Songs

Sunday, December 8, 2013

Gagah Arif

PERANAN BANTEN SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DI NUSANTARA PADA ABAD KE-17

MAKALAH
Diajukan untuk tugas matakuliah Sejarah Ekonomi
Oleh Ibu Indah P.W. Utami, S.Pd., S.Hum., M.pd.

OLEH  :
Gagah Arif  Prawira Dijaya
110731435516

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Kepulauan Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Barat merupakan sebuah jalur perdagangan Internasional yang sudah cukup terkenal. Pada masa ini jalur yang dilewati pedagang adalah jalur darat dan lebih dikenal dengan jalur sutera (silk road). Jalur sutera ini menghubungkan Cina (Tiongkok) melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut Tengah dan merupakan jalur-jalur yang digunakan oleh kafilah. Meskipun jalan melalui darat ini banyak digunakan pada saat itu tetapi jalur perniagaan melalui laut pun sudah mulai berkembang pula. Jalur laut tersebut dimulai dari Cina yang melalui Laut Cina, Selat Malaka, Calicut (India) menuju Teluk Persia, Syam, sampai ke Laut Tengah (Suroyo, 2007: 8). Pada masa ini komoditas Nusantara yang sampai ke India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) adalah rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, dan kemenyan.
Kerajaan Nusantara yang menghasilkan barang-barang tersebut adalah Sriwijaya, Majapahit sampai Mataram. Pada masa ini Kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya merupakan sebuah kekuatan besar di bagian barat Nusantara bahkan pelabuhannya merupakan sebuah tempat terjadinya transaksi internasional setelah berhasil mengamankan jalur perdagangan di Selat Malaka. Untuk menunjang kegiatan perniagaannya yang meliputi Asia Tenggara sampai ke India dan Madagaskar maka Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri.
Selain Kerajaan Sriwijaya, di Pulau Jawa yang diwakili oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah yang merupakan saingan dari Sriwijaya. Meskipun corak dari sistem ekonominya lebih kepada pertanian tetapi perdagangan lautnya pun cukup kuat. Memasuki abad ke-13 pengaruh kedua kerajaan ini mulai memudar seiring dengan semakin berkembangnya agama islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan Persia. Ditambah mulai munculnya Kerajaan Samudra Pasai di Sumatra yang kemudian menguasai Malaka. Berkembangnya Nusantara sebagai pusat perdagangan internasional terutama Malaka dikarenakan beberapa faktor antara lain letak geografis pelabuhan-pelabuhan yang ada di Nusantara.
Sebagai Negara kepulauan yang dilewati garis khatulistiwa dan dua angin musim serta diapit dua samudera sehingga Nusantara sangat strategis untuk jalur perdagangan. Dengan lokasi yang seperti ini menyebabkan setiap pedagang yang melewati jalur ini untuk singgah sebentar memperbaiki kapal dan sekedar mengisi kebutuhan kapal untuk  berlayar kembali. Dari proses inilah terjadi interaksi dengan para pedagang yang ada di Nusantara.
Seiring berjalannya waktu semakin berkembanglah pelabuhan yang ada di Nusantara setelah Konstantinopel di Eropa dikuasai oleh Kesultanan Turki yang otomatis menutup jalur perdagangan orang-orang Eropa. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari jalan langsung untuk mencari komoditas Nusantara yang dijual di Eropa seperti rempah-rempah. Akhirnya di mulailah ekspedisi maritim bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara yang dimulai oleh Portugis, Spanyol kemudian Inggris dan Belanda. Mereka awalnya hanya bertujuan untuk mencari rempah-rempah dan berdagang. Namun, akhirnya muncul pikiran untuk menguasai daerah tersebut di bawah pimpinan Alfonso d’ Albuquerque akhirnya Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 (Suroyo, 2007: 11). Namun, ternyata apa yang dilakukan oleh Portugis tersebut ternyata salah dikarenakan Malaka hanya daerah persinggahan saja tidak memiliki bahkan menghasilkan barang-barang dagang. Dikuasainya Malaka oleh Portugis tidak menghambat perputaran barang yang dijual-belikan, justru kemudian memunculkan berbagai macam pelabuhan dan kota-kota dagang baru di Nusantara antara kain Makassar, Maluku, dan Banten.
Dengan demikian ada perubahan alur pengalihan perdagangan yang awalnya ke Selat Malaka kemudian menuju ke Selat Sunda. Peralihan jalur ini juga dipengaruhi oleh ambisi Banten untuk menguasai Lampung dan Palembang yang ingin memonopoli perdagangan yang ada di Selat Sunda. Dengan berpindahnya jalur tanpa melalui Malaka yang akhirnya membuat Banten menjadi sebuah pelabuhan internasional setelah Malaka dan ditambah dikuasainya Sunda Kalapa oleh Banten. Maka dimulailah perdagangan baru di Nusantara.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Peranan Banten Sebagai Kota Dagang?
2. Bagaimanakah Pola Perdagangan di Kesultanan Banten?

1.3  TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk Mengetahui Peranan Banten Sebagai Kota Dagang.
2. Untuk Mengetahui Pola Perdagangan di Kesultanan Banten.

1.4 METODE PENELITIAN
Dalam usaha memecahkan masalah penelitian, peranan metode penelitian sangat penting, karena keberhasilan tujuan akan tercapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Metode harus disesuaikan dengan objek yang akan diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah historis atau sejarah. Pemilihan metode ini karena objek yang diteliti oleh peneliti adalah peristiwa masa  lampau serta berdasarkan permasalahan yang dikaji oleh peneliti, sehingga tujuannya adalah merekonstruksikan peristiwa masa lampau tersebut.
Helius Syamsudin (1994: 3) “metode adalah suatu cara untuk berbuat suatu, suatu prosedur untuk membuat seseuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana dan lain-lain, suatu susunan atau sistem yang teratur”. Sementara menurut Nugroho Notosusanto (1971: 35) “metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya”. Metode ini merupakan proses merekonstruksikan peristiwa-peristiea masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa metode historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis dan menghubungkannya dengan menggunakan langkah-langkah metode historis yang ada, sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah, untuk memperoleh sumber yang otentik dan sahih.
Menurut Nugroho Notosusanto (1971: 18) dalam penelitian historis meliputi empat kegiatan, yaitu:
1. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau yang merupakan peristiwa sejarah dengan cara melakukan pengumpulan bahan-bahan tertulis, tercetak, dan sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Untuk dapat menentukan sumber-sumber sejarah maka penelitian perlu mengadakan pengklasifikasian atau penggolongan berbagai macam sumber agar penelitian yang dilakukan tidak mengalami kesulitan.
Dalam penelitian ini untuk menemukan sumber-sumber sejarah digunakan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan di perpustakaan, didalam perpustakaan ditemukan buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yakni Peranan Banten Sebagai Kota Perdagangan di Nusantara pada Abad ke-17”

2. Kritik Sumber
Kritik sumber adalah kegiatan untuk menyelidiki data sejarah, apakah data tersebut otentik dan sahih atau tidak. Dalam penelitian ini dilakukan kritik sumber secara ekstern dan intern:
a) Kritik ekstern yaitu: meneliti apakah data itu autentik, yaitu kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan atau palsu, kesemuanya dilakukan dengan meneliti bahan yang  dipakai, jenis dan tulisan, gaya  bahasa, misalnya penulis melihat kebenaran dengan melihat penerbit, tahun penerbitan buku yang dipakai sebagai sumber. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat tanggal, bulan, tahun serta siapa yang mengarang atau penulis sumber tersebut, dengan mengidentifikasi latar belakang dari pengarang.
b) Kritik intern, yaitu: meneliti isinya apakah isinya pernyataan, fakta-fakta dan ceritanya dapat dipercaya. Untuk itu perlu diidentifikasikan penulisnya, beserta sifat dan waktunya, daya ingatan, jauh dekatnya dengan peristiwa dalam waktu, dengan kata lain perlu dicek apakah pernyataanya dapat diandalkan, misalnya penulis melihat biografi pengarang dan membandingkan buku satu dengan buku   yang lainnya. Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan sumber yan satu dengan sumber yang lain, sehingga didapatkan fakta sejarah yang benar-benar relevan dengan tema penelitian, misalnya dengan membandingkan buku “Banten: Kota Pelabuhan Jalan Sutera; Kumpulan Makalah Diskusi” dan “Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten”.

3. Interpretasi
Interpretasi adalah kegiatan menafsirkan data atau sumber yang telah diteliti keaslianya, setelah melalui kritik sumber yang akan didapatkan informasi tersebut dapat disusun fakta-fakta sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya. Susunan fakta-fakta sejarah yang diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras dan masuk akal. Peristiwa yang satu harus dimasukkan kedalam konteks peristiwa yang lain yang melingkupinya. Proses penafsiran menjadi suatu proses kisah sejarah yang integral, menyangkut proses seleksi sejarah. Untuk proses seperti itu harus menggunakan fakta-fakta yang relevan dan menyingkirkan fakta-fakta yang tidak relevan.
Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta- fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah diseleksi tersebut dihubungkan satu sama lain sehingga   muncul fakta yang relevan yang akan menjadi satu kesatuan kisah sejarah.

4. Historiografi
Historiografi merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah yang disajikan dalam bentuk cerita sejarah. Untuk menyusun cerita sejarah tersebut dibutuhkan ketrampilan dalam menyusun kalimat yang selaras dan benar, sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah. Langkah terakhir ini merupakan suatu langkah penulisan jejak-jejak sejarah yang telah dikumpulkan dan dianalisis menjadi suatu cerita sejarah  yang disajikan dalam bentuk tulisan. Usaha yang dilakukan untuk menarik kesimpulan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya tulis selalu berdasarkan pada semua fakta yang diperoleh dalam kegiatan penelitian, dilengkapi dengan imajinasi penulis yang rasial dan selaras. Pada tahap ini dilakukan untuk menyusun fakta sejarah menjadi sebuah kisah yang disajikan dalam bentuk tulisan tentang Peranan Banten Sebagai Kota Perdagangan di Nusantara pada Abad ke-17”.


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERANAN BANTEN SEBAGAI KOTA DAGANG
Banten memiliki ciri yang secara umum ditemukan pula pada kota-kota Islam sejaman di bagian-bagian lain di dunia. Sebagian besar pusat kegiatan yang terkemuka. sebagaimana Muslim di Indonesia dan Afrika, juga negara-negara Arab, memiliki istana, pasar-pasar dan mesjid-mesjid. Pemukiman dibagi menurut pekerjaan dan etnik, sebagaiman hal ini juga terdapat di kota-kota Islam di dunia. Sejarah kota banyak dipengaruhi oleh demografi serta ekologi, struktur spesial, pola-pola okupasi serta faktor-faktor sosial penduduk kota. Dari struktur fisik misalnya, dapat dibedakan konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi bangunan yang berada di dalam dan di luar sektor benteng kota. Secara fisik kebanyakan kota-kota muslim berada pada silangan jalan pengangkutan darat, sungai, selat teluk atau pantai laut bebas yang amat potensial bagi kelancaran dan pengembangan lintas orang, barang dan jasa. Pada tata ruang tersebut biasanya terdapat gudang-gudang, sarana transportasi, tempat penginapan, tempat ibadah, kantor-kantor urusan pajak dan cukai, rumah makan, toko-toko dan mungkin tempat hiburan.
Banten adalah sebuah kota penting di daerah Jawa, hal ini sudah terjadi sebelum munculnya zaman Islam. Banten menjadi kota penting bagi perdagangan dan pelayaran. Pada waktu itu, kota pelabuhan Banten dibawah kekuasaan raja Hindu Sunda yaitu Pajajaran. Daerah ini dibawah kekuasaan adipati yang ditempatkan di bandar itu, dengan kotanya yang terletak di tepi sungai. Pada awalnya pusat kota Banten tidak berada di pesisir, akan tetapi terletak di suatu tempat yang dinamakan Banten Girang, walaupun Banten pesisir pada saat itu sudah merupakan pelabuhan dagang. Banten yang kemudian bergeser ke daerah pesisir adalah kota pelabuhan Banten setelah berkembangnya agama dan pemerintahan Islam (Suroyo, 2007: 113).
Pada tahun 1513, dalam laporan perjalanan Tome Pires disebutkan bahwa Banten merupakan salah satu bandar kerajaan Sunda Pajajaran, yang dikepalai oleh seorang Syahbandar. Pada zamannya, Banten telah menjangkau wilayah Sumatera dan kepulauan Maladewa dalam segi perdagangan. Komoditi dagang unggulan Banten adalah lada, beras dan bahan makanannya lain yang menjadi daya tarik bagi para pedagang juga para pelaut asing untuk datang ke Banten. Adapun sumber lain mengatakan bahwa sebelum masuknya Islam, daerah pesisir Banten sudah merupakan bandar internasional. Dengan kata lain Banten telah menjadi jaringan jalur sutera (Silk Road ). Hal yang demikian didukung oleh letak geografis Banten yang strategis bagi lalu lintas pelayaran dan perdagangan, baik antar daerah ataupun antar kerajaan di Nusantara.
Seperti halnya kota-kota di Eropa, Banten juga dikelilingi oleh berbagai tembok kota, yang dimensinya tidak terlalu jelas dan dibuat dari bata. Dinding batas kota tersebut jelas digunakan sebagai pertahanan. Di bagian atas ditempatkan meriam dan dibeberapa bagian didirikan menara pengawas. Untuk memasuki kota, seseorang harus melalui pintu-pintu gerbang di beberapa bagian. Pintu-pintu tersebut dijaga ketat dan sulit didekati karena dapat teramati oleh para penjaga. Terdapat tiga buah pintu gerbang untuk masuk ke dalam kota Banten, yaitu satudi selatan disebut sebagai pintu gunung yang berhadapan dengan Gunung Gededan satu lagi di utara yang disebut sebagai pintu air. Pembuatan tembok kota dilanjutkan ketika akan terjadi serangan dari Mataram pada tahun 1598, tetapi ketika ancaman menyurut, tembok-tembok tersebut  terabaikan, dan akhirnya mulai runtuh.
Di dalam tembok kota Banten terdapat tiga jalan, tetapi jalan-jalan tersebut tidak dikeraskan sehingga sangat berlumpur. Di lain hal itu, seluruh bagian kota dapat dilalui perahu yang dilengkapi dengan sarana-sarana transportasi yang efisien bagi penduduk dan barang. Sistem transportasi dalam kota dihubungkan dengan dua sungai, baik yang mengalir dari sebelah timur maupun barat kota. Jalan masuk menuju jaringan transportasi air di dalam kota ini juga diawasi dan dikendalikan dengan perintang-perintang bambu, yang bila malam hari direndahkan atau diturunkan.
Setelah menjadi kerajaan Islam dan ibu kotanya pindah ke daerah pesisir (Banten lama sekarang) pada tahun 1526, bandar Banten semakin berkembang dengan pesat. Banten menjadi salah satu bandar terpenting di Nusantara dan sekitarnya, serta dikunjungi dan ditinggali oleh bangsa-bangsa dari berbagai negeri di Asia maupun Eropa. Keberhasilan Banten terutama di dorong oleh kedudukan Banten yang sudah mandiri dan lepas dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda/Pajajaran. Banten bahkan dapat menguasai daerah-daerah lain seperti Lampung dan Sunda Kelapa. Dengan demikian, penguasa Banten secara bebas dapat dan mampu mengembangkan ibukota kerajaan itu menjadi kota bandar yang besar (Suroyo, 2007: 114).
Terdapat catatan mengenai Banten yaitu tentang pasar Banten yang terdapat di luar tembok kota sebelah timur dekat pantai. Sekitar tahun 1600, pasar ini tampaknya merupakan gabungan dari fungsi perdagangan besar dengan perdagangan eceran, asing dengan domestik, laki-laki dengan perempuan dan bahan makanan sehari-hari dengan barang dagangan dari tempat yang jauh. Setiap pagi dapat ditemui para saudagar dari berbagai bangsa seperti Portugis, Arab,Turki, Cina, Keling, Pegu, Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia dan juga dari setiap daerah di Hindia untuk melakukan aktivitas dagang. Perempuan setempat menjual lada, juga bahan makanan kepada pembeli asing, sementara setiap kelompok saudagar asing mempunyai tempat untuk menjual barang-barang mereka. Ini sekaligus merupakan pasar harian untuk bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, gula, ikan dan daging, dan tempat untuk menjual hewan ternak, tekstil, lada, cengkih, senjata, perkakas dan barang-barang logam. Pasar itu diatur oleh Syahbandar yang mengadakan pengadilan apabila ada persengketaan dagang.
Pada abad ke-16, lada memang merupakan komoditi ekspor terpenting. Komoditi itu awalnya terbatas diperdagangkan di Sunda Kelapa, tetapi kemudian meluas sampai Banten. Orang Portugis juga senantiasa singgah di Banten untuk kepentingan perdagangan rempah-rempah khususnya lada. Demikian juga orang Cina, tidak mau ketinggalan dalam perdagangan lada tersebut. Seperti telah dijelaskan di bagian depan, pendiri Banten sebagai kerajaan maritim Islam adalah Syarif Nurullah atau Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Dialah penyebar agama Islam di Jawa Barat, terutama di Banten dan Cirebon.
Ada yang mengatakan bahwa Banten merupakan emporium tebesar di Nusantara atau bahkan lebih besar dari pada Malaka. Banten merupakan tempat pertemuan dari jalur-jalur perniagaan dari Nusantara, bahkan dari luar Nusantara seperti Cina, India dan Timur Tengah. Hal ini bisa dipahami karena masa kejayaan Banten bersamaan dengan kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Asia yang juga ikut aktif terlibat dalam dunia perdagangan. Selain itu, Banten berhasil mencegah Portugis untuk menguasai perdagangannya seperti terjadi di Malaka.
Adapun Banten menurut Verhaghen, yang didasarkan pada kunjungannya bulan Maret 1600. Di pusat kota terdapat sebuah bangunan besar tempat kediaman raja Banten yang disebut istana Surosowan. Di depan istana, di sebelah utara, itu terdapat lapangan terbuka yang berukuran luas yang disebut dengan alun-alun. Sejumlah kegiatan diselenggarakan di alun-alun, termasuk di antaranya kegiatan pertemuan dewan kerajaan, sidang pengadilan dan beberapa kegiatan publik lainnya. Di pagi hari, alun-alun juga digunakan untuk penyelenggaraan pasar.
Bangunan datar yang ditinggikan dan beratap didirikan di dekat istana, digunakan oleh raja untuk bertatap muka atau untuk tempat menunggu raja, yang disebut dengan srimanganti. Di sebelah barat didirikan mesjid utama. Kediaman para syahbandar menempati sisi timur alun-alun, sedangkan di tepi utara dibatasi oleh sebuah sungai. Di sudut timur laut alun-alun di atas tepi sungai, ditempati bangunan beratap untuk melindungi beberapa parahu perang, beberapa fusta dan beberapa perahu besar lainnya. Sebuah sumber dari tahun 1680 menyebutkan bahwa sultan Agung memiliki 25 kapal yang digerakkan dengan dayung. Gajah milik raja juga ditempatkan di dekat penambatan kapal-kapal itu.
Nama lain bagi Surosowan, mungkin lebih awal, yaitu Kedaton Pakuwuhan. Tempat tinggal raja yang pertama di Banten mungkin didirikan didekat Karangantu, tetapi antara tahun 1552 dan 1570, pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, barulah dimulai pembangunan istana di situs istana di Banten. Di dekat pintu gerbang pertama istana, terlihat beberapa rumah rendah yang diapit oleh dua rumah jaga tempat tentara-tentara ditugaskan. Di dekatnya terdapat gudang persenjataan, kemudian ruangan yang disediakan bagi para pengrajin. Beberapa di antara mereka mungkin adalah pengrajin emas, suatu pekerjaan biasa yang dikuasai oleh para penguasa Indonesia.
Dari peta kota pelabuhan Banten tahun 1620 dapat diketahui bahwa disebelah kanan kota Banten terdapat wilayah pemukiman pedagang yang terdiri dari orang-orang asing terutama etnis Cina. Di sebelah kirinya terdapat pasar yang lebih besar, tempat para pedagang asing melakukan transaksi jual beli (perdagangan internasional). Sementara itu bersebelahan dengan pasar tersebut terdapat perkampungan para pengrajin atau biasanya disebut artisan. Pada bagian paling dalam, yaitu kota keraton Banten, dikelilingi oleh benteng lengkap dengan gardu-gardu jaga. Dalam lingkungan kota keraton terdapat istana dan paseban serta pasar di sebelah utara. Sementara di sebelah paseban terdapat masjid, sementara di sebelah kiri keraton terdapat bangunan-bangunan kerajaan untuk menyimpan senjata, mesiu dan sebagainya. Selanjutnya dengan jarak yang saling berjauhan adalah kediaman para bangsawan yang dikelilingi perumahan penduduk pengikut mereka. Menurut Michrob (1993: 18) adapun dari peta tersebut dapat dijelaskan menurut fungsinya sebagai berikut:
a.       Kompleks keraton Surosowan terbukti merupakan quarter untuk melaksanakan industri logam, meliputi pelumeran, peleburan, pengecorandan penempaan baik perunggu, besi bahkan emas (untuk mata uangBanten)
b.      Sukadiri merupakan salah satu tempat kegiatan industri logam dan tembikar. Sukadiri meliputi Kepandean (logam) dan Pajantran (industritenun)
c.       Panjunan merupakan tempat kegiatan industri tembikar sekaligus tempat bermukim para pengrajin tembikar dan nelayan
d.      Jembatan Rante juga merupakan areal industri perunggu dan besi.
e.       Penjaringan merupakan tempat pertukangan jaring.
f.       Pamarican merupakan salah satu tempat penyimpanan dan pengolahan rempah-rempah.
g.      Pabeanmerupakan areal pemukiman sekaligus tempat pergudangan keramik dan tempat penarikan cukai.
h.      Pacinan merupakan konsentrasi pemukiman ras Cina dengan aktivitas bidang jasa, terutama perdagangan.
i.        Karangatu menjadi tempat pemukiman orang-orang asing (Arab, Turki, Malaya, dan lain-lain), sekaligus sebagai pelabuhan, pasar dan pusat aktivitas nelayan.
j.        Kagongan tempat pembuatan benda-benda logam terutama gong.
k.      Daerah sepanjang Daerah Aliran Sungai Cibanten yang menghasilkan kelapa, sayur dan padi.

2.2 POLA PERDAGANGAN DI KESULTANAN BANTEN
A. Penggunaan Mata Uang dan Sistem Barter
Berkembangnya perdagangan di Banten seiring pula dengan peningkatan sistem perekonomian dan keadaan politik. Dalam hal perekonomian, pola perdagangan di Banten menggunakan alat tukar yang sah berupa mata uang, sehingga para pedagang asing harus menukarnya dengan mata uang yang berlaku di Banten untuk melakukan perdagangan. Pada mulanya uang yang beredar adalah uang ‘picis’ dari tembaga yang berasal dari Cina (1590). Kejadian tersebut secara tidak langsung menjadikan para pedagang Cina memonopoli pasar uang di Banten. Mereka dapat membeli keperluan apapun termasuk lada dengan uang picis tersebut. Selain itu, di Banten beredar juga uang Banten, Belanda, dan Inggris (Michrob, 1993: 33).
Disamping menggunakan mata uang, para pedagang juga masih menggunakan sistem barter (tukar barang) untuk mendapatkan lada dari Banten. Sebagaimana keterangan dari Suroyo (2007: 99) bahwa transaksi di pasar dilakukan dengan mempergunakan mata uang sebagai alat pembayaran. Bentuk transaksi lainnya adalah barter yang dilakukan oleh orang Cina untuk memperoleh lada.

B. Penetapan Satuan Berat untuk Tanaman Lada
Ciri dari pola perdagangan di pelabuhan Banten adalah penggunaan ukuran dan satuan berat timbangan yang digunakan untuk menimbang lada. Diketahui bahwa satu gantang berisi kira-kira 3 pon menurut timbangan Belanda, selain itu satu bahar sama dengan 375 pon. Sedangkan pada zaman sekarang satu pon sama dengan ½ kilogram (Michrob, 1993: 170).

C. Penerapan Bea Cukai dan Pajak
Permintaan lada yang besar dan harga lada yang cukup tinggi, mengakibatkan pemasukan devisa yang sangat besar bagi kas Kesultanan Banten. Selain itu, pendapatan diperoleh juga dari penerapan bea cukai terhadap barang yang masuk dan keluar pelabuhan Banten. Sedangkan untuk barang ekspor yang bukan merupakan hasil Kesultanan sendiri, dikenakan pajak yang lebih besar dari pada hasil dalam negeri, yaitu lada. Besarnya pajak tidaklah sama antara satu pedagang dengan pedagang lainnya. Diketahui bahwa pedagang Belanda dikenakan 8%, sedangkan pedagang Cina hanya 5%, tetapi mereka diharuskan membawa hadiah barang tembikar Cina.

D. Tipe Pasar untuk Tanaman Lada
Menurut Michrob (1993: 26), De Houtman telah menggambarkan pembagian pasar di Banten menurut jenis komoditasnya. Lada termasuk jenis pasar ‘tipe H’ yang menghimpun rempah-rempah, benih dan biji-biji kering sebagaimana yang ada di salah satu pasar paling terkenal dan teramai di Banten, yaitu Pasar Karangantu . Jadi, jenis komoditas dapat mempengaruhi juga jenis pasar yang menjual komoditas tertentu.

E. Pola Perdagangan di Banten
Semakin berkembangnya perdagangan lada di Banten menimbulkan persaingan di antara para pedagang dengan menggunakan pola perdagangan masing-masing. Para pedagang Belanda untuk pertama kalinya masuk Banten pada tahun 1596 untuk mencari rempah-rempah. Para pedagang Belanda menggunakan pola perdagangan dengan mengandalkan persekutuan dagangnya, yakni VOC (1602). Melalui VOC, para pedagang Belanda berusaha mempengaruhi Sultan Banten agar mendapatkan hak monopoli dan mendapatkan harga serendah-rendahnya dalam pembelian lada.
Berbeda halnya dengan para pedagang Cina yang tidak lagi menunggu kedatangan para petani lada di pasar ataupun membelinya dari penguasa Banten, mereka mendatangi langsung ketempat penanaman lada di pedalaman, sehingga banyak pula para pedagang Cina yang memindahkan permukimannya ke daerah pedalaman (selatan). Usahanya ini cukup memberikan keuntungan berlipat ganda, walaupun jumlah lada yang mereka bawa terbatas dikarenakan sarana transportasi yang kurang memadai dan jalan yang sulit ditempuh. Bahkan, mereka menukar barangnya (sistem barter) untuk mendapatkan lada secara langsung.

F. Pelaku Perdagangan di Banten
Dalam Perdagangan Nusantara, terutama perdagangan pelayaran. Pelaku perdagangan dan pelayaran secara umum dibagi dua yaitu pelaku perdagangan dan pelaku pelayaran. Namun jika dilihat dalam kasus banten, pelaku perdagangan lebih berperan dibandingkan dengan pelaku pelayaran. Hal tersebut berkaitan dengan posisi Banten yang sangat strategis karena berada di jalur  pelayaran perdagangan sehingga menjadikan wilayah ini sebagai tempat transit bagi kapal-kapal dagang. Selain itu, kawasan Banten merupakan penghasil lada. Oleh karena itu Banten menjadi pelabuhan yang penting.
Perdagangan di Banten erat kaitannya dengan peran syahbandar pada wilayah itu. Secara umum syahbandar dapat diartikan sebagai penguasa pelabuhan, atau raja pelabuhan. Tugas utama Syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan orang yang dibawahinya, dalam hal ini termasuk pengawasan di pasar dan gudang. Ia mengawasi timbangan, ukuran barang dagang, dan mata uang. Dalam perdagangan dan pelayaran, Syahbandar merupakan penengah. Oleh karena itu syahbandar biasanya diangkat dari kalangan saudagar asing. Syahbandar memberi petunjuk mengenai cara-cara berdagang setempat, ia pula menaksir barang dan menentukan pajak yang harus dipenuhi serta bentuk yang harus diserahkan sebagai upeti kepada raja. Nahkoda, penumpang, dan awak kapal tidak diperkenankan melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan syahbandar (Djoened & Notosusanto, 2010: 146).
Oleh karena itu syahbandar memegang peranan yang penting dalam perdagangan di Nusantara.Untuk kasus Banten, keberadaan Syahbandar sudah lama disinyalir keberadaannnya. Pada bulan Agustus 1522, utusan Portugis yang bernama Henrique Leme yang dikirim untuk melakukan perundingan dagang dengan kerajaan Banten menyebutkan bahwa di antara lawan bicaranya ada Bengar Xabendar da Terra (yaitu Bengar, syahbandar negeri itu). Dalam kesaksian tersebut ada hal menarik yaitu penggabungan jabatan tersebut dengan pekerjaan lain yang berhubungan dengan pungutan fiskal, yakni pabean. Di tempat itulah, yang letaknya tepat di tengah-tengah pelabuhan, berlangsung acara penimbangan dan penilaian barang-barang dagangan, serta penetapan jumlah bea yang harus dibayar. Di situlah bertugas syahbandar yang juga bertanggung jawab atas pabean
Sepanjang abad 16 dan 17, di Banten hanya ada satu pejabat yang melayani para nahkoda dan pedagang dari semua bangsa. Salah seorang tokoh yang paling terkenal adalah syahbandar asal tamil yang ditemui oleh Belanda pada kedatangan pertama pada tahun 1596 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Syahbandar  pada masa itu kadang bertugas sebagai juru bahasa atau penerjemah. Syahbandar dapat berbahasa Portugis yang umum ditemukan di pelabuhan-pelabuhan dan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar (lingua Franca). Namun pada paruh kedua abad ke 17, yang dipilih menjadi syahbandar banten hampir semuanya Tionghoa yang telah menjadi sangat berpengaruh dalam perdagangan antarpulau, hal ini disebabkan oleh besarnya hubungan dagang dengan jung-jung yang dating dari Cina dan secara umum hubungan dengan Cina (Michrob, 1993: 180).
Selain Syahbandar, pelaku perdagangan yang lain adalah nahkoda. ia bertugas mengepalai segala sesuatu yang berhubungan dengan kapal dan muatan. Untuk  perjalanan jauh biasanya ada dua jenis nahkoda, yaitu nahkoda laut dan nahkoda darat. Nahkoda laut bertanggung jawab mengenai pelayaran, sedangkan nahkoda darat bertanggung jawab mengenai muatan (Suroyo, 2007: 118).

G. Eksploitasi Sumber Daya Lingkungan Banten
Sejarah mengenai Kesultanan Banten telah menunjukkan bahwa sebagain kebutuhan dan perlengkapan hidup masyarakatnya berasal dari lingkungan setempat. Berbagai upaya dan daya dilakukan agar potensi sumber daya lingkungan dapat dimanfaatkan, sehingga dapat menunjang kota Banten selama beberapa abad. Di antara rangkaian sumber daya yang dimilikinya, tentu ada salah satu sumber daya yang lebih dikembangkan sebagai tumpuan perekonomian pada masa itu. Dari sumber tertulis disebutkan bahwa Kesultanan Banten menghasilkan lada yang merupakan komoditi penting didunia perdagangan internasional pada masa lalu.
Banten telah dikenal sebagai pelabuhan pengekspor dan penghasil lada pada masa lalu. Pada masa itu Banten merupakan pelabuhan pengekspor beras, bahan makanan dan lada. Pada masa itu lada merupakan bahan rempah yang sangat disukai oleh orang-orang di benua Eropa, sehingga para pedagang asing berdatangan ke kawasan penghasil lada di daerah Nusantara ini (Djajadiningrat, 1994: 139).
Ketika itu, daerah penghasil lada di Nusantara ialah Aceh, Jambi, Palembang, Lampung, Pasai, Pidi, Bengkulu, di pulau Sumatera, Banten, dan di pulau Jawa. Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan Banten di peroleh dari daerah-daerah setempat, Palembang, Bengkulu serta Lampung. Daearah-daerah yang letaknya di Sumatera ini, di bawah pengawasan pemerintahan Banten. Permintaan akan lada meningkat, sehingga perdagangan komoditi ini memberikan laba yang sangat besar. Karena itu Sultan Banten mengadakan monopoli perniagaan terhadap barang rempah ini.
Di daerah Banten sendiri, lada dibudidayakan di kawasan pedalaman. Ada banyak petani lada datang dengan perahu dari pedalaman ke kota Banten di pesisir  pada waktu musim hujan. Kedatangan petani ini sangat diharapkan oleh para saudagar, karena mereka dapat membeli dan mengumpulkannya sebelum dibawa ke negeri masing-masing. Setiap tahun mereka berusaha mendapatkan lada sebanyak mungkin supaya dapat diangkut sesuai dengan kapasitas kapal.
Timbullah persaingan di antara para pedagang tersebut, sehingga masing-masing berusaha untuk memperkuat posisinya dengan berbagai macam cara. Pedagang Belanda dengan mengandalkan persekutuan dagangnya, VOC, berusaha mempengaruhi Sultan Banten agar mendapatkan hak monopoli pembelian lada. Sedangkan pedagang Cina tidak lagi menunggu kedatangan petani lada di pasar,tetapi mendatangi langsung ke tempat penanaman lada di pedalaman.
Permintaan lada yang besar dan harga yang cukup tinggi, mengakibatkan pemasukan devisa yang sangat besar bagi kas Kesultanan Banten. Untuk barangekspor yang bukan merupakan hasil Kesultanan Banten sendiri, dikenakan pajak yang lebih besar dari pada hasil dalam negeri, yaitu lada. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng (1651-1680) perdagangan mencapai puncaknya, terlebih karena sultan ini banyak berperan langsung dalam perdagangan. Lada masih tetap diandalkan sebagai produk ekspor terpenting di Banten.

H. Dampak Perubahan Pola Perdagangan akibat VOC
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng (1651-1680), perdagangan mencapai puncaknya, terlebih lagi Sultan ini banyak berperan langsung dalam dunia perdagangan. Setelah tahun 1638, keadaan situasi politik di dalam negeri Banten berubah ketika VOC berhasil menanamkan pengaruhnya dengan mendapatkan hak monopoli pembelian lada. Bahkan, para pedagang asing lainnya tidak diperkenankan untuk berdagang di pelabuhan Banten lagi. Peranan Sultan pun semakin surut dalam bidang ekonomi, sehingga pemasukan kas Banten pun menurun. Bahkan, pada akhirnya Kesultanan Banten pun mengalami kemunduran dalam dunia perdagangan.
Setelah Belanda menguasai Kota Banten pada tahun1682, semua wilayah penghasil lada mengirimkannya ke Batavia. Oleh karena itu, pola perdangangan di Banten berubah seiring mendominasinya peranan VOC yang mengakibatkan hilangnya kejayaan Kesultanan Banten dalam menguasai perdagangan lada di Nusantara. Kemunduran dalam hal kepentingan ekonomi terhadap lada menyebabkan dunia baru dalam permintaan. Pemerintah kolonial Belanda mengalihkan penanaman pada jenis tanaman lainnya, terutamaa karet dan kelapa sawit (Djajadiningrat, 1994: 35).
Kultur lada telah menjadikan pemerintahan Banten kaya dan makmur, sehingga semakin banyak lada yang dihasilkan, maka kekayaan semakin meningkat terutama bagi mereka yang terlibat dalam perdagangan lada. Menyusutnya perdagangan lada mengakibatkan pula mundurnya jaringan pelayaran dan perdagangan lain di kawasan ini. Lada merupakan sumber kekayaan bagi Banten, sehingga mampu berkembang selama beberapa abad, tetapi lada pula yang menyebabkan daerah ini menjadi miskin di samping terjadi faktor-faktor lain.

























BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Nusantara pada abad ke-17 sedang menghadapi masa kurun niaga yang ditandai banyaknya kegiatan perdagangan, baik sesama kerajaan di Nusantara maupun dari luar Nusantara. Nusantara telah menjadi jalur  perdagangan internasional yang menghubungkan para pedagang diberbagai belahan dunia, khususnya Asia dan Eropa. Para pedagang dari luar Nusantara ramai berdatangan ke Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah yang mereka inginkan. Perdagangan telah menjadi nyawa ekonomi suatu kerajaan di Nusantara untuk kelangsungan kehidupan rakyatnya. Tanpa perdagangan, suatu kerajaan tidak bisa makmur dan bisa miskin karena pada abad ke-17 di Nusantara telah berkembang perdagangan yang pesat, sehingga pada abad ke-17 mulai bermunculan kota-kota pelabuhan (emporium) baru yang menarik hati para pedagang di berbagai kawasan, salah satunya adalah pelabuhan Banten yang menjadi pusat perdagangan tanaman lada. Kapal-kapal yang dibawa para pedagang memadati perairan di Nusantara, sehingga ramailah perdagangan pada abad ke-17.
Bagi kerajaan-kerajaan maritim, pelabuhan merupakan sumber  penghasilan yang amat penting bagi kerajaan, terutama penerapan beacukai dan pajak yang menjadi sumber utama devisa kerajaan, sebagaimana yang diterapkan oleh Kesultanan Banten. Bahkan, raja-rajanya ikut andil dalam kegiatan perdagangan, sehingga memberikan nilai lebih dalam mendapatkan keuntungan pribadi. Oleh karena itu, perdagangan sangatlah penting pada abad ke-17 guna mencapai kemakmuran dan keuntungan sebesar-besarnya. Semakin besar peranan suatu kerajaan di dalam kegiatan perdagangan, maka semakin besarlah prestise (kehormatan) seorang raja dan semakin besar pula kesempatan untuk memperluas wilayah kerajaannya.

DAFTAR RUJUKAN

Djajadiningrat, Hoesein. 1994. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta; Djambatan.
Djoened, Marwati & Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Michrob, Halwany. 1993. Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten. Serang: Sudara.
Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Surakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
Suroyo, Djuliati. 2007. Sejarah Maritim I. Semarang: Jeda.
Syamsuddin, Helius. 1994. Metodologi Sejarah. Jakarta: DepDikBud.
     ______     .1995. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutera; Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta. Depdikbud.

Anonymous. 2010. Catatan Sejarah Kesultanan Banten. (Online). http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/20/catatan-sejarah-kesultanan-banten/. diakses 5 Desember 2013.
Anonymous. 2013. Sejarah Kemajuan Perdagangan Kesultanan Banten 1527-1813. (Online). http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/sejarah-kemajuan-perdagangan-kesultanan-banten-1527%E2%80%931813-10040.htm/. diakses 5 Desember 2013.
Hasrumy, Andika. 2010. Sejarah Kesultanan Banten. (Online). http://taganabanten-info.blogspot.com/2010/10/sejarah-kesultanan-banten.html/. diakses 5 Desember 2013.
Nugroho, Aditya. 2011. Perdagangan Kesultanan Banten. (Online). http://id.scribd.com/doc/55351445/Perdagangan-Kesultanan-Banten/html/. diakses 5 Desember 2013.
 

No comments:

Post a Comment