SISTEM TANAM PAKSA
(CULTUURSTELSEL): PERKEBUNAN KOPI DI SUMATERA BARAT TAHUN 1847-1908
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
yang
dibina oleh Bapak Drs. Hariyono, M.Hum.
dan
Ibu Indah W.P Utami, S.Pd, S.Hum, M.Pd.
Oleh:
Dyah
Mei Astuti
110731435519
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Selama lebih dari satu abad,
perkebunan merupakan aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia
pada masa penjajahan (Booth, 1988: 197). Namun sebenarnya, sebelum perkebunan
milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di Indonesia usaha perkebunan
ekspor sudah mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 dimana pada waktu itu terjadi
perubahan pola perdagangan pasar dunia yang disertai dengan pelayaran orang
Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara dimana
hal itu kemudian menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis
komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. seperti misalnya di Banten,
pembukaan perkebunan tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung
barat pulau Jawa akan tetapi juga merambat ke daerah kekuasaan lainnya seperti
di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat
Sunda.
Pada abad 17 datang perusahaan
dagang Barat terutama seperti Inggris dan Belanda yang memperluas usaha
perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan
Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal
maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan
oleh perusahaan dagang Barat. Tujuan tanpa malu-malu dari jajahan ini adalah
demi kepentingan negeri Belanda; cara pemeliharaan kepentingan tersebut yang
terbaik menurut anggapan adalah dengan menghasilkan surplus ekspor; surolus
ekspor dengan sangat mudsh dan secara konsisten dicapai di kepulauan nusantara
ini dengan produksi komoditi-komoditi pertanian untuk pasaran dunia; dan sistem
perkebunan ternyata merupakan cara merupakan cara yang sangat efektif untuk
menghasilkan komoditi-komoditi pertanian yang sangat diinginkan itu (Booth,
1988: 197).
Memasuki abad ke-19, sebuah
perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Pola
pengorganisasiannya, penentuan jenis tanaman, serta lokasi penanaman, sangat
berubah selama kurun waktu 1830-1940; tetapi industri perkebunan sebagai
keseluruhan tetap merupakan dasar utama perekonomian Indonesia (Booth, 1847 –
1908). Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pada
waktu itu pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha
memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah,
dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi
ekspor, terutama seperti kopi, tembakau, nila, dan gula.
Sejarah Indonesia sejak masa
kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena
sektor perkebunan memiliki arti dan peranan yang sangat penting dalam
pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah
di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada masa kolonial disatu sisi dianggap
sebagai sarana menghubungkan Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan
finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru. Akan tetapi pada
sisi yang lain perkembangan perkebunan dianggap pula sebagai kendala bagi
diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta
salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural seperti yang
terjadi dalam sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh Belanda terhadap penduduk
Indonesia. Sistem Tanam Paksa tersebut tidak hanya dilakukan di Jawa, namun
juga dilakukan di Sumatera Barat. Perkebunan yang berkembang di Sumatera Barat
tersebut adalah perkebunan kopi yang berlangsung dari tahun 1847-1908. Sistem
tersebut pada awalnya mencapai keberhasilan akan tetapi kemudian mengalami
kegagalan. Dari uraian diatas maka penulis mengambil judul “Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Perkebunan Kopi di Sumatera Barat
tahun 1847-1908”. Disini penulis ingin menjelaskan secara lebih mendalam
mengenai sejarah tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat beserta
perkembangan sampai berakhirnya tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera
Barat tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimana sejarah terjadinya Sistem
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia?
2.
Bagaimana sejarah perkebunan kopi di
Sumatera Barat pada masa Cultuurstelsel?
3.
Bagaimana perkembangan sampai berakhirnya
Tanam Paksa pada perkebunan kopi di Sumatra Barat?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini
diuraikan sebagai berikut.
1.
Mengetahui sejarah terjadinya Sistem
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia.
2.
Mengetahui sejarah perkebunan kopi di Sumatera
Barat pada masa Cultuurstelsel.
3.
Mengetahui perkembangan sampai berakhirnya
Tanam Paksa pada perkebunan kopi di Sumatra Barat?
1.4 Metode
1.
Ruang
Lingkup
a. Lingkup
Spasial : penulisan makalah ini hanya mencakup satu wilayah yakni di daerah
Sumatera Barat. Hal ini dikarenakan penulis ingin fokus mengetahui tentang
sejarah perkebunan kopi yang terjadi di Sumatera Barat pada masa sistem tanam
paksa.
b. Lingkup
Temporal : penulisan dipusatkan pada kisaran tahun 1847-1908.
Hal ini dikarenakan mulai tahun 1847 itulah pemerintah Belanda mulai menerapkan
sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat dan tanam paksa di
Sumatera Barat itu berakhir pada tahun 1908.
c. Lingkup
kajian : peneliti lebih memfokuskan pada sistem tanam paksa pada perkebunan
kopi di Sumatera Barat dimana dalam penulisan ini akan dipaparkan mulai dari
sejarah munculnya, keberhasilan, sampai pada kegagalan atau berakhirnya sistem
tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat.
2.
Jenis
Penelitian
Penulisan karya tulis ini menggunakan metode
penelitian sejarah (history research).
Menurut Abdurrahman (1999: 43) yang menyatakan bahwa metode sejarah adalah penyelidikan
atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahan dalam suatu
penyelidikan dari perspektif historis. Dalam metode sejarah dikenal lima
tahap, yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik
sumber, interpretasi, dan historiografi dimana masing-masing akan diuraikan
seperti dibawah ini:
1.
Pemilihan
Topik
Langkah awal dalam penyusunan karya
ilmiah vadalah pemilihan topik. Topik penelitian adalah masalah atau objek yang
harus dipecahkan atau diatasi melalui penelitian ilmiah (Abdurrahman, 1999:
44). Topik yang diambil penulis adalah tanam paksa pada perkebunan kopi di
Sumatera Barat. Alasan penulis memilih topik ini karena adanya kedekatan
emosional. Kedekatan emosional penulis dengan apa yang akan dikaji dalam
penulisan ini sudah sesuai karena penulis memang tertarik dengan pembahasan
mengenai sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat. Sedangkan
alasan lain penulis memilih topik ini adalah karena didasarkan pada kedekatan intelektual karena sepengetahuan
dari penulis sendiri topik ini masih jarang penulis yang pernah menulis dalam bentuk
karya ilmiah sehingga penulis tertarik untuk meneliti serta mengetahui lebih
lanjut mengenai sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat.
2.
Heuristik
Setelah
memilih topik serta merumuskan masalah yang akan ditulis, maka selanjutnya
penulis akan melakukan pengumpulan data yang dalam penelitian sejarah biasa disebut
dengan heuristik. Heuristik sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan
sumber sebagai bahan dasar untuk menulis. Adapun sumber yang digunakan penulis
dalam penulisan ini yaitu:
·
Sumber
Sekunder
Dalam penyusunan karya tulis ini,
penulis menggunakan sumber sekunder dimana sumber tersebut bisa berupa
surat-surat dokumen, berita di koran yang terkait dengan topik yang
bersangkutan, majalah, artikel, karya tulis, catatan harian, buku yang
berkaitan dengan sejarah tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat.
Sehingga, penulis juga mempelajari sumber tertulis dari buku-buku yang berjudul
Sejarah Ekonomi Indonesi karya Anne Booth dimana dalam buku tersebut terdapat sub
bab yang membahas tentang perkebunan kopi di Sumatera Barat. Selain itu penulis
juga mempelajari buku yang berjudul Sumatra Barat Plakat Pajang karya Rusli
Amran yang di dalamnya juga membahas mengenai drama kopi di Sumatera Barat.
3.
Kritik
Sumber
Kritik atau verivikasi merupakan kemampuan
penulis dalam menilai sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan. Kritik
sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
a. Kritik
eksternal
Dilakukan
untuk mengetahui keautentikan suatu dokumen yang dapat dilihat melalui kenyataan
identitasnya, yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya
bahasanya (Kartodirdjo, 1992: 10).
b. Kritik
Internal
Kritik internal dilakukan untuk
menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen dimana pada kritik
internal ini kritik dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan
wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak
((Kartodirdjo, 1992: 10).
4.
Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta
sejarah dan merangkainya menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal.
Dari berbagai fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan
struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya
sesuai dengan fakta untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat
pemikiran yang sempit. Pada tahap ini, peneliti dituntut kecermatan dan sikap
objektif seorang sejarawan, terutama dalam hal interpretasi subjektif terhadap
fakta sejarah yang ditemukan oleh peneliti.
5.
Historiografi
Penulisan sejarah atau dalam sejarah
biasa disebut dengan historiografi merupakan tahap akhir dari keseluruhan
proses penulisan peristiwa sejarah. Pada proses penulisan, fakta satu
dihubungkan dengan fakta yang lainnya berdasarkan konsep pemikiran yang
sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi kausalitas
(sebab-akibat). Dalam proses penulisan ini, penguasaan sang sejarawan atas
teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi mutu karya yang
dihasilkannya (Pradjoko dkk, 2008: 9-10).
II.
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) di Indonesia
Akibat dari
perang koalisi atau bisa juga disebut dengan Perang Napoleon di Eropa yang
terjadi pada awal abad ke-19 sehingga menyebabkan Belanda beserta tanah
jajahannya diserang oleh Perancis. Pulau Jawa pun akhirnya juga jatuh ke tangan
Inggris sehingga hal tersebut mengakibatkan perdagangan kolonial Belanda
mengalami kemacetan. Perdagangan Inggris yang disukung oleh industri yang
berkembang pesat dan dilindungi oleh angkatan lautnya yang sejak awal abad
ke-19 menguasai samudera raya, merupakan saingan yang tidak seimbang bagi
Belanda, sekalipun wilayahnya sejak 1815 telah diperluas dengan “Zuid
Nederland” (Belgia) yang industrinya lebih maju (Sa’ban, 1987: 137). Belanda
banyak menderita kerugian bahkan maskapai dagang Belanda yang didirikan pada
tahun 1824 untuk menandingi Inggris pun pada akhirnya juga mengalami kerugian
karena sediktinya hasil bumi di tanah jajahan serta harga hasil bumi pun juga
bersaing.
Selain akibat
dari Perang Napoleon, Perang Diponegoro yang berlangsung di Jawa Tengah serta
Perang Paderi yang terjadi di Sumatera Barat pun juga turut menghabiskan biaya
operasi militer yang sangat besar sehingga hal ini juga salah satu hal yang
menyebabkan keuangan kerajaan Belanda mengalami keterpurukan dalam
dasawarsa-dasawarsa pertama abad yang lalu. Hasil tanaman kopi yang diambil
secara paksa yang diterima kerajaan dari tanah jajahan serta penerimaan lainnya
pun juga tidak mampu menutup dan melunasi keuangan belanja/ pengeluaran
kolonial. Utang warisan VOC dan lebih-lebih pinjaman-pinjaman baru jangka
pendek untuk untuk Hindia Timur dengan bunga tinggi, sangat memberatkan
keuangan kerajaan dan kebangkrutan negara ada diambang pintu (Sa’ban, 1987:
137).
Dari kejadian
diatas maka pada tahun 1830 pemerintah Belanda pun mengambil jalan pintas untuk
dapat mengatasi kesulitan finansial yang sedang dihadapinya yakni dengan
membuat kebijakan baru yaitu dengan jalan melakukan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) pada penduduk jajahannya. Cultuurstelsel (tanam paksa/sistem
pembudidayaan) merupakan ide dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu
Johannes van den Bosch yang merupakan seorang Belanda yang memiliki pengalaman
mengurus perkebunan Belanda di Karibia. Cultuurstelsel bertujuan untuk
menghasilkan barang ekspor yang bisa dijual di pasaran Eropa. Barang ekspor yang
dimaksud antara lain tebu, kopi, dan nila. Dengan sistem baru tersebut mereka
diwajibkan menyerahkan hasil bumi mereka sebagai ganti pajak uang, itulah ciri
utama dari apa yang kemudian dikenal dengan nama Sistem Tanam Paksa atau Sistem
Kultur (Furnivall, 2009: 124). Tanam paksa (Cultuurstelsel) yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda terhadap penduduk Indonesia ini mempunyai banyak aturan yang
memberatkan penduduk Indonesia. aturan-aturan tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
- Menuntut
rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk tanam paksa
(cultuurstelsel) tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk
ditanami jenis tanaman perdagangan.
- Tanah
yang disediakan untuk cultuurstelsel tersebut bebas dari pajak, karena pemerintah
Belanda menganggap hasil tanamannya sebagai pembayaran pajak.
- Bagi
penduduk Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian untuk Cultuurstelsel
dapat menggantinya dengan cara bekerja di perkebunan atau di pabrik milik
pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
- Waktu
yang digunakan untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk
Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih tiga
bulan
- Jika
terjadi kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan
kepada rakyat.
- Kerugian
yang terjadi akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti
bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda.
Setelah tanam
paksa dilaksanakan, Belanda pun dengan cepat segera mendapatkan keuntungan
dimana pada 1831 pemerintah Belanda telah dapat menyeimbangkan neraca keuangan
serta pada tahun selanjutnya pemerintah Belanda juga mulai bisa melunasi
hutang-hutang yang ditimbun sejak masa VOC.
2.2 Sejarah perkebunan kopi di Sumatera
Barat pada masa Cultuurstelsel
Sebelumnya Van
den Bosch tidak berfikir untuk melakukan tanam paksa (Cuulturstelsel) di luar
Jawa. Hal ini dikarenakan Van de Bosch beranggapan bahwasanya provinsi-provinsi
di luar Jawa mempunyai penduduk yang sedikit dan tidak sebanyak di Jawa
sehingga apabila ia melakukan Tanam Paksa di luar Jawa, maka ia pasti tidak
akan memperoleh keuntungan yang banyak. Dari alasan tersebut maka Van de Bosch
sengaja mengabaikan wilayah penduduk dari luar pulau Jawa serta tetap
memfokuskan atau berkonsentras pada administrasi intensif di Pulau Jawa. Namun
ternyata Van de Bosch memberikan pengecualian bagi provinsi di luar Jawa yang
diantaranya adalah Banda, Bangka, dan Sumatra karena Van de Bosch mengetahui
jika di Banda banyak menghasilkan pala, di Bangka banyak menghasilkan timah dan
di Sumatera ia juga mencoba untuk memperkenalkan sistem tanam paksa. Tetapi
waktu itu perang Padari sedang hebat-hebatnya, dan Belanda belum bisa
mendiktekan kehendaknya begitu saja (Amran, 1985: 91-92). Namun keadaan pun berubah
setelah Perang Padari berhasil dimenangkan oleh Belanda. Tapi barulah pada 1847
kondisi menjadi cukup tenang untuk memungkinkan pemaksaan suplai kopi
(Furnivall, 2009: 190).
Pada tahun 1947
akhirnya penanaman dan penyerahan kopi secara paksa telah berhasil dilembagakan
oleh Belanda. Johannes van den Bosch, arsitek utama sistem tanam paksa di Pulau
Jawa, berkunjung ke Sumatera Barat pada tahun 1833 dengan tujuan mengatur hasil
bumi di Sumatera Barat, demi keuntungan Kerajaan Belanda (Booth, 1988: 139). Ia
banyak memberikan saran mengenai cara agar memperoleh keuntungan yang banyak
dari perdagangan kopi di Minangkabau akan tetapi rencana ini pada awalnya
mengalami kegagalan namun pada tahun 1847 ia akhirnya berhasil melancarkan
sistemnya tersebut. Yang menjadi faktor utama Belanda menguasai daerah tersebut
adalah karena dilihat dari banyaknya perdagangan kopi yang berasal dari daerah
tersebut.
Agar Belanda
mencapai tujuan politik dan ekonominya, maka Belanda harus mematahkan pengaruh
dari pemimpin gerakan Paderi yang pada saat itu mempunyai kemampuan yang sangat
besar dalam memobilitir perlawanan rakyat Minangkabau terhadap
tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya, setelah
Belanda berhasil menaklukkan kaum Paderi, langkah yang dilakukan Belanda
selanutnya adalah melakukan kerjasama dengan pemuka-pemuka lokal yang paham dan
mengerti tentang pengaturan tanah dan buruh. Kerjasama ini dimaksudkan tidak
lain adalah untuk kepentingan Belanda. Sehingga dapat dikatakan secara politis,
pihak Belanda tidak mempunyai pilihan lain selain menjalankan pemerintahannya
secara tidak langsung yaitu melalui kepala adat turun-temurun (penghulu).
Selain keadaan yang menyulitkan Belanda ini, pada saat itu kekuasaan agama yang
berlaku di daerah tersebut masih tetap saja berlaku. Kontradiksi yang
senantiasa terdapat sejak semula dalam usaha Belanda mengatur penanaman dan
penjualan kopi, terletak pada kebutuhan politiknya yang mengandalkan sekelompok
tokoh penghulu, yang tidak mau atau tidak dapat secara efektif memenuhi
tuntutan-tuntutan ekonomi pemerintah Belanda (Booth, 1988: 142).
2.3 Perkembangan sampai Berakhirnya
Tanam Paksa pada Perkebunan Kopi di Sumatra Barat
Setelah tahun
1947, penerimaan serta penjualan kopi yang dilakukan oleh pemerintah telah mampu
menutup pengeluaran setempat serta memberi sumbangan yang besar terhadap
kekayaan pemerintah kolonial Belanda. Belanda mengatakan jika kopi merupakan
hasil panen rakyat namun tujuan utama dari penanaman secara Tanam Paksa itu
bukanlah demi keuntungan rakyat. Belanda menetapkan harga penjualan kopi yang
memungkinkan setiap rakyat Minangkabau menambah uang masuknya dengan cara
memperluas tanah garapannya serta menambah jumlah pekerja khusus. Belanda juga
mengambil alih perkebunan kopi tersebut dengan cara memaksa rakyat setempat
yang semula bergerak dalam bidang perdagangan kopi untuk selanjutnya dipaksa
agar melakukan kegiatan lain yang kurang menguntungkan.
Hubungan yang
terjadi antara pemerintah Belanda dengan petani Minangkabau ini sangat penting
dalam sistem tanam paksa yang ada di Sumatera Barat ini. Para pemimpin agama di
daerah Sumatera Barat ini tidak terpengaruh sama sekali dengan penanaman kopi
tersebut, sedangkan para penghulu yang menjadi kepala suku dimana mereka oleh
pemerintah Belanda diharapkan bisa mengatur kegiatan yang lebih tinggi, namun
para penghulu tersebut justru merasa jika kedudukan mereka terjepit karena
hubungan mereka dengan sistem tersebut. Terjepit disini maksudnya dikarenakan
apabila penghulu berurusan dengan dunia luar maka penghulu tersebut harus
membela kepentingan anggota suku mereka. akan tetapi disisi lain, Belanda telah
memberikan dukungan politik baik materi maupun moral dan juga merayu para
penghulu tersebut dengan tujuan agar sistem tanam paksa berjalan dengan lancar.
Dari uraian
tersebut maka dapat dikatakan bahwasanya sistem tanam paksa telah membawa
banyak dampak dan perubahan besar di Sumatera Barat. Perubahan tersebut
diantaranya seperti pada lingkungan dimana hutan-hutan yang luas berubah
menjadi perkebunan kopi. Selain itu, alokasi tugas pada setiap rumah tangga pun
ikut diubah dengan maksud untuk memberi kesempatan bekerja langsung dalam
kaitannya dengan produksi kopi. Para
pemuka sekuler pun pada sistem tanam paksa ini merasa terpojokkan ke dalam
kedudukan yang berbahaya. Pada masa sistem tanam paksa di Sumatera Barat ini
hampir sama sekali tidak terjadi perlawanan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Selama 20 tahun
pertama, sesudah sistem tanam paksa mulai dijalankan di Sumatera Barat, ia
mengalami sukses yang cukup besar (Booth, 1988: 153). Sebagian uang hasil
penjualan kopi dibagikan kepada para petani dan jumlah yang lebih besar lagi
diserahkan kepada pemerintah. Suksesnya tanam paksa pada dasawarsa awal
tersebut disebabkan oleh wajarnya harga kopi yang ditetapkan, kebutuhan akan
pekerja sedikit yang kemudian menghasilkan keuntungan yang besar bagi pihak
Belanda, dan ekonomi di Sumatera Barat pada waktu itu dimana jiwa berdagang
telah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Minangkabau.
Pada periode
yang sistem tanam paksa yang terjadi di Sumatera Barat, pembelian kopi telah
mengalami peningkatan dari yang semula 58.000 pikul (3,5 juta kg) setahun pada
tahun 1864 meningkat sampai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg). Namun,
dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara
dahsyat, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini (Booth,
1988: 157). Menurunnya produksi kopi ini disebabkan oleh beberapa faktor yang
diantaranya adalah sebagai berikut:
·
Berkurangnya tanah yang baik untuk
penanaman kopi di Sumatera Barat. Keadaan ini mulai terjadi sejak tahun-tahun
1850-an. Dengan berkurangnya tanah yang baik di lahan yang lama, maka
diperlukan pembuatan perkebunan kopi baru di tanah yang baru dimana hal
tersebut harus dimulai dari awal lagi seperti membuka hutan, menanam dan
memetik sehingga secara otomatis juga akan menambah pekerja. Kebun baru
tersebut juga berjarak jauh dari pusat sehingga kesulitan serta mahalnya biaya
transportasi juga menjadi masalah baru.
·
Sekitar tahun 1870-an mulai tumbuh
penyakit daun yang menyerang pohon-pohon kopi tersebut yang kemudian
memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi tersebut. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka pemerintah Belanda menanami kopi di daerah yang
berketinggian diatas 1000 meter dengan tujuan agar tidak gampang terjangkit
penyakit tanaman tersebut. Selain itu, di daerah-daerah perkebunan baru mereka
juga menanam kopi jenis Liberica karena jenis kopi ini tahan terhadap hama.
Dengan menanam di daerah yang lebih tinggi dan menanam jenis kopi baru yang
tahan terhadap hama tersebut maka pemerintah Belanda sudah pasti mebutuhkan
pekerja yang lebih banyak. Hal ini tentunya juga kan merugikan pihak Belanda.
·
Pemerintah Belanda terlibat peperangan
yang panjang, mahal serta sengit. Peperangan ini terjadi sesudah tahun 1873 di
Aceh. Karena perlawanan orang Aceh kuat dan dibakar oleh sentimen agama Islam,
kemauan dan kemampuan orang Belanda untuk menggunakan kekerasan untuk
menggunakan kekerasan untuk mengubah sikap orang Minangkabau dengan paksa lebih
terbatas lagi daripada seperempat abad sebelumnya (Booth, 1988: 159).
Adapun usaha
pemerintah Belanda untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya yaitu seperti
pada tahun 1875-1876 inspektur Ples yang merupakan seorang ahli pertanian yang berpengalaman datang dari Jawa untuk
mengunjungi Sumatera Barat memberikan garis-garis besar untuk membangun
produksi kopi secara ilmiah serta untuk membudidayakan kopi secara intensif.
Ples menganjurkan agar industri kopi menerapkan sebuah cara yang ternyata
justru merusak yaitu pohon-pohon pelindung yang sebenarnya digunakan untuk
pelindung pohon-pohon kopi yang masih muda ternyata malah merusak. Ia ternyata
tidak paham mengenai kekhususan tanah di pegunungan daerah tersebut.
Selanjutnya, sepuluh tahun setelah kedatangan inspektur Ples Sumatera Barat
kedatangan lagi rombongan penyelidik yang menyalahkan semua usulan yang
diusulkan oleh ahli sebelumnya. Namun belum sempat hasil dari rombongan ini
diterapkan, namun pada tahun 1888 sudah lebih dulu dibentuk lagi Panitia Negara
yang diketuai oleh Canne yang merupakan mantan Gubernur Sumatera Barat. Adapun
ususl-usul yang diberikan oleh Panitia Negara tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut (Amran, 1985: 107-108):
1. Mengakui
bahwa kesalahan terletak pada para ahli Belanda sendiri yang sok pintar dan
ingin mengatur semua.
2. Agar
rakyat tetap dipaksa menanam kopi tetapi bebas mencari sendiri tanah yang cocok
untuk itu dan bebas memakai cara-cara terbaik menanam maupun merawat pohon
kopi.
3. Serah
paksa tetap dipertahankan, tetapi harga beli dinaikkan dari 15 menjadi 25
gulden.
4. Kerugian
yang diderita pemerintah karena menaikkan harga beli, harus ditutup dengan
pajak perorangan.
Suatu
penyelesaian khas Belanda dimana apabila pasal 4 tidak disertakan, maka
pemerintah Belanda akan mendapatkan untung seperti yang dijelaskan oleh
Kamerling yang merupakan Ketua Kamar Dagang. Penjelasan Kamerling tersebut
diantaranya yaitu:
“Taruhlah harga beli dinaikkan
menjadi 25 gulden, maka rakyat akan giat bekerja, sabotase hilang dan produksi
segera meningkat. Jika produksinya 10.000 pikul setahun, maka pemerintah harus
membeli dengan harga 2,5 juta gulden. Taruhlah harga jual hanya 60 gulden, maka
pemerintah mendapat 6 juta gulden. Masih dapat untung 6 – 2,5 = 3,5 juta.
Sekarang kalau harga beli tetap 15 gulden. Produksi tidak akan melebihi 25.000
pikul. Jadi, pemerintah membayar hanya 375.000. tetapi harga jual 25.000 x 60 =
1,5 juta, malah mendapat untung lebih banyak. Disamping itu, ekonomi rakyat
jauh lebih makmur”
Kemerling
telah lama tinggal disana dan dia menentang cara bekerja pemerintah tentang
kopi ini dengan alasan karena politik yang dijalankan oleh pemerintah tersebut
melesukan aktivitas ekonomi sehingga mengakibatkan dagang biasa maupun industri
tidak dapat berkembang dengan baik. Menurut Kamerling, sebab-sebab pokok
kemunduran budidaya kopi, ialah 1. Pembayaran pada rakyat yang terlalu rendah,
2. Terlalu banyak pegawai pemerintah ikut campur sedangkan mereka tidak
mengetahui apa-apa tetapi yang terpenting, 3. Rakyat sadar sekali bahwa apa
yang dikerjakan Belanda ialah menekan rakyat melalui budidaya kopi untuk
membayar pajak jauh lebih berat daripada pajak biassa yang dilarang oleh Plakat
Panjang (Amran, 1985: 108-109).
Namun
pada akhirnya pemerintah Belanda menolak usulan-usulan tersebut karena menurut
pemerintah, mereka melihat masalahnya dari sudut pandang pedagang dimana tujuan
pedagang tersebut ialah mempertinggi lalu lintas perdagangan dengan maksud agar
rakyat membeli lebih banyak. Tujuan pedagang ini ternyata tidak sama dengan
tujuan pemerintah. Pada tanggal 21 Februari 1891, keluarlah Penetapan Gubernur
Jenderal (Amran, 1985: 109). Dalam penetapan Gubernur Jenderal tersebut
ditegaskan bahwasanya budidaya kopi dengan tanam paksanya tetap dipertahankan dan
dilanjutkan. Namun, dalam mencari tanah, penanaman serta perawatan oleh
pemerintah Belanda diserahkan kepada
rakyat setempat yang diawasi oleh pejabat Belanda dan harga beli mengalami
sedikit peningkatan yakni menjadi 17, 50 gulden sedangkan pajak perorangan
hanya dikenakan pada daerah yang tidak menghasilkan kopi. Meskipun keputusan
tersebut telah dikeluarkan dan dijalankan, namun pada prakteknya produksi kopi
pun tetap menurun.
Pada
tahun 1908, akhirnya budidaya paksa kopi dihapuskan di Sumatera Barat karena
tidak ada artinya lagi diganti dengan pajak biasa (Amran, 1985: 109). Berbeda
dengan di Jawa dimana di Jawa Belanda mendapatkan keuntungan yang besar dan
melimpah ruah dari sistem tanam paksa tersebut, sedangkan di Sumatera Barat
upaya apa saja yang dilakukan Belanda tidak mendapatkan keuntungan seperti
harapan mereka.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akibat dari
Perang Napoleon, Perang Diponegoro yang berlangsung di Jawa Tengah serta Perang
Paderi yang terjadi di Sumatera Barat pun juga turut menghabiskan biaya operasi
militer yang sangat besar sehingga dari kejadian diatas maka pada tahun 1830
pemerintah Belanda pun mengambil jalan pintas untuk dapat mengatasi kesulitan
finansial yang sedang dihadapinya yakni dengan membuat kebijakan baru yaitu
dengan jalan melakukan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada penduduk jajahannya.
Tanam paksa tersebut tidak hanya dilakukan di Belanda namun Pada tahun 1947
akhirnya penanaman dan penyerahan kopi secara paksa di Sumatera Barat telah
berhasil dilembagakan oleh Belanda. Banyak kendala yang dihadapi oleh Belanda
pada saat melakukan Tanam Paksa di Sumatera Barat tersebut namun akhirnya
selama 20 tahun pertama, sesudah sistem tanam paksa mulai dijalankan di
Sumatera Barat ternyata mampu mengalami sukses yang cukup besar.
Namun, dalam
satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara
dahsyat, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Adapun
usaha pemerintah Belanda untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya yaitu
seperti pada tahun 1875-1876 inspektur Ples yang merupakan seorang ahli
pertanian yang berpengalaman datang dari
Jawa untuk mengunjungi Sumatera Barat memberikan garis-garis besar untuk
membangun produksi kopi secara ilmiah serta untuk membudidayakan kopi secara
intensif. Namun akhirnya pada tahun 1908, akhirnya budidaya paksa kopi
dihapuskan di Sumatera Barat karena tidak ada artinya lagi diganti dengan pajak
biasa.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdurrahman,
D. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu.
Amran,
Rusli. 1985. Sumatra Barat Plakat Pajang.
Jakarta: Sinar Harapan.
Booth, Anne dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi
Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Pradjoko, D dkk. 2008. Modul
I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1. Depok: Universitas Indonesia.
Sa’ban, R. 1987. Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa.
Jakarta: Yayasan Bina Artha.
No comments:
Post a Comment