk
berdagang dan mencari rempah-rempah yang mereka inginkan. Perdagangan telah
menjadi nyawa ekonomi suatu kerajaan di Nusantara untuk kelangsungan kehidupan
rakyatnya. Tanpa perdagangan, suatu kerajaan tidak bisa makmur dan bisa miskin
karena pada abad ke-17 di Nusantara telah berkembang perdagangan yang pesat,
sehingga pada abad ke-17 mulai bermunculan kota-kota pelabuhan (emporium) baru
yang menarik hati para pedagang di berbagai kawasan, salah satunya adalah
pelabuhan Banten yang menjadi pusat perdagangan tanaman lada. Kapal-kapal yang
dibawa para pedagang memadati perairan di Nusantara, sehingga ramailah
perdagangan pada abad ke-17.
Bagi kerajaan-kerajaan maritim,
pelabuhan merupakan sumber penghasilan
yang amat penting bagi kerajaan, terutama penerapan beacukai dan pajak yang
menjadi sumber utama devisa kerajaan, sebagaimana yang diterapkan oleh
Kesultanan Banten. Bahkan, raja-rajanya ikut andil dalam kegiatan perdagangan,
sehingga memberikan nilai lebih dalam mendapatkan keuntungan pribadi. Oleh
karena itu, perdagangan sangatlah penting pada abad ke-17 guna mencapai
kemakmuran dan keuntungan sebesar-besarnya. Semakin besar peranan suatu
kerajaan di dalam kegiatan perdagangan, maka semakin besarlah prestise
(kehormatan) seorang raja dan semakin besar pula kesempatan untuk memperluas
wilayah kerajaannya.
DAFTAR RUJUKAN
Djajadiningrat,
Hoesein. 1994. Tinjauan
Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta; Djambatan.
Djoened,
Marwati & Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Michrob, Halwany. 1993. Catatan Sejarah dan
Arkeologi: Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten.
Serang: Sudara.
Notosusanto,
Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar
Penelitian dan Penulisan Sejarah. Surakarta: Departemen Pertahanan Keamanan
Pusat Sejarah ABRI.
Suroyo, Djuliati. 2007. Sejarah Maritim I. Semarang: Jeda.
Syamsuddin,
Helius. 1994. Metodologi Sejarah.
Jakarta: DepDikBud.
______
.1995. Banten
Kota Pelabuhan Jalan Sutera; Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta. Depdikbud.
Anonymous. 2010. Catatan Sejarah Kesultanan Banten. (Online). http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/20/catatan-sejarah-kesultanan-banten/.
diakses
5 Desember 2013.
Anonymous. 2013. Sejarah Kemajuan Perdagangan Kesultanan Banten 1527-1813. (Online).
http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/sejarah-kemajuan-perdagangan-kesultanan-banten-1527%E2%80%931813-10040.htm/.
diakses
5 Desember 2013.
Hasrumy, Andika. 2010. Sejarah Kesultanan Banten. (Online). http://taganabanten-info.blogspot.com/2010/10/sejarah-kesultanan-banten.html/.
diakses
5 Desember 2013.
Nugroho, Aditya. 2011. Perdagangan Kesultanan Banten. (Online). http://id.scribd.com/doc/55351445/Perdagangan-Kesultanan-Banten/html/. diakses 5 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment