Songs

Sunday, December 8, 2013

Awalu Rochmatin



PERKEBUNAN BLIMBING DI DS. NGRINGINREJO, KEC. KALITIDU, BOJONEGORO (1984-1998)


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd dan Ibu Indah W.P Utami, S.Pd, S.Hum, M.Pd


Oleh
Awalu Rochmatin               110731435543

I.     PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang dilewati oleh sungai bengawan Solo. Bila masuk musim penghujan, ada daerah-daerah di Bojonegoro yang dilewati oleh sungai Bengawan Solo mengalami musibah bencana alam karena luapan sungai bengawan Solo, atau kita biasa menyebutnya dengan nama banjir. Banjir tersebut selalu memberikan dampak negative bagi masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Apalagi tanaman yang ditanam mereka tidaklah tahan terhadap banjir.
Salah satu daerah diBojonegoro yang sering mengalami kebanjiran saat sungai bengawan solo meluap adalah kecamatan Kalitidu, tepatnya didesa Ngringinrejo. Desa ini dikelilingi oleh sungai besar bengawan solo. Akan tetapi sebenarnya letaknya yang berada didekat sebuah sungai besar membawa keuntungan bagi para petani untuk bisa mendapatkan sumber air untuk irigasi persawahannya dengan mudah, mereka tidak akan merasakan yang namanya kekeringan dan kekurangan air. Namun hal tersebut tidak terjadi disemua tempat di desa Ngringinrejo. Adanya perbedaan yang ditanam oleh setiap petani membuat kebutuhan air dari setiap tanaman yang ditanam berbeda pula.
Menurut sejarahnya berawal dari alasan diataslah muncul ide untuk menanam tumbuhan yang lain. Yaitu tanaman yang dapat tahan terhadap banjir jika luapan sungai bengawan solo meluap di saat musim penghujan. Buah bimbinglah yang akhirnya menjadi pilihan. Menurut cerita, buah blimbing merupakan tanaman buah berupa pohon yg berasal dari kawasan Malaysia, kemudian menyebar luas ke berbagai negara yg beriklim tropis lainnya di dunia termasuk Indonesia. Pada umumnya blimbing ditanam hanya sebagai tanaman peneduh di halaman-halaman rumah. Akan tetapi karena mengetahui bahwa pohon blimbing ini dapat bertahan dari serangan banjir, akhirnya para petani di desa Ngringinrejo berinisiatif untuk menanam pohon blimbing di sawah mereka dan menjadikannya sebagai perkebunan blimbing yang menjadi sumber penghasilan utama dalam kelangsungan hidup keuarganya.
Perkebunan blimbing ini dalam perkembangannya sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan penduduk desa Nngringinrejo. Namun bagaimana saat krisis 1997, apakah krisis tersebut mempengaruhi perkembangan yang baru mulai dirasakan oleh para pembudidaya blimbing di desa Ngringinrejo ini. Setelah mendapatkan cara agar dapat bertahan hidup dengan cara tetap mempertahankan profesinya sebagai petani meski menjadi daerah yang selalu terkena banjir yaitu dengan menanam pohon blimbing di sawah mereka. Mungkinkah mereka akan menghadapi pula yang namanya dampak krisis moneter 1997. Karena alasan diataslah, peneliti melakukan penelitian tentang perkebunan blimbing di Bojonegoro yang dilihat dari sejarah social dan politiknya dengan judul “Perkebunan Blimbing Di Ds. Ngringinrejo, Kec. Kalitidu, Bojonegoro (1984-1998)”.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah perkebunan Blimbing di Ds. Ngringinrejo Kec. Kalitidu, Bojonegoro?
2.      Bagaimanakah perkembangan perkebunan blimbing  (1984 – 1998)?
3.      Bagaimana kondisi perkebuan blimbing saat krismon 1997 dan strategi menghadapinya?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah perkebunan Blimbing di Ds. Ngringinrejo Kec. Kalitidu, Bojonegoro
2.      Untuk mengetahui perkembangan perkebunan blimbing  (1984 – 1998)
3.      Untuk mengetahui kondisi perkebuan blimbing saat krismon 1997 dan strategi menghadapinya

1.4  Metode Penelitian
Penulisan penelitian sejarah sebaiknya digunakan metode sejarah, yang fungsinya agar penulisan sejarah tersebut lebih terarah dan meminimalisir subjektifitas sejarawan. Sehingga dalam penelitian sejarah memiliki lima tahap, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristic), verifikasi / kritik (kritik ekstern dan kritik intern), interpretasi (analisis dan sintesis), dan penulisan (historiografi)(Kuntowijoyo, 2005: 90). Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a.       Pemilihan topik
Topic ini dipilih oleh penulis karena adanya kedekatan emosional tempat tinggal, dimana penulis berdomisili di wilayah tersebut serta adanya ketertarikan penulis terhadap sejarah Lokal yang berkembang didaerahnya.
 
b.      Pengumpulan sumber (Heuristik)
Heuristic merupakan langkah untuk mancari data dari berbagai dokumen, mengunjungi tempat bersejarah, mewawancarai pelaku dan saksi sejarah melalui sejarah lisan apabila masih memungkinkan. Penulis mencari, menetapkan dan membedakan data-data yang telah ada kedalam kategori sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber primer yang digunakan penulis berkaitan dengan sejarah dan perkembangan perkebunan blimbing di Bojonegoro melalui arsip yang dimiliki oleh Dinas pertanian Bojonegoro. Sedangkan sumber sekundernya adalah dengan mempelajari sumber tertulis atau buku yang ditulis oleh sejarawan atau penulis sebelumnya yang berkaitan dengan pembudidayaan blimbing. Untuk sumber lisan, penulis melakukan wawancara dengan pemilik perkebunan, perangkat desa yang mengetahui sejarah perkebunan blimbing dan Dinas Pertanian Bojonegoro secara langsung.
c.       Kritik
Di dalam metode sejarah, kritik(verifikasi) sumber dapat dilakukan dengan dua cara yaitu kritik eksternal dan kritik internal (Sjamsuddin, 1996:104). Kritik eksternal digunakan untuk menguji atau memeriksa sumber sejarah yang telah diperoleh dengan menegakkan sedapat mungkin otensitas dan integritas dari sumber tersebut (Sjamsuddin, 1996: 105). Penulis dalam mengkritik beberapa sumber yang telah diperoleh yakni dengan cara melakukan verifikasi atau pengujian pada bagian luar dari beberapa sumber yang telah diperoleh. Pada sumber lisan, perlu adanya ketelitian dalam mengolah informasi yang diperoleh untuk mengurangi distorsi informasi. Kredibilitas narasumber juga perlu diperjelas, siapakah orang tersebut, seberapa penting dalam penulisan ini dan sebagainya.
Kritik internal yaitu kritik terhadap aspek-aspek dari dalam sumber yang telah diperoleh tersebut, dengan mempertanyakan kredibilitas dan atau reabelitas isi dari sumber tersebut (Sjamsuddi, 1996:151). Penulis dalam menulis makalah hasil penelitian ini sedapat mungkin berusaha meyakinkan bahwa data yang telah diperoleh merupakan suatu data yang dapt dinyatakan kebenarannya. Selain itu penulis juga akan membanding-bandingkan antara dokumen yang satu dengan sumber yang lainnya. Sehingga apabila ada beberapa sumber yang melenceng atau tidak autentik, maka penulis tidak akan menggunakannya. Sumber sekunder yang berupa buku-buku yang menunjang dalam penulisan yang terkait dengan budidaya blimbing, oleh penulis juga dilakukan kritik baik kritik eksternal maupun kritik internal. Tujuannya adalah untuk mencari keabsahan dari sebuah data yang telah diperoleh serta untuk memilah-milah mana sumber yang harus dipakai dan mana sumber yang seharusnya tidak dipakai dalam penulisan ini.
d.      Interpretasi
Interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu analisis dan sintesis. Analisis ini sangat penting dilakukan karena data/sumber yang diperoleh tidak semuanya dibutuhkan. Penulis melakuakan tahap sintesis dengan cara menyatukan data/sumber yang telah diperoleh dari berbagai cara. Penulis dalam menulis suatu kejadian yang utuh tersebut telah melalui berbagai tahap, sehingga subjektivitas yang timbul dalam penulisan ini dapat dihindari oleh penulis.
e.       Historiografi
Hasil interpretasi kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan yang disusun secara kronologis (Kuntowijoyo, 1994:106). Hal ini biasa dikenal dengan istilah historiografi yang merupakan tahap akhir dari penelitian sejarah. Pada tahap ini diperlukan keterampilan teknis penggunaan kutipan dan catatan, tetapi juga diperlukan penggunaan pikiran yang kritik dan analisis yang kuat (Sjamsuddin, 1996: 177).
II.       PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Perkebunan Blimbing di Ds. Ngringinrejo, Kec. Kalitidu, Bojonegoro
Desa Ngringinrejo merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Kalitidu yang sering mengalami bencana banjir di setiap musim hujan datang. Banjir tersebut berasal dari sungai Bengawan Solo. Masyarakat desa Ngringinrejo khususnya dukuh Mejayen sebagian besar menanami ladangnya dengan tanaman palawija seperti jagung. Tanaman palawija tidak dapat bertahan dari air yang terlalu banyak, sehingga bila terjadi banjir, tanaman palawija yang ditanam oleh penduduk pasti mati dan petani pasti juga mengalami kerugian dari gagal panen yang terjadi karena disebabkan oleh banjir.  
Letak geografis desa Ngringinrejo sebenarnya strategis, apalagi dalam bidang pertaniannya. Tempatnya yang dikelilingi oleh sungai Bengawan Solo menjadikan para petani desa Ngringinrejo tidak pernah kekurangan air untuk bercocok tanam. Bertani juga merupakan pekerjaan yang paling banyak ditekuni oleh penduduk desa Ngringinrejo. Apalagi didukung dengan system irigasi yang baik dan tidak kenal namanya kekeringan. Hal ini tentu saja disebabkan oleh sungai bengawan solo yang mengelilingi desa Ngringinrejo, sehingga petani dapat becocoktanam dengan baik dan tanpa khawatir akan kekurangan air. Bahkan tiap tahunnya mereka dapat memanen padi hingga 3-4 kali.
Namun sayangnya itu tidak terjadi disemua bagian dari desa Ngringinrejo. Seperti yang terjadi di dukuh Mejayen. Tempatnya yang benar-benar dekat dengan bengawan solo membuat para petaninya selalu gagal panen, apalagi yang mereka tanam adalah tanaman palawija yang tidak dapat menampung air terlalu banyak. Sehingga petani didukuh ini selalu mengalami gagal panen bila banjir menyerang. Menurut pak Suwoto yang merupakan Kasun desa Ngeringinrejo inilah yang menjadi alasan adanya perkebunan Blimbing di desa Ngeringin rejo dan menjadi ikon penting bagi Bojonegoro.
Tanaman blimbing banyak membutuhkan air sepanjang hidupnya. Hal ini sangat strategis dengan adanya sungai bengawan solo yang letaknya sangat dekat dengan dukuh Mejayen dan tentunya para petani yang membudidayakan blimbing nantinya tidak perlu takut mencari air karena kekeringan. Akan tetapi meskipun membutuhkan air yang banyak, pohon blimbing tidak terlalu menyukai air yang tergenang. Bila terjadi banjir, bunga dari buah blimbing ini akan rontok. Tetapi itu tidak akan berlangsung lama, jadi para petani nantinya tidak akan mengalami kerugian yang banyak.
Menurut cerita yang disampaikan oleh pak Suwoto, perkebunan blimbing mulai ada sekitar tahun 1984 di dusun Mejayen desa Ngringinrejo. Pada sekitar tahun 1980-an ada dua orang yang cukup berpengaruh didesa tersebut mendengar kabar bahwa ada seseorang dari desa Siwalan kabupaten Tuban yang berhasil berangkat haji dari menanam tanaman buah bernama Blimbing. Dari situlah mbah Nur dan mbah Wo Sunyoto mulai tertarik ingin mengikuti jejak orang dari desa Siwalan, Tuban tersebut. Dan tentu saja sosok mbah Nur dan mbah wo Sunyoto tidak dapat dipisahkan dari sejarah adanya perkebunan Blimbing desa Ngringinrejo.
Pada awalnya usaha yang dilakukan untuk merubah nasib dari menanam palawija yang selalu mengalami kegagalan adalah dengan usaha menanam Rosela yang hanya diambil seratnya untuk membuat kain. Namun hanya bertahan selama kurang lebih 6 bulan saja. Kemudian muncullah kabar bahwa ada orang yang berangkat haji dari usaha membudidayakan Blimbing. Apalagi didukung dengan informasi bahwa buah Blimbing tahan terhadap banjir dan hasil buahnya cukup dicari dan diminati oleh berbagai kalangan dan harga jualnya pun lumayan menguntungkan. Dari sinilah mbah Nur dan mbah wo Sunyoto mulai membeli bibit dan buah blimbing, kemudian mulai menanamnya didesa Ngringinrejo atau lebih tepatnya di dukuh Mejayen. Pada awal penanamannya tentu saja mereka menanam di tanah persawahan mereka sendiri, kemudian disusul beberapa orang ikut menanam di persawahan mereka sendiri. Karena sejak awal mereka menanam ditanah persawahan mereka sendiri, maka perkebunan blimbing di Bojonegoro ini tentu saja juga menjadi kepemilikan pribadi dari para penanamnya.
2.2  Perkembangan Perkebunan Blimbing (1984-1998)
Pembudidayaan Blimbing yang dilakukan oleh mbah Nur dan mbah Wo Sunyoto tidaklah mudah. Banyak masyarakat desa Ngeringinrejo yang menentang dengan ide dari kedua tokoh masyarakat tersebut. Mereka mengganggap bahwa menanam pohon Blimbing membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan keuntungan atau balik modal. Pohon Blimbing membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun, dari mulai proses awal penanaman, tumbuh menjadi pohon blimbing, munculnya bunga sampai bunga tersebut berubah menjadi buah blimbing.
Pada tahun 1982, mbah Nur dan mbah Wo mulai menanam pohon blimbing, akan tetapi baru pada tahun 1984 saat pohon blimbing sudah terlihat besar dan mengeluarkan buahnya, masyarakat desa Ngringinrejo mengakui bahwa terdapat pohon blimbing didesanya. Pada tahun 1984 mulailah mbah Nur dan mbah Wo melakukan pemanenan buah blimbing dan memasarkannya. Dan ternyata hasil jualnya luamayan menguntungkan, apalagi didukung dengan bukti bahwa pohon blimbing dapat bertahan dari serangan banjir. Hasil panen dari buah blimbing lebih besar dari hasil panen palawija yang selama ini ditanam oleh mbah Nur dan mbah Wo. Dari sinilah mulai ada penduduk yang mempercayai perkataan dua tokoh masyarakat tersebut. Namun sayang, hanya beberapa orang yang mau ikut menanam pohon blimbing di tanah persawahan mereka. Untuk agar lebih mampu meningkatkan hasil panen dari pohon blimbing tersebut, dibentuklah kelompok tani yang bergelut dibidang budidaya blimbing. Sehingga diharapkan dari kelompok inilah perkebunan blimbing yang baru hanya sedikit orang yang menanam dapat menghasilkan blimbing yang berkualitas dan memiliki harga jual yang tinggi pula di pasaran. Sambil menunggu pohon blimbing tumbuh besar dan menghasilkan buah yang melimpah dan berkualitas, pekarangan atau tanah persawahan yang ditanami blimbing juga dapat tetap ditanami tanaman lain, seperti jagung, Lombok, terong, dan papaya. Namun karena tanah persawahan mereka yang selalu mengalami banjir saat musim penghujan, tumbuhan lain yang ditanam di sebelah blimbing tidak dapat bertahan hidup lebih lama.
Pada tahun 1985 setelah penduduk desa Ngringinrejo melihat hasil dari pembudidayaan blimbing yang dilakukan mbah Nur, mbah Wo dan kelompok mekarsari yang lain semakin baik dan semakin baik, akhirnya banyak warga yang mulai ikut menanam pohon blimbing. Di awal pembudidayaan blimbing ini hanya ada sekitar 200 pohon yang ditanam oleh kelompok tani pembudidayaan blimbing di desa Ngringinrejo atau lebih tepatnya didukuh Mejayen. Meskipun terhimpun dalam suatu kelompok, pohon blimbing tetap menjadi kepemilikan pribadi dari setiap warga yang menanam blimbing di tanah perkebunan mereka sendiri. Sehingga setiap individu tersebut pada awalnya hanya menanam sekitar 20 sampai 30 pohon saja. Kemudian seiring berjalannya waktu, mulai berkembang menjadi lebih dari 100 pohon dari setiap individu yang menanam pohon blimbing di perkebunan blimbing dukuh Mejayen.
Bukanlah hal mudah meyakinkan masyarakat bahwa dengan menanam blimbing dapat mengurangi kerugian petani dalam usahanya bercocok tanam. Selama hampir 6 tahun, warga dukuh Mejayen yang mengikuti mbah Nur dan mbah Wo masih belum bisa dikatakan semuanya telah ikut menanam/membudidayakan blimbing ditanah pekarangan mereka. Baru pada sekitar tahun 1990-an, hampir seluruh warga dukuh Mejayen ikut menanam pohon blimbing dipekarangannya. Mereka baru menyadari bahwa dengan mengganti tanaman palawija dengan menanam/membudidayakan blimbing, mereka dapat terhindar dari kerugian gagal panen akibat banjir yang terus terjadi saat musim hujan mulai datang, mereka juga dapat meningkatkan perekonomiannya dan memenuhi kebutuhan keluarganya pula.
Dari perkebunan blimbing ini jugalah banyak pemuda pemudi di desa Ngringinrejo dapat bekerja dengan upah yang lumayan besar tanpa harus pergi merantau meninggalkan desanya. Mereka dapat bekerja di dalam perkebunan blimbing ini dari mulai budidaya tanaman, perawatan tanaman, pemanenan buah blimbing hingga pemasarannya. Biasanya mereka digaji sekitar Rp.50.000,- dalam sehari, tanpa makan. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah membungkusi buah blimbing yang sudah mulai besar, sehingga tidak dihinggapi lalat buah atau semacamnya. Hampir sekitar 75 % pemuda pemudi desa Ngringinrejo bekerja sebagai pekerja di perkebunan Blimbing desa Ngringinrejo. Atau kalaupun mereka tidak bekerja dihitung perhari, tapi bekerja dihitung perbulan, mereka digaji sekitar Rp.1.500.000,- setiap bulannya. Pekerjaan itu bisa berupa bekerja membersihkan kebun dan menjaga buah yang dijual di depan kebun para pemiliknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa meskipun yang tidak memiliki tanah untuk menanam blimbing, mereka juga dapat merasakan manfaat dari budidaya tanaman blimbing dalam meningkatkan perekonomian masyarakat desa Ngringinrejo, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan pula.
Pada sekitar tahun 1994, Dinas Pertanian Bojonegoro mendatangkan PPL yang bertugas untuk membantu peningkatan hasil produksi dari buah blimbing dan memberikan arahan kepada para petani bagaiman agar buah blimbing terasa manis dan memiliki harga jual yang semakin tinggi, orang tersebut adalah bapak Joko Pujo dari Dinas Pertanian Bojonegoro. Selama hampir 2 tahun yaitu dari tahun 1994 sampai 1995 bapak Joko terus melakukan pengawasan dan penjelaskan kepada petani blimbing tentang bagaimana cara Blimbing menjadi lebih manis, mengurangi hama buah, menghindari dan menyembuhkan pohon blimbing dari penyakit. Beliau juga menjelaskan bahwa hama yang paling sering menyerang buah blimbing adalah hama lalat buah (Dacus Pedestris). Bila sebelumnya saat menanam palawija petani dirugikan dengan tidak hanya oleh hama dan penyakit tetapi juga oleh banjir yang selalu datang saat musim hujan dan meluapkan sungai bengawan solo, kali ini saat petani mulai berminat di dalam berbudidaya blimbing, mereka mulai ditakutkan akan kerugian dari hama dan penyakit yang menyerang pohon dan buah blimbing. Untung saja pihak pemerintah khususnya Dinas Pertanian mengirimkan seseorang yang mampu membantu para petani ini untuk tidak khawatir dengan hama dan penyakit yang menyerang tumbuhan mereka.
Setelah diberikan arahan oleh pak Joko, para petani blimbing tidak khawatir lagi dengan hama dan penyakit yang akan menyerang pohon dan buah blimbing mereka. Mereka telah mendapatkan cara-cara untuk dapat mengatasi masalah tersebut. Sehingga hasil produksi buah blimbing semakin mambaik  dan membaik dikemudian hari. Bahkan dari perkebunan blimbing ini, para petani dapat menyekolahkan anak-anaknya kejenjang yang lebih tinggi, memperbaiki rumah mereka menjadi lebih bagus dan juga dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi pemudanya yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil dari pembudidayaan blimbing yang disebabkan oleh banjir bengawan solo ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dukuh Mejayen.

2.3  Kondisi Perkebuan Blimbing Saat Krismon 1997 Dan Strategi Menghadapinya
Perkebunan blimbing yang terus berjalan hingga sekarang tentu saja juga menglami dan melewati masa dimana saat Indonesia mengalami kesulitan di masa-masa akhir Presiden Soeharto. Pada saat itu terjad krisis didalam berbagai bidang di hampir seluruh Negara di Asia Tenggara. Di mulai dari krisis di Thailand yang kemudian merambat ke Indonesia. Krisis di Indonesia dirasa paling parah dibandingkan dengan Negara-negara lain di Asia Tenggara. Karena hampir disemua bidang Indonesia mengalami krisis. Dari mulai krisis kuangan, krisis ekonomi, hingga pada akhirnya krisis politik yang berakhir dengan jatuhnya Soeharto sebagai presiden dan lahirlah reformasi di Indonesia.
Krisis moneter 1997 yang terjadi ini lebih banyak membawa dampak negative dari pada dampak positifnya. Hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia merasakan dampak dari krisis moneter ini. Banyak peristiwa yang terjadi hingga tidak dapat dilupakan oleh masyarakat Indonesia apa saja yang terjadi karena disebabkan oleh krisis moneter tersebut. Banyak orang yang menjadi pengangguran, tingginya tingkat kriminalitas, harga sembako yang melambung tinggi, banyak perusahaan-perusahaan/usaha-usaha kecil yang mengalami kebangkrutan dan masih banyak lagi.
Banyak yang menjelaskan bahwa tidak hanya terjadi di Ibukota, tetapi juga hampir diseluruh kota dipenjuru Indonesia juga merasakan dampak dari krismon 1997. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua daerah merasakan dampak dari krismon 1997. Seperti yang telah terjadi di perkebunan blimbing Bojonegoro. Saat peneliti menanyakan tentang peristiwa jatuhnya presiden Soeharto, apakah krisis yang terjadi juga mempengaruhi perkebunan blimbing?, ternyata sebagian besar mereka menjawab tidak berpengaruh sama sekali. Mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasanya saat dikebun. Mulai dari aktifitas pemanenan buah blimbing, penjualan buah blimbing di pasar maupun ada yang membelinya langsung ke perkebunan. Masalah harga juga tidak ada masalah, karena memang dari awal harganya masih belum seperti sekarang yang sudah stabil, yaitu minimal harganya sekitar kurang lebih Rp. 5000 /kgnya.
Mereka mengatakan bahwa peristiwa jatuhnya presiden Soeharto dan kabar terjadinya krisis terdengar hingga telinga mereka, akan tetapi dampak yang katanya dirasakan oleh hampir lapisan masyarakat tersebut tidak sampai kepada para petani perkebunan blimbing di Desa Ngringinrejo, kec. Kalitidu, Bojonegoro. Mereka tidak mengalami masalah seperti yang dialami oleh para pengusaha/pemilik usaha kecil seperti yang dikabarkan. Harga jual dari penjualan buah blimbing masih seperti biasa, yaitu sekitar Rp. 300 – 700 /buah. Masalah yang dialami oleh para petani blimbing ini menurut pihak Dinas Pertanian Bojonegoro bukan karena dampak dari krisis moneter 1997 yang terjadi di Ibukota, tetapi karena masalah hama, yaitu hama lalat buah.
Lalat buah ini berwarna coklat kekuning-kuningan dengan dua garis membujur, pinggangnya ramping, bersayap seperti baju tidur yang strukturnya tipis dan transparan. Prosesnya dimulai dari saat lalat betina meletakkan telur pada kulit buah, kemudian menetas menjadi larva. Larva inilah yang kemudian merusak daging buah blimbing hingga menyebabkan busuk dan berguguran (Dinas Pertanian Bojonegoro : 2011) . Sehingga hasil prosuksi buah blimbing menurun dan mempengaruhi penghasilan dari para petani menurun.  Harga buah yang awalnya bisa mencapai Rp. 5000/buah menurun menjadi sekitar Rp. 1500/buah.
Untuk mengatasi hal tersebut para petani yang dibantu oleh Dinas Pertanian Bojonegoro berusaha semaksimal mungkin untuk mengendalikan hama tersebut. Meraka melakukannya dengan cara pembungkusan buah pada stasium pentil (umur buah 1 bulan dari bunga mekar), mengumpulkan dan membakar sisa-sisa buah yang busuk berserakan dibawah pohon, dan kemudian terakhir memasang sex pheromone seperti methyl eugenol dalam botol aqua bekas. Dengan semikian hasil produksi dapat tetap lancer seperti biasanya dan petani tidak mengalami kerugian yang terlalu besar.  
























III.    PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Letak geografis desa Ngringinrejo sebenarnya strategis, apalagi dalam bidang pertaniannya. Tempatnya yang dikelilingi oleh sungai Bengawan Solo menjadikan para petani desa Ngringinrejo tidak pernah kekurangan air untuk bercocok tanam. Namun sayangnya itu tidak terjadi disemua bagian dari desa Ngringinrejo. Seperti yang terjadi di dukuh Mejayen. Tempatnya yang benar-benar dekat dengan bengawan solo membuat para petaninya selalu gagal panen, apalagi yang mereka tanam adalah tanaman palawija yang tidak dapat menampung air terlalu banyak. Sehingga petani didukuh ini selalu mengalami gagal panen bila banjir menyerang. Menurut pak Suwoto yang merupakan Kasun desa Ngeringinrejo inilah yang menjadi alasan adanya perkebunan Blimbing di desa Ngeringin rejo dan menjadi ikon penting bagi Bojonegoro.
Perkebunan blimbing mulai ada sekitar tahun 1984 di dusun Mejayen desa Ngringinrejo. sosok mbah Nur dan mbah wo Sunyoto tidak dapat dipisahkan dari sejarah adanya perkebunan Blimbing desa Ngringinrejo. Karena mereka berdualah yang pertama kali memiliki ide untuk menanam pohon blimbing sebagai cara untuk mengatasi banjir yang terus terjadi di sawah mereka. Dan karena mereka berdua pula perkebunan blimbing ada di Bojonegoro.
Budidaya tanaman blimbing juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat desa Ngringinrejo, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan pula. Mereka mengatakan bahwa peristiwa jatuhnya presiden Soeharto dan kabar terjadinya krisis terdengar hingga telinga mereka, akan tetapi dampak yang katanya dirasakan oleh hampir lapisan masyarakat tersebut tidak sampai kepada para petani perkebunan blimbing di Desa Ngringinrejo, kec. Kalitidu, Bojonegoro. Mereka tidak mengalami masalah seperti yang dialami oleh para pengusaha/pemilik usaha kecil seperti yang dikabarkan.


DAFTAR RUJUKAN

Wawancara
-          Ibu Sumiyatun (39 tahun) pemilik perkebunan blimbing di desa Ngringinrejo
-          Mbak Indri (33 tahun) pemilik perkebunan Blimbing di desa Ngringinrejo
-          Mbak Bintimahmudah (29 tahun) pemilik perkebuna Blimbing desa Ngringinrejo
-          Mbah Rukiyah (60 tahun) pemilik perkebunan Blimbing desa Ngringinrejo
-          Bapak Suwoto (33 tahun) pemilik perkebunan dan Kasun Desa Ngringinrejo
-          Bapak Joko Pujo, Dinas Peranian Bojonegoro

Buku
Dinas pertanian Bojonegoro. 2011. Budidaya Blimbing. Bojonegoro: Dinas Pertanian Bojonegoro.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Purwati, M. 2008. Selayang Pandang Jawa Timur. Klaten: Intan pariwara.
Sjamsudin, H. 1996. Metodologi sejarah. Jakarta : Depdikbud.

Internet
(http://Sejarah adanya belimbing di Desa Ngringinrejo Kec.Kalitidu Kab. Bojonegoro Jatim   Cyber Extension - Pusbangluh Deptan.html), diakses pada tanggal 5 Oktober 2013.
 

No comments:

Post a Comment