Songs

Sunday, December 8, 2013

Dyah Mei



SISTEM TANAM PAKSA (CULTUURSTELSEL): PERKEBUNAN KOPI DI SUMATERA BARAT TAHUN 1847-1908
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Drs. Hariyono, M.Hum.
dan Ibu Indah W.P Utami, S.Pd, S.Hum, M.Pd.


Oleh:
Dyah Mei Astuti
110731435519



I.              PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Selama lebih dari satu abad, perkebunan merupakan aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa penjajahan (Booth, 1988: 197). Namun sebenarnya, sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di Indonesia usaha perkebunan ekspor sudah mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 dimana pada waktu itu terjadi perubahan pola perdagangan pasar dunia yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara dimana hal itu kemudian menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. seperti misalnya di Banten, pembukaan perkebunan tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa akan tetapi juga merambat ke daerah kekuasaan lainnya seperti di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.
Pada abad 17 datang perusahaan dagang Barat terutama seperti Inggris dan Belanda yang memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat. Tujuan tanpa malu-malu dari jajahan ini adalah demi kepentingan negeri Belanda; cara pemeliharaan kepentingan tersebut yang terbaik menurut anggapan adalah dengan menghasilkan surplus ekspor; surolus ekspor dengan sangat mudsh dan secara konsisten dicapai di kepulauan nusantara ini dengan produksi komoditi-komoditi pertanian untuk pasaran dunia; dan sistem perkebunan ternyata merupakan cara merupakan cara yang sangat efektif untuk menghasilkan komoditi-komoditi pertanian yang sangat diinginkan itu (Booth, 1988: 197).
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Pola pengorganisasiannya, penentuan jenis tanaman, serta lokasi penanaman, sangat berubah selama kurun waktu 1830-1940; tetapi industri perkebunan sebagai keseluruhan tetap merupakan dasar utama perekonomian Indonesia (Booth, 1847 – 1908). Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama seperti kopi, tembakau, nila, dan gula.
Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor perkebunan memiliki arti dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada masa kolonial disatu sisi dianggap sebagai sarana menghubungkan Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru. Akan tetapi pada sisi yang lain perkembangan perkebunan dianggap pula sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural seperti yang terjadi dalam sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh Belanda terhadap penduduk Indonesia. Sistem Tanam Paksa tersebut tidak hanya dilakukan di Jawa, namun juga dilakukan di Sumatera Barat. Perkebunan yang berkembang di Sumatera Barat tersebut adalah perkebunan kopi yang berlangsung dari tahun 1847-1908. Sistem tersebut pada awalnya mencapai keberhasilan akan tetapi kemudian mengalami kegagalan. Dari uraian diatas maka penulis mengambil judul “Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Perkebunan Kopi di Sumatera Barat tahun 1847-1908”. Disini penulis ingin menjelaskan secara lebih mendalam mengenai sejarah tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat beserta perkembangan sampai berakhirnya tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini dirumuskan sebagai berikut.
1.             Bagaimana sejarah terjadinya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia?
2.             Bagaimana sejarah perkebunan kopi di Sumatera Barat pada masa Cultuurstelsel?
3.             Bagaimana perkembangan sampai berakhirnya Tanam Paksa pada perkebunan kopi di Sumatra Barat?

1.3  Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini diuraikan sebagai berikut.
1.             Mengetahui sejarah terjadinya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia.
2.             Mengetahui sejarah perkebunan kopi di Sumatera Barat pada masa Cultuurstelsel.
3.             Mengetahui perkembangan sampai berakhirnya Tanam Paksa pada perkebunan kopi di Sumatra Barat?

1.4  Metode
1.    Ruang Lingkup
a.    Lingkup Spasial : penulisan makalah ini hanya mencakup satu wilayah yakni di daerah Sumatera Barat. Hal ini dikarenakan penulis ingin fokus mengetahui tentang sejarah perkebunan kopi yang terjadi di Sumatera Barat pada masa sistem tanam paksa.
b.    Lingkup Temporal : penulisan dipusatkan pada kisaran tahun 1847-1908. Hal ini dikarenakan mulai tahun 1847 itulah pemerintah Belanda mulai menerapkan sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat dan tanam paksa di Sumatera Barat itu berakhir pada tahun 1908.
c.    Lingkup kajian : peneliti lebih memfokuskan pada sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat dimana dalam penulisan ini akan dipaparkan mulai dari sejarah munculnya, keberhasilan, sampai pada kegagalan atau berakhirnya sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat.

2.    Jenis Penelitian
Penulisan karya tulis ini menggunakan metode penelitian sejarah (history research). Menurut Abdurrahman (1999: 43) yang menyatakan bahwa metode sejarah adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahan dalam suatu penyelidikan dari perspektif historis. Dalam metode sejarah dikenal lima tahap, yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi dimana masing-masing akan diuraikan seperti dibawah ini:

1.    Pemilihan Topik
          Langkah awal dalam penyusunan karya ilmiah vadalah pemilihan topik. Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus dipecahkan atau diatasi melalui penelitian ilmiah (Abdurrahman, 1999: 44). Topik yang diambil penulis adalah tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat. Alasan penulis memilih topik ini karena adanya kedekatan emosional. Kedekatan emosional penulis dengan apa yang akan dikaji dalam penulisan ini sudah sesuai karena penulis memang tertarik dengan pembahasan mengenai sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat. Sedangkan alasan lain penulis memilih topik ini adalah karena didasarkan pada  kedekatan intelektual karena sepengetahuan dari penulis sendiri topik ini masih jarang penulis yang pernah menulis dalam bentuk karya ilmiah sehingga penulis tertarik untuk meneliti serta mengetahui lebih lanjut mengenai sistem tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat.

2.    Heuristik
Setelah memilih topik serta merumuskan masalah yang akan ditulis, maka selanjutnya penulis akan melakukan pengumpulan data yang dalam penelitian sejarah biasa disebut dengan heuristik. Heuristik sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan sumber sebagai bahan dasar untuk menulis. Adapun sumber yang digunakan penulis dalam penulisan ini yaitu:
·      Sumber Sekunder
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis menggunakan sumber sekunder dimana sumber tersebut bisa berupa surat-surat dokumen, berita di koran yang terkait dengan topik yang bersangkutan, majalah, artikel, karya tulis, catatan harian, buku yang berkaitan dengan sejarah tanam paksa pada perkebunan kopi di Sumatera Barat. Sehingga, penulis juga mempelajari sumber tertulis dari buku-buku yang berjudul Sejarah Ekonomi Indonesi karya Anne Booth dimana dalam buku tersebut terdapat sub bab yang membahas tentang perkebunan kopi di Sumatera Barat. Selain itu penulis juga mempelajari buku yang berjudul Sumatra Barat Plakat Pajang karya Rusli Amran yang di dalamnya juga membahas mengenai drama kopi di Sumatera Barat.

3.    Kritik Sumber
Kritik atau verivikasi merupakan kemampuan penulis dalam menilai sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan. Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
a.    Kritik eksternal
Dilakukan untuk mengetahui keautentikan suatu dokumen yang dapat dilihat melalui kenyataan identitasnya, yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya (Kartodirdjo, 1992: 10).
b.    Kritik Internal
Kritik internal dilakukan untuk menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen dimana pada kritik internal ini kritik dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak ((Kartodirdjo, 1992: 10).

4.    Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkainya menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagai fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya sesuai dengan fakta untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit. Pada tahap ini, peneliti dituntut kecermatan dan sikap objektif seorang sejarawan, terutama dalam hal interpretasi subjektif terhadap fakta sejarah yang ditemukan oleh peneliti.
5.    Historiografi
Penulisan sejarah atau dalam sejarah biasa disebut dengan historiografi merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses penulisan peristiwa sejarah. Pada proses penulisan, fakta satu dihubungkan dengan fakta yang lainnya berdasarkan konsep pemikiran yang sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi kausalitas (sebab-akibat). Dalam proses penulisan ini, penguasaan sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi mutu karya yang dihasilkannya (Pradjoko dkk, 2008: 9-10).
























II.           PEMBAHASAN
2.1  Sejarah Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia
Akibat dari perang koalisi atau bisa juga disebut dengan Perang Napoleon di Eropa yang terjadi pada awal abad ke-19 sehingga menyebabkan Belanda beserta tanah jajahannya diserang oleh Perancis. Pulau Jawa pun akhirnya juga jatuh ke tangan Inggris sehingga hal tersebut mengakibatkan perdagangan kolonial Belanda mengalami kemacetan. Perdagangan Inggris yang disukung oleh industri yang berkembang pesat dan dilindungi oleh angkatan lautnya yang sejak awal abad ke-19 menguasai samudera raya, merupakan saingan yang tidak seimbang bagi Belanda, sekalipun wilayahnya sejak 1815 telah diperluas dengan “Zuid Nederland” (Belgia) yang industrinya lebih maju (Sa’ban, 1987: 137). Belanda banyak menderita kerugian bahkan maskapai dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1824 untuk menandingi Inggris pun pada akhirnya juga mengalami kerugian karena sediktinya hasil bumi di tanah jajahan serta harga hasil bumi pun juga bersaing.
Selain akibat dari Perang Napoleon, Perang Diponegoro yang berlangsung di Jawa Tengah serta Perang Paderi yang terjadi di Sumatera Barat pun juga turut menghabiskan biaya operasi militer yang sangat besar sehingga hal ini juga salah satu hal yang menyebabkan keuangan kerajaan Belanda mengalami keterpurukan dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad yang lalu. Hasil tanaman kopi yang diambil secara paksa yang diterima kerajaan dari tanah jajahan serta penerimaan lainnya pun juga tidak mampu menutup dan melunasi keuangan belanja/ pengeluaran kolonial. Utang warisan VOC dan lebih-lebih pinjaman-pinjaman baru jangka pendek untuk untuk Hindia Timur dengan bunga tinggi, sangat memberatkan keuangan kerajaan dan kebangkrutan negara ada diambang pintu (Sa’ban, 1987: 137).
Dari kejadian diatas maka pada tahun 1830 pemerintah Belanda pun mengambil jalan pintas untuk dapat mengatasi kesulitan finansial yang sedang dihadapinya yakni dengan membuat kebijakan baru yaitu dengan jalan melakukan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada penduduk jajahannya. Cultuurstelsel (tanam paksa/sistem pembudidayaan) merupakan ide dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Johannes van den Bosch yang merupakan seorang Belanda yang memiliki pengalaman mengurus perkebunan Belanda di Karibia. Cultuurstelsel bertujuan untuk menghasilkan barang ekspor yang bisa dijual di pasaran Eropa. Barang ekspor yang dimaksud antara lain tebu, kopi, dan nila. Dengan sistem baru tersebut mereka diwajibkan menyerahkan hasil bumi mereka sebagai ganti pajak uang, itulah ciri utama dari apa yang kemudian dikenal dengan nama Sistem Tanam Paksa atau Sistem Kultur (Furnivall, 2009: 124). Tanam paksa (Cultuurstelsel) yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap penduduk Indonesia ini mempunyai banyak aturan yang memberatkan penduduk Indonesia. aturan-aturan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
-       Menuntut rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk tanam paksa (cultuurstelsel) tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
-       Tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel tersebut bebas dari pajak, karena pemerintah Belanda menganggap hasil tanamannya sebagai pembayaran pajak.
-       Bagi penduduk Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian untuk Cultuurstelsel dapat menggantinya dengan cara bekerja di perkebunan atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
-       Waktu yang digunakan untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih tiga bulan
-       Jika terjadi kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
-       Kerugian yang terjadi akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda.
Setelah tanam paksa dilaksanakan, Belanda pun dengan cepat segera mendapatkan keuntungan dimana pada 1831 pemerintah Belanda telah dapat menyeimbangkan neraca keuangan serta pada tahun selanjutnya pemerintah Belanda juga mulai bisa melunasi hutang-hutang yang ditimbun sejak masa VOC.

2.2    Sejarah perkebunan kopi di Sumatera Barat pada masa Cultuurstelsel
Sebelumnya Van den Bosch tidak berfikir untuk melakukan tanam paksa (Cuulturstelsel) di luar Jawa. Hal ini dikarenakan Van de Bosch beranggapan bahwasanya provinsi-provinsi di luar Jawa mempunyai penduduk yang sedikit dan tidak sebanyak di Jawa sehingga apabila ia melakukan Tanam Paksa di luar Jawa, maka ia pasti tidak akan memperoleh keuntungan yang banyak. Dari alasan tersebut maka Van de Bosch sengaja mengabaikan wilayah penduduk dari luar pulau Jawa serta tetap memfokuskan atau berkonsentras pada administrasi intensif di Pulau Jawa. Namun ternyata Van de Bosch memberikan pengecualian bagi provinsi di luar Jawa yang diantaranya adalah Banda, Bangka, dan Sumatra karena Van de Bosch mengetahui jika di Banda banyak menghasilkan pala, di Bangka banyak menghasilkan timah dan di Sumatera ia juga mencoba untuk memperkenalkan sistem tanam paksa. Tetapi waktu itu perang Padari sedang hebat-hebatnya, dan Belanda belum bisa mendiktekan kehendaknya begitu saja (Amran, 1985: 91-92). Namun keadaan pun berubah setelah Perang Padari berhasil dimenangkan oleh Belanda. Tapi barulah pada 1847 kondisi menjadi cukup tenang untuk memungkinkan pemaksaan suplai kopi (Furnivall, 2009: 190).
Pada tahun 1947 akhirnya penanaman dan penyerahan kopi secara paksa telah berhasil dilembagakan oleh Belanda. Johannes van den Bosch, arsitek utama sistem tanam paksa di Pulau Jawa, berkunjung ke Sumatera Barat pada tahun 1833 dengan tujuan mengatur hasil bumi di Sumatera Barat, demi keuntungan Kerajaan Belanda (Booth, 1988: 139). Ia banyak memberikan saran mengenai cara agar memperoleh keuntungan yang banyak dari perdagangan kopi di Minangkabau akan tetapi rencana ini pada awalnya mengalami kegagalan namun pada tahun 1847 ia akhirnya berhasil melancarkan sistemnya tersebut. Yang menjadi faktor utama Belanda menguasai daerah tersebut adalah karena dilihat dari banyaknya perdagangan kopi yang berasal dari daerah tersebut.
Agar Belanda mencapai tujuan politik dan ekonominya, maka Belanda harus mematahkan pengaruh dari pemimpin gerakan Paderi yang pada saat itu mempunyai kemampuan yang sangat besar dalam memobilitir perlawanan rakyat Minangkabau terhadap tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya, setelah Belanda berhasil menaklukkan kaum Paderi, langkah yang dilakukan Belanda selanutnya adalah melakukan kerjasama dengan pemuka-pemuka lokal yang paham dan mengerti tentang pengaturan tanah dan buruh. Kerjasama ini dimaksudkan tidak lain adalah untuk kepentingan Belanda. Sehingga dapat dikatakan secara politis, pihak Belanda tidak mempunyai pilihan lain selain menjalankan pemerintahannya secara tidak langsung yaitu melalui kepala adat turun-temurun (penghulu). Selain keadaan yang menyulitkan Belanda ini, pada saat itu kekuasaan agama yang berlaku di daerah tersebut masih tetap saja berlaku. Kontradiksi yang senantiasa terdapat sejak semula dalam usaha Belanda mengatur penanaman dan penjualan kopi, terletak pada kebutuhan politiknya yang mengandalkan sekelompok tokoh penghulu, yang tidak mau atau tidak dapat secara efektif memenuhi tuntutan-tuntutan ekonomi pemerintah Belanda (Booth, 1988: 142).

2.3  Perkembangan sampai Berakhirnya Tanam Paksa pada Perkebunan Kopi di Sumatra Barat
Setelah tahun 1947, penerimaan serta penjualan kopi yang dilakukan oleh pemerintah telah mampu menutup pengeluaran setempat serta memberi sumbangan yang besar terhadap kekayaan pemerintah kolonial Belanda. Belanda mengatakan jika kopi merupakan hasil panen rakyat namun tujuan utama dari penanaman secara Tanam Paksa itu bukanlah demi keuntungan rakyat. Belanda menetapkan harga penjualan kopi yang memungkinkan setiap rakyat Minangkabau menambah uang masuknya dengan cara memperluas tanah garapannya serta menambah jumlah pekerja khusus. Belanda juga mengambil alih perkebunan kopi tersebut dengan cara memaksa rakyat setempat yang semula bergerak dalam bidang perdagangan kopi untuk selanjutnya dipaksa agar melakukan kegiatan lain yang kurang menguntungkan.
Hubungan yang terjadi antara pemerintah Belanda dengan petani Minangkabau ini sangat penting dalam sistem tanam paksa yang ada di Sumatera Barat ini. Para pemimpin agama di daerah Sumatera Barat ini tidak terpengaruh sama sekali dengan penanaman kopi tersebut, sedangkan para penghulu yang menjadi kepala suku dimana mereka oleh pemerintah Belanda diharapkan bisa mengatur kegiatan yang lebih tinggi, namun para penghulu tersebut justru merasa jika kedudukan mereka terjepit karena hubungan mereka dengan sistem tersebut. Terjepit disini maksudnya dikarenakan apabila penghulu berurusan dengan dunia luar maka penghulu tersebut harus membela kepentingan anggota suku mereka. akan tetapi disisi lain, Belanda telah memberikan dukungan politik baik materi maupun moral dan juga merayu para penghulu tersebut dengan tujuan agar sistem tanam paksa berjalan dengan lancar.
Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwasanya sistem tanam paksa telah membawa banyak dampak dan perubahan besar di Sumatera Barat. Perubahan tersebut diantaranya seperti pada lingkungan dimana hutan-hutan yang luas berubah menjadi perkebunan kopi. Selain itu, alokasi tugas pada setiap rumah tangga pun ikut diubah dengan maksud untuk memberi kesempatan bekerja langsung dalam kaitannya dengan produksi kopi.  Para pemuka sekuler pun pada sistem tanam paksa ini merasa terpojokkan ke dalam kedudukan yang berbahaya. Pada masa sistem tanam paksa di Sumatera Barat ini hampir sama sekali tidak terjadi perlawanan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Selama 20 tahun pertama, sesudah sistem tanam paksa mulai dijalankan di Sumatera Barat, ia mengalami sukses yang cukup besar (Booth, 1988: 153). Sebagian uang hasil penjualan kopi dibagikan kepada para petani dan jumlah yang lebih besar lagi diserahkan kepada pemerintah. Suksesnya tanam paksa pada dasawarsa awal tersebut disebabkan oleh wajarnya harga kopi yang ditetapkan, kebutuhan akan pekerja sedikit yang kemudian menghasilkan keuntungan yang besar bagi pihak Belanda, dan ekonomi di Sumatera Barat pada waktu itu dimana jiwa berdagang telah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Minangkabau.
Pada periode yang sistem tanam paksa yang terjadi di Sumatera Barat, pembelian kopi telah mengalami peningkatan dari yang semula 58.000 pikul (3,5 juta kg) setahun pada tahun 1864 meningkat sampai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg). Namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara dahsyat, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini (Booth, 1988: 157). Menurunnya produksi kopi ini disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah sebagai berikut:
·         Berkurangnya tanah yang baik untuk penanaman kopi di Sumatera Barat. Keadaan ini mulai terjadi sejak tahun-tahun 1850-an. Dengan berkurangnya tanah yang baik di lahan yang lama, maka diperlukan pembuatan perkebunan kopi baru di tanah yang baru dimana hal tersebut harus dimulai dari awal lagi seperti membuka hutan, menanam dan memetik sehingga secara otomatis juga akan menambah pekerja. Kebun baru tersebut juga berjarak jauh dari pusat sehingga kesulitan serta mahalnya biaya transportasi juga menjadi masalah baru.
·         Sekitar tahun 1870-an mulai tumbuh penyakit daun yang menyerang pohon-pohon kopi tersebut yang kemudian memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah Belanda menanami kopi di daerah yang berketinggian diatas 1000 meter dengan tujuan agar tidak gampang terjangkit penyakit tanaman tersebut. Selain itu, di daerah-daerah perkebunan baru mereka juga menanam kopi jenis Liberica karena jenis kopi ini tahan terhadap hama. Dengan menanam di daerah yang lebih tinggi dan menanam jenis kopi baru yang tahan terhadap hama tersebut maka pemerintah Belanda sudah pasti mebutuhkan pekerja yang lebih banyak. Hal ini tentunya juga kan merugikan pihak Belanda.
·         Pemerintah Belanda terlibat peperangan yang panjang, mahal serta sengit. Peperangan ini terjadi sesudah tahun 1873 di Aceh. Karena perlawanan orang Aceh kuat dan dibakar oleh sentimen agama Islam, kemauan dan kemampuan orang Belanda untuk menggunakan kekerasan untuk menggunakan kekerasan untuk mengubah sikap orang Minangkabau dengan paksa lebih terbatas lagi daripada seperempat abad sebelumnya (Booth, 1988: 159).
Adapun usaha pemerintah Belanda untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya yaitu seperti pada tahun 1875-1876 inspektur Ples yang merupakan seorang ahli pertanian  yang berpengalaman datang dari Jawa untuk mengunjungi Sumatera Barat memberikan garis-garis besar untuk membangun produksi kopi secara ilmiah serta untuk membudidayakan kopi secara intensif. Ples menganjurkan agar industri kopi menerapkan sebuah cara yang ternyata justru merusak yaitu pohon-pohon pelindung yang sebenarnya digunakan untuk pelindung pohon-pohon kopi yang masih muda ternyata malah merusak. Ia ternyata tidak paham mengenai kekhususan tanah di pegunungan daerah tersebut. Selanjutnya, sepuluh tahun setelah kedatangan inspektur Ples Sumatera Barat kedatangan lagi rombongan penyelidik yang menyalahkan semua usulan yang diusulkan oleh ahli sebelumnya. Namun belum sempat hasil dari rombongan ini diterapkan, namun pada tahun 1888 sudah lebih dulu dibentuk lagi Panitia Negara yang diketuai oleh Canne yang merupakan mantan Gubernur Sumatera Barat. Adapun ususl-usul yang diberikan oleh Panitia Negara tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Amran, 1985: 107-108):
1.      Mengakui bahwa kesalahan terletak pada para ahli Belanda sendiri yang sok pintar dan ingin mengatur semua.
2.      Agar rakyat tetap dipaksa menanam kopi tetapi bebas mencari sendiri tanah yang cocok untuk itu dan bebas memakai cara-cara terbaik menanam maupun merawat pohon kopi.
3.      Serah paksa tetap dipertahankan, tetapi harga beli dinaikkan dari 15 menjadi 25 gulden.
4.      Kerugian yang diderita pemerintah karena menaikkan harga beli, harus ditutup dengan pajak perorangan.
Suatu penyelesaian khas Belanda dimana apabila pasal 4 tidak disertakan, maka pemerintah Belanda akan mendapatkan untung seperti yang dijelaskan oleh Kamerling yang merupakan Ketua Kamar Dagang. Penjelasan Kamerling tersebut diantaranya yaitu:
“Taruhlah harga beli dinaikkan menjadi 25 gulden, maka rakyat akan giat bekerja, sabotase hilang dan produksi segera meningkat. Jika produksinya 10.000 pikul setahun, maka pemerintah harus membeli dengan harga 2,5 juta gulden. Taruhlah harga jual hanya 60 gulden, maka pemerintah mendapat 6 juta gulden. Masih dapat untung 6 – 2,5 = 3,5 juta. Sekarang kalau harga beli tetap 15 gulden. Produksi tidak akan melebihi 25.000 pikul. Jadi, pemerintah membayar hanya 375.000. tetapi harga jual 25.000 x 60 = 1,5 juta, malah mendapat untung lebih banyak. Disamping itu, ekonomi rakyat jauh lebih makmur”
Kemerling telah lama tinggal disana dan dia menentang cara bekerja pemerintah tentang kopi ini dengan alasan karena politik yang dijalankan oleh pemerintah tersebut melesukan aktivitas ekonomi sehingga mengakibatkan dagang biasa maupun industri tidak dapat berkembang dengan baik. Menurut Kamerling, sebab-sebab pokok kemunduran budidaya kopi, ialah 1. Pembayaran pada rakyat yang terlalu rendah, 2. Terlalu banyak pegawai pemerintah ikut campur sedangkan mereka tidak mengetahui apa-apa tetapi yang terpenting, 3. Rakyat sadar sekali bahwa apa yang dikerjakan Belanda ialah menekan rakyat melalui budidaya kopi untuk membayar pajak jauh lebih berat daripada pajak biassa yang dilarang oleh Plakat Panjang (Amran, 1985: 108-109).
Namun pada akhirnya pemerintah Belanda menolak usulan-usulan tersebut karena menurut pemerintah, mereka melihat masalahnya dari sudut pandang pedagang dimana tujuan pedagang tersebut ialah mempertinggi lalu lintas perdagangan dengan maksud agar rakyat membeli lebih banyak. Tujuan pedagang ini ternyata tidak sama dengan tujuan pemerintah. Pada tanggal 21 Februari 1891, keluarlah Penetapan Gubernur Jenderal (Amran, 1985: 109). Dalam penetapan Gubernur Jenderal tersebut ditegaskan bahwasanya budidaya kopi dengan tanam paksanya tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Namun, dalam mencari tanah, penanaman serta perawatan oleh pemerintah Belanda diserahkan  kepada rakyat setempat yang diawasi oleh pejabat Belanda dan harga beli mengalami sedikit peningkatan yakni menjadi 17, 50 gulden sedangkan pajak perorangan hanya dikenakan pada daerah yang tidak menghasilkan kopi. Meskipun keputusan tersebut telah dikeluarkan dan dijalankan, namun pada prakteknya produksi kopi pun tetap menurun.
Pada tahun 1908, akhirnya budidaya paksa kopi dihapuskan di Sumatera Barat karena tidak ada artinya lagi diganti dengan pajak biasa (Amran, 1985: 109). Berbeda dengan di Jawa dimana di Jawa Belanda mendapatkan keuntungan yang besar dan melimpah ruah dari sistem tanam paksa tersebut, sedangkan di Sumatera Barat upaya apa saja yang dilakukan Belanda tidak mendapatkan keuntungan seperti harapan mereka.


III.             PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Akibat dari Perang Napoleon, Perang Diponegoro yang berlangsung di Jawa Tengah serta Perang Paderi yang terjadi di Sumatera Barat pun juga turut menghabiskan biaya operasi militer yang sangat besar sehingga dari kejadian diatas maka pada tahun 1830 pemerintah Belanda pun mengambil jalan pintas untuk dapat mengatasi kesulitan finansial yang sedang dihadapinya yakni dengan membuat kebijakan baru yaitu dengan jalan melakukan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada penduduk jajahannya. Tanam paksa tersebut tidak hanya dilakukan di Belanda namun Pada tahun 1947 akhirnya penanaman dan penyerahan kopi secara paksa di Sumatera Barat telah berhasil dilembagakan oleh Belanda. Banyak kendala yang dihadapi oleh Belanda pada saat melakukan Tanam Paksa di Sumatera Barat tersebut namun akhirnya selama 20 tahun pertama, sesudah sistem tanam paksa mulai dijalankan di Sumatera Barat ternyata mampu mengalami sukses yang cukup besar.
Namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara dahsyat, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Adapun usaha pemerintah Belanda untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya yaitu seperti pada tahun 1875-1876 inspektur Ples yang merupakan seorang ahli pertanian  yang berpengalaman datang dari Jawa untuk mengunjungi Sumatera Barat memberikan garis-garis besar untuk membangun produksi kopi secara ilmiah serta untuk membudidayakan kopi secara intensif. Namun akhirnya pada tahun 1908, akhirnya budidaya paksa kopi dihapuskan di Sumatera Barat karena tidak ada artinya lagi diganti dengan pajak biasa.






DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, D. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Amran, Rusli. 1985. Sumatra Barat Plakat Pajang. Jakarta: Sinar Harapan.
Booth, Anne dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Pradjoko, D dkk. 2008. Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1. Depok: Universitas Indonesia.
Sa’ban, R. 1987. Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Bina Artha.
 

No comments:

Post a Comment