Buruh Tambang Ombilin di Minangkabau
Pasca Kedatangan Belanda Pasca 1837 – 1941
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah
Perekonomian
Yang
dibina oleh bapak Prof Hariyono M.pd / ibu Indah W.P Utami.S.pd.M.hum.M.pd
oleh
Novia Risqi Suryani 1107314355
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pertambangan merupakan salah satu kegiatan
perekonomian yang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum masa kerajaan-kerajaan. Teknologi
pertambangan dan pengolahannya telah dikuasai oleh manusia purba. Hal itu
dibuktikan dengan peninggalan manusia zaman neolitik berupa nekara, kapak
corong, perhiasan dan lain sebagainya.
Sebelumnya kedatangan Belanda ke wilayah Nusantara
bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Namun seiring berjalannya
waktu kekuatan Belanda di Nusantara tidak hanya semakin kuat di bidang ekonomi,
tetapi juga politik. Dengan kekuatan politik yang semakin kuat membuat Belanda
semakin leluasa untuk melakukan penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi.
Selain melakukan monopoli dalam rempah-rempah Belanda mulai menguasai bidang
pertambangan.
Banyak jenis hasil bahan tambang seperti emas, timah,
besi, dan batu bara. Pada masa kekuasaan Belanda batu bara menjadi fokus bahan
tambang Belanda selain timah dan emas. Jauh sebelum penguasaan Belanda,
pertambangan batu bara telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kerajaan Pagaruyung, telah melakukan penambangan batu bara dan emas untuk
pemenuhan kebutuhan kerajaan.
Masing-masing
wilayah jajahan mempunyai karakteristik tersendiri sehingga Belanda juga
mempunyai berbagai cara agar bisa melanggengkan kekuasaannya. Termasuk keunikan
sistem adat dan tradisi Minangkabau dengan sistem matrilineal. Bagian yang
menarik adalah pembukaan tambang di Ombilin ini berlangsung saat pemberlakuan
sistem kontrak oleh pemerintah Belanda setelah sistem tanam tidak lagi
diterapkan. Oleh karena itulah kami membuat makalah berjudul Buruh
Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca Kedatangan Belanda Pasca 1837 – 1941 ini agar menambah
pengatahuan mengenai keadaan sosial ekonomi terutama buruh di Ombilin pada
masa-masa kolonialisme tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan judul makalah Buruh Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca
Kedatangan Belanda 1837 – 1941 penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
·
Bagaimana dampak kedatangan Belanda bagi
masyarakat di Minangkabau?
·
Bagaimana
kegiatan penambangan batu bara di Ombilin 1837 – 1941?
·
Bagaimanakah keadaan tenaga kerja di
Minangkabau setelah sistem tanam paksa ?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah Buruh
Tambang Ombilin di Minangkabau Pasca Kedatangan Belanda 1837 – 1941 adalah
sebagai berikut:
·
dampak kedatangan Belanda bagi masyarakat di
Minangkabau
·
kegiatan
penambangan batu bara di Ombilin
·
keadaan keadaan tenaga kerja di Minangkabau
setelah sistem tanam paksa
1.4 Metode
Penelitian
sejarah menurut Kuntowijoyo (2013) memiliki lima tahap yaitu pemilihan topik,
heuristik, verivikasi, interpretasi dan historiografi.
a.
Pemilihan topik
Sebagai
syarat pemilihan topik yang baik, sebaiknya topik penelitian sejarah dipilih
berdasarkan 1) kedekatan emosional dan 2) Kedekatan intelektual. Topik yang
dipilih untuk penelitian mengenai buruh tambang di Ombilin Sawahlunto peneliti menekankan
pemilihan topik didasarkan pada kedekatan intelektual. Peneliti tertarik dengan
permasalahan yang berkaitan dengan buruh. Melihat situasi terkini mengenai
buruh yang memiliki banyak masalah. Misalnya demo buruh menuntut kenaikan upah,
adanya status outsourching, dan lain sebagainya. Untuk itu peneliti merasa
perlu melihat ke belakang mengenai keberadaan buruh, peran, dan konsisi yang
dialami buruh selama masa penjajahan Belanda. Buruh baik di pabrik maupun
penambangan, termasuk juga buruh pada masa cultuurstelsel memiliki posisi
penting dalam menggerakkan perekonomian pemerintah Belanda.
b.
Heuristik
Heuristik
merupakan langkah pengumpulan sumber atau data. Sumber terdiri dari tiga macam
yaitu dokumen tertulis, artefak dan sumber lisan. Dokumen tertulis dimulai dengan
mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan buruh, terutama buruh tambang batu
bara. Sumber kedua adalah melalui foto. Peneliti memaksimalkan penggunaan
sumber dokumen, yaitu sumber sekunder. Penelitian dilakukan melalui studi
pustaka. Selain itu peneliti juga menggunakan foto sebagai sumber penelitian.
Foto diambil melalui website KITLV yang merupakan pusat studi sejarah Asia
Tenggara.
c.
Verifikasi
Verifikasi
itu ada dua macam: autentisitas, atau keaslian sumber atau kritik ekstern, dan
kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai atau kritik intern. Pada tahap
verifikasi peneliti melakukan seleksi terhadap sumber yang telah diperoleh. Ada
banyak buku yang berkaitan dengan buruh, namun tidak semua berkaitn dengan tema
penelitian yaitu buruh tambang batu bara Ombilin.
Langkah
verifikasi yang dilakukan oleh peneliti adalah:
1.
Seleksi
sumber, dalam hal ini buku
2.
Seleksi
foto, disesuaikan dengan rentang tahun yang dipilih oleh peneliti dan memilih
sumber foto atau website yang valid, misalnya KITLV untuk studi sejarah di Asia
Tenggara
d.
Interpretasi
Interpretasi
atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Pada tahap
interpretasi peneliti berupaya menganalisis sumber, terutama dari buku. Fakta
yang terdapat dalam buku dianalisis dengan cara dibandingkan dengan fakta yang
terdapat pada buku lain. Setelah itu dilanjutkan dengan proses sintesis. Proses
sintesis merupakan penyatuan antara data-data menghasilkan suatu fakta.
e.
Historiografi
Penulisan
sejarah dilakukan setelah data dan fakta terkumpul dan telah melewati tahapan
metode penelitian sejarah sebelumnya. Hal yang paling penting dalam penulisan
sejarah adalah kronologi. Fokus pembahasan penelitian adalah tahun 1837 – 1941.
Penetapan rentang waktu didasarkan pada kedatangan Belanda ke Minangkabau,
proses penemuan dan penambangan batu bara hingga pemanfaatan hasil tambang batu
bara sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda.
2. PEMBAHASAN
2.1
Dampak
Kedatangan Belanda Bagi Masyarakat Minangkabau
Kedatangan
Belanda ke wilayah Minangkabau telah membawa berbagai perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Perubahan yang terjadi meliputi berbagai bidang, seperti
pendidikan, politik, dan ekonomi. Hubungan antara Belanda dengan Minangkabau
berlangsung pada kurun waktu 1800 – 1820an saat Belanda membantu kaum adat
dalam perang Paderi (1821 – 1837). Dalam bidang politik, sejak kekalahan kaum ulama pada perang Paderi tahun 1837, Belanda
otomatis menjadi penguasa. Dominasi politik itu dijadikan landasan bagi
perkembangan ekonomi Belanda dan penetrasi kebudayaan Barat yang di Indonesia
diwakili oleh Belanda (Mansoer dkk, 157). Kaum penghulu, penguasa tradisional menurut adat, dijadikan soko guru bagi
penanaman, pengembangan dan pembinaan kekuasaan Belanda di Minangkabau.
Marsden (2009:309) menyebutkan “Ketika pulau ini
dikunjungi oleh pelaut-pelaut Eropa untuk pertama kalinya, Kerajaan Minangkabau
sedang mengalami kemunduran. Hal itu terlihat pada besarnya pengaruh politis
raja-raja Aceh, Pedir, dan Pasai di masa itu walau mereka mengakui bahwa
kekuasaan mereka bersumber kepada raja Minangkabau sebagai Yang Dipertuan.
Pengaruh Belanda (dan akan sama saja dengan kekuatan Eropa yang manapun)
memiliki andil dalam melemahkan kekuatan politik Minangkabau. Belanda
memberikan kepercayaan dan dukungan kepada mereka. Menurut kebiasaan mereka,
agak berbahaya untuk menerima begitu banyak bantuan dari sekutu yang kuat”.
Dari pernyataan Marsden, bisa diketahui jika sebelum kedatangan orang Eropa,
kerajaan Minangkabau memang sudah mengalami kemunduran dan hal itu diperparah
dengan kedatangan Eropa, terutama Belanda.
Dalam
bidang ekonomi, kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Minangkabau ditandai
dengan berlangsungnya sistem tanam (cultuurstelsel). Selain menguasai daerah
pertanian di pesisir, Belanda juga melakukan eksplorasi di daerah pedalaman
untuk menemukan sumber ekonomi selain bidang pertanian. Memang sudah lama,
sejak kerajaan Islam di Minangkabau daerah pedalaman terkenal sebagai penghasil
besi, emas, perak, semen, dan batu bara. Kerajaan seperti Kerajaan Melayu,
Minangkabau, Indrapura, Anak Sungai, Pasamah dan Siak merupakan beberapa
kerajaan kecil di Sumatera yang telah mengenal adanya bahan tambang (Marsden, 2008: 325 – 329). Cultuurstelsel pertama yang dijalankan
di Minangkabau adalah kopi. Namun penduduk kebanyakan tidak bisa menikmati kopi
yang dihasilkan karena dimonopoli oleh Belanda. Karena itu masyarakat memilih
menyeduh daun kopi sehingga muncul istilah kopi
kawa, yaitu daun kopi yang diseduh untuk minuman.
Pada umumnya, keterampilan di sini lebih tinggi
daripada kalangan penduduk lain Pulau Sumatera. Orang-orang Melayu adalah
penghasil utama kerajinan emas dan perak, pandai membuat perhiasan dari benang
emas atau perak. Bahan-bahan tambang seperti emas itu diperoleh dari
penambangan yang diusahakan oleh kerajaan-kerajaan Melayu.
Salah satu tradisi masyarakat Minangkabau yang tidak
berubah adalah tradisi merantau. Baik sebelum maupun sesudah kedatangan Belanda
kegiatan merantau tetap dilakukan oleh banyak pemuda Minang. Merantau bagi
orang Minangkabau merupakan tradisi yang telah mengakar erat. Merantau memiliki
makna signifikan bagi putra Minangkabau dalam proses pematangan konsep diri
maupun pematangan ekonomi. Banyaknya orang Minangkabau yang merantau terutama
kaum lelaki yang memang tidak mendapat kamar di rumah gadangnya mencerminkan
tingginya tingkat mobilitas mereka. Prinsip merantau orang Minangkabau
menjadikan kampung orang sebagai kampungnya sendiri. “Dimana langit dijunjung
di situ bumi di pijak”. Sehingga kampung dan rantau menjadi tempat yang subur
untuk mencari penghidupan,-- ( Ronidin, 2006: 23).
Pada awalnya generasi Minangkabau pergi merantau
sebagai keharusan budayanya dan kehendak untuk mengubah nasib mestilah dibekali
dengan persiapan yang matang. Persiapan tentang prinsip hidup, manajemen waktu,
budi pekerti, pertahanan diri (bela diri) dan sebagainya menyangkut kehidupan
di negeri orang. semua diajarkan di negri dan surau dengan bimbingan mamak atau
guru ( Ronidin, 2006: 25). Kebiasaan merantau orang Minangkabau ini nantinya
menyebabkan kesulitan tersendiri bagi Belanda, yaitu masalah tenaga kerja buruh
pertamabangan batubara.
Ketika Belanda menguasai Minangkabau, Belanda mulai
melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber ekonomi Minangkabau. Sistem
tanam yang diberlakukan di Minangkabau merupakan efek dari kesuksesan Preanger Stelsel di Jawa Barat.
Kesuksesan tersebut tidak lepas dari perdagangan kopi yang lebih menguntungkan
daripada lada dan rempah-rempah pada abad ke-19. Tak lama setelah Belanda
memperoleh kekuasaan penuh di Minangkabau, rodi kopi diberlakukan dengan tanpa
bayaran dan biaya makan ditanggung sendiri. Rodi kopi ini hasilnya dikuasai
oleh badan dagang tungal yaitu Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM).
Di bidang pendidikan Belanda juga memberikan
perubahan. Sebelum kedatangan Belanda pendidikan di Minangkabau berlangsung di
surau atau masjid. Bahkan sebelum merantau, bujang Minang harus terlebih dahulu
menempuh kehidupan surau yang sangat disiplin. Bujang-bujang tersebut tidak
hanya sekedar tidur di surau. Tetapi disana mereka diajarkan imu agama, ilmu
bela diri, kedisiplinan, kebiasaan bangun pagi (subuh), kerjasama, kerja keras
dan sebagainya.
Dalam
bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan
barat. Hal itu ditandai dengan berdirinya sekolah raja pada tahun 1873 di Bukittinggi.
Kehadiran itu merupakan awal persentuhan masyarakat Minangkabau dengan dunia
intelektual barat (Zubir, 2006 :1). Murid sekolah raja berasal dari golongan
agama dan adat. Siswa didikan sekolah raja dipekerjakan di bidang politik
ekonomi Belanda. Anggota-anggota dan alat pemerintahan yang pandai tulis baca,
berpengetahuan umum dan sekedar dapat mengerti bahasa Belanda, kian lama kian
dirasakan keperluan dan peranannya bagi pemantapan pengaruh Belanda.
2.2 Pertambangan Batu Bara
di Ombilin Sawahlunto
Endapan
batubara berasal dari tetumbuhan purba yang tertimbun oleh batuan sedimen
selama jutaan tahun. Bahan organik yang tertimbun itu mengalami proses
pembatubaraan, yaitu berubah baik secara fisika maupun kimia. Bahan organik itu
berangsur-angsur mencapai beberap tingkatan mutu, mulai dari gambut yang
berkadar air tinggi, batu bara muda yang kadar airnya menurun, sampai batu bara
bermutu tinggi yang kadar airnya rendah. Sebagai bahan bakar, batu bara sudah digunkan
manusia sejak zaman prasejarah.
Batu
bara mulai ditambang secara besar-besaran di Inggris untuk bahan bakar mesin
uap, sejak revolusi industri selama kurun waktu 1760 – 1850. Beberapa industri,
terutama tekstil, yang mesinnya terbuat dari kayu diganti dengan baja, dan
bahan bakarnya yang tadinya kayu, diganti dengan batubara. Mesin uap ang
menggunakan batubara itu kemudian juga digunakan untuk menggerakkan sarana
pengangkutan, di laut dengan kapal api dan di darat dengan kereta api. Revolusi
industri cepat menyebar ke seluruh benua Eropa dan ke Amerika.
Mesin
uap itulah yang mendorong industri pertambangan batubara. Kapal uap pertama
yang datang dari negeri Belanda tiba di Batavia pada tahun 1836 dan berlabuh di
Onrust (pulau Kapal) di lepas pantai. Sejak itu kapal up terus berdatangan,
sehingga permintaan akan batubara juga terus bertambah, dan harus didatangkan
dari Eropa. Permintaan makin bertambah setelah Terusan Suez dibuka pada tahun
1869, tidak hanya untuk kapal yang berlayar menuju Hindia Belanda, tetapi juga
menuju Asia Timur. Sabang di pulau We, di ujung utara pula Sumatera menjadi
persinggahan dalam pelayran kapal dari Eropa ke Asia Timur, termasuk
Hindia-Belanda, dan sebaliknya. Di pelabuhan Sabang itu kapal api memerlukan
tambahan batubara. Untuk keperluan itulah orang berusaha mengambil batubara
dari sumber yang terdekat, di wilayah barat terutama berasal dari daerah
Sumatera Barat, dan di wilayah tengah terutama berasal dari daerah Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan (Darmono, 2009: 69).
Setelah Belanda berhasil menguasai Minangkabau,
Belanda segera melakukan langkah-langkah untuk mengekspolitasi kekayaan
Minangkabau. Zubir (2006: 3) “Hal yang tak kalah pentingnya dilakukan oleh
Belanda adalah mengirimkan ekspedisi untuk menemukan kekayaan alam yang
terdapat di Minangkabau. Berbagai penemuan kekayaan alam adalah besi, emas,
perak, semen dan batu bara. Besi, emas, dan perak diolah oleh Belanda sebagai
lanjutan pengelolaan yang telah dilakukan secara tradisional oleh masyarakat Minangkabau”.
Wilayah Nusantara sudah lama diketahui memiliki
potensi endapan batubara di banyak tempat. Sampai akhir abad ke-19, singkapan
batubara sudah banyak diketahui, apalagi pada awal abad ke-20. Semuanya terekam
dalam buku R. W. van Bummelen (1949). Untuk pulau Jawa tercatat 31 tempat
temuan, tetapi yang pernah ditambang hanya yang terdapat di Ngandong, Rembang
pada tahun 1891. Di pulau Sumatera, selain yang ada di Ombilin, diketahui
sebanyak 115 singkapan batubara (Darmono, 2009: 69).
Dari
beberapa bahan tambang, batu bara merupakan salah satu yang terpenting.
Penemuan batu bara oleh W.H van Greve, seorang Belanda pada tahun 1868 di
Ombilin, Sawahlunto membawa perubahan yang cukup besar bagi bidang ekonomi dan
sosial. Namun Greve bukan orang
pertama yang menemukan batu bara saat ekspedisi Belanda. Zubir (2006: 4)
“Ekspedisi itu dipimpin oleh Groot yang menemukan batu bara pertama di Padang
Sibusuk, yang terletak 20km dari Ombilin pada tahun 1858”. Masalah
investasi dan buruh tambang batu bara sebagai salah satu dampak dari Opendoor Policy (mengarah pada Undang-undang
Agraria 1870). Pembukaan tambang batu bara berarti membuka kesempatan untuk
bekerja sebagai buruh tambang.
Sejak
ditemukannya batu bara Ombilin oleh Greve tahun 1868, itu menjadi cikal bakal masuknya pemerintah Belanda
dalam bisnis tambang batu bara. Keinginan pemerintah kolonial Belanda itu
dengan pemikiran dasar bahwa kandungan batu bara yang terdapat di Ombilin, Sawahlunto itu sangat besar.
Memang jika dilihat dari jumlah batu bara yang terdapat di wilayah Sawahlunto,
sesungguhnya itu cukup menjanjikan untuk mendapatkan keuntungan besar. Dari
laporan pendahuluan yang dibuat geolog Belanda yang bernama Verbeek, batu yang
terdapat di Sawahlunto ini sangat besar. Dilihat dari jumlah yang ada maka
dapat diperkirakan cukup untuk memakmurkan 7 turunan. Sisi lain yang menarik
minat pemerintah kolonial Belanda adalah kualitas batu bara tidak kalah dengan
yang ada di wilayah lainnya di dunia sehingga bisnis ini sangat menjanjikan keuntungan
besar (Miko, 2006: 3).
Penambangan batubara skala kecil di Sumatera Barat
oleh penduduk setempat sudah dimulai pada paruh pertama abad ke-19, yaitu di
lembah Sungai Durian, daerah kekuasaan Raja Rambak. Pengusaha dari Eropa yang
akan menambang batubara di sana pada tahun 1880 harus mendapat izin dari
penguasa itu. penambangan berskala besar baru dimulai pada tahun 1892 di
Ombilin, Sumatera Barat. Ombilin menjadi pilihan pertama karena mutunya sangat
baik dan jarak ke tempat pengguna relatif tidak begitu jauh (Darmono, 2009: 69
–70).
Untuk melancarkan proses penambangan batu bara
pemerintah segera menyusun peraturan pertambangan. Jika sebelumnya izin
pertambangan diberikan oleh raja, sultan, pangeran atau penguasa setempat maka
setelah Belanda sebagai penguasa, izin tersebut diambil alih oleh Belanda.
Kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas bahan tambang mulai ditunjukkan ketika
pada tahun 1816 mendirikan perusahaan tambang timah di pulau Bangka, dan pada
tahun 1852 memberikan konsesi penambangan bijih timah di pulau Belitung kepada
perusahaan swasta Belanda. Karena belum ada undang-undang tambang, semua
perizinan penambangan, termasuk izin kerja perusahaan, didasarkan pada
Mijnreglement tahun 1850 (Darmono, 2009: 66).
Untuk melandasi semua kegiatan penambangan, Belanda
berusaha merumuskan sebuah undang-undang. Selain memberi arah, pemerintah
Hindia Belanda sadar akan perlunya dasar hukum yang dapat digunakan untuk
mencapai apa yang seharusnya dicapai oleh negara. Akan tetapi, negeri Belanda belum mempunyai undang-undang
pertambangan yang dapat dipakai sebagai rujukan. Oleh karena itu mereka
berpaling kepada undang-undang tambang Prancis tahun 1810, yang untuk waktu itu
dinilai paling baik. Baru pada tahun 1899 dikeluarkan sebuah undang-undang yang
diberi nama Indische Mijnwet (Darmono, 2009: 66).
Indische Mijnwey beberapa kali mengalami perubahan dan
perbaikan, antara lain terjadi pada tahun 1910. Perubahan di bidang
pertambangan pada tahun itu berkisar dari ketentuan umum, yaitu pemilik tanah
dilarang memiliki hak atas bahan tambang di bawahnya; izin eksplorasi diberikan
oleh gubernur jenderal untuk jangka waktu tiga tahun; konsesi untuk jangka
waktu 75 tahun; dan pemegang konsesi wajib merundingkan ganti kerugian dengan
pemilik tanah. --. Dalam undang-undang itu ditetapkan pula dua jenis pajak,
yaitu pajak atas tanah yang digunakan sebesar fl 0,25 (Gulden Belanda) setiap hektar, dan pajak atas penghasilan
kotor sebesar 4 persen (Darmono, 2009: 66).
Jika
investasi di Jawa mayoritas pada sektor perkebunan (membentuk pabrik gula
misalnya) maka di Sumatera selain perkebunan tembakau berkembang investasi di
bidang pertambangan. Bentuk investasi Belanda ini adalah pendirian pabrik TBO
(cikal bakal PT Bukit Asam). Pembukaan tambang juga berdampak pada pengembangan
sarana dan prasarana yang mendukung, seperti alat transportasi, alat
komunikasi, perumahan, kesehatan dll.
Sebagai
sebuah pertambangan, bukan hanya proses menambang saja, tetapi dibutuhkan juga
sarana dan prasarana untuk mendukung proses penambangan seperti transportasi,
mesin, buruh, dan fasilitas buruh. Pengadaan berbagai sarana dan prasarana
pertambangan membawa perubahan, seperti penyediaan buruh yang didatangkan dari
berbagai daerah dengan berbagai cara. Buruh mayoritas didatangkan dari Jawa, Melayu,
dan Cina. Mereka terdiri dari berbagai status, antara lain buruh paksa, buruh
kontrak dan buruh bebas. Dengan mempekerjakan buruh berarti perlu juga
membangun fasilitas lain seperti makanan, perumahan, dan sarana kesehatan.
Dalam
proses pelaksanaan penambangan batu bara yang dibutuhkan peralatan dan
bahan-bahan pembantu sepeti yang dikutip dari Zubir.
Zubir (2006: 117): dintaranya
adalah cangkul, parang, linggis, kayu, pasir, keranjang, dan penerangan, serta
pendeteksi gas beracun. Setiap alat mempunyai fungsi penting dalam proses
penggalian. Sebagai contoh, cangkul dan linggis berfungsi untuk menggali batu
bara, pasir berfungsi menimbun lubang-lubang batu bara yang telah digali,
keranjang berfungsi untuk mengangkut batu bara dari dalam lubang keluar lubang.
Alat yang terpenting lainnya yang harus terdapat dalam lubang penggalian adalah
pendeteksi gas beracun”.
Batu bara dilihat Belanda sebagai sumber ekonomi baru
yang dapat menghasilkan keuntungan lebih banyak dari pada sektor perkebunan.
Namun langkah untuk mengeksploitasi batu bara tersebut tidak mudah. Banyak
tantangan yang dihadapi pemerintah Belanda. Selain masalah tenaga kerja,
tantangan lain berupa dana dan pembebasan tanah. Belum lagi tantangan berupa
konflik yang terjadi di kalangan buruh saat berlangsungnya penambangan.
Selain dari segi kuantitas, kualitas tenaga kerja di
Minangkabau dinilai tidak cocok untuk bekerja di pertambangan. Fisik mereka
terlalu lemah. Minat kerja di pertambangan kurang karena mereka lebih memilih
untuk bekerja di sawah dan keinginan atau tradisi untuk merantau. Hal lain yang
sedikit membedakan penjajahan di Minangkabu dengan daerah lain adalah
keterlibatan penduduk dengan perdagangan. Karena mereka mempunyai tradisi
merantau maka mereka setidaknya tahu tentang arti pentingnya uang.
Masalah pendanaan, berkaitan dengan keadaan ekonomi
pemerintah kolonial masa itu. Pasca
perang Napoleon dan perang dengan Belgia yang memisahkan diri dari Belanda
telah menguras kas pemerintah. Belum lagi kerugian yang terjadi akibat penyelundupan
kopi. Bersamaan dengan itu terjadi semacam perdagangan bebas, sehingga mau
tidak mau pemerintah menerapkan kebijakan Open
Door Policy. Kebijakan tersebut diterapkan dengan menawarkan pada pihak
swasta untuk menanamkan modalnya pada tambang batu bara Ombilin.
Sejak awal ditemukannya batu bara Ombilin, pemerintah
berkeinginan agar pihak swasta yang mengerjakannya. Pemerintah hanya
berkeinginan mendapatkan berbagai pajak dari hasil tambang itu. Hal itu terbukti ketika diadakannya penawaran
pertama pada 1883. Dalam penawaran untuk mengerjakan tambang itu, pemerintah
telah melakukan tender secara terbuka kepada pihak swasta untuk mengelola
tambang batu bara Ombilin. Namun tender tersebut gagal meskipun pihak swasta
tertarik. Setelah tender yang kedua tahun 1886 dan mengalami kegagalan lagi,
pemerintah memutuskan untuk mengelola tambang itu sendiri.
Tantangan yang kedua adalah pembangunan sarana dan
prasarana. Untuk mengangkut batu bara dari tambang sarana yang paling efisien adalah kereta api (lori). Namun
karena medan Minangkabau, Ombilin khususnya masih mengalami kesulitan.
Mengingat medan yang berliku dan berbukit. Selain medan, jalur transportasi
yang jauh dan melewati sungai, bukan jalan darat merupakan tantangan yang harus
dihadapi oleh pemerintah Belanda.
Selama
kurun waktu 1918 – 1941 perkembangan produksi batu bara yang diusahakan oleh
tambang rakyat menunjukkan kecenderungan yang relatif stabil, yaitu berkisar
antara 24 – 60 ribu ton. Sementara itu, perkembangan produksi batubara yang
berasal dari perusahaan Belanda (dan atau Eropa lainnya) pada kurun tahun 1918
– 1929 menunjukkan peningkatan anak yang cukup drastis, yaitu dari sekitar 275
ribu ton pada tahun 1918 menjadi sekitar 892 ribu ton pada tahun 1929. Akan
tetapi pada tahun berikutnya terjadi penurunan yang cukup tajam, yang pada
tahun 1936 menjadi sekitar 408 ribu ton. Mulai tahun 1937 sampai tahun 1941
meningkat kembali dan tercatat pada tahun 1941 produksi batubara ini sebesar
627 ribu ton. Secara keseluruhan di Hindia Belanda, dalam kurun waktu 1918 –
1930 produksi batubara menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Akan tetapi
mulai tahun 1931, produksi batubara ini terus menerus menurun dan pada tahun
berikutnya meningkat lagi sampai tahun 1941 sekitar dua juta ton (Darmono,
2009: 71).
2.3 Keadaan Tenaga Kerja Batu
Bara Ombilin Sawahlunto 1837 – 1900
Dari
beberapa bahan tambang, batu bara merupakan salah satu yang terpenting.
Penemuan batu bara oleh W.H van Greve, seorang Belanda pada tahun 1868 di
Ombilin, Sawahlunto membawa perubahan yang cukup besar bagi bidang ekonomi dan
sosial. Masalah investasi dan buruh tambang batu bara sebagai salah satu dampak
dari opendoor policy (Undang-undang
Agraria 1870). Pembukaan tambang batu bara berarti membuka kesempatan untuk
bekerja sebagai buruh tambang.
Gambar 1. Kondisi di pertambangan batu bara Ombilin
Sumber: KITLV
Sejak
ditemukannya batu bara Ombilin oleh Greve tahun 1868, menjadi cikal bakal
masuknya pemerintah Belanda dalam bisnis tambang batu bara. Keinginan
pemerintah kolonial Belanda itu dengan pemikiran dasar bahwa kandungan batu
bara yang terdapat di Sawahlunto itu sangat besar. Memang jika dilihat dari
jumlah batu bara yang terdapat di wilayah Sawahlunto, sesungguhnya itu cukup
menjanjikan untuk mendapatkan keuntungan besar. Dari laporan pendahuluan yang
dibuat geolog Belanda yang bernama Verbeek, batu yang terdapat di Sawahlunto
ini sangat besar. Dilihat dari jumlah yang ada maka dapat diperkirakan cukup
untuk memakmurkan 7 turunan. Sisi lain yang menarik minat pemerintah kolonial
Belanda adalah kualitas batu bara tidak kalah dengan yang ada di wilayah
lainnya di dunia sehingga bisnis ini sangat menjanjikan keuntungan besar (Miko,
2006: 3).
Sebelum
adanya buruh tambang, di Minangkabau ini sudah ada pelaksanaan tanam paksa
maupun buruh, tetapi buruh di bidang perkebunan.Mayoritas lahan yang dijadikan
perkebunan adalah daerah pesisir dengan komoditi andalan kopi. Sebelum
kedatangan Belanda (dan pemberlakuan rodi kopi), perkebunan yang ada di Minangkabau
adalah perkebunan yang dikelola sendiri. Hasil perkebunan berupa pisang,
kelapa, dan umbi-umbian.
Cultuurstelsel memang
tidak hanya terjadi di Jawa saja, melainkan di Sumatera termasuk Minangkabau.
Setelah Belanda menemukan kecocokan kondisi alam yang mendukung untuk
perkebunan kopi, cultuurstelsel mulai
diterapkan. Sepertihalnya di Jawa, cultuurstelsel
di Minangkabau ini juga bersifat patron
client. Kelancaran cultuurstelsel ini berkat kerjasama antara penghulu
dengan pemerintah kolonial.
Perkebunan
kopi sebagai sumber ekonomi utama tidak selamanya menguntungkan. Kerugian bagi
Belanda karena banyak kopi yang diselundupkan ke Singapura dan penanaman kopi
di daerah pedalaman yang kondisinya tidak cocok menyebabkan terjadi penurunan
produksi kopi. Namun setelah penemuan batubara di Ombilin sawahlunto membuka
kemungkinan penigkatan sumber ekonomi bagi Belanda. Sebagai dampak
undang-undang agraria 1870 pula di Minangkabau terbuka pekerjaan baru, bukan
lagi buruh perkebunan melainkan buruh tambang.
Jika
investasi di Jawa mayoritas pada sektor perkebunan (membentuk pabrik gula
misalnya) maka di Sumatera berkembang investasi di bidang pertambangan. Bentuk
investasi Belanda ini adalah pendirian pabrik TBO (cikal bakal PT Bukit Asam).
Pembukaan tambang juga berdampak pada pengembangan sarana dan prasarana yang
mendukung, seperti alat transportasi, alat komunikasi, perumahan, kesehatan
dll.
Gambar 2. Sarana transportasi di pertambangan batu bara
Sumber: KITLV
Investasi
tidak hanya di Pulau Jawa saja namun juga merambah pulau Sumatera. Bila
investasi di Jawa memerlukan proses-proses panjang dalam mentransportasikan
petani menjadi buruh karena struktur feodal kerajaan menjadi struktur birokasi
kolonial. Hal ini tidak terjadi dalam pembukaan Sumatera Timur. Hal berbeda
yang berkembang di Sumatera Timur adalah perkebunan-perkebunan tembakau
dibangun mulai tahun 1863 di daerah Deli oleh Jacobus Nienhuys, Mendatangkan
buruh-buruh dari luar wilayah tersebut, seperti
dari semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura), Pulau Jawa (Cahyono,
1998: 112).
Tidak
seperti di Jawa, investasi di bidang tambang di Ombilin, Sumatera ini selain
terkendala oleh dana yang digunakan untuk pembukaan tambang dan yang paling
penting adalah tenaga kerja (buruh). Tentu saja buruh pribumi di mingkabau
tidak mencukupi untuk keseluruhan tenaga kerja di pertambangan. Solusinya
adalah mendatangkan buruh dari Jawa, maupun dari Cina.
Seperti
halnya yang terjadi dalam kolonialisasi, struktur kekuasaan di dominasi oleh
orang Belanda.Struktur buruh didominasi oleh orang Belanda, Indo (keturunan),
kemudian pribumi yang dibagi menjadi buruh bebas, buruh kontrak, dan buruh
paksa. Klasifikasi buruh ditinjau dari aspek etnik terdiri dari bangsa eropa,
dan etnik pribumi. Orang eropa yang mayoritas adalah orang Belanda menduduki
posisi yang strategis, sedangkan orang pribumi sebagai bawahan.
Seperti
yang dijelaskan di atas, sebagai dampak dari undang-undang agraria dan ponale
sanctie, klasifikasi buruh juga ditetapkan berdasarkan kontrak. Klasifikasi
dalam usaha ini tidak hanya berlaku pada pembedaan kalangan eropa dan pribumi
berdasarkan kekuasaan saja tetapi juga dalam jajaran buruh kontrak itu.
perbedaan dalam kesetaran antar buruh kontrak yang berbeda-beda meliputi
fasilitas kesehatan, upah, maupun dari aspek social seperti hak asasi.
Mereka
diikat dengan kontrak dan kontrak tersebut tidak dapat diakhiri oleh sang
buruh. Bila buruh berusaha melarikan
diri dari tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal sebagai
poenale sanctie yaitu suatu hukuman yang dalam ukuran sejaman pun sangat kejam
yaitu dapat berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga dibunuh seperti
Jacobus Nienhuys pemilik Deli Maatschappij yang menghukum cambuk 7 buruhnya
hingga mati (Cahyono, 1998: 113).
Klasifikasi
pertama dalam tingkatan buruh adalah buruh paksa. Buruh paksa ini adalah
orang-orang yang dihukum (seperti tahanan). Buruh paksa sudah mulai digunakan
sejak tahun 1860-an. Tugas kelompok buruh ini adalah membangun jalan kereta api
maupun jalan biasa. Pada awalnya mereka tidak ada kontrak dengan pihak
pertambangan. Buruh paksa dianggap sebagai golongan buruh yang paling bawah,
menderita. Dari segi pakaian, beban kerja, dan upah yang diterima tidak sesuai
dengan pekerjaan yang dilakukan (Zubir, 2006: 161).
Buruh
kontrak dianggap kelompok buruh yang sedikit lebih baik nasibnya daripada buruh
paksa. Buruh kontrak ini didatangkan dari luar Minangkabau. Kebanyakan buruh
kontrak berasal dari Jawa dan orang Cina. Perhatian yang lebih baik diperoleh
buruh kontrak seperti gaji sebesar 35 sen, fasilitas kesehatan, pakaian dan
gizi. Sistem kontrak buruh ini biasanya 2-3 tahun, namun bisa diperpanjang.
Namun dalam prakteknya terdapat pelanggaran yaitu kontrak bisa lebih lama
bahkan sampai ke anak cucunya. Mendatangkan buruh kontrak dari luar Minangkabau
bagi pihak pertambangan juga memunculkan masalah tersendiri terutam amasalah dana. Dibutuhkan
dana yang besar untuk transportasi, gaji maupun pemenuhan fasilitas kesehatan
(Zubir, 2006: 163-165).
Gambar 3. Kamp buruh di Ombilin, salah satu penyebab konflik buruh
Sumber: KITLV
Klasifikasi
ketiga adalah kelompok buruh bebas. Kelompok ini tidak memiliki ikatan kontrak
dengan pihak pertambangan. Kelompok ini biasanya adalah orang-orang dari
Minangkabau, dari golongan miskin. Bekerja di sektor tambang hanya digunakan
sebagai pekerjaan sambilan. Mereka tidak ingin terikat kontrak namun mereka
melihat bahwa pekerjaan ini bisa digunakan sebagai lowongan pekerjaan baru.
(Zubir, 2006:166).
3. PENUTUP
Kedatangan
Belanda ke Minangkabau memang telah memberikan perubahan di banyak bidang
kehidupan masyarakat Minang. Perubahan di bidang politik yang berkaitan dengan
ekonomi berupa pengalihan kekuasaan pemberian izin penambangan dari sultan,
raja, ataupun penguasa setempat ke tangan Belanda. Hal itu memudahkan Belanda
untuk menguasai dan mengatur penambangan di wilayah jajahannya. Akhirnya
Belanda merumuskan undang-undang tambang, Indische Mijnwet.
Penambangan batu bara Ombilin, Sawahlunto memberikan
keuntungan yang besar bagi pihak Belanda. Dengan cadangan batu bara yang banyak
jumlahnya dan tingginya tingkat permintaan, batu bara menjadi peluang bisnis
Belanda yang sangat menguntungkan. Namun tidak demikian bagi buruh yang bekerja
di pertambangan. Mereka dipaksa untuk terus bekerja dengan beban yang berat dan
upah yang sedikit.
Penambangan batu bara di Ombilin Sawahlunto menyajikan
kehidupan buruh tambang batu bara masa Belanda. Buruh tambang mendapat
perlakukan yang tidak baik. Walaupun pihak Belanda telah membangun sarana dan
prasarana bagi buruh seperti tempat tinggal dan tempat hiburan namun semua itu
tidak bisa dinikmati oleh semua buruh. Buruh di pertambangan batu bara Ombilin
terdiri dari tiga kelompok, yaitu buruh kontrak, buruh paksa dan buruh bebas.
Asing-masih kelompok buruh memperoleh perlakuan yang berbeda-beda. Hal itu pula
yang akhirnya memicu konflik antar buruh.
DAFTAR RUJUKAN
Cahyono, E . 1998. Gerakan Serikat
Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda
Hingga Orde Baru. Jakarta: Hastamitra
Darmono, D. 2009. Sejarah Pertambangan-Pertambangan di
Indonesia. Jakarta:
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Mansoer, M. D. dkk.
Tanpa tahun. Sedjarah Minangkabau.
______: Barata.
Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatera. Depok: Komunitas
Bambu.
Miko, A. (ed). 2006. Dinamika kota tambang Sawahlunto: Dari
Ekonomi Kapital
ke Ekonomi Rakyat. Padang: Andalas University Pres.
Ronidin. 2006. Minangkabau di Mata Anak Muda. Padang:
Andalas University
Press.
Zubir. Z. 2006. Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai:
Eksploitasi Buruh
Tambang Batu Bara Ombilin oleh Kolonial Belanda 1891-1927. Padang:
Andalas
University.
Internet
KITLV Pictura. Diakses
23 November 2013.
No comments:
Post a Comment