Songs

Sunday, December 8, 2013

Novia Risqi


Buruh Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca Kedatangan Belanda Pasca 1837 – 1941

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
Yang dibina oleh bapak Prof Hariyono M.pd / ibu Indah W.P Utami.S.pd.M.hum.M.pd




oleh
                        Novia Risqi Suryani                            1107314355



1.      PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pertambangan merupakan salah satu kegiatan perekonomian yang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum masa kerajaan-kerajaan. Teknologi pertambangan dan pengolahannya telah dikuasai oleh manusia purba. Hal itu dibuktikan dengan peninggalan manusia zaman neolitik berupa nekara, kapak corong, perhiasan dan lain sebagainya.
Sebelumnya kedatangan Belanda ke wilayah Nusantara bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Namun seiring berjalannya waktu kekuatan Belanda di Nusantara tidak hanya semakin kuat di bidang ekonomi, tetapi juga politik. Dengan kekuatan politik yang semakin kuat membuat Belanda semakin leluasa untuk melakukan penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi. Selain melakukan monopoli dalam rempah-rempah Belanda mulai menguasai bidang pertambangan.
Banyak jenis hasil bahan tambang seperti emas, timah, besi, dan batu bara. Pada masa kekuasaan Belanda batu bara menjadi fokus bahan tambang Belanda selain timah dan emas. Jauh sebelum penguasaan Belanda, pertambangan batu bara telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Sumatera. Kerajaan Pagaruyung, telah melakukan penambangan batu bara dan emas untuk pemenuhan kebutuhan kerajaan.
Masing-masing wilayah jajahan mempunyai karakteristik tersendiri sehingga Belanda juga mempunyai berbagai cara agar bisa melanggengkan kekuasaannya. Termasuk keunikan sistem adat dan tradisi Minangkabau dengan sistem matrilineal. Bagian yang menarik adalah pembukaan tambang di Ombilin ini berlangsung saat pemberlakuan sistem kontrak oleh pemerintah Belanda setelah sistem tanam tidak lagi diterapkan. Oleh karena itulah kami membuat makalah berjudul Buruh Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca Kedatangan Belanda Pasca 1837 – 1941  ini agar menambah pengatahuan mengenai keadaan sosial ekonomi terutama buruh di Ombilin pada masa-masa kolonialisme tersebut.


1.2  Rumusan Masalah
            Berdasarkan judul makalah Buruh Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca Kedatangan Belanda 1837 – 1941 penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:  
·         Bagaimana dampak kedatangan Belanda bagi masyarakat di Minangkabau?
·         Bagaimana kegiatan penambangan batu bara di Ombilin 1837 – 1941?
·         Bagaimanakah keadaan tenaga kerja di Minangkabau setelah sistem tanam paksa ?

1.3  Tujuan
            Adapun tujuan penulisan makalah Buruh Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca Kedatangan Belanda 1837 – 1941 adalah sebagai berikut: 
·         dampak kedatangan Belanda bagi masyarakat di Minangkabau
·         kegiatan penambangan batu bara di Ombilin
·         keadaan keadaan tenaga kerja di Minangkabau setelah sistem tanam paksa

1.4  Metode
Penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo (2013) memiliki lima tahap yaitu pemilihan topik, heuristik, verivikasi, interpretasi dan historiografi.

a.      Pemilihan topik
Sebagai syarat pemilihan topik yang baik, sebaiknya topik penelitian sejarah dipilih berdasarkan 1) kedekatan emosional dan 2) Kedekatan intelektual. Topik yang dipilih untuk penelitian mengenai buruh tambang di Ombilin Sawahlunto peneliti menekankan pemilihan topik didasarkan pada kedekatan intelektual. Peneliti tertarik dengan permasalahan yang berkaitan dengan buruh. Melihat situasi terkini mengenai buruh yang memiliki banyak masalah. Misalnya demo buruh menuntut kenaikan upah, adanya status outsourching, dan lain sebagainya. Untuk itu peneliti merasa perlu melihat ke belakang mengenai keberadaan buruh, peran, dan konsisi yang dialami buruh selama masa penjajahan Belanda. Buruh baik di pabrik maupun penambangan, termasuk juga buruh pada masa cultuurstelsel memiliki posisi penting dalam menggerakkan perekonomian pemerintah Belanda.

b.      Heuristik
Heuristik merupakan langkah pengumpulan sumber atau data. Sumber terdiri dari tiga macam yaitu dokumen tertulis, artefak dan sumber lisan. Dokumen tertulis dimulai dengan mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan buruh, terutama buruh tambang batu bara. Sumber kedua adalah melalui foto. Peneliti memaksimalkan penggunaan sumber dokumen, yaitu sumber sekunder. Penelitian dilakukan melalui studi pustaka. Selain itu peneliti juga menggunakan foto sebagai sumber penelitian. Foto diambil melalui website KITLV yang merupakan pusat studi sejarah Asia Tenggara.

c.       Verifikasi
Verifikasi itu ada dua macam: autentisitas, atau keaslian sumber atau kritik ekstern, dan kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai atau kritik intern. Pada tahap verifikasi peneliti melakukan seleksi terhadap sumber yang telah diperoleh. Ada banyak buku yang berkaitan dengan buruh, namun tidak semua berkaitn dengan tema penelitian yaitu buruh tambang batu bara Ombilin.
Langkah verifikasi yang dilakukan oleh peneliti adalah:
1.      Seleksi sumber, dalam hal ini buku
2.      Seleksi foto, disesuaikan dengan rentang tahun yang dipilih oleh peneliti dan memilih sumber foto atau website yang valid, misalnya KITLV untuk studi sejarah di Asia Tenggara

d.      Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Pada tahap interpretasi peneliti berupaya menganalisis sumber, terutama dari buku. Fakta yang terdapat dalam buku dianalisis dengan cara dibandingkan dengan fakta yang terdapat pada buku lain. Setelah itu dilanjutkan dengan proses sintesis. Proses sintesis merupakan penyatuan antara data-data menghasilkan suatu fakta.
e.       Historiografi
Penulisan sejarah dilakukan setelah data dan fakta terkumpul dan telah melewati tahapan metode penelitian sejarah sebelumnya. Hal yang paling penting dalam penulisan sejarah adalah kronologi. Fokus pembahasan penelitian adalah tahun 1837 – 1941. Penetapan rentang waktu didasarkan pada kedatangan Belanda ke Minangkabau, proses penemuan dan penambangan batu bara hingga pemanfaatan hasil tambang batu bara sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda.
























2.      PEMBAHASAN

2.1  Dampak Kedatangan Belanda Bagi Masyarakat Minangkabau  
Kedatangan Belanda ke wilayah Minangkabau telah membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi meliputi berbagai bidang, seperti pendidikan, politik, dan ekonomi. Hubungan antara Belanda dengan Minangkabau berlangsung pada kurun waktu 1800 – 1820an saat Belanda membantu kaum adat dalam perang Paderi (1821 – 1837). Dalam bidang politik, sejak kekalahan kaum ulama pada perang Paderi tahun 1837, Belanda otomatis menjadi penguasa. Dominasi politik itu dijadikan landasan bagi perkembangan ekonomi Belanda dan penetrasi kebudayaan Barat yang di Indonesia diwakili oleh Belanda (Mansoer dkk, 157). Kaum penghulu, penguasa tradisional menurut adat, dijadikan soko guru bagi penanaman, pengembangan dan pembinaan kekuasaan Belanda di Minangkabau.
Marsden (2009:309) menyebutkan “Ketika pulau ini dikunjungi oleh pelaut-pelaut Eropa untuk pertama kalinya, Kerajaan Minangkabau sedang mengalami kemunduran. Hal itu terlihat pada besarnya pengaruh politis raja-raja Aceh, Pedir, dan Pasai di masa itu walau mereka mengakui bahwa kekuasaan mereka bersumber kepada raja Minangkabau sebagai Yang Dipertuan. Pengaruh Belanda (dan akan sama saja dengan kekuatan Eropa yang manapun) memiliki andil dalam melemahkan kekuatan politik Minangkabau. Belanda memberikan kepercayaan dan dukungan kepada mereka. Menurut kebiasaan mereka, agak berbahaya untuk menerima begitu banyak bantuan dari sekutu yang kuat”. Dari pernyataan Marsden, bisa diketahui jika sebelum kedatangan orang Eropa, kerajaan Minangkabau memang sudah mengalami kemunduran dan hal itu diperparah dengan kedatangan Eropa, terutama Belanda.
Dalam bidang ekonomi, kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Minangkabau ditandai dengan berlangsungnya sistem tanam (cultuurstelsel). Selain menguasai daerah pertanian di pesisir, Belanda juga melakukan eksplorasi di daerah pedalaman untuk menemukan sumber ekonomi selain bidang pertanian. Memang sudah lama, sejak kerajaan Islam di Minangkabau daerah pedalaman terkenal sebagai penghasil besi, emas, perak, semen, dan batu bara. Kerajaan seperti Kerajaan Melayu, Minangkabau, Indrapura, Anak Sungai, Pasamah dan Siak merupakan beberapa kerajaan kecil di Sumatera yang telah mengenal adanya bahan tambang (Marsden, 2008: 325 – 329). Cultuurstelsel pertama yang dijalankan di Minangkabau adalah kopi. Namun penduduk kebanyakan tidak bisa menikmati kopi yang dihasilkan karena dimonopoli oleh Belanda. Karena itu masyarakat memilih menyeduh daun kopi sehingga muncul istilah kopi kawa, yaitu daun kopi yang diseduh untuk minuman.
Pada umumnya, keterampilan di sini lebih tinggi daripada kalangan penduduk lain Pulau Sumatera. Orang-orang Melayu adalah penghasil utama kerajinan emas dan perak, pandai membuat perhiasan dari benang emas atau perak. Bahan-bahan tambang seperti emas itu diperoleh dari penambangan yang diusahakan oleh kerajaan-kerajaan Melayu.
Salah satu tradisi masyarakat Minangkabau yang tidak berubah adalah tradisi merantau. Baik sebelum maupun sesudah kedatangan Belanda kegiatan merantau tetap dilakukan oleh banyak pemuda Minang. Merantau bagi orang Minangkabau merupakan tradisi yang telah mengakar erat. Merantau memiliki makna signifikan bagi putra Minangkabau dalam proses pematangan konsep diri maupun pematangan ekonomi. Banyaknya orang Minangkabau yang merantau terutama kaum lelaki yang memang tidak mendapat kamar di rumah gadangnya mencerminkan tingginya tingkat mobilitas mereka. Prinsip merantau orang Minangkabau menjadikan kampung orang sebagai kampungnya sendiri. “Dimana langit dijunjung di situ bumi di pijak”. Sehingga kampung dan rantau menjadi tempat yang subur untuk mencari penghidupan,-- ( Ronidin, 2006: 23).
Pada awalnya generasi Minangkabau pergi merantau sebagai keharusan budayanya dan kehendak untuk mengubah nasib mestilah dibekali dengan persiapan yang matang. Persiapan tentang prinsip hidup, manajemen waktu, budi pekerti, pertahanan diri (bela diri) dan sebagainya menyangkut kehidupan di negeri orang. semua diajarkan di negri dan surau dengan bimbingan mamak atau guru ( Ronidin, 2006: 25). Kebiasaan merantau orang Minangkabau ini nantinya menyebabkan kesulitan tersendiri bagi Belanda, yaitu masalah tenaga kerja buruh pertamabangan batubara.
Ketika Belanda menguasai Minangkabau, Belanda mulai melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber ekonomi Minangkabau. Sistem tanam yang diberlakukan di Minangkabau merupakan efek dari kesuksesan Preanger Stelsel di Jawa Barat. Kesuksesan tersebut tidak lepas dari perdagangan kopi yang lebih menguntungkan daripada lada dan rempah-rempah pada abad ke-19. Tak lama setelah Belanda memperoleh kekuasaan penuh di Minangkabau, rodi kopi diberlakukan dengan tanpa bayaran dan biaya makan ditanggung sendiri. Rodi kopi ini hasilnya dikuasai oleh badan dagang tungal yaitu Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM).
Di bidang pendidikan Belanda juga memberikan perubahan. Sebelum kedatangan Belanda pendidikan di Minangkabau berlangsung di surau atau masjid. Bahkan sebelum merantau, bujang Minang harus terlebih dahulu menempuh kehidupan surau yang sangat disiplin. Bujang-bujang tersebut tidak hanya sekedar tidur di surau. Tetapi disana mereka diajarkan imu agama, ilmu bela diri, kedisiplinan, kebiasaan bangun pagi (subuh), kerjasama, kerja keras dan sebagainya.
Dalam bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan barat. Hal itu ditandai dengan berdirinya sekolah raja pada tahun 1873 di Bukittinggi. Kehadiran itu merupakan awal persentuhan masyarakat Minangkabau dengan dunia intelektual barat (Zubir, 2006 :1). Murid sekolah raja berasal dari golongan agama dan adat. Siswa didikan sekolah raja dipekerjakan di bidang politik ekonomi Belanda. Anggota-anggota dan alat pemerintahan yang pandai tulis baca, berpengetahuan umum dan sekedar dapat mengerti bahasa Belanda, kian lama kian dirasakan keperluan dan peranannya bagi pemantapan pengaruh Belanda.

2.2 Pertambangan Batu Bara di Ombilin Sawahlunto

            Endapan batubara berasal dari tetumbuhan purba yang tertimbun oleh batuan sedimen selama jutaan tahun. Bahan organik yang tertimbun itu mengalami proses pembatubaraan, yaitu berubah baik secara fisika maupun kimia. Bahan organik itu berangsur-angsur mencapai beberap tingkatan mutu, mulai dari gambut yang berkadar air tinggi, batu bara muda yang kadar airnya menurun, sampai batu bara bermutu tinggi yang kadar airnya rendah. Sebagai bahan bakar, batu bara sudah digunkan manusia sejak zaman prasejarah.
            Batu bara mulai ditambang secara besar-besaran di Inggris untuk bahan bakar mesin uap, sejak revolusi industri selama kurun waktu 1760 – 1850. Beberapa industri, terutama tekstil, yang mesinnya terbuat dari kayu diganti dengan baja, dan bahan bakarnya yang tadinya kayu, diganti dengan batubara. Mesin uap ang menggunakan batubara itu kemudian juga digunakan untuk menggerakkan sarana pengangkutan, di laut dengan kapal api dan di darat dengan kereta api. Revolusi industri cepat menyebar ke seluruh benua Eropa dan ke Amerika.
            Mesin uap itulah yang mendorong industri pertambangan batubara. Kapal uap pertama yang datang dari negeri Belanda tiba di Batavia pada tahun 1836 dan berlabuh di Onrust (pulau Kapal) di lepas pantai. Sejak itu kapal up terus berdatangan, sehingga permintaan akan batubara juga terus bertambah, dan harus didatangkan dari Eropa. Permintaan makin bertambah setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, tidak hanya untuk kapal yang berlayar menuju Hindia Belanda, tetapi juga menuju Asia Timur. Sabang di pulau We, di ujung utara pula Sumatera menjadi persinggahan dalam pelayran kapal dari Eropa ke Asia Timur, termasuk Hindia-Belanda, dan sebaliknya. Di pelabuhan Sabang itu kapal api memerlukan tambahan batubara. Untuk keperluan itulah orang berusaha mengambil batubara dari sumber yang terdekat, di wilayah barat terutama berasal dari daerah Sumatera Barat, dan di wilayah tengah terutama berasal dari daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Darmono, 2009: 69).    
Setelah Belanda berhasil menguasai Minangkabau, Belanda segera melakukan langkah-langkah untuk mengekspolitasi kekayaan Minangkabau. Zubir (2006: 3) “Hal yang tak kalah pentingnya dilakukan oleh Belanda adalah mengirimkan ekspedisi untuk menemukan kekayaan alam yang terdapat di Minangkabau. Berbagai penemuan kekayaan alam adalah besi, emas, perak, semen dan batu bara. Besi, emas, dan perak diolah oleh Belanda sebagai lanjutan pengelolaan yang telah dilakukan secara tradisional oleh masyarakat Minangkabau”.
Wilayah Nusantara sudah lama diketahui memiliki potensi endapan batubara di banyak tempat. Sampai akhir abad ke-19, singkapan batubara sudah banyak diketahui, apalagi pada awal abad ke-20. Semuanya terekam dalam buku R. W. van Bummelen (1949). Untuk pulau Jawa tercatat 31 tempat temuan, tetapi yang pernah ditambang hanya yang terdapat di Ngandong, Rembang pada tahun 1891. Di pulau Sumatera, selain yang ada di Ombilin, diketahui sebanyak 115 singkapan batubara (Darmono, 2009: 69).
Dari beberapa bahan tambang, batu bara merupakan salah satu yang terpenting. Penemuan batu bara oleh W.H van Greve, seorang Belanda pada tahun 1868 di Ombilin, Sawahlunto membawa perubahan yang cukup besar bagi bidang ekonomi dan sosial. Namun Greve bukan orang pertama yang menemukan batu bara saat ekspedisi Belanda. Zubir (2006: 4) “Ekspedisi itu dipimpin oleh Groot yang menemukan batu bara pertama di Padang Sibusuk, yang terletak 20km dari Ombilin pada tahun 1858”. Masalah investasi dan buruh tambang batu bara sebagai salah satu dampak dari Opendoor Policy (mengarah pada Undang-undang Agraria 1870). Pembukaan tambang batu bara berarti membuka kesempatan untuk bekerja sebagai buruh tambang.
Sejak ditemukannya batu bara Ombilin oleh Greve tahun 1868, itu menjadi cikal bakal masuknya pemerintah Belanda dalam bisnis tambang batu bara. Keinginan pemerintah kolonial Belanda itu dengan pemikiran dasar bahwa kandungan batu bara yang terdapat di Ombilin, Sawahlunto itu sangat besar. Memang jika dilihat dari jumlah batu bara yang terdapat di wilayah Sawahlunto, sesungguhnya itu cukup menjanjikan untuk mendapatkan keuntungan besar. Dari laporan pendahuluan yang dibuat geolog Belanda yang bernama Verbeek, batu yang terdapat di Sawahlunto ini sangat besar. Dilihat dari jumlah yang ada maka dapat diperkirakan cukup untuk memakmurkan 7 turunan. Sisi lain yang menarik minat pemerintah kolonial Belanda adalah kualitas batu bara tidak kalah dengan yang ada di wilayah lainnya di dunia sehingga bisnis ini sangat menjanjikan keuntungan besar (Miko, 2006: 3).
Penambangan batubara skala kecil di Sumatera Barat oleh penduduk setempat sudah dimulai pada paruh pertama abad ke-19, yaitu di lembah Sungai Durian, daerah kekuasaan Raja Rambak. Pengusaha dari Eropa yang akan menambang batubara di sana pada tahun 1880 harus mendapat izin dari penguasa itu. penambangan berskala besar baru dimulai pada tahun 1892 di Ombilin, Sumatera Barat. Ombilin menjadi pilihan pertama karena mutunya sangat baik dan jarak ke tempat pengguna relatif tidak begitu jauh (Darmono, 2009: 69 –70).
Untuk melancarkan proses penambangan batu bara pemerintah segera menyusun peraturan pertambangan. Jika sebelumnya izin pertambangan diberikan oleh raja, sultan, pangeran atau penguasa setempat maka setelah Belanda sebagai penguasa, izin tersebut diambil alih oleh Belanda. Kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas bahan tambang mulai ditunjukkan ketika pada tahun 1816 mendirikan perusahaan tambang timah di pulau Bangka, dan pada tahun 1852 memberikan konsesi penambangan bijih timah di pulau Belitung kepada perusahaan swasta Belanda. Karena belum ada undang-undang tambang, semua perizinan penambangan, termasuk izin kerja perusahaan, didasarkan pada Mijnreglement tahun 1850 (Darmono, 2009: 66).
Untuk melandasi semua kegiatan penambangan, Belanda berusaha merumuskan sebuah undang-undang. Selain memberi arah, pemerintah Hindia Belanda sadar akan perlunya dasar hukum yang dapat digunakan untuk mencapai apa yang seharusnya dicapai oleh negara. Akan tetapi,  negeri Belanda belum mempunyai undang-undang pertambangan yang dapat dipakai sebagai rujukan. Oleh karena itu mereka berpaling kepada undang-undang tambang Prancis tahun 1810, yang untuk waktu itu dinilai paling baik. Baru pada tahun 1899 dikeluarkan sebuah undang-undang yang diberi nama Indische Mijnwet (Darmono, 2009: 66).
Indische Mijnwey beberapa kali mengalami perubahan dan perbaikan, antara lain terjadi pada tahun 1910. Perubahan di bidang pertambangan pada tahun itu berkisar dari ketentuan umum, yaitu pemilik tanah dilarang memiliki hak atas bahan tambang di bawahnya; izin eksplorasi diberikan oleh gubernur jenderal untuk jangka waktu tiga tahun; konsesi untuk jangka waktu 75 tahun; dan pemegang konsesi wajib merundingkan ganti kerugian dengan pemilik tanah. --. Dalam undang-undang itu ditetapkan pula dua jenis pajak, yaitu pajak atas tanah yang digunakan sebesar fl 0,25 (Gulden Belanda) setiap hektar, dan pajak atas penghasilan kotor sebesar 4 persen (Darmono, 2009: 66).
Jika investasi di Jawa mayoritas pada sektor perkebunan (membentuk pabrik gula misalnya) maka di Sumatera selain perkebunan tembakau berkembang investasi di bidang pertambangan. Bentuk investasi Belanda ini adalah pendirian pabrik TBO (cikal bakal PT Bukit Asam). Pembukaan tambang juga berdampak pada pengembangan sarana dan prasarana yang mendukung, seperti alat transportasi, alat komunikasi, perumahan, kesehatan dll.
Sebagai sebuah pertambangan, bukan hanya proses menambang saja, tetapi dibutuhkan juga sarana dan prasarana untuk mendukung proses penambangan seperti transportasi, mesin, buruh, dan fasilitas buruh. Pengadaan berbagai sarana dan prasarana pertambangan membawa perubahan, seperti penyediaan buruh yang didatangkan dari berbagai daerah dengan berbagai cara. Buruh mayoritas didatangkan dari Jawa, Melayu, dan Cina. Mereka terdiri dari berbagai status, antara lain buruh paksa, buruh kontrak dan buruh bebas. Dengan mempekerjakan buruh berarti perlu juga membangun fasilitas lain seperti makanan, perumahan, dan sarana kesehatan.
Dalam proses pelaksanaan penambangan batu bara yang dibutuhkan peralatan dan bahan-bahan pembantu sepeti yang dikutip dari Zubir.
Zubir (2006: 117): dintaranya adalah cangkul, parang, linggis, kayu, pasir, keranjang, dan penerangan, serta pendeteksi gas beracun. Setiap alat mempunyai fungsi penting dalam proses penggalian. Sebagai contoh, cangkul dan linggis berfungsi untuk menggali batu bara, pasir berfungsi menimbun lubang-lubang batu bara yang telah digali, keranjang berfungsi untuk mengangkut batu bara dari dalam lubang keluar lubang. Alat yang terpenting lainnya yang harus terdapat dalam lubang penggalian adalah pendeteksi gas beracun”.

            Batu bara dilihat Belanda sebagai sumber ekonomi baru yang dapat menghasilkan keuntungan lebih banyak dari pada sektor perkebunan. Namun langkah untuk mengeksploitasi batu bara tersebut tidak mudah. Banyak tantangan yang dihadapi pemerintah Belanda. Selain masalah tenaga kerja, tantangan lain berupa dana dan pembebasan tanah. Belum lagi tantangan berupa konflik yang terjadi di kalangan buruh saat berlangsungnya penambangan.
            Selain dari segi kuantitas, kualitas tenaga kerja di Minangkabau dinilai tidak cocok untuk bekerja di pertambangan. Fisik mereka terlalu lemah. Minat kerja di pertambangan kurang karena mereka lebih memilih untuk bekerja di sawah dan keinginan atau tradisi untuk merantau. Hal lain yang sedikit membedakan penjajahan di Minangkabu dengan daerah lain adalah keterlibatan penduduk dengan perdagangan. Karena mereka mempunyai tradisi merantau maka mereka setidaknya tahu tentang arti pentingnya uang.
            Masalah pendanaan, berkaitan dengan keadaan ekonomi pemerintah kolonial masa itu. Pasca perang Napoleon dan perang dengan Belgia yang memisahkan diri dari Belanda telah menguras kas pemerintah. Belum lagi kerugian yang terjadi akibat penyelundupan kopi. Bersamaan dengan itu terjadi semacam perdagangan bebas, sehingga mau tidak mau pemerintah menerapkan kebijakan Open Door Policy. Kebijakan tersebut diterapkan dengan menawarkan pada pihak swasta untuk menanamkan modalnya pada tambang batu bara Ombilin.
            Sejak awal ditemukannya batu bara Ombilin, pemerintah berkeinginan agar pihak swasta yang mengerjakannya. Pemerintah hanya berkeinginan mendapatkan berbagai pajak dari hasil tambang itu. Hal itu terbukti ketika diadakannya penawaran pertama pada 1883. Dalam penawaran untuk mengerjakan tambang itu, pemerintah telah melakukan tender secara terbuka kepada pihak swasta untuk mengelola tambang batu bara Ombilin. Namun tender tersebut gagal meskipun pihak swasta tertarik. Setelah tender yang kedua tahun 1886 dan mengalami kegagalan lagi, pemerintah memutuskan untuk mengelola tambang itu sendiri.
            Tantangan yang kedua adalah pembangunan sarana dan prasarana. Untuk mengangkut batu bara dari tambang sarana yang paling  efisien adalah kereta api (lori). Namun karena medan Minangkabau, Ombilin khususnya masih mengalami kesulitan. Mengingat medan yang berliku dan berbukit. Selain medan, jalur transportasi yang jauh dan melewati sungai, bukan jalan darat merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah Belanda.
            Selama kurun waktu 1918 – 1941 perkembangan produksi batu bara yang diusahakan oleh tambang rakyat menunjukkan kecenderungan yang relatif stabil, yaitu berkisar antara 24 – 60 ribu ton. Sementara itu, perkembangan produksi batubara yang berasal dari perusahaan Belanda (dan atau Eropa lainnya) pada kurun tahun 1918 – 1929 menunjukkan peningkatan anak yang cukup drastis, yaitu dari sekitar 275 ribu ton pada tahun 1918 menjadi sekitar 892 ribu ton pada tahun 1929. Akan tetapi pada tahun berikutnya terjadi penurunan yang cukup tajam, yang pada tahun 1936 menjadi sekitar 408 ribu ton. Mulai tahun 1937 sampai tahun 1941 meningkat kembali dan tercatat pada tahun 1941 produksi batubara ini sebesar 627 ribu ton. Secara keseluruhan di Hindia Belanda, dalam kurun waktu 1918 – 1930 produksi batubara menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Akan tetapi mulai tahun 1931, produksi batubara ini terus menerus menurun dan pada tahun berikutnya meningkat lagi sampai tahun 1941 sekitar dua juta ton (Darmono, 2009: 71).

2.3 Keadaan Tenaga Kerja Batu Bara Ombilin Sawahlunto 1837 – 1900

Dari beberapa bahan tambang, batu bara merupakan salah satu yang terpenting. Penemuan batu bara oleh W.H van Greve, seorang Belanda pada tahun 1868 di Ombilin, Sawahlunto membawa perubahan yang cukup besar bagi bidang ekonomi dan sosial. Masalah investasi dan buruh tambang batu bara sebagai salah satu dampak dari opendoor policy (Undang-undang Agraria 1870). Pembukaan tambang batu bara berarti membuka kesempatan untuk bekerja sebagai buruh tambang.









Gambar 1. Kondisi di pertambangan batu bara Ombilin
Sumber: KITLV

Sejak ditemukannya batu bara Ombilin oleh Greve tahun 1868, menjadi cikal bakal masuknya pemerintah Belanda dalam bisnis tambang batu bara. Keinginan pemerintah kolonial Belanda itu dengan pemikiran dasar bahwa kandungan batu bara yang terdapat di Sawahlunto itu sangat besar. Memang jika dilihat dari jumlah batu bara yang terdapat di wilayah Sawahlunto, sesungguhnya itu cukup menjanjikan untuk mendapatkan keuntungan besar. Dari laporan pendahuluan yang dibuat geolog Belanda yang bernama Verbeek, batu yang terdapat di Sawahlunto ini sangat besar. Dilihat dari jumlah yang ada maka dapat diperkirakan cukup untuk memakmurkan 7 turunan. Sisi lain yang menarik minat pemerintah kolonial Belanda adalah kualitas batu bara tidak kalah dengan yang ada di wilayah lainnya di dunia sehingga bisnis ini sangat menjanjikan keuntungan besar (Miko, 2006: 3).
Sebelum adanya buruh tambang, di Minangkabau ini sudah ada pelaksanaan tanam paksa maupun buruh, tetapi buruh di bidang perkebunan.Mayoritas lahan yang dijadikan perkebunan adalah daerah pesisir dengan komoditi andalan kopi. Sebelum kedatangan Belanda (dan pemberlakuan rodi kopi), perkebunan yang ada di Minangkabau adalah perkebunan yang dikelola sendiri. Hasil perkebunan berupa pisang, kelapa, dan umbi-umbian.
Cultuurstelsel memang tidak hanya terjadi di Jawa saja, melainkan di Sumatera termasuk Minangkabau. Setelah Belanda menemukan kecocokan kondisi alam yang mendukung untuk perkebunan kopi, cultuurstelsel mulai diterapkan. Sepertihalnya di Jawa, cultuurstelsel di Minangkabau ini juga bersifat patron client. Kelancaran cultuurstelsel ini berkat kerjasama antara penghulu dengan pemerintah kolonial.
Perkebunan kopi sebagai sumber ekonomi utama tidak selamanya menguntungkan. Kerugian bagi Belanda karena banyak kopi yang diselundupkan ke Singapura dan penanaman kopi di daerah pedalaman yang kondisinya tidak cocok menyebabkan terjadi penurunan produksi kopi. Namun setelah penemuan batubara di Ombilin sawahlunto membuka kemungkinan penigkatan sumber ekonomi bagi Belanda. Sebagai dampak undang-undang agraria 1870 pula di Minangkabau terbuka pekerjaan baru, bukan lagi buruh perkebunan melainkan buruh tambang.
Jika investasi di Jawa mayoritas pada sektor perkebunan (membentuk pabrik gula misalnya) maka di Sumatera berkembang investasi di bidang pertambangan. Bentuk investasi Belanda ini adalah pendirian pabrik TBO (cikal bakal PT Bukit Asam). Pembukaan tambang juga berdampak pada pengembangan sarana dan prasarana yang mendukung, seperti alat transportasi, alat komunikasi, perumahan, kesehatan dll.













Gambar 2. Sarana transportasi di pertambangan batu bara
Sumber: KITLV

Investasi tidak hanya di Pulau Jawa saja namun juga merambah pulau Sumatera. Bila investasi di Jawa memerlukan proses-proses panjang dalam mentransportasikan petani menjadi buruh karena struktur feodal kerajaan menjadi struktur birokasi kolonial. Hal ini tidak terjadi dalam pembukaan Sumatera Timur. Hal berbeda yang berkembang di Sumatera Timur adalah perkebunan-perkebunan tembakau dibangun mulai tahun 1863 di daerah Deli oleh Jacobus Nienhuys, Mendatangkan buruh-buruh dari luar wilayah tersebut, seperti  dari semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura), Pulau Jawa (Cahyono, 1998: 112).
Tidak seperti di Jawa, investasi di bidang tambang di Ombilin, Sumatera ini selain terkendala oleh dana yang digunakan untuk pembukaan tambang dan yang paling penting adalah tenaga kerja (buruh). Tentu saja buruh pribumi di mingkabau tidak mencukupi untuk keseluruhan tenaga kerja di pertambangan. Solusinya adalah mendatangkan buruh dari Jawa, maupun dari Cina.
Seperti halnya yang terjadi dalam kolonialisasi, struktur kekuasaan di dominasi oleh orang Belanda.Struktur buruh didominasi oleh orang Belanda, Indo (keturunan), kemudian pribumi yang dibagi menjadi buruh bebas, buruh kontrak, dan buruh paksa. Klasifikasi buruh ditinjau dari aspek etnik terdiri dari bangsa eropa, dan etnik pribumi. Orang eropa yang mayoritas adalah orang Belanda menduduki posisi yang strategis, sedangkan orang pribumi sebagai bawahan.
Seperti yang dijelaskan di atas, sebagai dampak dari undang-undang agraria dan ponale sanctie, klasifikasi buruh juga ditetapkan berdasarkan kontrak. Klasifikasi dalam usaha ini tidak hanya berlaku pada pembedaan kalangan eropa dan pribumi berdasarkan kekuasaan saja tetapi juga dalam jajaran buruh kontrak itu. perbedaan dalam kesetaran antar buruh kontrak yang berbeda-beda meliputi fasilitas kesehatan, upah, maupun dari aspek social seperti hak asasi.
Mereka diikat dengan kontrak dan kontrak tersebut tidak dapat diakhiri oleh sang buruh.  Bila buruh berusaha melarikan diri dari tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal sebagai poenale sanctie yaitu suatu hukuman yang dalam ukuran sejaman pun sangat kejam yaitu dapat berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga dibunuh seperti Jacobus Nienhuys pemilik Deli Maatschappij yang menghukum cambuk 7 buruhnya hingga mati (Cahyono, 1998: 113).
Klasifikasi pertama dalam tingkatan buruh adalah buruh paksa. Buruh paksa ini adalah orang-orang yang dihukum (seperti tahanan). Buruh paksa sudah mulai digunakan sejak tahun 1860-an. Tugas kelompok buruh ini adalah membangun jalan kereta api maupun jalan biasa. Pada awalnya mereka tidak ada kontrak dengan pihak pertambangan. Buruh paksa dianggap sebagai golongan buruh yang paling bawah, menderita. Dari segi pakaian, beban kerja, dan upah yang diterima tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan (Zubir, 2006: 161).
Buruh kontrak dianggap kelompok buruh yang sedikit lebih baik nasibnya daripada buruh paksa. Buruh kontrak ini didatangkan dari luar Minangkabau. Kebanyakan buruh kontrak berasal dari Jawa dan orang Cina. Perhatian yang lebih baik diperoleh buruh kontrak seperti gaji sebesar 35 sen, fasilitas kesehatan, pakaian dan gizi. Sistem kontrak buruh ini biasanya 2-3 tahun, namun bisa diperpanjang. Namun dalam prakteknya terdapat pelanggaran yaitu kontrak bisa lebih lama bahkan sampai ke anak cucunya. Mendatangkan buruh kontrak dari luar Minangkabau bagi pihak pertambangan juga memunculkan masalah  tersendiri terutam amasalah dana. Dibutuhkan dana yang besar untuk transportasi, gaji maupun pemenuhan fasilitas kesehatan (Zubir, 2006: 163-165).









Gambar 3. Kamp buruh di Ombilin, salah satu penyebab konflik buruh
Sumber: KITLV

Klasifikasi ketiga adalah kelompok buruh bebas. Kelompok ini tidak memiliki ikatan kontrak dengan pihak pertambangan. Kelompok ini biasanya adalah orang-orang dari Minangkabau, dari golongan miskin. Bekerja di sektor tambang hanya digunakan sebagai pekerjaan sambilan. Mereka tidak ingin terikat kontrak namun mereka melihat bahwa pekerjaan ini bisa digunakan sebagai lowongan pekerjaan baru. (Zubir, 2006:166).




3. PENUTUP

            Kedatangan Belanda ke Minangkabau memang telah memberikan perubahan di banyak bidang kehidupan masyarakat Minang. Perubahan di bidang politik yang berkaitan dengan ekonomi berupa pengalihan kekuasaan pemberian izin penambangan dari sultan, raja, ataupun penguasa setempat ke tangan Belanda. Hal itu memudahkan Belanda untuk menguasai dan mengatur penambangan di wilayah jajahannya. Akhirnya Belanda merumuskan undang-undang tambang, Indische Mijnwet.
Penambangan batu bara Ombilin, Sawahlunto memberikan keuntungan yang besar bagi pihak Belanda. Dengan cadangan batu bara yang banyak jumlahnya dan tingginya tingkat permintaan, batu bara menjadi peluang bisnis Belanda yang sangat menguntungkan. Namun tidak demikian bagi buruh yang bekerja di pertambangan. Mereka dipaksa untuk terus bekerja dengan beban yang berat dan upah yang sedikit.
Penambangan batu bara di Ombilin Sawahlunto menyajikan kehidupan buruh tambang batu bara masa Belanda. Buruh tambang mendapat perlakukan yang tidak baik. Walaupun pihak Belanda telah membangun sarana dan prasarana bagi buruh seperti tempat tinggal dan tempat hiburan namun semua itu tidak bisa dinikmati oleh semua buruh. Buruh di pertambangan batu bara Ombilin terdiri dari tiga kelompok, yaitu buruh kontrak, buruh paksa dan buruh bebas. Asing-masih kelompok buruh memperoleh perlakuan yang berbeda-beda. Hal itu pula yang akhirnya memicu konflik antar buruh.









DAFTAR RUJUKAN

 Cahyono, E . 1998. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda
            Hingga Orde Baru. Jakarta: Hastamitra

Darmono, D. 2009. Sejarah Pertambangan-Pertambangan di Indonesia. Jakarta:
            Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mansoer, M. D. dkk. Tanpa tahun. Sedjarah Minangkabau. ______: Barata.

Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatera. Depok: Komunitas Bambu.

Miko, A. (ed). 2006. Dinamika kota tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapital
            ke Ekonomi Rakyat. Padang:  Andalas University Pres.

Ronidin. 2006. Minangkabau di Mata Anak Muda. Padang: Andalas University
            Press.

Zubir. Z. 2006. Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai:  Eksploitasi Buruh
            Tambang Batu Bara Ombilin oleh Kolonial Belanda 1891-1927. Padang:
            Andalas University.


Internet

KITLV Pictura. Diakses 23 November 2013.


 


No comments:

Post a Comment