SEJARAH PENGEBORAN MINYAK BUMI
DAN KILANG MINYAK DI BALIKPAPAN DARI AWAL PENEMUAN MINYAK
BUMI HINGGA AKHIR PERANG ASIA PASIFIK YANG KEMBALI
DIKUASAI OLEH BELANDA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH
Sejarah
Perekonomian Indonesia
Yang dibina
oleh Prof. Hariyono, M.Pd
dan Indah W.P. Utami S.Pd, S. Hum, M. Pd
Oleh:
Nur Ikhsan Yusuf 110731435545
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Balikpapan merupakan sebuah kota
yang terdapat di daerah Kalimantan Timur dan berada di pesisir pantai yang
merupakan telukan. Balikpapan merupakan ladang minyak yang sangat besar pada
zaman Hindia Belanda yang terdapat pada konsensi Mathilda. Berkembangnya
industri minyak di Balikpapan tidak lepas dari pemberian konsensi wilayah
pengolahan minyak yang sangat besar dari pemerintah Hindia Belanda dan penguasa
setempat, yaitu Kesultanan Kutai.
Setelah Perang Dunia I posisi
industri minyak di Balikpapan semakin penting dan strategis bagi perekonomian
pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat ditandai dengan meningkatnya
permintaan minyak serta meningkatnya jumlah produksi kilang minyak yang ada di
Balikpapan. Akibatnya industri minyak di Balikpapan juga ikut berkembang dengan
pesat, hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas pelayaran serta perdagangan
yang semakin intensif.
Pembangunan infrastruktur oleh BPM
(Bataafsche Petroleum Maatschappij) berupa jalan, jaringan pipa minyak,
fasilitas pergudangan, pemukiman pekerja, serta perluasan jaringan kabel telegram antara Balikpapan dan Tarakan.
Pembangunan tersebut menunjukkan bahwa terjadi perkembangan di Balikpapan
akibat adanya industri minyak.
Pada masa Perang Dunia II, Jepang
juga memprioritaskan untuk merebut sector-sektor industri penting yang mampu
menunjang kebutuhan perang mereka, sehinga mereka menduduki kilang minyak yang
ada di Balikpapan sebelum menyerang pusat pemerintahan Hindia Belanda di Jawa
(Onghokham, 1987:232). Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Belanda
segera kembali untuk menguasai dengan membonceng tentara Sekutu untuk menduduki
tempat-tempat penting serta membebaskan tahanan orang-orang Belanda. Belanda
juga berusaha memperbaiki kembali instalasi minyak di Balikpapan yang hancur
akibat Perang Dunia II. Penulis ingin mengetahui bagaimana sejarah dari
pengeboran dan kilang minyak yang berada di Balikpapan yang merupakan tongak
sejarah dari Kota Balikpapan, maka dari itu penulis membuat judul “Sejarah Pengeboran
Minyak Bumi dan Kilang Minyak di Balikpapan Dari Awal Penemuan Minyak Bumi
Hingga Akhir Perang Asia Pasifik yang Kembali Dikuasai Oleh Belanda”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana keadaan ekologi dan
geografis Balikpapan?
2. Bagaimana awal berdiri dan
perkembangan industri minyak di Balikpapan?
3. Bagaimana industri minyak Balikpapan
pada masa penguasaan Jepang dan kembalinya BPM?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui keadaan ekologi dan
geografis Balikpapan.
2. Mengetahui awal berdiri dan
perkembangan industri minyak di Balikpapan.
3. Mengetahui industri minyak Balikpapan
pada masa penguasaan Jepang dan kembalinya BPM.
1.4 METODE
Metode yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian sejarah. Penelitian sejarah
mempunyai lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3)
verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan
sintesis, dan (5) penulisan (Kuntowijoyo, 2005:90).
1. Pemilihan Topik
Topik yang dipilih berdasarkan: (1)
kedekatan emosional dan (2) kedekatan intelektual (Kuntowijoyo, 2005:91). Topik
yang dipilih penulis adalah Pengeboran Minyak Bumi dan Kilang Minyak di
Balikpapan Dari Awal Penemuan Minyak Bumi Hingga Akhir Perang Asia Pasifik yang
Kembali Dikuasai Oleh Belanda. Topik ini dipilih peneliti karena ketertarikan
penulis terhadap sejarah perminyakan di Kota Balikpapan yang merupakan tempat
lapangan minyak dan unit pengolahan yang sangat besar sehingga menjadi rebutan
antara Jepang dengan Belanda yang menjadi pertempuran yang sengit saat terjadi
Perang Asia Pasifik.
2. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik adalah pengumpulan
sumber-sumber sejarah (Sjamsudin, 1996:66). Sumber (sumber sejarah disebut juga
data sejarah; bahasa Inggris datum
bentuk tunggal, data bentuk jamak;bahasa Latin datum berarti pemberian)
yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis
(Kuntowijoyo, 2005:95). Sumber sejarah terdapat dua jenis yaitu sumber primer
dan sumber.
1.Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber utama
yang merupakan sumber asli yakni bukti
yang sejaman dengan suatu peristiwa yang terjadi (Sjamsudin, 1996:66).
2.Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan hasil
penelitian dan penulisan dari penulis lain yang berdasarkan sumber pertama
(Sjamsudin, 1996:101). Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh
orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak langsung terlibat
dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek
tertentu (Sevilla, 1993:49).
3. Kritik Sumber
Kritik adalah tahapan setelah
menemukan sumber-sumber sejarah yang setelah itu dipilah-pilah dan hanya
digunakan sumber yang relevan dengan tema. Didalam penelitian sejarah kritik
sumber dilakukan dalam dua hal yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
1. Kritik eksternal
Dilakukan untuk mengetahui
keautentikan suatu dokumen yang dapat dilihat melalui kenyataan identitasnya,
yaitu dengan cara meneliti bahannya, jenis tulisannya, dan gaya bahasanya
(Kartodirdjo, 1992: 10). . Sumber yang dinilai asli itulah yang nantinya akan
melalui tahap selanjutnya yang bertujuan untuk mempertanyakan relibilitas
sumber.
2. Kritik internal
Kritik Internal merupakan aspek
“dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni) (Sjamsudin :143). Di dalam
kritik ini peneliti .akan berusaha meyakinkan bahwa data yang diperoleh adalah
suatu kebenaran. Kritik dilakukan dengan cara identifikasi penulisnya, sifat
dan wataknya, daya ingatannya, jauh-dekatnya dari peristiwa dalam waktu. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui pernyataan tersebut dapat diandalkan atau tidak
(Kartodirdjo, 1992: 10).
4. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah
adalah melakukan analisa dari fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah
dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta tersebut ke dalam
interpretasi yang menyeluruh (Abdurrahman, 1999:64). Interpretasi atau penafsiran
sering disebut sebagai biang subjektifitas. Subjektifitas penulis sejarah
diakui, tetapi untuk dihindari (Kuntowijoyo, 2005:102). Sehingga melakukan
analisis dari fakta sejarah yang diperoleh dan disusun dalam interpretasi yang
menyeluruh dengan mengurangi tingkat subjekktifitas dari penulis. Interpretasi
dibagi menjadi dua macam yaitu analisis dan sintesis.
1. Analisis
Analisis berarti menguraikan
(Kuntowijoyo, 2005:102). Dalam proses analisis ini akan menghasilkan fakta.
Penulis melakukan analisis terhadap sumber yang masuk dan kemudian akan
menghasilkan suatu fakta yang nantinya digunakan dalam penulisan karya ilmiah
ini.
2. Sintesis
Sintesis adalah menyatukan
(Kuntowijoyo, 2005:103). Dari kumpulan fakta tersebut akan menjadi rangkaian
fakta yang merupakan sebuah peristiwa yang nantinya akan digunakan dalam
penulisan.
5. Histeriografi
Historiografi adalah kegiatan
intelektual yang dilakukan oleh sejarawan untuk mengerahkan segala kemampuan
intelektualnya dalam membuat deskripsi, narasi, analiti kritis, serta sintesis
dari fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi, teori, hipotesis sehingga
menghasilkan suatu bentuk penulisan sejarah yang utuh yang disebut
historiografi (Sjamsudin, 1999:177).
Dari langkah-langkah yang telah
dijalankan dan memperoleh fakta-fakta baru maka langkah yang terakhir yaitu
melakukan penulisan. Oleh karena itu, penulis berusaha memaparkan fakta-fakta
yang ada secara kronologis.
Pola historiogrfi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pola deskriptif naratif. Pola Historiografi deskriptif
lebih menekankan pada kronologi dan kausalitas dari peristiwa tersebut. Pola
ini juga berusaha untuk mengkaitkan antara fakta yang satu dengan yang lainnya,
sehingga menghasilkan tulisan yang menarik. Ciri-ciri historiografi dengan pola
deskriptif naratif adalah:
1. Uraian logis mengenai suatu proses
perkembangan terjadinya peristiwa
2. Berdasarkan coommen sense (akal
sehat), imajinasi, ktrampilan ekspresi bahasa dan pengetahuan fakta.
3. Proses terjadinya peristiwa secara
genesis (dari awal sampai akhir)
4. Keterangan mengenai sebab-sebabnya
(kausalitas) secara deskriptif
5. Ditulis tanpa teori dan metodologi.
PEMBAHASAN
2.1 Keadaan Ekologi dan Geografis Balikpapan
Balikpapan adalah salah satu kota di
Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan jalan masuk ke wilayah Kalimantan
Timur. Kondisi geografis pantai yang landai serta berada dalam teluk dengan
ombak yang tidak terlalu besar merupakan syarat sempurna untuk mengembangkan
sebuah pelabuhan alam.
Sejak terdapat usaha untuk melakukan
pengeboran miyak pertama untuk menentukan lokasi perminyakan pada tahun 1897,
maka menampung minyak bumi tersebut didirikan depot penyimpanan sari sekitar
pantai Teluk Balikpapan.
Pelabuhan Balikpapan terletak di
posisi yang aman dari gangguan kekuatan alam maupun gengguan keamanan dari
manusia, yang berarti pelabuhan Balikpapan aman dari terpaan angina dan
gelombang laut seta aktifitas prompak dari manusia. Letak pelabuhan di daerah
teluk yang menjorok kedaratan membuat pelabuhan ini terrlindung dari ombak
besar. Kondisi ini sangat mendukung bagi terjadinya aktivitas bongkar muat
barang.
Pada tanggal 15 April 1898 ditemukan
sumur minyak yang cukup banyak di daerah konsensi Mathilda di Balikpapan yang
menghasilkan 32.618 Barrel minyak bumi di tahun 1899. Pengembangan Kota
Balikpapan dilakukan dengan pembangunan infrastruktur mengikuti jalur garis
pantai, mulai dari jalan, pasar pipa pengaliran minyak dan kabel telegram.
Pengembangan ini disebabkan karena adanya daya tarik industri sebagai magnet
yang menarik perluasan kota yang menarik perluasan kota yang berdekatan dengan
daerah industri.
Selain itu, perluasan ini bertujuan
untuk memudahkan untuk mobilitas pegawai-pegawai perusahaan minyak yang bekerja
di pabrik penyulingan yang terletak di tepi Teluk Balikpapan. Pembangunan
pipa-pipa juga diutamakan untuk mengalirkan minyak mentah dari lapangan minyak
yang terletak di Samboja dan Sanga-sanga. Setelah proklamasi kemerdekaan,
pembangunan kota tetap seperti pola sebelumnya, namun juga melakukan perluasan
ke arah pedalaman.
2.2 Awal Berdiri dan Perkembangan Industri Minyak di Balikpapan.
Lahirnya industri minyak di Hindia
Belanda diawali dengan usaha yang dilakukan oleh Jan Reerink pada tahun 1871.
Reerink melakukan usaha pengeboran minyak di Cibodas, Jawa Barat. Tetapi
mengalami kegagalan karena struktur tanah yang lembek. Pada tahun 1883 Aeilko
Zijker menemukan potensi adanya kandungan minyak bumi di Langkat, Sumatra
Utara. Pemboran segera dilakukan dengan hasil yang tidak memuaskan. Setelah dua
tahun berselang, Zijker kembali melakukan penambangan yang kedua di Telaga
Tunggal, walaupun hasil dari kedua pengeboran tersebut belum memenuhi harapan,
namun Zijker melihat ini sebagai potensi yang harus dikembangkan dengan cara
penambahan modal.
Zijker memutuskan kembali ke Belanda
untuk mendirikan sebuah perusahaan minyak yang mampu mengelola produksi,
pengilangan, dan pemasaran dari minyak yang dihasilkan. Setelah berhasil
mengumpulkan modal dan mendapatkan bantuan dari teman-temannya yang berpengaruh
di Den Haag, perusahaan Royal Dutch didirikan pada tanggal 16 juni 1890 (
Barlett, 1986:45).
Perusahaan minyak lain yang dating
untuk berinvestasi di Hindia Belanda ialah Shell Transport and Trading Co.
perusahaan itu mendapatkan konsensi minyak di Balikpapan Kalimantan Timur, yang
kemudian dilakukan pendirian instansi pengilangan. Pada akhir abad ke XIX
minyak telah ditemukan di hampir seluruh Hindia Belanda seperti di Sumatra
Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Penemuan
sumber minyak baru tersebut mendorong berbagai perusahaan minyak untuk
menginvestasikan modalnya di Hindia Belanda. Jumlah perusahaan minyak tersebut
terus bertambah dan sudah mencapai 18 perusahaan.
Pada abad ke XX terdapat dua
perusahaan minyak baru yaitu Royal Dutch dalam bidang produksi dan pengilangan
dan perusahaan nilai minyak Shell di bidang transportasi dan pemasaran.
Perusahaan minyak Shell didirikan pada tanggal 18 Oktober 1897 yang bertujuan
untuk mengambil alih aset-aset M. Samuel Company termasuk daerah konsensi
minyak beserta pengilangannya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Royal Dutch
memiliki kapasitas produksi minyak terbesar di Sumatera, namun memiliki sedikit
armada tanker dan gudang penyimpanan, sedangkang perusahaan Shell memiliki
armada tangker dan yang besar dan tempat
penyimpanan yang memadahi di Asia. Kedua perusahaan memiliki ambisi untuk
memasuki pasar Eropa secara intensif. Untuk mewujutkan ambisinya tersebut
dibutuhkan modal dalam jumlah besar. Akhirnya kedua perusahaan tersebut
mengadakan perundingan selama dua tahun antara 1900-1902 dan menghasilkan
keputusan untuk mendirikan perusahaan patungan dengan nama Shell Transortation
and Royal Ducth Petroleum Company Ltd (Bartlett, 1986:46).
Kondisi perusahaan Royal Dutch yang
semakin gemilang berbanding terbalik dengan perusahaan Shell yang semakin
terpuruk, sehingga diadakan perundingan lagi diantara kedua perusahaan tersebut
dan sepakat untuk mengabungkan kedua aset mereka dengan komposisi Royal Ducth
memperoleh 60% dan Shell memperoleh 40% dari total pembagian aset perusahaan.
Setelah Royal Dutch Shell terbentuk,
maka perusahaan tersebut membentuk 3 anak perusahaan yang memiliki tugas dan
tanggung jawab berbeda-beda. Ketiga anak perusahaan tersebut ialah, Bataafsche
Petrolrum Maatschappij (BPM) yang bergerak dalam bidang produksi dan
pengilangan. Kedua adalah Anglo Saxon Company yang bergerak dalam bidang
distribusi dan mengontrol armada tanker yang dimiliki. Ketiga adalah Asiatic
Peroleum Company yang bergerak pada bidang pemasaran produksi minyak.
Keresidenan Kalimantan Tenggara
merupakan salah satu daerah di luar Jawa yang mengalami perubahan komoditas
ekspor. Pada awal tahun 1900an komoditas utama dari karesidenan Kalimantan
Tenggara ialah getah pertjah, rotan dan tembakau. Munculnya minyak bumi yang merupakan komoditas baru telah
mengeser posisi getah petjah sebagai komoditas ekspor utama di Kalimantan
Tenggara. Kondisi ini berlangsung pada awal tahun 1910 hingga menjelang Perang
Dunia II. Produksi minyak bumi baik yang telah diolah ataupun masih berupa
minyak mentah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% dari nilai total
ekspor Kalimantan Tenggara (Pratama, 2012: 72).
Pusat penyulinagan minyak mentah di
Kalimantan Tenggara terletak di Balikpapan. Kilang tersebut menyuling minyak
yang berasal dari daerah-daerah konsensi minyak disekitar Balikpapan. Pada
awalnya terdapat 3 konsensi yang menyuplai kebutuhan minyak mentah untuk
disuling dikilang minyak Balikpapan, ketiga konsensi tersebut ialah konsensi
Mathilda yang terletak diteluk Balikpapan, konsensi Louse yang terletak di
daerah Sanga-sanga dan yang terakhir adalah konsensi Nonny yang terletak disebelah
timur konsensi Mathilda. Ketiga konsensi tersebut telah diberikan oleh
Kesultanan Kutai dan dimiliki oelh Jacobus Hubertus Menten.
Semula konsensi-konsensi yang
diperoleh diperuntuhkan untuk tambang batubara. Pada perkembangannya, pada
tahun 1891 konsensi Mathilda dan konsensi Louise dimasukan dalam undang-undang
pertambangan colonial Belanda yang kemudian dituangkan dalam besluit 30 Juni
1891 no 4. Dikeluarkan besluit akhirnya dapat memperluas cakupan barang tambang
yang dapat diekploitasi sehingga memungkinkan untuk mengusahakan minyak bumi
(Anonim, 1996:24).
Keberhasilan pencarian minyak di
Jawa menarik perhatian Menten untuk melakukan penyelidikan terhadap konsensi
yang dimiliki. Pada tahun 1897 mulai melakukan pengeboran di konsensi Louise di
Sanga-sanga dan menemukan potensi adanya minyak pada kedalaman 46 meter.
Setelah Menten berhasil menemukan sumber minyak di konsensi Louise maka ia
menjual haknya atas ketiga konsensi tersebut kepada Shell. Shell akhirnya
membeli konsensi tersebut dan memenuhi persyaratan dari Undang-undang
pertambangan minyak di Hindia Belanda. Shell Trading and Transposrt Company
membentuk anak perusahaan baru yang bernama Nederlandsch Indische Industrie en
Handel Maatscheppij (NIIHM).
Proses eksplorasi untuk menyelidiki
kandungan minyak di konsensi Mathilda mulai dilakukan pada tahun 1896 olah
Adams dari Samuel & Co di London (Pratama, 2012: 74). Hasil penelitian
selama 14 hari dari konsesi tersebut menyimpulkan bahwa konsensi Mathilda
memiliki cadangan minyak yang besar. Pemboran untuk eksplorasi pertama
dilakukan pada tanggal 10 Februari 1897(Suprapto, 2008: 38). Pemboran tersebut
berhasil menemukan adanya minyak, sehingga diperlukan peralatan bor yang lebih
baik untuk meningkatkan produksi minyak tersebut (Anonim, 1987:66).
Pada tanggal 15 April 1898 NIIHM
mulai melakukan pengeboran di konsensi Mathilda disekitar Teluk Balikpapan dan
kemudian berhasil menemukan minyak pada kedalaman 180 meter (Anonim, 1996: 25).
Pad tahun 1898 produksi tahunan NIIHM mencapai 32.618 Barrel minyak mentah yang
berasal dari konsensi Louise dan Mathilda.
Setelah Shell dan Royal Dutch
memutuskan untuk mengabungkan aset mereka di tahun 1907, maka posisi NIIHM
dalam mengeksplorasi konsensi Louise dan Mathilda digantikan oleh BPM, yang
merupakan anak perusahaan Royal Dutch Shell yang bergerak pada bidang produksi
dan pengilangan. Pada tahun 1912 BPM memperoleh konsensi baru di wilayah
Balikpapan, yaitu konsensi Batakan, Manggar I dan II dan Tritik.
Penambahan konsensi tersebut membuat
BPM menguasai hamper seluruh wilayah Balikpapan, sehingga BPM juga memiliki
wewenang untuk mengatur pola pembangunan infrastruktur fisik seperti, wilayah
pemukiman,jalan, jalur pipa, kabel telegram dan telepon yang digunakan untuk
mendukung kepentingan pengembangan industri minyak di teluk Balikpapan.
Pada tahun 1910 ditemukan juga
sumber minyak yang sangat menjanjikan di Samboja, sehingga dibangun jalur pipa
hingga ke kilang minyak Balikpapan. Konsensi Louise merupakan konsensi yang
paling produktif yang mensuplai sebagian besar minyak mentah bagi kilang minyak
Balikpapan.
Efesiensi pengeboran di konsensi
Louise baru tercapai pada tahun 1920 ketika bor tumbuk digantikan dengan bor
putar, dengan metode pengeboran yang baru tersebut sumur minyak dapat digali
mencapai 1000 meter. Produksi harian maksimal konsensi Louise dicapai pada
tahun 1930 yaitu sebesar 22.500 barrel.
Pabrik paraffin di Balikpapan
diperluas pada tahun 1912 dan baru selesai pada tahun 1913. Setelah selesai
diperluas pada tahun 1912 pabrik sulfur mampu menghasilkan produksi 450 ton
perbulan. Kilang minyak Balikpapan juga mendatangkan mesin-mesin perekah baru
yang beroprasi mulai bukan Mei 1913. Adanya mesin-mesin perekah baru tersebut
berhasil memperbaiki kualitas minyak tanah yang dihasilkan. Kabel telegram yang
menghubungkan antara Balikpapan dan Tarakan telah berhasil dibangun pada tahun
1912. Adanya kabel telegram tersebut memperlancar arus komunikasi antara
Balikpapan dan Tarakan yang berdampak pada efesiensi serta kelancaran jalannya
produksi minyak dikedua kilang.
Pada tahun 1918 dibagun sebuah
laboraturium dikilang minyak Balikpapan untuk memeriksa kualitas minyak mentah
dan kualitas produksi dari minyak yang telah dihasilkan. Peningkatan jumlah
pengiriman minyak mentah dari lapangan minyak Louise dan Samboja ke kilang
minyak Balikpapan, membuat jaringan pipa minyak mentah harus segera diperbesar.
Pembangunan jaringan pipa dengan diameter 8 inchi sepanjang 104 KM antara Lapangan
Louise dengan kilang minyak Balikpapan dimulai tahun 1923. Pembangunan tersebut
memakan waktu 2.5 tahun. Pembangunan pipa dari lapangan minyak Louise di
Sanga-sanga hingga kilang minyak Balikpapan selesai pada bulan Juli 1925.
Pada tahun 1925 pelabuhan Balikpapan
sudah padat dan sibuk. Agar proses pelayaran serta distribusi barang dan jasa
melalui pelabuhan dapat berjalan lancer, maka pada tahun 1925 pelabuhan
Balikpapan mulai diperluas dan diikuti dengan penambahan fasilitas bongkar muat
dan pergudangan.
Pembangunan lapangan terbang di
wilayah Sepinggan Balikpapan semakin memperlancar mobilitas serta mempersingkat
waktu tempuh bagi orang-orang yang berkunjung dan keluar dari Balikpapan,
khususnya bagi pegawai minyak Eropa. Pada bulan April 1935 sebuah maskapai
penerbangan yaitu Koniklijke Nederlandsce
Indie Luchtvaart Maatschappij (KLM) seminggu sekali melayani rute
penerbangan Batavia transit Surabaya kemudian Balikpapan.
Produksi yang dihasilkan kilang
minyak Balikpapan terdiri dari minyak paraffin yang dikemas dalam kaleng.
Minyak paraffin biasanya digunakan untuk bahan bakar penerangan dan penghangat
ruangan. Paraffin juga digunakan sebagai bahan baku lilin, dan keperluan
industri tekstil.
Proses penyulingan minyak mentah
juga menghasilkan produk bahan bakar untuk kendaraan yaitu bensin dan minyak
diesel (solar). Kilang minyak Balikpapan juga menghasilkan minyak pelumas yang
digunakan untuk mesin dan sisa residu dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
Produk yang dihasilkan kilang minyak Balikpapan mampu untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri Hindia Belanda, dan produk-produk tersebut kebanyakan diekspor.
Pada permulaan abad XX, ketika
produksi minyak di kilang minyak Balikpapan baru dikembangkan, distribusi
minyak mengunakan kapal tanker tidak begitu efektif. Produksi minyak dibawa ke
Eropa dan ketika kembali ke Balikpapan, kapal tanker tersebut membawa muatan
kargo berupa barang-barang padat, bukan cair. Akibatnya minyak yang dibawa
tidak begitu banyak karena bentuk kargo juga harus disesuaikan dengan barang
lainnya yang juga dibawa. Pengunaan mesin uap juga sangat membahayakan minyak
yang dibawa karena resiko kebakaran sangat tinggi.
Minyak yang dibawa dari pelabuhan
Balikpapan diekspor ke berbagai kota besar di Eropa dan Amerika, seperti ke
Barcelona, London, Rotterrdam, dan New York. Lancer atau tidaknya distribusi
ekspor minyak tergantung juga oleh faktor politik.
2.3 Industri minyak
Balikpapan pada masa penguasaan Jepang dan kembalinya BPM.
Kebutuhan pemenuhan barang-barang
mentah untuk industri Jepang dan pelarangan ekspor-ekspor barang-barang mentah
oleh beberapa negara Eropa termasuk Belanda. Akibat dari proteksi itu telah
menciptakan suatu gerakan politik dan militer jepang untuk memenuhi kebutuhan
bahan mentahnya dari negara-negara Asia. Jepang akhirnya mempropagandakan
program kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan Jepang sebagai pemimpinnya.
Perundingan antara pemerintah Hindia
Belanda dengan Jepang mengenai permintaan Jepang untuk menambah suplai minyak
kenegaranya mengalami kebuntuan pada bulan Juni 1941. Sebulan setelahnya,
Jepang memutuskan untuk melakukan eneksasi kewilayah selatan sampai Hindia
Belanda, British Malaya, dan Filipina. Aneksasi terhadap wilayah-wilayah
tersebut dilakukan untuk mengamankan suplai barang mentah ke Jepang dalam mendukung
perkembangan industri serta Perang Asia Pasifik yang dilancarkan oleh Jepang.
Sebelum Jepang berhasil menguasai
Balikpapan, peemerintah Hindia Belanda memberikan perintah untuk melakukan
penghancuran terhadap infrastruktur penting seperti kabel telegram, jembatan,
instansi minyak dan lapangan udara. Pada tanggal 18 Januari 1942 setidaknya ada
120 orang yang terdiri dari pegawai BPM dan tentara KNIL melakukan penghancuran
terhadap fasilitas minyak berupa tangki penyimpanan, jaringan pipa, unit destilasi,
dan pembangkit listrik.
Pergerakan pasukan Jepang yang cepat
serta kesiapan Pemerintah Hindia Belanda dan Sekutu yang kurang baik, membuat
pasukan Jepang dengan mudah menguasai apa yang mereka inginkan. Militer Jepang
dengan sangat cepat mampu menguasai lapangan minyak di Tarakan dan kilang
minyak di Balikpapan pada bulan Januari 1942.
Setelah Jepang berhasil Menjajah
Indonesia, mereka melakukan eksploitasi sumber daya alam terutama komoditas
penting yang menunjang Perang Pasifik yang dilancarkannya. Eksploitasi sumber
daya alam tersebut juga menggunakan tenaga orang-orang pribumi yang
mengakibatkan kehidupan sosial dan ekonomi orang-orang pribumi semakin
terpuruk. Untuk membangun infrastruktur-infrastruktur penting yang dihancurkan,
Jepang mendatangkan ribuan Romusha yang berasal dari Jawa. Dalam waktu 6 bulan
kilang minyak Balikpapan sudah dapat digunakan kembali walaupun kemampuan
produksinya menurun ( Trunajaya, 2010: 47). Selama pasukan Jepang menguasai kilang
minyak Balikpapan, produksi kilang minyak tersebut hanya diprioritaskan untuk
memproduksi bahan bakar minyak beroktan tinggi untuk keperluan penerbangan
serta minyak pelumas yang sangat dibutuhkan peralatan tempur Jepang.
Setelah Jepang melakukan konsolidasi
atas Balikpapan, mereka segera menduduki kantor BPM dan kantor pemerintahan
yang telah porak-poranda. Mereka mengambil semua aset perminyakan dan gedung
pemerintahan yang sebagian besar mengalami kerusakan yang amat parah. Roda
pemerintahan dipacu sekuat tenaga dengan melibatkan semua unsur yang di komando
langsung oleh prajurit Jepang. Akan tetapi roda pemerintahan tetap saja tidak
berjalan seperti yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya fasilitas
perminyakan yang hancur. Puluhan jembatan yang terputus, Badan jalan yang rusak
berlubang-lubang dan kesulitan mengumpulkan dokumen yang telah dihancurkan oleh
Belanda menjelang pengosongan Balikpapan (Suprapto, 2008: 120-121).
Guna mempercepat proses konsulidasi
pemerintahan, Jepang mengundang orang-orang Balikpapan untuk melakukan
pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh pegawai Belanda. Orang-orang Jepang
juga mendekritkan bahwa pemerintahan rutin dan tugas-tugas lain harus terus
berlanjut, hingga roda pemerintahan bisa berjalan normal. Beberapa tokoh
masyarakat kemudian terlibat dalam mobilisasi jabatan di pemerintahan yang baru
dibentuk tersebut.
Lambat laun roda pemerintahan di
kota minyak tersebut secara bertahan mulai berjalan normal meskipun masih
banyak kekurangan disana-sini. Komandan tinggi prajurit Jepang mengumumkan
bahwa daerah bekas Hindia Belanda masuk dalam wilayah kemakmuran bersama Asia
Raya dengan selogan tiga A kepada rakyat, yakni Jepang Pemimpin Asia, Jepang
Sinar Asia, dan Jepang Pelindung Asia.
Hancurnya armada laut Jepang dalam
pertempuran Midway membuat militer
Jepang yang semula berada dalam posisi menyerang menjadi bertahan. Pada awal
tahun 1945 serangan udara Sekutu pada kedudukan Jepang di Indonesia semakin
intensif dan berhasil menghancurkan hampir seluruh infrastruktur penting di
Balikpapan, termasuk instansi kilang minyak. Pada bulan Juli 1945 pasukan
sekutu yang didominasi oleh tentara Australia berhasil menguasai Balikpapan.
Setelah seluruh pasukan Jepang menyerah kepada Sekutu pada bulan Agustus 1945
maka di Balikpapan pada tanggal 10 September 1945 diadakan upacara penyerahan
wilayah Kalimantan Timur di atas kapal perang Australia yaitu HMAS Burderkin
dari Jepang kepada Sekutu.
Pendaratan tentara Australia juga
diikuti dengan kehadiran NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) yang berusaha untuk mengambilalih kekuasaan
serta infrastruktur penting yang telah ditinggalkan oleh tentara Jepang. NICA
juga segera membebaskan tahanan dan tentara KNIL yang ditahan oleh Jepang. Para
teknisi minyak juga berdatangan untuk mulai melakukan perbaikan pada instansi
minyak BPM yang hancur akibat bombardir Sekutu di Balikpapan. Perbaikan
instansi minyak BPM juga dilakukan oleh para teknisi BPM yang datang kembali.
Mereka melakukan perbaikan di sepanjang jaringan pipa antara Sanga-sanga sampai
Balikpapan. Perbaikan infrastruktur penting lainnya adalah perbaikan kabel
telegram, jaringan telepon, jembatan, dan jaringan jalan di sepanjang instansi
minyak Balikpapan.
Adanya resistensi dari masyarakat yang
menolak kehadiran NICA menyebabkan situasi keamanan dan politik di Balikpapan dan
Sanga-sanga tidak kondusif. Terjadi juga sabotase yang dilakukan oleh
masyarakat pro republic terhadap instansi perminyakan BPM di Balikpapan dan
Sanga-sanga. Dampak dari situasi ini adalah aktivitas produksi minyak yang terjadi di kilang minyak BPM di
Balikpapan mengalami penurunan produksi.
Situasi keamanan yang kondusif di
kilang minyak Balikpapan baru tercapai pada pertengahan tahun 1950. Meskipun
demikian, produksi minyak mentah di lapangan Louise di Sanga-sanga tidak lagi
mencakup kebutuhan kilang minyak Balikpapan yang telah memiliki kapasitas
produksi sebesar 50.000 barrel perhari pada tahun 1950. Untuk mencukupi
kebutuhan tersebut maka Shell melakukan impor minyak mentah dari Serawak dan
negara-negara Timur Tengah lainnya (Barlett, 1986: 111).
Setelah tahun 1950 dan situasi
keamanan lebih kondusif BPM juga mulai melakukan perbaikan terhadap
infrastruktur disekitar kilang minyak, seperti pembangunan jalan, jembatan,
merehabilitasi perumahan karyawan yang berkebangsaan Belanda dan Inggris oleh
warga Indonesia.
Untuk meningkatkan produksi kilang
minyak Balikpapan, maka BPM/Shell
berupaya keras untuk menemukan sumur minyak baru. Adanya kemudahan proses
pemberian konsensi terhadap perusahaan minyak asing setelah adanya persetujuan
kontrak karya pada tahun 1960an membuat BPM/Shell meneruskan proses
eksplorasinya di Tanjung (Kalimantan Selatan) yang dimulai tahun 1930.
Shell/BPM membangun jaringan pipa
berdiameter 20 inchi antara Tanjung sampai Penajam. Pembangunan ini dilanjutkan
dengan pengerjaan jaringan pipa berdiameter 16 inchi dari Penajam ke kilang
minyak Balikpapan. Infrastruktur lain yang ikut dibangun adalah perumahan bagi
karyawan, rumah sakit, sekolah, instansi pipa air, pembangkit listrik, lapangan
terbang, dan jalan disepanjang jaringan pipa tersebut yang merupakan jalan
pertama yang menghubungkan wilayah Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan.
Beroperasinya lapangan minyak
Tanjung di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 1962 ikut memberi
sumbangan pada jaminan pasokan minyak mentah bagi kilang minyak Balikpapan.
Jumlah roduksi rata-rata minyak mentah di Tanjung hanya mampu berkontribusi
kurang dari 65% dari keseluruhan
kapasitas produksi kilang minyak Balikpapan. Untuk menutupi kekurangannya, maka
suplai minyak mentah tersebut, didatangkan dari lapangan Minas di Sumatera.
Pemasangan jaringan pipa tersebut
selesai pada akhir tahun 1961 dan mulai
beroperasi pada tahun 1962. Beroperasinya lapangan minyak Tanjung telah
menambah produksi kilang minyak Balikpapan sebesar 2 juta ton pertahun.
Lapangan minyak Tanjung merupakan lapangan produktif terakhir yang dioperasikan
oleh Shell di Kalimantan Timur.
PENUTUP
KESIMPULAN
Balikpapan yang berada di daerah
pesisir pandai dan telukan menjadikan sebuah pelabuhan kapal-kapal besar
seperti kapal tanker dan ditambah lagi merupakan daerah penghasil dan
pengolahan minyak bumi terbesar di Kalimantan. Awalnya ladang minyak bumi yang
ada di daerah Balikpapan adalah konsensi Mathilda, dan konsensi Louise yang
berada di Sanga-sanga. Karena kedua konsensi memiliki cadangan minyak bumi yang
melimpah, maka pemerintahan Hindia Belanda yang di wakili oleh perusahaan BPM mendirikan
kilang minyak yang besar di Balikpapan yang berdekatan dengan Konsensi
Mathilda.
Di bangunnya kilang minyak di
Balikpapan dikarenakan daerahnya berdekatan dengan pantai dan merupakan daerah
telukan yang aman dari ombak laut yang besar sehingga bisa dengan mudah
menyandarkan kapal-kapal besar seperti tanker sebagai kapal pengangut minyak.
Kilang minyak Balikpapan menjadi tujuan terpenting pada saat Perang Asia
Pasifik yang awalnya dikuasai oleh Belanda dan berhasil direbut oleh Jepang
dengan mudah. Mendekati akhir perang pihak Sekutu yang sebagian besar merupakan
tentara dari Australia menguasai Balikpapan kembali dengan pemboman
habis-habisan yang menyebabkan wilayah Balikpapan porak-poranda. Dan setelah
itu Balikpapan dikuasai oleh Belanda yang menaruh perusahaan BPM/Shell dan
menguasai kembali kilang minyak hingga saat perusahaan tersebut dinasionalisasi
oleh Indonesia melalui PT Pertamina.
DAFTAR RUJUKAN
90 Tahun Kota Balikpapan. 1987. Balikpapan: Humas Kota Balikpapan.
Buku Panduan Anjungan Sejarah Museum Minyak dan Gas Bumi Graha Widya
Patra. 1996.
Jakarta: Humas TMII.
Abdurrahman, Dudung. 1999.
Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bartlett, Anderson G.
1986. Pertamina: Perusahaan Minyak
Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum.
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Yayasan Benteng Budaya .
Onghokham. 2008. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta:
Gramedia.
Pratama, Akhmad Ryan.
2012. Industri Minyak Balikpapan: Dalam
Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian Hingga Proses Nasionalisasi. Malang:
UM Press.
Sevilla, Consuelo G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarata :
Universitas Indonesia.
Sjamsudin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Suprapto, Agus. 2008. Sejarah Balikpapan. Samarinda: Yayasan
Galeria Madani.
-------------------.
1997. Perang Berebut Minyak, Peranan
Strategis Pangkalan Minyak Kalimantan Timur dalam Perang Asia Pasifik.
Samarinda: Untag 17 Agustus.
No comments:
Post a Comment