DINAMIKA SOSIAL - EKONOMI PETANI PEDESAAN DI JAWA
MASA ORDE BARU 1969-1998
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof.
Dr. Hariyono, M.Pd dan Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd
oleh
Indah
Kiki Yuliana (110731435551)
DINAMIKA SOSIAL - EKONOMI PETANI PEDESAAN DI JAWA
MASA ORDE BARU 1969-1998
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof.
Dr. Hariyono, M.Pd dan Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd
oleh
Indah
Kiki Yuliana (110731435551)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Desember 2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT sehingga
dengan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul”DINAMIKA SOSIAL - EKONOMI
PETANI PEDESAAN DI JAWA MASA ORDE BARU 1969-1998” yang merupakan tugas untuk matakuliah Sejarah Perekonomian dengan Baik.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Prof.
Dr. Haariyono, M.Pd dan Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd selaku dosen pembina matakuliah Sejarah Perekonomian dimana telah memberikan bimbingan dan
arahannya dalam pembuatan makalah ini dengan sabar. Teman-teman seperjuangan,
yaitu teman-teman sekelas dari offering B
yang telah memberikan dukungan, motivasi dan bantuannya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dalam penyempurnaan makalah ini sehingga dapat dijadikan referensi
dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Malang, 19
Nopember 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR
ISI......................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar
Belakang.................................................................................... 1
1.2. Rumusan
Masalah............................................................................... 2
1.3. Tujuan................................................................................................. 2
1.4
Metode Penelitian................................................................................ 3
II. PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
2.1 Kondisi
sektor pertanian dan petani masa Orde Baru di Jawa tahun 1969-1998……………………………………………………….. 4
2.2 Perubahan
sosial petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru tahun 1969-1998……………………………………………………….. 5
2.3 Perubahan
ekonomi petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru tahun 1969-1998………………………………………………… 10
III. PENUTUP.................................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 14
DAFTAR RUJUKAN .........................................................................................
15
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sejak
program Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah tahun 1970 bagi pertanian di
Indonensia, ternyata memberikan dampak negatif yang berkepanjangan hingga
sampai pada krisis ekonomi 1998. Ini terbukti dengan “tidak adanya terobosan
baru dalam budidaya padi yang dapat memberikan hasil lebih tinggi per
hektarnya” (Breman, 2004: 10). Hal ini banyak jika ditelaah lebih dalam dipengaruhi
oleh arus modernisasi dan globalisasi di Indonesia. Menurut Booth, 2000:89
dalam melihat Indonesia, menyimpulkan bahwa memang “sejak tahun 1987 sektor
manufaktur dan modern telah menjadi mesin pokok pertumbuhan ekonomi Indonesia, sektor
pertanian mendapat prioritas kedua dalam debat tentang kebijakan, dan jatah
sumber anggarannya telah menurun”. Ini dapat disimpulkan ketika masa
pemerintahan Orde Baru keadaan ekonomi dalam bidang pertanian sudah mulai keropos tatanan bawahnya.
Sehingga hal ini berpengaruh besar terhadap kendornya ikatan masyarakat
terhadap pertanian dan menjadikan masyarakat lebih memilih bekerja di kota
dalam bidang Industri.
Saat
pertanian yang selama ini menjadi sektor utama ekonomi Indonesia mulai
tergusurkan oleh sektor manufaktur dan Industri, menyebabkan kelangsungan hidup
bagi sebagian orang menurun dan dilupakan. Yang menjadi pertanyaan besar dalam
kasus ini adalah siapa orang yang sangat dirugikan oleh pemerintah? Bagaimana
kelangsungan hidup mereka di masyarakat baik itu dari segi ekonomi dan sosial?
Lantas bagaimana keadaan sektor pertanian pada masa itu ketika industri masuk
pedesaan? Kajian ini lebih mengarah kepada orang-orang hebat di pedesaan Jawa
yang masih tetap berjuang dalam kelangsungan hidup meskipun harus ikut serta
mengalami dinamika sosial dan ekonomi.
Keadaan petani pedesaan Jawa yang mendapat pengaruh
besar dari segi sosial-ekonomi masa Orde Baru 1969-1998 mendapat penguatan dari
studi terdahulu dalam topic yang sama yakni Setyabudi, 2001 ”Menari diantara sawah dan kota: ambiguitas
diri petani-petani teraktir di Jogjakarta” lebih menceritakan kehidupan
petani yang hidup di arena perkotaan. Cara hidup dan cara beradaptasi mereka
dalam menunjukkan keeksisan mereka. Breman, 2004 “Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa” mengenai kesejahteraan
dan kesenjangan masa Orde Baru bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan
budaya.
Hal ini
yang mempengaruhi penulis membuat makalah yang berjudul “DINAMIKA SOSIAL - EKONOMI PETANI PEDESAAN DI JAWA MASA ORDE BARU
1969-1998”. Hal ini yang berupa temuan dan laporan penulis diharapkan bisa
memberikan tambahan pengetahuan mengenai sosok orang hebat yang masih bertahan
dalam gejolak Orde Baru. Mempertahankan pekerjaan disamping banyaknya
industrialisasi yang sedang tumbuh kembang.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang makalah, penulis menyusun
rumusan masalah dari makalah yang
berjudul “DINAMIKA SOSIAL - EKONOMI
PETANI PEDESAAN DI JAWA MASA ORDE BARU 1969-1998” sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana
kondisi sektor pertanian dan petani masa Orde Baru di Jawa tahun 1969-1998?
1.2.2 Bagaimana
perubahan sosial yang dialami oleh petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru
tahun 1969-1998?
1.2.3 Bagaimana
perubahan ekonomi yang dialami oleh petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru
tahun 1969-1998?
1.3.
Tujuan
Penulis
menyusun makalah yang berjudul “DINAMIKA
SOSIAL - EKONOMI PETANI PEDESAAN DI JAWA MASA ORDE BARU 1969-1998”dengan
tujuan:
1.3.1 Mengetahui
kondisi sektor pertanian dan petani masa Orde Baru di Jawa tahun 1969-1998?
1.3.2 Mengetahui
perubahan sosial yang dialami oleh petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru
tahun 1969-1998?
1.3.3 Mengetahui
perubahan ekonomi yang dialami oleh petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru
tahun 1969-1998?
1.4.
Metode
Penelitian
Penyusunan
makalah yang berjudul “DINAMIKA SOSIAL -
EKONOMI PETANI PEDESAAN DI JAWA MASA ORDE BARU 1969-1998” menggunakan
kajian deskriptif analitis melalui studi pustaka. Studi Pustaka yang diperoleh
itu berasal dari buku-buku/referensi yang relevan. Sehingga dalam pemerolehan
dan penyusunannya tetap membutuhkan pedoman metodologi yang berkaitan dengan
disiplin ilmu tersebut, yakni metodologi sejarah. Metodologi sejarah yang
digunakan diantaranya:
·
Heuristik
Heuristik merupakan langkah
awal dalam tahapan penelitian sejarah yakni usaha pengumpulan sumber atau data.
Sumber yang bisa digunakan dalam penelitian sejarah terdiri dari tiga macam
yakni sumber tertulis, sumber lisan dan artefak. Tetapi dalam penyusunana
makalah yang berjudul Dinamika
sosial-ekonomi petani pedesaan di Jawa masa Orde Baru 1969-1998 hanya
menggunakan sumber-sumber tertulis. Kajian ini berbasis studi pustaka. Sumber
tertulis bisa ditemukan di dalam buku mengenai Pemerintahan selama Orde Baru
atau yang ada kaitannya mengenai Orde Baru, seperti pengumpulan buku-buku
mengenai ketahanan pangan, ekonomi
perberasan masa Orde Baru, Swasembada Beras, Penyerapan tenaga kerja,
kebudayaan Petani Jawa dan lainnya yang relevan .
·
Verifikasi
Verifikasi merupakan
tahapan kedua setelah heuristik atau pengumppulan sumber atau data. Dalam verifikasi
dikenal dua tahapan lagi yakni kritik intern dan ekstern. Ini untuk menguji otentisitas dan kreadibilitas dari
sumber atau data yang sudah diperoleh. Pada tahap verifikasi ini peneliti
melakukan seleksi ulang terhadap sumber yang telah diperoleh. Kritik ini
dilakukan agar bisa memisahkan sumber mana saja yang bisa dipakai dan yang
disisihkan jika tidak digunakan.
·
Interpretasi
Interpretasi atau
penafsiran merupakan tahapan ketiga setelah tahapan verifikasi. Tahapan ini
sering disebut sebagai tempat seorang peneliti bisa menafsirkan atau
memprediksikan apa saja makna yang tersembunyi dari isi. Pada tahap
interpretasi peneliti berupaya menganalisis sumber tertulis, terutama dari
buku. Fakta yang terdapat dalam buku dianalisis secara mendalam dengan cara
dibandingkan dengan fakta lain dalam sumber buku lain untuk mendapat kesimpulan
valid mengenai perubahana sosial-ekonomi petani pedesaan Jawa masa Orde Baru
tahun 1969-1998 .
·
Historiografi
Ini tahapan terakhir dimana merupakan
tahapan dalam penulisan kembali sejarah setelah data dan fakta terkumpul dan
telah melewati tahapan penelitian sejarah sebelumnya seperti heuristik,
verifikasi, dan interpretasi. Ini disusun berdasarkan kronologi kejadiannya.
Selain itu dalam penyusunan ulang harus selalu memuat tida unsur yang
berhubungan yakni temporal/waktu, spasial/tempat, dan aktivitas manusianya.
Temporal/waktunya adalah masa Orde Baru, dengan bertempat di Jawa dalam kajian
Dinamika sosial-ekonomi petani pedesaan.
2.
PEMBAHASAN
2.1
Kondisi
sektor pertanian dan petani masa Orde Baru di Jawa tahun 1969-1998
“Produksi beras yang hanya sebesar 12,2
juta ton pada 1969 membengkak menjadi lebih dari 25,8 juta ton pada 1984”
(Kasenda, 2013: 64) membuktikan bahwa pada tahun-tahun tersebut Indonesia sudah
bisa dibilang mampu dan makmur. Banyak hal yang bisa dijadikan patokan
keberhasilan Indonesia saat masa Orde Baru yang diantaranya dari sektor
pertaniannya. Keberhasilan melakukan swasembada beras dan menomersatukan sektor
pertanian sebagai usaha dalam pembangunan nasional sudah sangat tepat dan
sesuai dengan kondisi Indonesia. Swasembada beras yang dilakukan itu sudah
mampu mencukupi kebututuhan beras dalam negeri dan berhasil menutup impor. Ini
kinerja pemerintah yang cukup bagus, disamping dengan industrialisasi.
Sektor pertanian yang sangat penting
kedudukannya ini dipertahankan secara intens oleh pemerintah pasca
diterapkannya program Revolusi Hijau di Indonesia. Sektor pertanian makin
diperhatikan dengan salah satunya adalah pengutamaan bibit unggul. Ini sangat
mendukung dan mensejahterakan kaum petani di pedesaan Jawa. Pengaruh Revolusi
Hijau ini juga sampai kepada keputusan terhadap beras sebagai makanan pokok
orang Indonesia. Yang akhirnya membuat para petani pedesaan Jawa harus mampu
menyediakan cadangan beras yang sangat banyak karena permintaan akan kebutuhan
beras semakin meningkat.
Sektor pertanian di masa Orde Baru
awalnya bagaian emas yang akan laku jika dijual dipasar dengan melalui proses
yang bagus. Pemerintahan menitikberatkan kepada sektor pertanian karena
dianggap mampu mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Ini sudah tercantum
juga pada masa Repelita I tidak hanya dalam bidang sandang, infrastruktur,
perumahan rakyat, lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan rohani saja melainkan
juga terhadap pangan” (Krismawati, 2013: 5). Hal ini dilakukan dengan
pembenahan pada seluruh kondisi pangan yang ada di Indonesia yang bisa
digunakan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi ditinjau dari sektor
pertanian. Ini yang menjadi tolak ukur bahwa pada masa itu sektor pertanian
sangat diprioritaskan.
Melihat keadaan makmurnya sektor
pertanian pada saat itu, penulis bisa menyimpulkan bahwa pada saat itu
berdampak baik terhadap nasib petani pedesaan, terutama di Jawa. Hal ini
dikarenakan penjaminan mutu yang dilakukan pemerintah terhadap ketahanan pangan
terutama beras yang dihasilkan. Para petanipun menjadi orang hebat yang
mendapat kejayaan semasa itu, saat ketahanan pangan dan sektor pertaian masih
dijadikan tolak ukur pembangunan nasional. Hal yang dilakukan oleh pemerintah
diantaranya dengan peningkatan kualitas sektor pertanian melalui beberapa
program diantaranya adalah penggunaan bibit unggul tahan hama dan penyakit,
pemakaian pupuk, dan perbaikan serta pengaturan saluran irigasi. Ini dilakukan
dengan maksud dapat meningkatkan sektor produksi pangan dengan kualitas yang
bagus.
Sektor pertanian yang menjadi tolak ukur
ini benar-benar dijaga sebelum semuanya hancur perlahan dengan kebijakan baru
pemerintah mengenai program industrialisasi Indonesia. Nasib petani menjadi sasaran empuknya.
Pengalihan program yang semula dari sektor pertanian menjadi sektor industri
ini mengakibatkan perubahan hampir menyeluruh pada tatanan masyarakat bawah.
Terutama terhadap kehidupan sosial dan ekonomi dari petani pedesaan. Orang yang
jauh dari kehidupan hiruk-pikuknya kota dengan pembawaan prinsip kesederhanaan
ini tiba-tiba teralihkan begitu saja dengan mulai dibangunnya
pabrik-pabrik/sektor industri. Hal ini yang membuat sektor pertanian sudah
hampir habis masanya dalam pembangunan nasional Indonesia, dan tergantikan
dengan dominasi sektor industri sebagai tolak ukurnya.
2.2
Perubahan
sosial petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru tahun 1969-1998
Krisis yang terjadi di masa Orde baru dari tahun awal sampai akhir
pemerintahannya itu berdampak juga terhadap petani pedesaan di Jawa. Hal ini
menyebabkan kesejahteraan dan taraf hidup para petani semakin anjlok dan lambat
laun menurun dari peradabannya. Bukan hanya berpengaruh pada tingkat kesehatan,
ekonomi, budaya saja melainkan berdampak pada keadaan sosial petani. Ini terjadi
di hampir seluruh wilayah Pulau Jawa. Perubahan yang terjadi sekitar tahun 1969
-1998 dan pasca reformasi ini membuat sebagian orang yang berprofesi petani
harus mampu mnyesuaikan dengan keadaan atau fenomena sosial yang sedang terjadi
di masyarakat.
Banyak
dari petani yang terlupakan oleh masanya, ketika sebelumnya pernah menjadi jaya
dalam hal mata pencaharian yang ditekuni. Petani yang semula sangat identik
dengan sekumpulan orang-orang sederhana yang hidupnya diliputi rasa saling
tolong-menolong, welas asih, sopan,
tutur kata baik, gotong royong dan senang berkelompok ini menjadi orang lain
yang melupakan tradisi yang sudah dibangun. Keanehan ini muncul karena program
baru dari kebijakan pemerintah mengenai pengadaan sektor industri sebagai
penunjang dalam perekonomian Indonesia. Banyak petani pedesaan menjadi seorang
yang arogan, dan tidak lagi mau bekerja sebagai petani. Ini dikarenakan ada pembajakan
tenaga kerja untuk program industrialisasi pemerintah yang merubah mereka
menjadi individual, modern, dan lupa dengan pekerjaan awalnya.
Keadaan
sosial yang semula berjalan baik ini tiba-tiba berubah drastis dengan
kemunculan industrialisasi dalam masyarakat. Akibat industrialisasi yang sudah
memasuki masyarakat pedesaan, sebagian petani menganggap bahwa menjadi
masyarakat kota itu akan mendapatkan penghasilan per kapita yang jumlahnya
sembilan kali dari jumlah penghasilan menjadi petani. Banyak dari mereka yang
akhirnya merubah jalan pikirannya dengan menjadi seorang buruh di kota-kota
besar. Selain itu meskipun ada yang bertahan dengan pekerjaan sebagai petani
jelas sangat berdampak pada status sosial di masyarakat. Banyak bermunculan
stigma-stigma baru yang mengatakan bahawa sudah “kota” kok ya masih “ndeso”. Stigma tersebut jika bisa
diterjemahkan dengan bahasa sederhana sangat memojokkan nasib petani pedesaan
yang masih bertahan dalam keadaan kekotaan.
“Ini
kota. Tapi kok ya desa. Wong masih ada yang bercocok tanam.
Kalau desa , kok di kanan kiri sawah
sudah bertumbuhan bangunan-bangunan” (Setyobudi, 2001: xii). Perspektif
tersebut membuat suatu kebenaran dimana keadaan itu sudah merubah total tatanan
masyarakat, terutama jelas pada para petani. Menyedihkan sekali ketika
industrialisasi masuk dan secara tiba-tiba pula menyerang mata pencaharian
petani. Mengubah seluruhnya. Arena ruang kota dengan bangunan-bangunan megah
diperluas secara besar-besaran dengan kata lain ini merupakan cara pencaplokan
terhadap areal sawah-sawah petani yang mana sebenarnya tempat itu sangat
penting. Sawah merupakan tempat dimana seorang petani menunjukkan
eksistensinya. Situasi yang merubahnya secara tiba-tiba ini membuat mereka
merasa terasingkan dari lingkungan tempat tinggal aslinya. Penuh lumpur, becek,
gubug, alam, rantang makan, sapi
untuk bajak dan celoteh ria berubah diam tergantikan dengan mesin-mesin modern.
Sangat tragis.
Selain
itu yang terjadi adalah kerawanan kota dengan adanya banyak pencuri atau
kriminalitas. Hal ini membuat daftar baru dalam kondisi kota akibat pembangunan
yang dilakukan pemerintah. Keadaan kota yang semakin kompleks itu membuat suatu
statement baru bahwa nasib buruk sudah menimpa petani. Secara langsung membuat
petani tersisihkan secara sosial di masayarakat karena kesulitan untuk memiliki
akses dalam tata ruang kota/pergeseran desa yang sudah mulai ada pembangunan.
“Lahan persawahan makin lama makin terdesak oleh kebutuhan –kebutuhan di luar
sektor pertanian atau zoning seperti penyediaan akan jalan raya, pabrik-pabrik,
gedung bertingkat, apartemen, real estate,
perumahan, sarana pendidikan maupun sarana rekreasi” (Setyobudi, 2001: 214).
Turunnya peranan sektor pertanian termasuk beras dalam pembentukan PDB
mengindikasikan meningkatnya peranan sektor non pertanian dalam struktur
ekonomi nasional. Non pertanian ini bisa jadi program industrialisasi oleh
pemerintah bagi pembangunan nasional Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan
banyak diantaranya petani beralih profesi dengan mengadu nasib di ibukota
menjadi buruh-buruh bangunan. Iming-iming upah/gaji besar yang membuat petani
berani meninggalkan pekerjaan yang menurut mereka sudah sangat kolot. Selain
itu juga dipicu oleh banyaknya lahan petani yang sudah dijual kepada
pemerintah. Sehingga bisa diprediksikan menurunnya luas lahan pertanian (subur)
untuk industri sekitar ± 30.000 ha per tahun. Banyak petani yang beralih
menjadi buruh bangunan itu, juga tidak membuat sebagian petani lain berhenti
dan melupakan pekerjaannya sebagai penyedia suber pangan negeri. Bertahan hidup
di tengah-ditengah bangunan-bangunan megah yang bisa saja sewaktu-waktu
mengambil tempat tinggalnya. Ini banyak terjadi di Pulau Jawa.
Perubahan sosial yang dialami oleh Petani Pedesaan tidak hanya berkisar
disitu saja melainkan juga merubah tradisi dan kekhasan diantara masyarakatnya.
Ini terjadi juga di Jogjakarta. Terlihat sudah tidak terjadi lagi interaksi
sosial yang intime dan ekslusive dari
masyarakat petani. Komunikasi sosial yang dibangun pun akan terlihat berbeda
setelah mendapat pengaruh perkotaan. Tugas utama sebagai penyedia pangan negeri
berteman dengan cangkulnya beralih menjadi orang yang setiap paginya hanya
membersihkan mobil, membaca koran, dan olahraga pagi. Perubahan sosial yang terjadipun
melibatkan persepsi dari generasi muda pedesaan Jawa lebih tepat adalah
anak-anak petani. Stigma negatif mulai muncul dan mengukung mereka (para
petani). “Mereka mengganggap bahwa pekerjaan petani adalah pekerjaan yang
merendahkan derajat. Selain itu generasi muda yang berada di daerah Cirebon
Timur menyatakan bahwa sudah tidak mengenal pekerjaan yang berkutit dengan
lumpur, padi, dan kotor di sawah” (Breman, 2004: ). Anak-anak petani yang lebih
modern senang melihat orang tuanya bekerja di kota daripada harus menjadi
petani terus. Sebab pandangan mereka saat itu adalah pekerjaan di kota sedang booming bagusnya. Maklum anak kecil yang
hanya tahu permukaannya saja
Saat
adanya program industrialisasi di Indonesia, seperti pengalihan dari sektor
pertanian ke arah industri mengakibatkan sebagian lahan pertanian hilang.
Banyak berdirinya bangunan-bangunan besar, gedung-gedung pencakar langit,
teknologi modern dan komunikasi yang lebih mudah mengakibatkan sebagian
masyarakat pedesaan beralih profesi dan merubah gaya hidup. Dari yang semula
sangat sederhana dan terkesan jauh dari unsur kemewahan, sekarang berubah
menjadi manusia modern dalam hal gaya hidup. Nilai-nilai budaya yang sudah ada
sejak dulu hilang secara perlahan. Tradisi pengerat kekeluargaan juga mulai
menghilang seperti kerja bakti dan Selapan Sabtu Kliwonan.
“Aduh, Pak cepetan pakai baju, jangan menemui
tamu dengan telanjang dada kayak gitu. Tidak sopan” (Setyobudi, 2001: 86) menyimpulkan
bahwa nilai-nilai luhur sudah tergantikan. Kemungkinan besar karena masyarakat
petani sudah mengenal yang namanya pendidikan. Norma yang dijelaskan dan
ditanamkan sudah sangat rasional. Membuat mereka harus beradaptasi. Sehingga
ungkapan-ungkapan tersebut sering digunakan. Padahal jika ditelusuri kebiasaan
masyarakat desa apalagi petani, telanjang dada dengan celana kolorpun tidak ada masalah. Mulai bergesernya kebiasaan
karena sesuatu yang baru.
Sekitar
tahun 1973 pernah terjadi kerawanan pangan akibat kekeringan yang mana
menyebabkan suplai beras semakin terbatas dan menurun. Hal ini yang menyebabkan
harga beras melonjak naik sehigga memunculkan protes dari masyarakat. Selain
itu masalah produksi beras yang berada di produsen langsung, yakni Petani.
Dimana ini dipengaruhi luas lahan yang kecil dan produktivitas tenaga kerja kurang. Tingginya penyerapan
tenaga kerja bagi sektor di luar pertanian sekita tahun 1970. Sejak 1984
Indonesia mencapai swasembada beras. Tetapi sejak itu tampaknya ada permasalahan
yang menyebabkan menurunnya tingkat asupan produktif beras di sektor pertanian.
Menurunnya
asupan produktif beras ini karena banyaknya penawaran terhadap pekerjaan di
kota seperti di kantor yang terbebas dari lumpur, cangkul, clurit, caping,
rantang makan dan gubug-gubug lusuh. Sehingga banyak yang beralih menjadi
pekerja kantor daripada harus menjadi petani. selain itu turunnya asupan
produktif beras, dipengaruhi oleh banyaknya rumah tangga miskin yang sudah
tidak mempunyai tanah lagi karena sudah menjual tanahnya untuk tanah industri.
Rumah tangga miskin itu bisa disebut sebagai petani yang sudah tidak memiliki
tanah pertanain lagi.
Kekurangan
tanah yang ada di pedesaan Jawa diakibatkan adanya pergusuran dari sistem
pertanian ke industri. “meningkatnya kekurangan tanah belakangan ini bukan
semata-mata akibat meningkatnya tekanan demografi terhadap sumber-sumber
agraia, melainkan juga karena mayoritas terbesar rumah tangga di Subang Utara
dan Cirebon Timur terusir dari tanah pertanian” (Breman, 2004: 16). Keadaan
polarisasi yang ditekankan pemerintah menyebabkan masyarakat Jawa yang sifatnya
komunal, berprinsip saling melindungi
dan saling membantu antara yang kuat dan lemah berubah menjadi sifat
individualis dan memperkaya diri.
Kesenjangan
semakin nampak di akhir tahun 1980-an dan 1990-an yakni antara pedesaan dan
perkotaan. Di luar pertanian jauh dari desa mendatangkan pendapatan yang lebih
tinggi karena mereka datang dan bekerja di kota pada sektor industri. Dampak
yang sangat tragis ini adalah kemiskinan yang tetap meluas di Indonesia masa
pemerintahan Orde Baru terutama di pedesaan Jawa. Karena perhatian pemerintahan
hanya tertuju kepada industri pembangunan nasional.
2.3
Perubahan
ekonomi petani pedesaan di Jawa pada masa Orde Baru tahun 1969-1998
Sejak
adanya program pengalihan sektor pertanian ke non pertanian atau industri
membuat suatu perubahan besar dalam bidang ekonomi. Perubahan yang secara
tiba-tiba itu hingga membuat para petani di pedesaan sampai mengirimkan anak
gadisnya untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Hal ini dilakukan untuk
menopang perekonomian keluarga yang sudah mulai lumpuh. “Subang Utara merupakan
daerah yang sudah melakukan cara dimana mengirimkan anak gadis untuk bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di Saudi Arabia atau Malaysia sebagai TKW”
(Breman, 2004: 20). Keadaan seperti itu sangat berkaitan erat dengan masalah
perekonomian masyarakat terutama petani pedesaan.
Pengalihan
sektor pertanian ke industri juga membuat sebagian nasib buruh tani menjadi sangat
tragis. Dibuktikan ketika tahun 1998 dimana upah harian yang diterima mereka hanya
berkisar sebanyak Rp 5.000 untuk laki-laki dan Rp 3.000 untuk perempuan dengan
pemberian jam kerja mereka mulai dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB.
Dampak yang sedemikian rupa itu juga membuat perekonomian petani menjadi sulit.
Dimana petani harus lebih pintar lagi dalam mengatur perekonomiannya.
Fenomena
yang terjadi adalah terhadap penghapusan subsidi pupuk buatan, insektisida, dan
pestisida yang mengakibatkan harga-harga naik. Hal ini menyebabkan petani harus
bisa pintar dalam membelanjakan barang-barang pertanian yang bisa menghabiskan
modal mereka. Selain itu keadaan yang seperti ini menjadikan petani yang
mempunyai sawah harus lebih memperhitungkan upah yang akan diterima oleh buruh
tani yang mereka sewa. Karena semakin hari upah buruh tani itu semakin naik. Hal
ini tentu mempengaruhi pemenejemenan petani ketika memasukkannya dalam daftar
pengeluaran. Selain itu juga harga beras yang semakin melonjak dari yang semula
dari Rp 800 - Rp 900 pada bulan Juni 1997 menjadi Rp 2.500 dan akhirnya sampai
diangka spektakuler yakni Rp 3.000 – Rp 5.000. Ini yang membuat petani kalang
kabut. Karena sebagian berasnya adalah hasil dari impor luar negeri
Karena
krisis yang menimpa petani pedesaan, menjadikan mereka harus memutar
pekerjaannya agar bisa disesuaikan dengan lingkungan baru. Fenomena yang
terjadi adalah sebagian ada yang menjalani kehidupan dengan bekerja tidak penuh
lagi sebagai petani atau buruh tani melainkan menjadi penganggur paruh waktu
atau menjadi buruh di kota. Banyak statement menarik yang munul ketika mulai
ada pengalihan pekerjaan seperti itu. Keadaan yang baru memaksa mereka untuk
bertahan dan mengikuti arus perekonomian yang ada. Bekerja di kantor, melupakan
sawah dan bahkan ada pula yang menjual tanah sawah mereka untuk dibuat industri.
Pemikiran baru yang modern sudah masuk dalan kalangan petani pedesaan.
Di
pedesaan lebih banyak yang terkena imbas dari perubahan kebijakan pemerintah. Salah
satu contohnya pertanain yang baru
terkena imbas krisis ketika melejitnya harga yang harus dibayar konsumen yakni
tahun sebelumnya - 1988 dan seterusnya sampai sekarang. Ini terlihat berbeda
sekali ketika Indonesia mampu melakukan swasembada pangan selama lima periode. Banyak
yang beranggapan bahwa kehidupan ekonomi petani sangat makmur dan sejahtera ini
saat itu, tetapi dalam kenyataannya perekonomian tersebut mulai collapse dan memutus langsung hubungan
dengan pertanian. Beralih kepada pembangunan industrialisasi di Indonesia. Hal
yang perlu disoroti ketika industri mulai masuk, beras yang dimakan oleh
masyarakat Indonesia berasal dari Impor. Ini dikarenakan para petani desa
menerima harga dasar dari pemerintah yang jauh lebih tinggi yakni dua kali
lipat harga yang telah meraka dapatkan untuk panen terakhir per kuaintalnya.
Imbasnya kepada nainya harga pupuk 30% dan petisida 70%.
Krisis
ekonomi di desa semakin meningkat ketika banyak dari masyarakatnya yang pulang
ke daerah asal masing-masing karena diberhentikan secara tiba-tiba (PHK) pada
pekerjaannya di kota tahun 1997. Mayoritas orang itu adalah kaum buruh yang semula
di desa menjadi petani. Mereka terpaksa pulang dan mencari pekerjaan di desa. Namun
yang terjadi kebanyakan dari mereka hanya menjadi pengangguran. Masa pemerintahan
Orde Baru telah banyak menyembunyikan dengan sengaja gambaran kemelaratan yang
nyata di balik statistik propagandanya. Adanya kemiskinan juga diremehkan dalam
laporan-laporan Bank Dunia. Tahun 1980-an upah riil kerja pertanian mengalami
kemandekan, tapi tahun-tahun berikutnya upah itu cenderung naik sedikit
(Breman, 2004: 11).
Konsep
baru yang dibawa oleh para petani yang masih bertahan dengan status pekerjaan
sebagai petani adalah bagaimana bisa tetap menghidupi keluarganya. Banyak
diantaranya adalah dengan menjual sebagian tanahnya dan membuat kamar indekos. Sehingga
hal ini yang mengakibatkan adanya pengangguran. Karena yang semula bekerja
sebagai petani hanya thethenguk saja
tanpa punya pekerjaan baru. Padahal jika ditelaah lagi petani itu merupakan
pekerjaan yang sangat penting. Karena dengan adanya petani, semua bangsa
Indonesia bisa merasakan nikmatnya nasi, jagung, ketela pohon, sagu dan lainnya
yang bisa dijadikan makanan pokok.
“Petani
itu barisan depan. Lebih depan dibandingkan tentara sekalipun. Lha, coba
bayangkan kalau tentara banyak tetapi kurang makan? Nah, yang mencukupi itu kan
jasa Pak Tani. Kerja pagi sampai petang, dan kadang kerja malam juga untuk
mendapat jatah pembagian air irigasi (ngelep).
Negara itu butuh petani. Bagaimana kalau tidak ada petani? Kurang makan”
(Setyobudi, 2001:106)
Biarpun
saya sudah pegawai negeri di Balai Kota, tetapi memiliki keinginan untuk
bertani. Bekerja di sawah itu menyenangkan dan menentramkan. Tidak kerja untuk
orang lain tapi untuk diri sendiri. Sekalipun saya ini juga menggarap lahan
sawah orang lain. Tapi kan kapan saya bekerja itu ditentukan oleh diri saya
sendiri. Bukan oleh pemilik lahan sawah. Tidak ada yang memerintah. Beda kalau
di kantor, saya itu bekerja karena diperintah atasan. Adanya cuma menurut saja.
Nah, sepulang dari kantor, begitu di depan sawah, saya langsung merasa adem dan
tentram rasanya. Sulit orang lain bisa merasakan apa yang dirasakan saya
kecuali sesame petani (Setyobudi, 2001:106)
Nah,
sangat dibenarkan sekali bahwa peran seorang petai dalam suatu negara itu
penting bahkan menduduki peringkat teratas. Tanpa petani masyarakat Indonesia
akan dilanda kelaparan. Berkat petani pula, tentara Indonesia yang saat itu sedang
mengalami kekalahan perang ditampung oleh para petani pedesaan. Kajian ini
tersirat dalam sebuah lirik dari lagu campusari yang laris di di pasaran
wilayah Jawa yang berjudul “Caping Gunung”.
Berikut ini lirik lagunya:
Lirik Lagu
Caping Gunung
Dhek jaman berjuang
Njur kelingan anak lanang
Biyen tak openi
Ning saiki ana ngendi
Jarene wis menang
Keturutan sing digadang
Biyen ninggal janji
Ning saiki apa lali
Ning gunung
Tak jadongi sega jagung
Yen mendung
Tak silihi caping gunung
Sukur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Gone padha lara lapa
Dhek jaman berjuang
Njur kelingan anak lanang
Biyen tak openi
Ning saiki ana ngendi
Jarene wis menang
Keturutan sing digadang
Biyen ninggal janji
Ning saiki apa lali
Ning gunung
Tak jadongi sega jagung
Yen mendung
Tak silihi caping gunung
Sukur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Gone padha lara lapa
(http://kedaimusik-ismo.blogspot.com/2011/12/lirik-lagu-didi-kempot-caping-gunung.html
- didi kempot, 10:57 , 2 Desember 2013).
3.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Masa Orde Baru yang berlangsung di
Indonesia sekitar 32 tahun, menyimpan berbagai fenomena dan cerita menarik yang
patut dikaji, yakni salah satunya mengenai kekuatan perekonomian dari sektor
Pertanian. Ternyata sekitar tahun 1969-an sektor pertanian menjadi tolak ukur
utama bagi pembangunan nasional Indonesia. Dari sini banyak sekali kesuksesan
yang pernah dicapai Indonesia semisal berhasilnya swasembada pangan yang dimana
itu adalah beras.
Namun atas keberhasilan tersebut tidak
semestinya bisa membuat seluruh masyarakat khususnya petani menjadi sejahtera.
Ini dikarenakan tempat mereka bisa dengan mudah menunjukkan eksistensinya
lambat laun lenyap dengan adanya program industrialisasi oleh pemerintah . Program
baru yang menjadi pengganti dari sektor pertanian yang sudah dinilai tidak
memuaskan dan tidak ikut sumbangsih dalam pembangunan negeri. Perubahan yang
terjadi akibat industrialisasi mengakibatkan orang hebat dibalik layar kehilangan
semua tanah/tempat dia dalam menunjukan keeksistensiannya. Banyak sawah yang
dijual karena akan dibangunannya gedung-gedung tinggi, pabrik-pabrik,
aparetemen, saran rekreasi dan lain-lain.
Atas hal tersebut yang mengakibatkan
banyak terjadi perubahan baik itu secara sosial dan ekonomi dalam masyarakat
petani, khususnya petani pedesaan di Jawa. Muncul stigma negatif yang menyebut
bahwa petani adalah pekerjaan yang sudah tidak modern lagi dan dapat menurunkan
derajat. Selain itu interaksi sosial sudah tidak seintens dulu, banyak petani yang terlilit masalah keuangan dengan
memaksa anak gadisnya bekerja sebagai TKI, kasusu PHK yang menimpa buruh kota yang
semula adalah petani desa dan sudah mulai hilangnya nilai-nilai kekeluargaan, welas asih, dan gotong royong.
DAFTAR
RUJUKAN
Buku
Amang,
B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung, dan
Minyak Sawit. Jakarta: PT. Dharma Karsa Utama.
Amang,
B dan Husein Sawit. 1999. Kebijakan Beras
dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta:
IPB Press.
Arifin,
B. 1994. Pangan Dalam Orde Baru.
Jakarta: Koperasi Jasa Informasi (KOPINFO).
Breman,
J. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di
Pedesaan Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Kasenda,
P. 2013. Soeharto: Bagaimana Ia Bisa
Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?. Jakarta: Kompas.
Koentjaranigrat.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Setyobudi,
I. 2001. Menari di Antara Sawah dan Kota:
Ambiguitas Diri Petani-petani Terakhir di Yogyakarta. Magelang: Yayasan
INDONESIATERA.
Wolf,
E.R. 1985. Petani, Suatu Tinjauan
Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali.
Makalah
Krismawati,
N.U dkk. 2013. Keadaan Perekonomian di
Indonesia Pada Masa Orde Baru Tahun 1965-1998. Makalah disajikan dalam
presentasi dan pembelajaran di kelas, Jurusan Sejarah FIS UM, Malang, 4
Desember.
Majalah
Manning,
C. 1988. Penyerapan Tenaga Kerja di Pedesaan Jawa. Prisma: 34-49.
Saliem,
H..P. 1995. Potensi dan Partisipasi Wanita dalam Kegiatan Ekonomi Pedesaan. Prisma: 15-26.
Wardoyo,
dkk. 1988. Mempertahankan Swasembada
Beras. Prisma: 65-78.
Internet
…..(tanpa
tahun). Lirik Lagu Caping Gunung,
(Online), (http://kedaimusik-ismo.blogspot.com/2011/12/lirik-lagu-didi-kempot-caping-gunung.html
- didi kempot), diakses 2 Desember 2013 pukul 10:57.
No comments:
Post a Comment