Songs

Sunday, December 8, 2013

Iksa Soka



SISTEM KEPEMILIKAN TANAH DAN UPAH DI JAWA PADA MASA KOLONIAL BELANDA TAHUN 1800-1942

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd dan Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd


Oleh:
IKSA SOKA PINPAWATI
(110731435541)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Pada masa penjajahan kolonialisme bangsa Indonesia mengalami periode sejarah yang sangat penting. Sebab pada masa penjajahan kolonialisme tersebutlah bangsa Indonesia mengalami perubahan dari bangsa tradisional menuju ke bangsa yang modern. Salah satu aspek yang terpenting adalah aspek ekonomi. Hal tersebut dikarenakan bahwa awal mula dari proses kolonialisme di Indonesia berasal dari sistem ekonomi yaitu melalui interaksi perdagangan. Pada awalnya bangsa Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama melakukan transaksi perdagangan dengan masyarakat pribumi setelah jatuhnya kota pelabuhan Malaka ke tangan bangsa asing pada sekitar tahun 1511 sebagai pusat perdagangan internasional. Selanjutnya disusul dengan datangnya Albuquerque ke Maluku dan Sunda Kelapa pada sekitar tahun 1512. Dan menyusul bangsa Belanda yang berlabuh ke pelabuhan Banten pada sekitar tahun 1595 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Sedangkan secara garis besar sejarah perekonomian Indonesia dibagi menjadi beberapa periode mulai dari masa VOC, masa cultuurstelsel dan masa ekonomi liberal. Pembagian tersebut didasarkan atas politik ekonomi atau kebijakan ekonomi kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia atau yang pada masa tersebut disebut Hindia Belanda. Setiap periode tersebut memiliki ciri khas yang menjadi jiwa zaman dan tentunya juga memberikan dampak yang berbeda pula bagi perekonomian dan masyarakat Hindia Belanda. Salah satu faktor yang penting pada masa tersebut merupakan tanah. Tanah merupakan faktor utama dalam usaha pertanian maupun juga perkebunan. Hal tersebut dikarenakan tanah diperlukan sebagai tempat tumbuh bagi komoditi-komoditi yang diusahakan. Selain itu Indonesia yang merupakan negara agraris memiliki tanah yang subur yang sangat mendukung bagi perkembangan usaha perkebunan maupun pertanian di Indonesia. Faktor ketersediaan tanah dan juga sumber daya manusia atau penduduk yang dapat digunakan sebagai pekerja tersebut yang menarik penjajah untuk dapat menguasai tanah di Indonesia.
Pada masa penjajahan kolonial hampir setiap peraturan yang dibuat oleh kaum penjajah selalu terfokus pada soal tanah. Sehingga perundang-undangan di bidang agraria atau pertanahan dibuat dengan sedemikian rupa sehingga agar dapat mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemerintah kolonial. Sedangkan perkembangan perekonomian di Pulau Jawa pada masa tersebut merupakan masa terjadinya sistem-sistem perekonomian seperti sistem sewa tanah (land-rent), sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan juga sistem ekonomi kolonial yang pada umumnya disebut dengan sistem liberalisme. Selain itu perekonomian di Pulau Jawa pada masa tersebut merupakan masa dimana rakyat di Pulau Jawa sangat tidak diuntungkan dalam kegiatan ekonomi yang tentunya menyangkut perihal tanah dan juga sistem upah bagi para pekerjanya yang umumnya dimonopoli oleh pemerintah kolonial. Dari hal-hal tersebut di atas yang melatar belakangi penulis untuk mengambil judul Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah di Jawa pada Masa Kolonial Tahun 1800-1942. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
1.2.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Sebelum Cultuurstelsel?
2.      Bagaimana Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Masa Cultuurstelsel?
3.      Bagaimana Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Masa Ekonomi Liberal?

1.3.   Tujuan
1.      Menjelaskan mengenai Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Sebelum Cultuurstelsel.
2.      Menjelaskan Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Masa Cultuurstelsel.
3.      Menjelaskan Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Masa Ekonomi Liberal.

1.4.   Metode Penelitian.
§  Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi kepustakaan (library reseach) yang didalamnya menggunakan bahan-bahan pustaka yang relevan. Kajian pustaka ini menggunakan telaah pustaka untuk memecahkan masalah dengan kajian kritis yang mendalam. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara pengumpulan data dari berbagai sumber yang kemudian disajikan dengan cara baru. Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan sumber sekunder.
Penelitian ini menggunakan metode penilitian historis sedangkan jenis penelitiannya berupa deskriptif-narasi. Metode historis digunakan untuk mengkaji secara kritis mengenai fakta-fakta empiris masa lampau yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sesuai dengan kajian penelitian. Dalam metode sejarah dikenal lima tahap, yaitu tahap pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Berikut penjelasan mengenai kelimanya.
a.      Pemilihan Topik
Menurut (Kuntowijoyo, 1994: 95) Pemilihan topik sebaiknya digunakan dua pendekatan yakni, berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. Secara kedekatan emosional yang melatarbelakangi penulis adalah karena dampak yang terjadi dari sistem tanam paksa atau cultuurstelsel berpengaruh sampai dengan sekarang bahkan dalam sistem kepemilikan tanah. Sehingga sistem kolonial masih berpengaruh terhadap sistem kepemilikan tanah yang ada sampai sekarang yang salah satunya terdapat di daerah tempat tinggal penulis. Sedangkan kedekatan intelektual penelitian ini dilakukan karena penulis sudah pernah mempelajari mengenai masa cultuurstelsel atau tanam paksa yang terjadi di Indonesia serta dampaknya terhadap masyarakat pada masa tersebut. Hal tersebut yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah di Jawa Pada Masa Kolonial Belanda Tahun 1800-1942.
b.      Heuristik
Heuristik, berasal dari bahasa Yunani yaitu  heuriskein yang artinya memperoleh. Heuristik merupakan proses mencari bahan atau menyelidiki sejarah untuk mendapatkan sumber (Kuntowijoyo, 1994: 95). Penulisan sejarah kini harus mulai menyempurnakan alat-alat analitisnya dengan cara meminjam konsep serta teori dari ilmu-ilmu sosial (Kartodirdjo, 1992: 8). Jadi dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan dengan menggunakan teori  ilmu sosial yaitu menggunakan pendekatan sosiologis dimana terdapat peristiwa sosial dan nilai-nilai kehidupan.
c.       Kritik Sumber
Kritik merupakan kemampuan dalam menilai sumber-sumber sejarah yang sudah didapatkan. Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
·         Kritik eksternal
Menurut (Kartodirdjo, 1992: 10) untuk mengetahui keautentikan suatu dokumen dapat dilihat melalui identitasnya, yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya.
·         Kritik Internal
       Menurut (Kartodirdjo, 1992: 10) Kritik internal dilakukan untuk menguji pernyataan dan fakta yang ada didalam dokumen. Kritik ini dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak atau dengan kata lain dapat diklarifikasikan menurut penafsiran yang diperoleh peneliti, dari subjektifitas sampai objektifitas suatu dokumen.
d.      Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkaikannya hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagai fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya sesuai dengan fakta untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit.
Menurut (Kuntowijoyo, 1994:100) Interprestasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Dalam ilmu sejarah penafsiran ini dilakukan setelah melewati beberapa kritik dari fakta-fakta yang timbul dari dokumen yang ditemukan oleh peneliti. Interprestasi merupakan urutan ketiga yang dilakukan dalam historiografi. Dalam hal interpretasi ini peneliti memiliki dua langkah, yaitu analisis dan sintetis.
e.       Historiografi
            Histografi yaitu penulisan masa lalu oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Sebagai suatu karya ilmiah, histografi merupakan fase terakhir dalam sebuah penelitian sejarah. Hasil dalam penelitian itu kemudian ditulis, dipaparkan dan dilaporkan dalam bentuk karya ilmiah. Dalam sebuah penelitian sejarah, penekanan yang terjadi terletak pada pemikiran yang sistematis, logis, dan kronologis dengan memperhatikan pula segi kausalitasnya. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan penelitian ilmiah ilmu lain. Setiap penulisan dilakukan sesuai dengan data yang diperoleh. Penyusunan laporan yang dilakukan secara sistematis dan terperinci memiliki sesuai data yang didapat diharapkan menggiring kepada suatu kesimpulan yang diharapkan pada awal penyusunan sebuah penelitian.




















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Sebelum Cultuurstelsel (1800-1816)
            Pada awal kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia untuk melakukan misi perdagangan mereka pada waktu itu belum sama sekali memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem penguasaan tanah yang ada di Indonesia. Namun hal tersebut berubah ketika bangsa Inggris sampai ke wilayah Indonesia dan kemudian mencoba untuk menerapkan sebuah teori yang disebut dengan teori Domein. Teori Domein tersebut diterapkan pertama kali oleh Thomas Stamford Raffles dimana teori Domein ini merupakan sebuah teori yang digunakan untuk memberikan landasan hukum dalam mempertanggungjawabkan pungutan atau pajak yang diadakan oleh Raffles pada waktu ia menjabat sebagai gubernur jenderal di Jawa pada masa pemerintahan sisipan Inggris yang terjadi pada tahun 1811-1816.
            Raffles yang pada masa tersebut menjabat sebagai gubernur jenderal menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaran baik pembenaran secara hukum maupun juga pembenaran secara ilmiah. Hal tersebut yang membuat Raffles memerintahkan Collin Mackenzei untuk mengadakan serangkaian penelitian mengenai sistem kepemilikan tanah di daerah-daerah swapraja di Jawa. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Collin Mackenzei tersebut maka diketahui bahwa ternyata semua tanah yang dikuasai oleh rakyat adalah milik Raja sedangkan rakyat hanya sekedar memakai atau menggarapnya. Atas dasar hasil laporan tersebut maka Raffles menyatakan bahwa tanah-tanah yang berada di daerah kekuasaannya semuanya merupakan milik Raja di Jawa.
            Ketika kekuasaan berpindah ke tangan pemerintahan Inggris maka hukum atas hak-hak dari kepemilikan tanah yang ada di tanah Jawa tersebut pun juga jatuh ke tangan Raja Inggris. Oleh karena itu maka tanah-tanah yang dikuasai dan juga digunakan oleh rakyat tersebut bukan lagi merupakan miliknya namun menjadi milik Raja Inggris sehingga mereka juga wajib untuk memberikan sesuatu atau pajak yang biasa mereka lakukan sebelumnya untuk raja-raja mereka kepada Raja Iggris. Sedangkan kewajiban yang harus mereka berikan tersebut lebih dikenal dengan istilah landrente Raffles.
            Sistem penarikan pajak bumi yang diterapkan oleh Raffles dengan nama landrente tersebut tidak langsung dibebankan kepada para petani yang ada di Jawa namun terlebih dahulu dibebankan kepada desa. Kepala desa diberikan kekuasaan langsung dari pemerintah kolonial untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayarkan oleh setiap petani yang ada di Jawa. Selain itu kepala desa juga diberikan kekuasaan penuh untuk dapat mengadakan perubahan pada kepemilikan tanah oleh para petani jika hal tersebut memang perlu dilakukan untuk memperlancar sistem landrente. Kepala desa juga berwenang untuk mengurangi luas atau mencabut penguasaan para petani terhadap tanah. Namun jika petani yang bersangkutan tidak mau ataupun tidak mampu untuk membayar landrente yang sudah ditetapkan maka tanah yang bersangkutan tersebut akan diberikan kepada para petani lain yang sanggup untuk memenuhinya.
            Terjadinya perubahan struktur kepemilikan tanah di Jawa dikarenakan Raffles yang merasa tidak setuju dengan sistem feodal yang dijalankan oleh Daendels. Hal tersebut dikarenakan menurut Raffles hal tersebut tidak akan merangsang para penduduk di Jawa untuk dapat bekerja dengan lebih baik. Namun dibalik hal tersebut terdapat maksud lain yaitu untuk membatasi kekuasaan atas tanah dari para Bupati di Jawa. Sistem sewa tanah atau landrente Raffles merupakan sistem sewa tanah atas dasar kontrak yang secara sukarela terjadi diantara kedua belah pihak. Hal tersebut menjadikan terjadinya perubahan yang bukan hanya perubahan dalam bidang ekonomi namun juga perubahan dalam bidang sosial budaya yaitu dengan adanya pergantian dari ikatan-ikatan adat yang masih sangat tradisional menjadi ikatan kontrak yang sebelumnya belum pernah diketahui oleh penduduk Jawa pada masa tersebut.
            Selama masa pemerintahannya di Jawa terdapat tiga hal yang penting mengenai hubungan antara sistem pemerintahan dan pekerja maupun dengan masalah tanah yang ada di Jawa yaitu:
§  Segala bentuk dan juga segala jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan sedangkan para petani juga berhak untuk menentukan jenis tanaman yang ingin mereka tanam.
§  Peranan Bupati yang semula sebagai pemungut pajak dihapuskan dan selanjutnya mereka akan menjadi bagian dari pemerintah kolonial.
§  Pemerintah kolonial adalah pemilik tanah sedangakan para petani hanya dianggap sebagai penyewa dan petani juga wajib untuk membayar sewa tanah.
Sebelum memasuki masa cultuurstelsel atau tanam paksa kehidupan para petani yang ada di Jawa masih menggunakan sistem lama yaitu menggunakan hukum kepemilikan adat atas tanah. Bagi para petani yang ada di Jawa tanah bukan hanya penting dari segi ekonomisnya namun juga dapat menjadi kriteria terhadap status sosial dari pemiliknya. Di luar dari nilai ekonomis dan juga sosiologisnya tersebut tanah di Jawa juga dapat bernilai politis ketika bersinggungan dengan masalah kekuasaan. Sistem kepemilikan tanah dari petani di Jawa telah banyak berubah terutama ketika pemerintah kolonial masuk dan juga menerapkan beberapa kebijakan baru yang berhubungan langsung dengan masalah tanah. Salah satunya merupakan sistem sewa tanah atau landrente Raffles  tersebut yang merupakan pijakan awal bagi para petani yang ada di Jawa untuk dapat mengenal sistem sewa tanah yang berdasarkan atas kontrak dan bukan berdasarkan hukum kepemilikan adat maupun ikatan-ikatan feodal.
Clifford Geertz dalam bukunya ‘Involusi Pertanian’ (1963) membagi pandangannya mengenai sistem kepemilikan tanah menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan Madura yang disebutnya sebagai Indonesia dalam beranggapan bahwa tanah adalah hak milik dan alat produksi dan demi tanah setiap orang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan tanah tersebut. Di sisi lain beliau juga mengistilahkan dengan Indonesia Luar (di luar Jawa dan Madura) yaitu kolonial beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan ditentukan oleh jenis tanaman tertentu. Dalam pengertian tersebut bahwa tanah adalah milik umum sehingga siapa yang mengolah atau menanami maka itu adalah miliknya.
Perbedaan persepsi mengenai sistem kepemilikan tanah inilah yang kerap menimbulkan permasalahan di bangsa Indonesia. Masalah-masalah yang timbul tersebut adalah aksi protes berupa pemberontakan Ratu Adil, Perang Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten sampai dengan aksi protes dengan organisasi modern seperti pemogokan di Karesidenan Madiun, Karesidenan Yogyakarta, Karesidenan Pasuruan dan juga lain-lain. Herman Willem Daendels (1808-1811) telah menetapkan berbagai kebijakan sebagai berikut: meletakkan dasar pemerintahan dengan sistem barat, pusat pemerintahan di Batavia, di pulau Jawa dibentuk 9 karesidenan, membentuk pengadilan keliling, Kesultanan Banten dan Cirebon dijadikan daerah Gubernemen (Mubyarto, 1992).
Sedangkan pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles yang pada masa tersebut menjabat selaku gubernur jenderal di Jawa dan sekitarnya pun juga menetapkan kebijakan berbeda yaitu: membagi Jawa menjadi 18 karesidenan, para Bupati dijadikan pegawai negeri dan gaji ditetapkan oleh pemerintah kolonial, melarang pungutan paksa. Berbagai kebijakan pada masa pemerintahan kolonial tersebut kebanyakan mengalami kegagalan dan tidak bisa mencapai target yang diinginkan. Penyebab dari kegagalan tersebut kebanyakan karena terbatasnya pegawai yang cakap, perekonomian desa yang masih belum memungkinkan untuk sistem penyewaan dengan menggunakan uang dan masih banyaknya juga sistem kepemilikan tanah yang masih saja tetap didasarkan pada ketentuan hukum adat.

2.2 Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Masa Cultuurstelsel (1830-1870)
            Johannes Van den Bosch adalah pelaksana dari sistem tanam paksa yang ada di Indonesia. Dia diangkat menjadi gubernur jenderal pada 19 Januari 1830 sedangkan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel diperkenalkan secara perlahan sejak awal tahun 1830 sampai dengan tahun 1835 dan barulah menjelang tahun 1840 sistem tanam paksa berlangsung di Jawa. Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut adalah adanya keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura yaitu pajak dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Sedangkan ketentuan-ketentuan dari sistem tanam paksa terdapat dalam Staatblad atau lembaran negara No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain adalah:
§  Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagain dari tanah sawahnya untuk dapat ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu dan nila. Tanah yang diserahkan tersebut tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
§  Bagian tanah yang telah disediakan sebanyak seperlima luas tanah sawah tersebut akan bebas dari pajak. Hal tersebut dikarenakan hasilnya akan dijadikan pajak.
§  Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
§   Bagi rakyat yang tidak memiliki tanah maka ia akan diharuskan untuk bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah Belanda.
§  Hasil dari tanaman tersebut akan diserahkan kepada pemerintah Belanda dan akan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga dari sewa tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal tersebut bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
§  Tanaman yang rusak diakibatkan karena bencana alam dan bukan karena kemalasan atau juga kelalaian rakyat maka akan ditanggung oleh pihak pemerintah Belanda.
§  Pelaksanaan tanam paksa akan diserahkan kepada para pegawai-pegawai pribumi (kepala desa) dan pihak pegawai Eropa hanya akan bertindak sebagai pengawas (Ahmadin, 2001: 32).
Sedangkan mengenai ketentuan kerja wajib yang diterapkan pada masa pemerintahan Belanda untuk jenisnya dapat dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
§  Kerja wajib umum (heerendiensten) yang meliputi kerja dalam pekerjaan umum, pelayanan umum dan juga penjagaan keamanan.
§  Kerja wajib pancen (pancendiensten) yang meliputi khusus untuk melayani rumah tangga pejabat.
§  Kerja wajib tanam (cultuurdiensten) yang meliputi terdiri dari berbagai jenis kerja dibidang penanaman, pengolahan dan juga pengangkutan tanaman wajib.
§  Kerja wajib desa (desadiensten, gemeentediensten) yang meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan juga bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan juga lingkungan desa pada umumnya (Djuliati, 1991: 98; Suhartono, 1991: 41).
Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan pajak atau pungutan yang tidak dalam bentuk uang akan tetapi lebih berupa in-natura. Hal tersebut mengingat bahwa sistem ekonomi uang yang ada di Jawa belum begitu berkembang pada masa tersebut. Menurut rencanya Van Den Bosch sistem tanam paksa dilaksanakan dalam organisasi pedesaan sebagai wahana yang paling tepat untuk dapat meningkatkan angka produksi. Tanah dan juga tenaga kerja di pedesaan yang ada di Jawa merupakan salah satu faktor sumber daya utama dalam faktor produksi sehingga faktor penggeraknya perlu dicari dari lingkungan pedesaan. Sedangkan mengenai mekanisme dari sistem kerja wajib yang digalakkan tersebut dapat dihubungkan dengan pola kepemilikan tanah. Pada masa tersebut tanah diseluruh wilayah kerajaan adalah milik Raja. Sehingga dalam menjalankan pemerintahannya raja akan mengangkat sentana dan narapraja atau priyayi untuk membantunya (Suhartono, 1991: 27).
Sedangkan imbalan tugas dari yang dibebankan kepada mereka yaitu akan memperoleh lungguh. Ketentuan luas lungguh masih didasarkan pada jumlah penduduk (cacah) (Tjonronegoro, 1984 :5). Sedangkan pengelolaan lungguh diserahkan sepenuhnya kepada para sikep. Sehingga seorang sikep disamping mempunyai kewajiban untuk membayar pajak juga harus menjalankan kerja wajib untuk kerajaan dan kepentingan bersama di desanya (Djuliati, 1991 :98). Keberadaaan seorang sikep  dalam sistem  ekonomi pada masa tersebut yaitu merupakan tulang punggung perekonomian desa. Karena hal tersebutlah seorang bekel atau kepala sikep akan bertindak sebagai penghubung antar sikep dengan para priyayi. Tugas seorang bekel antara lain mengumpulkan penyerahan hasil lungguh dan menarik pajak. Bekel akan menerima imbalan berupa hak mepergunakan 1/5 bagian dari sawah lungguh yang pada tahap selanjutnya menjadi sawah bengkok (Breman, 1986).
Jenis kewajiban lainnnya disamping keharusan membayar pajak yaitu adalah kewajiban menjalankan krigaji. Dalam konteks ini diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan bersama-sama untuk kepentingan raja  (Djuliati, 1991: 105).  Jenis kerja wajib tersebut dilakukan lima hari sekali selama lima jam.  Dalam menjalankan kerja wajibnya mereka disuruh untuk membuat atau memperbaiki jalan dan jembatan, penjagaan rumah pembesar (kemit) yang dilakukan selama dua minggu sekali, pekerjaan rumah tangga (ayeran), kerja membawa dan mengangkut barang dan orang (gladhag). Selain itu ada pula gugur gunung yaitu pengerahan tenaga dari semua laki-laki dewasa untuk mengatasi keadaan bahaya atau musibah yang diperkirakan dilakukan sebulan sekali. Jika upah harian diperhitungkan sebesar 25 sen maka wajib kerja selama tahun bernilai f 18,50 (Suhartono, 1991 :40). Pengaruh kepala desa sebagai perantara warga desa dengan luar desa juga diperkuat dengan keikutsertaan mereka dalam sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa juga membuat kekuasaan para Bupati semakin bertambah selain itu dengan perkembangan sistem administrasi kolonial maka jumlah pegawai Eropa menjadi lebih banyak dan juga lebih terpencar sampai ke daerah pedalaman sehingga terdapat pengawasan yang penuh oleh para Residen dan pembantunya, asisten residen dan juga kontrolir terhadap tingkah laku Bupati serta para bawahannya.
Dalam pelaksanaannya yang sebenarnya sistem tanam paksa membebaskan para petani dari pajak tanah namun sebagai gantinya mereka harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah kolonial pada seperlima tanahnya. Sedangkan wilayah yang telah digunakan untuk praktek cultuurstelsel tetap akan dikenakan pajak. Sistem tanam paksa yang terjadi pada masa tersebut jauh lebih keras dan juga kejam jika dibandingkan dengan sistem monopoli yang dilakukan oleh VOC dikarenakan adanya sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapatkan izin khusus untuk melaksanakan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel dengan tujuan agar dapat mengisi khas pemerintahan jajahan yang kosong dan juga untuk menutup defisit anggaran pemerintah penjajah. Dengan adanya sistem tanam paksa maka semua tanaman pada masa tersebut seperti kopi, teh, tebu, tembakau, lada, kina, kapas, sutera, kayu manis maka akan dikenakan pajak.
Tanaman yang ditanam pada masa sistem tanam paksa dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu tanaman tahunan yang dapat ditanam di area sawah bergiliran dengan padi yang contohnya seperti tebu, nila dan tembakau. Sedangkan tanaman yang kedua adalah tanaman keras yaitu tanaman yang berumur panjang seperti kopi, teh, lada serta kayu manis. Selain itu Van den Bosch juga berharap agar kinerja orang Jawa dapat dicurahkan sepenuhnya dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Pada umumnya tenaga kerja tersebut akan digunakan dalam penanaman, pemeliharaan dan penebangan tanaman dagang pemerintah serta dipakai juga dalam mepersiapkan lahan, membuka lahan baru dan juga memperluas kawasan irigasi.
Pengaruh dari sistem tanam paksa secara teoritis adalah bahwa dengan adanya tanam paksa maka secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melalui perantara Bupati. Hubungan antara atasan dan bawahan juga pemerintah Belanda dengan Jawa akan berlaku menurut hirarki feodal. Hasil dari cultuurstelsel bagi pemerintah Belanda sangat memuaskan karena pada sekitar tahun 1831 pemerintah Belanda sudah dapat menyeimbangkan neraca keuangannnya dan pada tahun selanjutnya mulai melunasi hutang-hutang yang sejak masa VOC karena Belanda menerima banyak sekali kekayaan dari daerah-daerah jajahanhnya yang ada di Indonesia khususnya dari Jawa. Sementara itu Belanda juga menempati posisinya sebagai pusat dari penjualan bahan mentah sehingga armada dagangnya menjadi ada tiga diseluruh dunia. Namun tidak hanya pemerintah Belanda saja yang meperoleh keuntungan dari adanya sistem tanam paksa tersebut . Di Jawa para penguasa lokal mulai dari tingkat lurah hingga bupati juga menimbun kekayaan yang sangat besar. Hal tersebut dikarenakan mereka sering menetapkan setoran yang lebih besar dari yang ditetapkan demi keuntungan mereka sendiri. Sehingga prestise yang tinggi pada penguasa pribumi atau feodal di mata masyarakat Jawa pada masa tersebut sangat tidak diiringi dengan pola kepemimpinan mereka terhadap masyarakat dan mereka hanya merupakan agen eksploitasi kolonial.
Sistem tanam paksa tersebut dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa danhal tersebut merupakan komersialisasi kolonial di dalam sektor pertanian. Keadaan tersebut mengakibatkan pendapatan yang besar atau surplus dalam bidang ekonomi namun tanpa diimbangi dengan modal pokok yang berarti. Hal tersebut dikarenakan modal pokok dalam sistem tanam paksa adalah tenaga kerja petani yang ada di Jawa. Para tenaga kerja tersebut diperas tenaga dengan sedemikian rupa namun pendapatan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Akhirnya sistem tanam paksa tersebut menciptakan strata atau tingkatan sosial di dalam masyarakat Jawa dengan menjadikan petani sebagai strata sosial bawah yang tidak akan mampu untuk dapat melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Dalam penyelenggaraan sistem tanam paksa maka perlu untuk diketahui berapa luas tanah yang akan dipakai untuk tanam paksa, berapa jumlah tenaga kerja yang akan dikerahkan untuk tanam paksa, berapa waktu yang akan dibutuhkan untuk bekerja serta pengeluaran biaya. Sedangkan luas tanah yang ditanami lada, nopal dan juga murbai di seluruh area yang dipergunakan dalam tanam paksa adalah kira-kira sekitar 50.000 bau. Sedangkan luas tanah yang ditanami tebu mencapai kurang lebih 405.610 bau. Pada tahun 1840 penduduk yang terlibat di dalam sistem tanam paksa ada kurang lebih 25% dan tanah persewaan yang digunakan sekitar 6%. Jika pokok-pokok atau aturan yang ada di dalam cultuurstelsel dilaksanakan maka semestinya hal tersebut merupakan peraturan yang baik. Namun dalam praktiknya yang terjadi di lapangan sebenarnya banyak sekali terjadi penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama masa tanam paksa atau cultuurstelsel adalah:
§  Tanah yang harus diserahkan rakyat untuk sistem tanam paksa cenderung melebihan dari ketentuan yaitu seperlima.
§  Tanah yang digunakan untuk ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
§  Rakyat yang tidak memiliki tanah garapan ternyata bekerja di perkebunan atau pabrik milik pemerintah Belanda selama lebih dari 66 hari dalam setahun.
§  Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak yang wajib untuk dibayarkan ternyata tidak dikembalikan.
§  Jika terjadi gagal panen ternyata hal tersebut tidak akan ditanggung oleh pihak pemerintah Belanda namun akan tetap ditanggung oleh petani.
Banyaknya penyimpangan yang terjadi tersebut salah satunya disebabkan karena para penguasa lokal tergiur oleh janji pemerintah Belanda yang menerapkan sistem cultuur procente. Sedangkan cultuur procente atau persenan tanaman tersebut artinya adalah hadiah dari pemerintah Belanda bagi para pelaksana sistem tanam paksa yaitu para penguasa pribumi, kepala desa yang dapat menyerahkan hasil melebihi ketentuan yang telah diterapkan dengan tepat waktu. Menghadapi berbagai reaksi yang mulai timbul dari adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa maka pemerintah Belanda mulai mengambil langkah untuk menghapus sistem tanam paksa walaupun hal tersebut dilakukan secara bertahap. Selanjutnya sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 yang berdasarkan pada UU Landreform atau UU Agraria.

2.3 Sistem Kepemilikan Tanah dan Upah Masa Ekonomi Liberal (1870-1942)
            Proses dari berlakunya sistem politik liberal diawali dari mulai dihapusnya sistem tanam paksa pada sekitar tahun 1865. Sedangkan untuk pemberlakuan dari politik liberal tersebut ditandai dengan adanya kebebasan usaha berupa penanaman modal swasta yang ditanamkan pada perusahaan perkebunan dan pertambangan. Dengan banyaknya modal swasta yang ditanamkan di perkebunan dan pertambangan berarti berlaku Politik Pintu Terbuka di Hindia Belanda yang artinya pemerintah akan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada masa sistem tanam paksa atau cultuurstelsel yang dilakukan oleh Belanda menyebabkan perkebunan-perkebunan negara menghasilkan bahan-bahan ekspor yang membuat Jawa menjadi sebuah daerah jajahan yang sangat menguntungkan. Namun pada tahun 1870 perkebunan-perkebunan tersebut diambil oleh para penanam modal swasta Belanda (Onghokham dalam Sediono dan Gunawan Wiradi, 1983: 4; Onghokham, 1979). Dalam masa ini, kepemilikan kekayaan alam Indonesia bukan 100% oleh pemerintah Belanda, melainkan dimiliki oleh “enterpreneur-enterpreneur” dari banyak negara. Hal ini merupakan suatu bentuk sistem Neo-Liberal yang kita anut sekarang pada masa kolonial Belanda.
            Tanah merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan manusia terutama dari orang-orang yang mengandalkan kegiatan ekonominya pada tanah. Di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda tanah juga merupakan suatu investasi yang sangat penting. Pada sekitar tahun 1870 terdapat dua kategori utama dalam pola kepemilikan tanah yang ada di Indonesia yaitu:
§  Kepemilikan tanah pribadi secara turun-temurun. Yang dimaksud dengan pemilikan tanah pribadi secara turun-temurun disini adalah tanah warisan milik pribadi yang merupakan warisan yang secara bebas dapat dialihkan oleh pemiliknya. Misalnya saja dijual, dihadiahkan atau dibagikan sebagai warisan. Dalam tanah pribadi ini tidak ada hambatan legal ketika terjadi pembagian tanah garapan di antara sejumlah ahli waris. Tanah-tanah garapan bukan sawah (tegal, pekarangan) rata-rata selalu merupakan milik pribadi secara turun-temurun.
§  Kepemilikan bersama atas sawah (tanah irigasi). Dalam sistem kepemilikan tanah ini petani penggarap yang mempunyai hak atas sawah desa tidak boleh memindahkan haknya tersebut tanpa adanya persetujuan dari pemerintah desa. Tanah tersebut tidak boleh dibagi-bagikan di antara para ahli waris. Dengan adanya pola pemilikan tanah tersebut sangat memungkinkan untuk terjadinya suatu peralihan fungsi dan pemilikan tanah misalnya ada peralihan fungsi tanah dari yang semula lebih berorientasi pada kegiatan pertanian berubah menjadi usaha perkebunan.
Sedangkan pelaksanaan dari sistem ekonomi liberal yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa tersebut di Indonesia yang khususnya di Jawa adalah:
§  Dihapusnya sistem tanam paksa atau cultuurstelsel.
§  Memperluas penanaman modal asing dari pengusaha swasta Belanda.
§  Para pengusaha asing mempunyai kesempatan untuk menyewa tanah garapan dari para penduduk.
§  Diberlakukannya undang-undang baru pada tahun 1870 untuk menunjang usaha perkebunan antara lain yaitu:
a.       UU Agraria (Agrarische Wet)
b.      Pernyataan Hak Tanah (Domein Verklaring)
c.       UU Gula (Suiker Wet)
§  Mengubah status kepemilikan tanah dan tenaga kerja yaitu tanah dan juga tenaga kerja dianggap sebagai milik perseorangan (pribadi). Namun tanah dapat disewakan dan tenaga kerja dapat dijual. Jadi ada kebebasan dalam memanfaatkan dan juga tenaga kerja. Dalam artian masyarakat pribumi diberi hak kepemilikian individu yang berlaku secara turun-temurun. Sehingga meskipun banyak tanah milik penduduk yang disewa oleh pihak swasta asing tetapi mereka masih punya hak untuk memiliki tanah dan mewariskan tanah tersebut pada ahli warisnya.
§  Terbukanya tanah jajahan bagi penanam modal swasta Belanda dan terjadi pembukaan tanah-tanah perkebunan swasta di Indonesia.
§  Meluaskan peredaran uang.
§  Mulai  diperkenalkannya sistem uang dengan pemberian upah bebas yang diperoleh bila mereka menyewakan tanah dan bekerja di perkebunan dan juga pabrik milik pemerintah Belanda.
§  Membangun sarana perhubungan yaitu perhubungan darat dan laut dikembangkan untuk memudahkan pengangkutan hasil perkebunan. Jalan raya, jalan kereta api, jembatan, pelabuhan dan sarana lainnya dibangun untuk mempercepat pengangkutan dan perpindahan penduduk ke tempat lain.
Setelah tanam paksa dihapuskan pemerintah Belanda melaksanakan politik kolonial liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya tetap menyengsarakan rakyat Indonesia karena kebijakan-kebijakan yang diambil tersebut hanya untuk kepentingan pemerintah Belanda.
Sistem politik kolonial liberal di Hindia Belanda atau Indonesia pada awalnya bisa dilihat dari isi Undang-Undang Agraria tahun 1870. Peraturan inilah yang umumnya dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dari dua hal yaitu pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan dan orang asing boleh menyewa tanah untuk perkebunan.Mengenai isi dari peraturan tersebut Kartodirdjo menjelaskan bahwa peraturan pertama dimaksudkan sebagai cara untuk mencegah segala kejahatan dari kekuasaan yang tidak terkendali untuk mengambil alih hak milik atas tanah. Pada peraturan pertama ini ide humaniter sangat jelas sekali. Tetapi dalam peraturan yang kedua sudah dihubungkan dengan kepentingan perusahaan yang akan memberi jalan kepada pengusaha swasta untuk memakai tanah penduduk. Di lain pihak tanah dan tenaga kerja merupakan satu kesatuan dan kedua-duanya begitu terikat di dalam organisasi politik penduduk sehingga orang yang mengambil tanah tersebut dapat menyelewengkan hasilnya sebanyak yang dikehendaki.
Dengan adanya Undang-Undang Agraria tahun 1870 maka mulai dibukanya areal-areal perkebunan baik didataran rendah maupun didataran tinggi. Pembukaan areal perkebunan tersebut disamping untuk memanfaatkan tanah-tanah tak yang tidak bertuan atau tanah liar seperti rawa dan hutan tropis namun juga untuk menggunakan tanah-tanah milik rakyat yang diambilalih baik dengan cara disewa untuk jangka waktu yang lama ataupun dibeli dengan harga yang rendah untuk kepentingan perkebunan.
Namun terdapat juga permasalahan-permasalahan yang mulai timbul yang terkait dengan sistem sewa-menyewa yang kadang disertai demgan tindakan-tindakan represif sehingga menimbulkan konflik antara petani sebagai pemilik tanah dengan perusahaan perkebunan. Misal yang sering terjadi diareal perkebunan tembakau dan juga tebu. Konflik tersebut biasanya terjadi karena kepentingan petani yang sering diabaikan yang biasanya mengacu pada harga sewa yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial Belanda terlalu murah. Apalagi untuk areal perkebunan tembakau dan juga tebu yang membutuhkan tanah subur sehingga tidak jarang mereka memaksa para petani untuk menyewakan atau menjual tanah mereka pada pemerintah Belanda dengan harga yang relatif murah. Tetapi para petani yang sejak awal telah menggunakan tanah mereka untuk pertanian tentu tidak bisa menyerahkan tanah mereka begitu saja bila dirasa cukup merugikan pihak petani. Dengan kondisi yang seperti inilah yang sering memicu terjadinya konflik antara kedua belah pihak.
Dengan adanya Undang-Undang Agraria mulai menggantikan kedudukan dari pemerintah Belanda oleh kaum pengusaha perkebunan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya penyusutan perkebunan pemerintah yang digantikan dengan semakin luasnya perkebunan swasta. Sedangkan untuk jenis tanaman yang dibudidayakan pada masa tersebut juga tidak jauh berbeda dengan yang diwajibkan pada masa pelaksanaan sistem tanam paksa. Seperti kopi, tebu, tembakau, teh dan lain sebagainya. Sedangkan mengenai kondisi tanah selama 3/4 abad Hardjosudarmono (1970) mengatakan sebagai berikut: Pertama dari segi kepemilikan tanah dapat digolongkan: tuan tanah (pemilik tanah besar), pemilik tanah sedang, pemilik tanah kecil dan golongan petani tak bertanah. Dari keadaan tersebut penggunaan tanahnya didapatkan: petani besar (tuan tanah yang mengerjakan tanahnya sendiri yang luas atau melepaskan pada orang lain untuk disewa tau membiarkan kosong), pemilik sawah sedang yang menjadi petani sedang, pemilik tanah kecil dan petani yang tak punya sawah.
Sistem ekonomi liberal kolonial di Indonesia dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut yaitu:
§  Pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi tetapi memberikan keuntungan besar bagi Pemerintah Belanda.
§  Berkembangnya paham liberalisme sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga sistem tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
§  Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal tersebut dimaksudkan agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya.
§  Adanya Traktat Sumatra pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi pemerintah Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Seiring dengan pelaksanaan politik ekonomi liberal maka Belanda juga melaksanakan Pax Netherlandica yaitu usaha pembuatan negeri jajahannya di Nusantara. Hal tersebut dimaksudkan agar wilayah jajahannya tidak diduduki oleh bangsa barat lainnya. Terlebih setelah dibukanya Terusan Suez  yang mempersingkat jalurr pelayaran dari Eropa ke wilayah Asia. Sedangkan dalam pelaksanaannya politik ekonomi liberal juga dilandasi oleh beberapa peraturan yang lain diantaranya adalah:
§  Reglement op het belied der Regering in Nederlansch-Indie (RR) (1854). Berisi tentang tata cara pemerintahan di Indonesia. Perundangan baru tersebut menunjukkan kekuatan kaum liberal-borjuis yang terus berkembang. RR memungkinkan tanah disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi:
a.       Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b.      Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan kota-kota atau desa-desa.
c.       Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa. Pada tahun 1926 RR diganti dengan Wer op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie yang biasa.
Namun pasal 62 Regering Reglement ternyata tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula tanah yang tersedia tersebut kebanyakan terletak di wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Sehingga kaum pemodal meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria yang baru yaitu:
§  Indische Compatibiliteit (1867) yang berisi tentang perbedaharaan negara Hindia-Belanda yang menyebutkan bahwa dalam menentukan anggaran belanja Hindia-Belanda harus ditetapkan dengan undang-undang yang telah disetujui oleh Parlemen Belanda.
§  Suiker Wet yaitu Undang-undang gula yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
§  Agrarische Wet (Undang-undang Agraria 1870)
Isi pokok dari Agrarische Wet adalah sebagai berikut:
a.       Tanah di Indonesia dibedakan menjadi tanah rakyat dan tanah pemerintah. Tanah pemerintah adalah tanah yang tidak bisa dibuktikan oleh pihak lain disebut juga domein-verklaring (pernyataan tentang tanah milik pemerintah).
b.      Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang bersifat bebas dan tanah desa yang bersifat tidak bebas. Tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
c.       Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.
d.      Tanah pemerintah dapat disewakan kepada pengusaha swasta sampai jangka waktu 75 tahun.
§  Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda) yang berbunyi sebagai berikut:
a.       Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b.      Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan perushaan komersial (bukan pertanian dan kerajinan).
c.       Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk maksud-maksud lain.
d.      Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
e.       Dalam memberikan hak sewa sedemikian tersebut Gubernur Jenderal akan menghormati hak-hak tanah penduduk asli.
f.       Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain kecuali: untuk tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.
g.      Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan hak eigendom (hak milik) termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.
h.      Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.
Undang-undang Agraria 1870 yang memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering Reglement (1854) ditambahkan lima bab baru yang meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai kebijaksanaan pertanahan. Undang-Undang tersebut menggambarkan kemenangan untuk Partai Liberal dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif. Diakui bahwa modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan akan tetapi kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap tidak dibatasi.
Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun RR 1854 dengan mengijinkan para pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut juga menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah tersebut dan memungkinkan pula mereka mendapatkan hak milik pribadi.
Namun dalam prakteknya hampir tidak ada tanah rakyat yang tidak disewakan sehingga mereka tidak dapat menikmati tanahnya sendiri dikarenakan pihak swasta memaksa bahkan menipu dengan berbagai cara agar penduduk pribumi mau menyewakan tanah pada mereka yang pada dasarnya tidak ada bedanya dengan memindahkan hak milik pribumi ke pihak swasta.
§  Agrarische Besluit (1870). Jika Agrarische Wet ditetapkan dengan persetujuan parlemen maka Agrarische Belsuit ditetapkan oleh Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mampu mengatur hal-hal yang bersifat umum tentang agraria sedangkan Agrarische Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci khususnya tentang hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa pemerintahannya tahun 1811-1816 Raffles menerapkan sistem kepemilikan tanah yang dikenal dengan nama landrente yang artinya adalah sistem sewa tanah. Raffles menemukan fakta bahwa ternyata seluruh tanah yang ada di dalam wilayah pemerintahannya merupakan milik dari Raja-Raja Jawa sedangkan rakyat yang menggarap tanah tersebut hanya berupa penyewa. Setelah Belanda kembali berkuasa di Indonesia maka Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan sistem baru cultuurstelsel yang artinya adalah tanam paksa. Dalam sistem tanam paksa warga harus menyisihkan sebagian luas tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor yang telah ditentukan oleh Belanda pada masa tersebut. Selain itu juga mulai diperkenalkannya sistem kontrak dan juga sistem upah yang pada awalnya belun diketahui oleh masyarakat di Jawa. Namun banyak yang memprotes sistem tanam paksa sehingga membuat Belanda mulai untuk menerapkan sistem ekonomi liberal. Hal tersebut membuat banyak dibukanya perkebunan-perkebunan milik pengusaha swasta di Jawa. Selain dengan banyaknya modal asing yang masuk ke Jawa pada masa tersebut yang tidak kalah penting adalah dengan di keluarkannya UU Agraria tahun 1870 yang banyak mengatur tentang sistem kepemilikan tanah pada masa tersebut.
3.2 Saran
Bagi pemerintah: Semoga permasalahan tanah yang ada di Indonesia yang menyangkut sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah dapat teratasi dengan cara damai. Karena kebanyakan selalu berakhir dengan ricuh yang melibatkan tindakan kekerasan yang akhirnya akan merugikan warga dan juga pemerintah sendiri.
Bagi masyarakat: Sebaiknya jika menyangkut mengenai masalah sengketa tanah maka dicermati dengan menurut atau melihat pada aturan yang ada. Pasal-pasal maupun peraturan yang menyangkut mengenai tanah sudah sangat jelas sehingga kiranya tidak perlu sampai terjadi perkelahian yang melibatkan kekerasan di dalamnya.

Daftar Pustaka

Asikin, Zainal. 1993. DASAR-DASAR HUKUM PERBURUHAN. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Furnivall, J. 2009. HINDIA BELANDA: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
Notosusanto, N. dan Marwati Djoened Poesponegoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Susanto, R. 1983. HUKUM PERTANAHAN (AGRARIA). Jakarta: PRADNYA PARAMITA
Tjondronegoro, Sediono. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia.
Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya MEDIA.
http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).
http://umum.kompasiana.com/.../cultuurstelsel-tanam-paksa-1830. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).
http://www.g-excess.com/id/cultuurstelsel-atau-sistem-tanam-paksa.html. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).
http://ryanlovesejarah.blogspot.com/2011/08/peralihan-fungsi-tanah-dari-tanah.html. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).
http://riohartanto.blogpot.com/Struktur-Kepemilikan-Tanah-Dan-Petani-Jawa.html. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).
            http://assigment.blogspot.com/Politik-Liberal.html. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).
            http://nafaswaktu.blogspot.com/Masalah-Agraria-di-Indonesia-Masa-Kolonial.html. (diakses pada hari Minggu tanggal 17 November tahun 2013).

 

No comments:

Post a Comment