Songs

Sunday, December 8, 2013

Nur Ikhsan Yusuf



SEJARAH PENGEBORAN MINYAK BUMI DAN KILANG MINYAK DI BALIKPAPAN DARI AWAL PENEMUAN MINYAK BUMI HINGGA AKHIR PERANG ASIA PASIFIK YANG KEMBALI DIKUASAI OLEH BELANDA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian Indonesia
Yang dibina oleh Prof. Hariyono, M.Pd dan Indah W.P. Utami S.Pd, S. Hum, M. Pd






Oleh:

Nur Ikhsan Yusuf                                  110731435545


PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Balikpapan merupakan sebuah kota yang terdapat di daerah Kalimantan Timur dan berada di pesisir pantai yang merupakan telukan. Balikpapan merupakan ladang minyak yang sangat besar pada zaman Hindia Belanda yang terdapat pada konsensi Mathilda. Berkembangnya industri minyak di Balikpapan tidak lepas dari pemberian konsensi wilayah pengolahan minyak yang sangat besar dari pemerintah Hindia Belanda dan penguasa setempat, yaitu Kesultanan Kutai.
Setelah Perang Dunia I posisi industri minyak di Balikpapan semakin penting dan strategis bagi perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat ditandai dengan meningkatnya permintaan minyak serta meningkatnya jumlah produksi kilang minyak yang ada di Balikpapan. Akibatnya industri minyak di Balikpapan juga ikut berkembang dengan pesat, hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas pelayaran serta perdagangan yang semakin intensif.
Pembangunan infrastruktur oleh BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) berupa jalan, jaringan pipa minyak, fasilitas pergudangan, pemukiman pekerja, serta perluasan jaringan kabel  telegram antara Balikpapan dan Tarakan. Pembangunan tersebut menunjukkan bahwa terjadi perkembangan di Balikpapan akibat adanya industri minyak.
Pada masa Perang Dunia II, Jepang juga memprioritaskan untuk merebut sector-sektor industri penting yang mampu menunjang kebutuhan perang mereka, sehinga mereka menduduki kilang minyak yang ada di Balikpapan sebelum menyerang pusat pemerintahan Hindia Belanda di Jawa (Onghokham, 1987:232). Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Belanda segera kembali untuk menguasai dengan membonceng tentara Sekutu untuk menduduki tempat-tempat penting serta membebaskan tahanan orang-orang Belanda. Belanda juga berusaha memperbaiki kembali instalasi minyak di Balikpapan yang hancur akibat Perang Dunia II. Penulis ingin mengetahui bagaimana sejarah dari pengeboran dan kilang minyak yang berada di Balikpapan yang merupakan tongak sejarah dari Kota Balikpapan, maka dari itu penulis membuat judul “Sejarah Pengeboran Minyak Bumi dan Kilang Minyak di Balikpapan Dari Awal Penemuan Minyak Bumi Hingga Akhir Perang Asia Pasifik yang Kembali Dikuasai Oleh Belanda”.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana keadaan ekologi dan geografis Balikpapan?
2.      Bagaimana awal berdiri dan perkembangan industri minyak di Balikpapan?
3.      Bagaimana industri minyak Balikpapan pada masa penguasaan Jepang dan kembalinya BPM?

1.3  TUJUAN MASALAH
1.      Mengetahui keadaan ekologi dan geografis Balikpapan.
2.      Mengetahui awal berdiri dan perkembangan industri minyak di Balikpapan.
3.      Mengetahui industri minyak Balikpapan pada masa penguasaan Jepang dan kembalinya BPM.

1.4  METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian sejarah. Penelitian sejarah mempunyai lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan (Kuntowijoyo, 2005:90).
1.      Pemilihan Topik
Topik yang dipilih berdasarkan: (1) kedekatan emosional dan (2) kedekatan intelektual (Kuntowijoyo, 2005:91). Topik yang dipilih penulis adalah Pengeboran Minyak Bumi dan Kilang Minyak di Balikpapan Dari Awal Penemuan Minyak Bumi Hingga Akhir Perang Asia Pasifik yang Kembali Dikuasai Oleh Belanda. Topik ini dipilih peneliti karena ketertarikan penulis terhadap sejarah perminyakan di Kota Balikpapan yang merupakan tempat lapangan minyak dan unit pengolahan yang sangat besar sehingga menjadi rebutan antara Jepang dengan Belanda yang menjadi pertempuran yang sengit saat terjadi Perang Asia Pasifik.
2.      Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah (Sjamsudin, 1996:66). Sumber (sumber sejarah disebut juga data sejarah; bahasa Inggris datum  bentuk tunggal, data bentuk jamak;bahasa Latin datum berarti pemberian) yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis (Kuntowijoyo, 2005:95). Sumber sejarah terdapat dua jenis yaitu sumber primer dan sumber.
1.Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber utama yang  merupakan sumber asli yakni bukti yang sejaman dengan suatu peristiwa yang terjadi (Sjamsudin, 1996:66).
2.Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan hasil penelitian dan penulisan dari penulis lain yang berdasarkan sumber pertama (Sjamsudin, 1996:101). Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu (Sevilla, 1993:49).


3.      Kritik Sumber
Kritik adalah tahapan setelah menemukan sumber-sumber sejarah yang setelah itu dipilah-pilah dan hanya digunakan sumber yang relevan dengan tema. Didalam penelitian sejarah kritik sumber dilakukan dalam dua hal yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
1.    Kritik eksternal
Dilakukan untuk mengetahui keautentikan suatu dokumen yang dapat dilihat melalui kenyataan identitasnya, yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya (Kartodirdjo, 1992: 10). . Sumber yang dinilai asli itulah yang nantinya akan melalui tahap selanjutnya yang bertujuan untuk mempertanyakan relibilitas sumber.
2.    Kritik internal
Kritik Internal merupakan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni) (Sjamsudin :143). Di dalam kritik ini peneliti .akan berusaha meyakinkan bahwa data yang diperoleh adalah suatu kebenaran. Kritik dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak (Kartodirdjo, 1992: 10).

4.      Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah adalah melakukan analisa dari fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh (Abdurrahman, 1999:64). Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektifitas. Subjektifitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari (Kuntowijoyo, 2005:102). Sehingga melakukan analisis dari fakta sejarah yang diperoleh dan disusun dalam interpretasi yang menyeluruh dengan mengurangi tingkat subjekktifitas dari penulis. Interpretasi dibagi menjadi dua macam yaitu analisis dan sintesis.
1.    Analisis
Analisis berarti menguraikan (Kuntowijoyo, 2005:102). Dalam proses analisis ini akan menghasilkan fakta. Penulis melakukan analisis terhadap sumber yang masuk dan kemudian akan menghasilkan suatu fakta yang nantinya digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini.
2.    Sintesis
Sintesis adalah menyatukan (Kuntowijoyo, 2005:103). Dari kumpulan fakta tersebut akan menjadi rangkaian fakta yang merupakan sebuah peristiwa yang nantinya akan digunakan dalam penulisan.


5.      Histeriografi
Historiografi adalah kegiatan intelektual yang dilakukan oleh sejarawan untuk mengerahkan segala kemampuan intelektualnya dalam membuat deskripsi, narasi, analiti kritis, serta sintesis dari fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi, teori, hipotesis sehingga menghasilkan suatu bentuk penulisan sejarah yang utuh yang disebut historiografi (Sjamsudin, 1999:177).
Dari langkah-langkah yang telah dijalankan dan memperoleh fakta-fakta baru maka langkah yang terakhir yaitu melakukan penulisan. Oleh karena itu, penulis berusaha memaparkan fakta-fakta yang ada secara kronologis.
Pola historiogrfi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola deskriptif naratif. Pola Historiografi deskriptif lebih menekankan pada kronologi dan kausalitas dari peristiwa tersebut. Pola ini juga berusaha untuk mengkaitkan antara fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan tulisan yang menarik. Ciri-ciri historiografi dengan pola deskriptif naratif adalah:
1.      Uraian logis mengenai suatu proses perkembangan terjadinya peristiwa
2.      Berdasarkan coommen sense (akal sehat), imajinasi, ktrampilan ekspresi bahasa dan pengetahuan fakta.
3.      Proses terjadinya peristiwa secara genesis (dari awal sampai akhir)
4.      Keterangan mengenai sebab-sebabnya (kausalitas) secara deskriptif
5.      Ditulis tanpa teori dan metodologi.



PEMBAHASAN
2.1 Keadaan Ekologi dan Geografis Balikpapan
Balikpapan adalah salah satu kota di Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan jalan masuk ke wilayah Kalimantan Timur. Kondisi geografis pantai yang landai serta berada dalam teluk dengan ombak yang tidak terlalu besar merupakan syarat sempurna untuk mengembangkan sebuah pelabuhan alam.
Sejak terdapat usaha untuk melakukan pengeboran miyak pertama untuk menentukan lokasi perminyakan pada tahun 1897, maka menampung minyak bumi tersebut didirikan depot penyimpanan sari sekitar pantai Teluk Balikpapan.
Pelabuhan Balikpapan terletak di posisi yang aman dari gangguan kekuatan alam maupun gengguan keamanan dari manusia, yang berarti pelabuhan Balikpapan aman dari terpaan angina dan gelombang laut seta aktifitas prompak dari manusia. Letak pelabuhan di daerah teluk yang menjorok kedaratan membuat pelabuhan ini terrlindung dari ombak besar. Kondisi ini sangat mendukung bagi terjadinya aktivitas bongkar muat barang.
Pada tanggal 15 April 1898 ditemukan sumur minyak yang cukup banyak di daerah konsensi Mathilda di Balikpapan yang menghasilkan 32.618 Barrel minyak bumi di tahun 1899. Pengembangan Kota Balikpapan dilakukan dengan pembangunan infrastruktur mengikuti jalur garis pantai, mulai dari jalan, pasar pipa pengaliran minyak dan kabel telegram. Pengembangan ini disebabkan karena adanya daya tarik industri sebagai magnet yang menarik perluasan kota yang menarik perluasan kota yang berdekatan dengan daerah industri.
Selain itu, perluasan ini bertujuan untuk memudahkan untuk mobilitas pegawai-pegawai perusahaan minyak yang bekerja di pabrik penyulingan yang terletak di tepi Teluk Balikpapan. Pembangunan pipa-pipa juga diutamakan untuk mengalirkan minyak mentah dari lapangan minyak yang terletak di Samboja dan Sanga-sanga. Setelah proklamasi kemerdekaan, pembangunan kota tetap seperti pola sebelumnya, namun juga melakukan perluasan ke arah pedalaman.

2.2 Awal Berdiri dan Perkembangan Industri Minyak di Balikpapan.
Lahirnya industri minyak di Hindia Belanda diawali dengan usaha yang dilakukan oleh Jan Reerink pada tahun 1871. Reerink melakukan usaha pengeboran minyak di Cibodas, Jawa Barat. Tetapi mengalami kegagalan karena struktur tanah yang lembek. Pada tahun 1883 Aeilko Zijker menemukan potensi adanya kandungan minyak bumi di Langkat, Sumatra Utara. Pemboran segera dilakukan dengan hasil yang tidak memuaskan. Setelah dua tahun berselang, Zijker kembali melakukan penambangan yang kedua di Telaga Tunggal, walaupun hasil dari kedua pengeboran tersebut belum memenuhi harapan, namun Zijker melihat ini sebagai potensi yang harus dikembangkan dengan cara penambahan modal.
Zijker memutuskan kembali ke Belanda untuk mendirikan sebuah perusahaan minyak yang mampu mengelola produksi, pengilangan, dan pemasaran dari minyak yang dihasilkan. Setelah berhasil mengumpulkan modal dan mendapatkan bantuan dari teman-temannya yang berpengaruh di Den Haag, perusahaan Royal Dutch didirikan pada tanggal 16 juni 1890 ( Barlett, 1986:45).
Perusahaan minyak lain yang dating untuk berinvestasi di Hindia Belanda ialah Shell Transport and Trading Co. perusahaan itu mendapatkan konsensi minyak di Balikpapan Kalimantan Timur, yang kemudian dilakukan pendirian instansi pengilangan. Pada akhir abad ke XIX minyak telah ditemukan di hampir seluruh Hindia Belanda seperti di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Penemuan sumber minyak baru tersebut mendorong berbagai perusahaan minyak untuk menginvestasikan modalnya di Hindia Belanda. Jumlah perusahaan minyak tersebut terus bertambah dan sudah mencapai 18 perusahaan.
Pada abad ke XX terdapat dua perusahaan minyak baru yaitu Royal Dutch dalam bidang produksi dan pengilangan dan perusahaan nilai minyak Shell di bidang transportasi dan pemasaran. Perusahaan minyak Shell didirikan pada tanggal 18 Oktober 1897 yang bertujuan untuk mengambil alih aset-aset M. Samuel Company termasuk daerah konsensi minyak beserta pengilangannya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Royal Dutch memiliki kapasitas produksi minyak terbesar di Sumatera, namun memiliki sedikit armada tanker dan gudang penyimpanan, sedangkang perusahaan Shell memiliki armada tangker dan  yang besar dan tempat penyimpanan yang memadahi di Asia. Kedua perusahaan memiliki ambisi untuk memasuki pasar Eropa secara intensif. Untuk mewujutkan ambisinya tersebut dibutuhkan modal dalam jumlah besar. Akhirnya kedua perusahaan tersebut mengadakan perundingan selama dua tahun antara 1900-1902 dan menghasilkan keputusan untuk mendirikan perusahaan patungan dengan nama Shell Transortation and Royal Ducth Petroleum Company Ltd (Bartlett, 1986:46).
Kondisi perusahaan Royal Dutch yang semakin gemilang berbanding terbalik dengan perusahaan Shell yang semakin terpuruk, sehingga diadakan perundingan lagi diantara kedua perusahaan tersebut dan sepakat untuk mengabungkan kedua aset mereka dengan komposisi Royal Ducth memperoleh 60% dan Shell memperoleh 40% dari total pembagian aset perusahaan.
Setelah Royal Dutch Shell terbentuk, maka perusahaan tersebut membentuk 3 anak perusahaan yang memiliki tugas dan tanggung jawab berbeda-beda. Ketiga anak perusahaan tersebut ialah, Bataafsche Petrolrum Maatschappij (BPM) yang bergerak dalam bidang produksi dan pengilangan. Kedua adalah Anglo Saxon Company yang bergerak dalam bidang distribusi dan mengontrol armada tanker yang dimiliki. Ketiga adalah Asiatic Peroleum Company yang bergerak pada bidang pemasaran produksi minyak.
Keresidenan Kalimantan Tenggara merupakan salah satu daerah di luar Jawa yang mengalami perubahan komoditas ekspor. Pada awal tahun 1900an komoditas utama dari karesidenan Kalimantan Tenggara ialah getah pertjah, rotan dan tembakau. Munculnya minyak  bumi yang merupakan komoditas baru telah mengeser posisi getah petjah sebagai komoditas ekspor utama di Kalimantan Tenggara. Kondisi ini berlangsung pada awal tahun 1910 hingga menjelang Perang Dunia II. Produksi minyak bumi baik yang telah diolah ataupun masih berupa minyak mentah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% dari nilai total ekspor Kalimantan Tenggara (Pratama, 2012: 72).
Pusat penyulinagan minyak mentah di Kalimantan Tenggara terletak di Balikpapan. Kilang tersebut menyuling minyak yang berasal dari daerah-daerah konsensi minyak disekitar Balikpapan. Pada awalnya terdapat 3 konsensi yang menyuplai kebutuhan minyak mentah untuk disuling dikilang minyak Balikpapan, ketiga konsensi tersebut ialah konsensi Mathilda yang terletak diteluk Balikpapan, konsensi Louse yang terletak di daerah Sanga-sanga dan yang terakhir adalah konsensi Nonny yang terletak disebelah timur konsensi Mathilda. Ketiga konsensi tersebut telah diberikan oleh Kesultanan Kutai dan dimiliki oelh Jacobus Hubertus Menten.
Semula konsensi-konsensi yang diperoleh diperuntuhkan untuk tambang batubara. Pada perkembangannya, pada tahun 1891 konsensi Mathilda dan konsensi Louise dimasukan dalam undang-undang pertambangan colonial Belanda yang kemudian dituangkan dalam besluit 30 Juni 1891 no 4. Dikeluarkan besluit akhirnya dapat memperluas cakupan barang tambang yang dapat diekploitasi sehingga memungkinkan untuk mengusahakan minyak bumi (Anonim, 1996:24).
Keberhasilan pencarian minyak di Jawa menarik perhatian Menten untuk melakukan penyelidikan terhadap konsensi yang dimiliki. Pada tahun 1897 mulai melakukan pengeboran di konsensi Louise di Sanga-sanga dan menemukan potensi adanya minyak pada kedalaman 46 meter. Setelah Menten berhasil menemukan sumber minyak di konsensi Louise maka ia menjual haknya atas ketiga konsensi tersebut kepada Shell. Shell akhirnya membeli konsensi tersebut dan memenuhi persyaratan dari Undang-undang pertambangan minyak di Hindia Belanda. Shell Trading and Transposrt Company membentuk anak perusahaan baru yang bernama Nederlandsch Indische Industrie en Handel Maatscheppij (NIIHM).
Proses eksplorasi untuk menyelidiki kandungan minyak di konsensi Mathilda mulai dilakukan pada tahun 1896 olah Adams dari Samuel & Co di London (Pratama, 2012: 74). Hasil penelitian selama 14 hari dari konsesi tersebut menyimpulkan bahwa konsensi Mathilda memiliki cadangan minyak yang besar. Pemboran untuk eksplorasi pertama dilakukan pada tanggal 10 Februari 1897(Suprapto, 2008: 38). Pemboran tersebut berhasil menemukan adanya minyak, sehingga diperlukan peralatan bor yang lebih baik untuk meningkatkan produksi minyak tersebut (Anonim, 1987:66).
Pada tanggal 15 April 1898 NIIHM mulai melakukan pengeboran di konsensi Mathilda disekitar Teluk Balikpapan dan kemudian berhasil menemukan minyak pada kedalaman 180 meter (Anonim, 1996: 25). Pad tahun 1898 produksi tahunan NIIHM mencapai 32.618 Barrel minyak mentah yang berasal dari konsensi Louise dan Mathilda.
Setelah Shell dan Royal Dutch memutuskan untuk mengabungkan aset mereka di tahun 1907, maka posisi NIIHM dalam mengeksplorasi konsensi Louise dan Mathilda digantikan oleh BPM, yang merupakan anak perusahaan Royal Dutch Shell yang bergerak pada bidang produksi dan pengilangan. Pada tahun 1912 BPM memperoleh konsensi baru di wilayah Balikpapan, yaitu konsensi Batakan, Manggar I dan II dan Tritik.
Penambahan konsensi tersebut membuat BPM menguasai hamper seluruh wilayah Balikpapan, sehingga BPM juga memiliki wewenang untuk mengatur pola pembangunan infrastruktur fisik seperti, wilayah pemukiman,jalan, jalur pipa, kabel telegram dan telepon yang digunakan untuk mendukung kepentingan pengembangan industri minyak di teluk Balikpapan.
Pada tahun 1910 ditemukan juga sumber minyak yang sangat menjanjikan di Samboja, sehingga dibangun jalur pipa hingga ke kilang minyak Balikpapan. Konsensi Louise merupakan konsensi yang paling produktif yang mensuplai sebagian besar minyak mentah bagi kilang minyak Balikpapan.
Efesiensi pengeboran di konsensi Louise baru tercapai pada tahun 1920 ketika bor tumbuk digantikan dengan bor putar, dengan metode pengeboran yang baru tersebut sumur minyak dapat digali mencapai 1000 meter. Produksi harian maksimal konsensi Louise dicapai pada tahun 1930 yaitu sebesar 22.500 barrel.
Pabrik paraffin di Balikpapan diperluas pada tahun 1912 dan baru selesai pada tahun 1913. Setelah selesai diperluas pada tahun 1912 pabrik sulfur mampu menghasilkan produksi 450 ton perbulan. Kilang minyak Balikpapan juga mendatangkan mesin-mesin perekah baru yang beroprasi mulai bukan Mei 1913. Adanya mesin-mesin perekah baru tersebut berhasil memperbaiki kualitas minyak tanah yang dihasilkan. Kabel telegram yang menghubungkan antara Balikpapan dan Tarakan telah berhasil dibangun pada tahun 1912. Adanya kabel telegram tersebut memperlancar arus komunikasi antara Balikpapan dan Tarakan yang berdampak pada efesiensi serta kelancaran jalannya produksi minyak dikedua kilang.
Pada tahun 1918 dibagun sebuah laboraturium dikilang minyak Balikpapan untuk memeriksa kualitas minyak mentah dan kualitas produksi dari minyak yang telah dihasilkan. Peningkatan jumlah pengiriman minyak mentah dari lapangan minyak Louise dan Samboja ke kilang minyak Balikpapan, membuat jaringan pipa minyak mentah harus segera diperbesar. Pembangunan jaringan pipa dengan diameter 8 inchi sepanjang 104 KM antara Lapangan Louise dengan kilang minyak Balikpapan dimulai tahun 1923. Pembangunan tersebut memakan waktu 2.5 tahun. Pembangunan pipa dari lapangan minyak Louise di Sanga-sanga hingga kilang minyak Balikpapan selesai pada bulan Juli 1925.
Pada tahun 1925 pelabuhan Balikpapan sudah padat dan sibuk. Agar proses pelayaran serta distribusi barang dan jasa melalui pelabuhan dapat berjalan lancer, maka pada tahun 1925 pelabuhan Balikpapan mulai diperluas dan diikuti dengan penambahan fasilitas bongkar muat dan pergudangan.
Pembangunan lapangan terbang di wilayah Sepinggan Balikpapan semakin memperlancar mobilitas serta mempersingkat waktu tempuh bagi orang-orang yang berkunjung dan keluar dari Balikpapan, khususnya bagi pegawai minyak Eropa. Pada bulan April 1935 sebuah maskapai penerbangan yaitu Koniklijke Nederlandsce Indie Luchtvaart Maatschappij (KLM) seminggu sekali melayani rute penerbangan Batavia transit Surabaya kemudian Balikpapan.
Produksi yang dihasilkan kilang minyak Balikpapan terdiri dari minyak paraffin yang dikemas dalam kaleng. Minyak paraffin biasanya digunakan untuk bahan bakar penerangan dan penghangat ruangan. Paraffin juga digunakan sebagai bahan baku lilin, dan keperluan industri tekstil.
Proses penyulingan minyak mentah juga menghasilkan produk bahan bakar untuk kendaraan yaitu bensin dan minyak diesel (solar). Kilang minyak Balikpapan juga menghasilkan minyak pelumas yang digunakan untuk mesin dan sisa residu dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Produk yang dihasilkan kilang minyak Balikpapan mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Hindia Belanda, dan produk-produk tersebut kebanyakan diekspor.
Pada permulaan abad XX, ketika produksi minyak di kilang minyak Balikpapan baru dikembangkan, distribusi minyak mengunakan kapal tanker tidak begitu efektif. Produksi minyak dibawa ke Eropa dan ketika kembali ke Balikpapan, kapal tanker tersebut membawa muatan kargo berupa barang-barang padat, bukan cair. Akibatnya minyak yang dibawa tidak begitu banyak karena bentuk kargo juga harus disesuaikan dengan barang lainnya yang juga dibawa. Pengunaan mesin uap juga sangat membahayakan minyak yang dibawa karena resiko kebakaran sangat tinggi.
Minyak yang dibawa dari pelabuhan Balikpapan diekspor ke berbagai kota besar di Eropa dan Amerika, seperti ke Barcelona, London, Rotterrdam, dan New York. Lancer atau tidaknya distribusi ekspor minyak tergantung juga oleh faktor politik.

2.3 Industri minyak Balikpapan pada masa penguasaan Jepang dan kembalinya BPM.
Kebutuhan pemenuhan barang-barang mentah untuk industri Jepang dan pelarangan ekspor-ekspor barang-barang mentah oleh beberapa negara Eropa termasuk Belanda. Akibat dari proteksi itu telah menciptakan suatu gerakan politik dan militer jepang untuk memenuhi kebutuhan bahan mentahnya dari negara-negara Asia. Jepang akhirnya mempropagandakan program kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan Jepang sebagai pemimpinnya.
Perundingan antara pemerintah Hindia Belanda dengan Jepang mengenai permintaan Jepang untuk menambah suplai minyak kenegaranya mengalami kebuntuan pada bulan Juni 1941. Sebulan setelahnya, Jepang memutuskan untuk melakukan eneksasi kewilayah selatan sampai Hindia Belanda, British Malaya, dan Filipina. Aneksasi terhadap wilayah-wilayah tersebut dilakukan untuk mengamankan suplai barang mentah ke Jepang dalam mendukung perkembangan industri serta Perang Asia Pasifik yang dilancarkan oleh Jepang.
Sebelum Jepang berhasil menguasai Balikpapan, peemerintah Hindia Belanda memberikan perintah untuk melakukan penghancuran terhadap infrastruktur penting seperti kabel telegram, jembatan, instansi minyak dan lapangan udara. Pada tanggal 18 Januari 1942 setidaknya ada 120 orang yang terdiri dari pegawai BPM dan tentara KNIL melakukan penghancuran terhadap fasilitas minyak berupa tangki penyimpanan, jaringan pipa, unit destilasi, dan pembangkit listrik.
Pergerakan pasukan Jepang yang cepat serta kesiapan Pemerintah Hindia Belanda dan Sekutu yang kurang baik, membuat pasukan Jepang dengan mudah menguasai apa yang mereka inginkan. Militer Jepang dengan sangat cepat mampu menguasai lapangan minyak di Tarakan dan kilang minyak di Balikpapan pada bulan Januari 1942.
Setelah Jepang berhasil Menjajah Indonesia, mereka melakukan eksploitasi sumber daya alam terutama komoditas penting yang menunjang Perang Pasifik yang dilancarkannya. Eksploitasi sumber daya alam tersebut juga menggunakan tenaga orang-orang pribumi yang mengakibatkan kehidupan sosial dan ekonomi orang-orang pribumi semakin terpuruk. Untuk membangun infrastruktur-infrastruktur penting yang dihancurkan, Jepang mendatangkan ribuan Romusha yang berasal dari Jawa. Dalam waktu 6 bulan kilang minyak Balikpapan sudah dapat digunakan kembali walaupun kemampuan produksinya menurun ( Trunajaya, 2010: 47). Selama pasukan Jepang menguasai kilang minyak Balikpapan, produksi kilang minyak tersebut hanya diprioritaskan untuk memproduksi bahan bakar minyak beroktan tinggi untuk keperluan penerbangan serta minyak pelumas yang sangat dibutuhkan peralatan tempur Jepang.
Setelah Jepang melakukan konsolidasi atas Balikpapan, mereka segera menduduki kantor BPM dan kantor pemerintahan yang telah porak-poranda. Mereka mengambil semua aset perminyakan dan gedung pemerintahan yang sebagian besar mengalami kerusakan yang amat parah. Roda pemerintahan dipacu sekuat tenaga dengan melibatkan semua unsur yang di komando langsung oleh prajurit Jepang. Akan tetapi roda pemerintahan tetap saja tidak berjalan seperti yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya fasilitas perminyakan yang hancur. Puluhan jembatan yang terputus, Badan jalan yang rusak berlubang-lubang dan kesulitan mengumpulkan dokumen yang telah dihancurkan oleh Belanda menjelang pengosongan Balikpapan (Suprapto, 2008: 120-121).
Guna mempercepat proses konsulidasi pemerintahan, Jepang mengundang orang-orang Balikpapan untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh pegawai Belanda. Orang-orang Jepang juga mendekritkan bahwa pemerintahan rutin dan tugas-tugas lain harus terus berlanjut, hingga roda pemerintahan bisa berjalan normal. Beberapa tokoh masyarakat kemudian terlibat dalam mobilisasi jabatan di pemerintahan yang baru dibentuk tersebut.
Lambat laun roda pemerintahan di kota minyak tersebut secara bertahan mulai berjalan normal meskipun masih banyak kekurangan disana-sini. Komandan tinggi prajurit Jepang mengumumkan bahwa daerah bekas Hindia Belanda masuk dalam wilayah kemakmuran bersama Asia Raya dengan selogan tiga A kepada rakyat, yakni Jepang Pemimpin Asia, Jepang Sinar Asia, dan Jepang Pelindung Asia.
Hancurnya armada laut Jepang dalam pertempuran Midway membuat militer Jepang yang semula berada dalam posisi menyerang menjadi bertahan. Pada awal tahun 1945 serangan udara Sekutu pada kedudukan Jepang di Indonesia semakin intensif dan berhasil menghancurkan hampir seluruh infrastruktur penting di Balikpapan, termasuk instansi kilang minyak. Pada bulan Juli 1945 pasukan sekutu yang didominasi oleh tentara Australia berhasil menguasai Balikpapan. Setelah seluruh pasukan Jepang menyerah kepada Sekutu pada bulan Agustus 1945 maka di Balikpapan pada tanggal 10 September 1945 diadakan upacara penyerahan wilayah Kalimantan Timur di atas kapal perang Australia yaitu HMAS Burderkin dari Jepang kepada Sekutu.
Pendaratan tentara Australia juga diikuti dengan kehadiran NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berusaha untuk mengambilalih kekuasaan serta infrastruktur penting yang telah ditinggalkan oleh tentara Jepang. NICA juga segera membebaskan tahanan dan tentara KNIL yang ditahan oleh Jepang. Para teknisi minyak juga berdatangan untuk mulai melakukan perbaikan pada instansi minyak BPM yang hancur akibat bombardir Sekutu di Balikpapan. Perbaikan instansi minyak BPM juga dilakukan oleh para teknisi BPM yang datang kembali. Mereka melakukan perbaikan di sepanjang jaringan pipa antara Sanga-sanga sampai Balikpapan. Perbaikan infrastruktur penting lainnya adalah perbaikan kabel telegram, jaringan telepon, jembatan, dan jaringan jalan di sepanjang instansi minyak Balikpapan.
Adanya resistensi dari masyarakat yang menolak kehadiran NICA menyebabkan situasi keamanan dan politik di Balikpapan dan Sanga-sanga tidak kondusif. Terjadi juga sabotase yang dilakukan oleh masyarakat pro republic terhadap instansi perminyakan BPM di Balikpapan dan Sanga-sanga. Dampak dari situasi ini adalah aktivitas produksi minyak  yang terjadi di kilang minyak BPM di Balikpapan mengalami penurunan produksi.
Situasi keamanan yang kondusif di kilang minyak Balikpapan baru tercapai pada pertengahan tahun 1950. Meskipun demikian, produksi minyak mentah di lapangan Louise di Sanga-sanga tidak lagi mencakup kebutuhan kilang minyak Balikpapan yang telah memiliki kapasitas produksi sebesar 50.000 barrel perhari pada tahun 1950. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut maka Shell melakukan impor minyak mentah dari Serawak dan negara-negara Timur Tengah lainnya (Barlett, 1986: 111).
Setelah tahun 1950 dan situasi keamanan lebih kondusif BPM juga mulai melakukan perbaikan terhadap infrastruktur disekitar kilang minyak, seperti pembangunan jalan, jembatan, merehabilitasi perumahan karyawan yang berkebangsaan Belanda dan Inggris oleh warga Indonesia.
Untuk meningkatkan produksi kilang minyak Balikpapan, maka  BPM/Shell berupaya keras untuk menemukan sumur minyak baru. Adanya kemudahan proses pemberian konsensi terhadap perusahaan minyak asing setelah adanya persetujuan kontrak karya pada tahun 1960an membuat BPM/Shell meneruskan proses eksplorasinya di Tanjung (Kalimantan Selatan) yang dimulai tahun 1930.
Shell/BPM membangun jaringan pipa berdiameter 20 inchi antara Tanjung sampai Penajam. Pembangunan ini dilanjutkan dengan pengerjaan jaringan pipa berdiameter 16 inchi dari Penajam ke kilang minyak Balikpapan. Infrastruktur lain yang ikut dibangun adalah perumahan bagi karyawan, rumah sakit, sekolah, instansi pipa air, pembangkit listrik, lapangan terbang, dan jalan disepanjang jaringan pipa tersebut yang merupakan jalan pertama yang menghubungkan wilayah Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan.
Beroperasinya lapangan minyak Tanjung di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 1962 ikut memberi sumbangan pada jaminan pasokan minyak mentah bagi kilang minyak Balikpapan. Jumlah roduksi rata-rata minyak mentah di Tanjung hanya mampu berkontribusi kurang dari 65%  dari keseluruhan kapasitas produksi kilang minyak Balikpapan. Untuk menutupi kekurangannya, maka suplai minyak mentah tersebut, didatangkan dari lapangan Minas di Sumatera.
Pemasangan jaringan pipa tersebut selesai pada akhir  tahun 1961 dan mulai beroperasi pada tahun 1962. Beroperasinya lapangan minyak Tanjung telah menambah produksi kilang minyak Balikpapan sebesar 2 juta ton pertahun. Lapangan minyak Tanjung merupakan lapangan produktif terakhir yang dioperasikan oleh Shell di Kalimantan Timur.


PENUTUP
KESIMPULAN
Balikpapan yang berada di daerah pesisir pandai dan telukan menjadikan sebuah pelabuhan kapal-kapal besar seperti kapal tanker dan ditambah lagi merupakan daerah penghasil dan pengolahan minyak bumi terbesar di Kalimantan. Awalnya ladang minyak bumi yang ada di daerah Balikpapan adalah konsensi Mathilda, dan konsensi Louise yang berada di Sanga-sanga. Karena kedua konsensi memiliki cadangan minyak bumi yang melimpah, maka pemerintahan Hindia Belanda yang di wakili oleh perusahaan BPM mendirikan kilang minyak yang besar di Balikpapan yang berdekatan dengan Konsensi Mathilda.
Di bangunnya kilang minyak di Balikpapan dikarenakan daerahnya berdekatan dengan pantai dan merupakan daerah telukan yang aman dari ombak laut yang besar sehingga bisa dengan mudah menyandarkan kapal-kapal besar seperti tanker sebagai kapal pengangut minyak. Kilang minyak Balikpapan menjadi tujuan terpenting pada saat Perang Asia Pasifik yang awalnya dikuasai oleh Belanda dan berhasil direbut oleh Jepang dengan mudah. Mendekati akhir perang pihak Sekutu yang sebagian besar merupakan tentara dari Australia menguasai Balikpapan kembali dengan pemboman habis-habisan yang menyebabkan wilayah Balikpapan porak-poranda. Dan setelah itu Balikpapan dikuasai oleh Belanda yang menaruh perusahaan BPM/Shell dan menguasai kembali kilang minyak hingga saat perusahaan tersebut dinasionalisasi oleh Indonesia melalui PT Pertamina.


DAFTAR RUJUKAN
90 Tahun Kota Balikpapan. 1987.  Balikpapan: Humas Kota Balikpapan.
Buku Panduan Anjungan Sejarah Museum Minyak dan Gas Bumi Graha Widya Patra. 1996. Jakarta: Humas TMII.
Abdurrahman, Dudung. 1999.  Penelitian Sejarah.  Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bartlett, Anderson G. 1986. Pertamina: Perusahaan Minyak Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya .
Onghokham. 2008. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia.
Pratama, Akhmad Ryan. 2012. Industri Minyak Balikpapan: Dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian Hingga Proses Nasionalisasi. Malang: UM Press.
Sevilla, Consuelo G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarata : Universitas Indonesia.
Sjamsudin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Suprapto, Agus. 2008. Sejarah Balikpapan. Samarinda: Yayasan Galeria Madani.
-------------------. 1997. Perang Berebut Minyak, Peranan Strategis Pangkalan Minyak Kalimantan Timur dalam Perang Asia Pasifik. Samarinda: Untag 17 Agustus.
 

No comments:

Post a Comment