PENGARUH CANDU DALAM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI JAWA
1800-1900
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Prof. Dr. Hariyono, M. Pd dan Ibu
Indah W.P. Utami,S.Pd.,S.Hum.,M.Pd
Oleh :
ERMI LIAHANA
110731435523
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Candu
sudah dikenal masyarakat nusantara sejak lama. Bahkan sebelum kedatangan VOC, candu sudah merupakan komoditas yang
diperdagangkan di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Masuk dalam komoditas utama dikarenakan peran
penting candu dalam perdagan dan sebagai alat pemerintahan Hindia Belanda dalam
melakukan control terhadap perekonomian masyarakat di Jawa kala itu. Selama 50
tahun, dari 1860 hingga 1910, mengisap candu merupakan hal yang amat popular di
Jawa. Pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan monopoli perdagangannya. Banyaknya pengguna candu di
Hindia Belanda saat itu, barang terlarang itu pun
memberikan keuntungan yang besar untuk para pejabat pribumi dan pemerintah
kolonial yang berkuasa di Indonesia saat itu. Selain diproduksi sendiri, saat
itu candu juga sudah diimpor dari berbagai negara dan kemudian dijual secara
terbuka dan dijual seluas – luasnya.
Di Jawa, berdasarkan hukum Hindia Belanda, terdapat tiga
golongan penduduk yaitu, orang barat, pribumi (inlander) dan Vreemde
Oosterlingen (Arab, China, India dan lainnya yang tak termasuk pribumi).
Pemerintah Belanda berperan sebagai penyedia candu di tingkat pusat. Sedangkan
para pedagang Cina berperan sebagai perantara distribusi kepada konsumen candu.
Masyrakat Jawa umumnya menjadi konsumen candu. menghisap candu menjadi trend
atau gaya hidup saat itu. Tidak hanya orang kaya saja yang menghisap candu
tetapi masyarakat kecil saat itu juga menghisap barang terlarang tersebut.
Bahkan, jumlah pengguna candu terbesar adalah masyarakat menengah ke bawah. Hal
ini dianalogikan dengan para perokok yang kebanyakan merupakan masyarakat yang
berpenghasilan minim.
Dalam
perdagangan candu, para pejabat VOC, sebagai upaya mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya, telah menciptakan sebuah organiasi "Candu Society".
Maka sampai 1880 pajak perdagangan candu merupakan salah satu penghasilan
terbesar bagi kas keuangan pemerintah kolonial Belanda. Pembagian itu kemudian
memudahkan Belanda menentukan siapa yang berhak menjual candu (candupacht). Pada
1850 hak jual itu telah memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintahan Hindia
Belanda termasuk mereka yang mendapat hak jual. Selain pihak colonial, pihak
yang paling diuntungkan adalah warga Tionghoa yang berhasil menyuap pemerintah
untuk bisa mendapat hak jual. Disis lain masyarakat pribumi yakni orang Jawa menjadi
rantai bisnis candu yang secara tidak langsung menjadi obyek pemerasan baik
oleh pihak pemerintah maupun orang Tionghoa yang berperan sebgai distributor.
Pada
akhirnya di sekitar awal abad 20-an pemerintah Belanda mulai menerbitkan aturan
larangan adanya perdagangan candu. Meski telah dilarang namun tetap terjadi
perdagangan candu yang bersifat perdagangan gelap. Perdagangan candu merupakan
suatu komoditi yang tidak sedikit memberi keuntungan dalam bidang ekonomi bagi
pemerintah Hindia Belanda pada masa pemerintahannya di Indonesia, namun juga
memiliki dampak yang negatif dalam
bidang sosial, ekonomi dan politiknya pada masyarakat saat itu. Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis mengambil judul makalah “Pengaruh candu terhadap perekonomian masyarakat Jawa tahun 1800-1900”.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kondisi perekonomian
masyarakat di Jawa Tahun 1800-1900?
2.
Bagaimana peran dan dampak candu dalam
kehidupan perekonomian masyarakat di Jawa?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui kondisi perekonomian
masyarakat di Jawa Tahun 1800-1900.
2.
Mengetahui peran dan dampak candu dalam
kehidupan perekonomian masyarakat di Jawa.
1.4 Metode
Penelitian
Metode
penelitian merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh suatu
pengetahuan atau memecahkan masalah yang dihadapi, (Ali, 1982:21). Metode
yang dipakai peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Penelitian ini menggunakan metode penelititan
sejarah (historical method). Sumber data dibagi menjadi dua yakni sumber data
primer dan sumber data sekunder (notosusanto, 1971: 21). Dalam mendapatkan data
penulis hanya menggunakan sumber data sekunder.
Sumber sekunder yang digunakan untuk penulisan makalah ini berupa kajian pustaka diperoleh dari buku relevan dan artikel. Semua hasil
pengumpulan sumber yang diperoleh kemudian di intrepetasi oleh peneliti dan
diolah dalam bentuk makalah.
II PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Perekonomian Masyarakat Di Jawa
Tahun 1800-1900
Kondisi
perekonomian Hindia Belanda pada awal mulanya dikuasai oleh VOC beserta dengan kebijakan
perekonomiannya. Setelah VOC bubar maka pemerintahan diambil alih oleh
pemerintahan Hindia Belanda yang secara otomatis turut merubah kebijakan
ekonomi di pulau Jawa. Karena warisan utang yang diberikan VOC cukup banyak
maka pemerintahan Hindia Belanda memutar otak untuk dapat memeproleh pendapat
yang besar dalam waktu yang singkat. Faltor lain yakni pasaca perang Jawa oleh
pangeran Diponegoro yang menguras habis kas pemerintahan Hindia Belanda.
Langkah pertama yang diambil adalah dengan mengangkat Van Den Bosch sebagai
Gubernur Jenderal di Hindia Belanda dengan tugas pokok menggalai dana
sebanyak-banyaknya untuk mengisi kembali kas Negara yang kososng, membayar dana
perang dan membayar hutang Beanda.
Setelah dilantik salah satu kebijakan
ekonomi yang diambil adalah Cultuur stelsel(tanam paksa) yang berlangsung dari
tahun 1830-1870. System ini memusatkan
pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Cultuurstelsel memiliki
aturan-aturannya yang telah ditetapkan oleh pusat namun dalam prakteknya
mengalami banyak penyelwengan dikarenakan kurang ketatnya pengawasan dan target-target
yang harus dipenuhi para kepala residen dalam menyerahkan hasil produksi. Penyelewengan
yang terjadi antar lain penyediaan tanah melebihi dari tanah yang ditentukan,
semula kegagalan panen merupakan tanggung Jawab dari pemerintah namun dalam fakta
lapangan kegagalan petani masuk tanggunagan petani. Penyelewenagan yang
selanjutnya adalah waktu penanaman dan perawatan padi lebih panjang dari waktu
yang telah ditetapkan dan kelebihan hasil wajib diserahkan kepada pemerintah.
Dinilah terdapat peran kecil
orang-orang China yang diperlukan Belanda
untuk turut pula dalam menyelamatkan perekonomian Belanda. “ sebagai bentuk
untuk mengeksploitasi tenaga petani dan berbagai sumber daya lainnya,
manipulasi licik terhadap kekuasaan feudal orang-orang Jawa dan kecerdasan
orang-orang Tionghoa ini mempu menyelamatkan kompeni yang sedang sekarat. Pada
abad ke 19 manipulasi ini diterapkan dengan sangat intensif. Orang-orang Belanda
menggambarkan dengan sangat kasar, tetapi tepat dalam ungkapan kolonial yang
sering terdengar, “Orang Jawa membajak dan menanam, orang-orang Tionghoa
memanen dan orang-orang Eropa yang memebawanya pergi”, (Rush, 1990:20-21).
Akibat
dari adanya penyelewengan ini mengakibatkan kesengsaraan dalam kehidupan
perekonomian masyarakat Jawa. Sawah ladang menjadi tempat sumber mata
pencaharian menjadi terbengkalai diakibatkan sebagian besar waktu petani digunakan
untuk mengurus tanaman wajib dan melakukan kerja rodi. Penghasilan petani yang
sangat sedikit masih digunakan untuk membayar pajak dan kebutuhan hidup lainnya
akibatnya keadaan masyrakat pada saat itu serba kekurangan. Kemiskinan sudah
mengintai di depan mata, belum lagi penderitaan fisik dan mental yang semaikin
mencekik. Pada akhirnya banyak terjadi peristiwa kelaparan dan busung lapar
yang berujung pada peningkatan angka kematian. Hal ini mengakibatkan turunnya
jumlah penduduk secara drastic.
Di pihak Belanda, kas negara
mengalami pemasukan yang besar. Pemerintahan Belanda puas dengan pemasukan finansial
yang cukup banyak bahkan melebihi target yang direncanakan. “Sistem tanam paksa
memberikan banyak keuntungan finansial bagi Belanda, antara tahun 1831-1866
sekitar 672 gulden dipasok ke Belanda dari keuntungan-keuntungan yang dihasilan
di Hindia…..oleh karena itu, periode 1860 merupakan periode yang bergerak
menjauhi system tanam paksa dan mendekati kapitalisasi pertanian komersial
swasta”(Rush, 1990:22-23).
Melihat dampak positif di pihak Belanda dan dampak negative dikalangan pribumi
maka terjadi berbagai pertentangan baik dikalangan Belanda maupun pribumi. Para
pengusaha menginginkan adanya kebebasan berusaha dan menghapus cultuur stelsel
yang tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Tokoh yang menetang adanya system
tanam pakasa adalah Baron Van Hoevel dan Douwes Dekker. Penetangan ini lambat
laun sampailah pada negeri Belanda yang kemudian secara berangsur dihapuslah
system tanam paksa mulai dari tanaman nila, teh, kayu manis, tembakau dan tebu.
Tanaman terkahir yang dihapus adalah tanaman kopi pada tahun 1917.
Dihapusnya system tanam paksa ini
membuat sebagian masyarakat dan kalangan penentang menjadi sedikit lega. Namun
penghapusan ini tidak semata-mata menghapuskan penderitaan rakyat. Bersamaan
dengn dihapuskannya cultuurstelsel secara berturut-turut selanjutanya
dibentuklah UU agrarian yang menggantikan kebijakan perekonomian sebelumnya. “UU
agrarian tahun 1870 secara pasti memutuskan isu swasta versus negara dengan
kemenangan mutlak di pihak swasta”. (Rush, 1990:23). Tujuan dari dibentuknya
unadang-undang ini adalah untuk melindungi hak milik petani atas tanah yang
dimilikinya, memeberikan peluang kepada para pemodal asing untuk menyewa tana
dari penduduk pribumi dan memeberi kesempatan kerja kepada penduduk terutama
menjadi buruh perkebunan. Dengan diciptakannya UU Agraria ini tidak jauh
berbeda dengan system perekonomian Cultuurstelsel yang juga sama-sama memeras
tenaga rakyat dengan membabi buta.
Pada tahun 1870 jumlah penduduk
meningkat tajam menjadi 18 juta jiwa dari semula lima juta jiwa. Kepadatan
penduduk ini memaksa penduduk untuk menyebar ke daerah yang kurang padat.Selain
pembukaan perekebunan secara besar-besaran pamerintah juga mendirikan industry
pengolahan hasil perkebunan. Akibat pembukaan
perkebunan dan industry oleh pemerintahan colonial Belanda maka Pada periode
tahun 1870-1880 sejumlah besar buruh tani pindah dan pergi meninggalkan desa
mereka untuk mencari pekerjaan sebagai buruh perkebunan dan pekerja serabutan.
.”Pada 1870-1880an banyak orang semacam itu tinggal di kampung-kampung padat di
bantaran luar kota lokal atau di barak-barak pabrik yang dibangun sekaligus
sebagai rumah bagi para pekerja pabrik dan lading di daerah-daerah pengahasil
gula”(Rush, 1990:25). Profesi yang ada saat itu selain buruh pabrik dan
perkebunan, ada pula yang bekerja sebagai buruh musiman dan paruh waktu serta
pedagang. Uang yang didapat ini membantu mereka membayar sewa tanah dan
digunakan untuk membeli barang-barang keperluan serta membeli kesenangan dengan
mengisap candu (Rush, 1990:25). Upah yang mereka dapatkan dari bekerja selain
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebgaia besar juga digunakan para petani
untuk memenuhi kebutuhan bersenang-senang yaitu kebutuhan akan mengkonsumsi candu
atau candu. Pada awal abad ke-19 mengkonsumsi candu menjadi sebuah kebiasaan
yang lazim dikarenakan peredaran candu yang suda meluas dalam kehidupan
masyarakat Jawa pada waktu itu.
Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa terjadi peningkatan kemakmuran pada tingkat kemakmuran marginal yang
ditandai dengan meningkatnya penjualan candu. Namun mudah menguapnya sector
uang ini membuat rakyat Jawa menjadi rentan. Pihak yang sangat terlibat dalam
perubahan itu adalah pak candu yang merupakan pajak besar dan paling menguntungkan
yang dikelola oleh para orang Tionghoa di Jawa. “sekitar tahun 1860an pak candu
muncul sebagai sebuah lembaga kunci di Negara kolonial ini dengan saling
berhubungan dengan lembaga-lembaga seperti system pegawai Tionghoa, pangreh
raja dan pegawai colonial. Ada tahun perkembangan ekonomi setelah berakhirnya
system tanampaksa, pak candu mencap bentuknya yang paling matang dan memiliki
pengaruh paling luas. “(Rush, 1990:26).
2.2
Peran
Dan Dampak Candu Dalam Kehidupan Perekonomian Masyarakat Di Jawa
Sebelum diuraikan mengenai candu
dalam kehidupan masyarakat candu terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian
candu yang masuk dalam jenis narkotika. Pengertian narkotika menurut Undang
Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1, yaitu zat atau obat yang
berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sedangkan yang dimaksud ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah
gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan
gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan. Istilah narkotik mencakup
berbagai jenis bahan sebagai berikut.
-
obat terlarang, seperti kafeina, tembakau dan alkohol
-
obat yang dapat dibeli di apotek atau pasar swalayan, seperti analgesik, misal
aspirin, kodin dan parasetamol serta obat anti-radang non-steroid
-
obat resep seperti obat penenang, missal Valium, Rohypnol dan Serepax
-
obat terlarang, seperti ganja, heroin, halusinogen dan amfetamina
-
bahan lain yang disalahgunakan, seperti pelarut dan bensin.
Istilah
narkotik dalam pengobatan merujuk kepada bahan candu dan turunannya atau bahan
sintetik yang bertindak seperti candu. Semula sumber bahan narkotik adalah
pohon popi Papaver somniferum. Apabila buah popi muda disadap (menggores)
maka akan mengeluarkan getah (sejenis alkaloid) berwarna putih dan
dinamai "Lates" Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan
buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu
adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau
candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering
disalahgunakan. Candu mentah ini juga dapat diperoleh dalam bentuk cair, padat
atau serbuk. Saat ini candu mentah ini juga dapat dihasilkan secara sintetik
dengan cara mengeluarkan alkaloid tersebut dari pohon popi tua yang kering.
Candu dapat menghasilkan sedikitnya dua kelompok alkaloid. Pertama
bahan seperti morfin dan kodeina, dan kelompok kedua yaitu bahan yang terdiri
dari papaverin dan noskapin. Candu bisa berupa morfin ataupun kodein
tergantung pengolahan masing-masing.
Baud,
J.C 1835 dalam James (1990:27) menyatakan bahwa ketika orang Belanda mendarat pertama
kali di Jawa pada akhir abad ke 16, candu sudah menjadi komoditas penting dalam
perdagangan regional. Pendapatan yang dihasilkan dari monopoli candu meningkat
secara dramatis pada seperempat abad ke 19. Dalam bisnis transaksi Candu dikenal adanya
istilah pak candu. James S. Rush, (1990:1) menjelaskan bahwa pak candu (candupacht)
adalah kesepakatan monopoli atas penjualan candu. Biasanya monopoli semacam itu
diberikan oleh negara kepada mereka yang bermufakat dengan negara untuk menjual
candu. Mereka disebut juga dengan ”pengepak” dan memiliki jangka waktu tertentu
untuk melaksanakannya. Kelompok yang dominan menajalankan pak candu adalah orang
Tionghoa. Pak candu tiongha adalah elit kecil di wilayah Jawa kolonial.
Keluarga Tionghoa Jawa adalah mereka yang memiliki kekayaan dan kedekatan
dengan pemerintah Belanda. Mereka
di butuhkan oleh Belanda sebagai perantara untuk memasarkan barang-barang milik
kompeni. Di pulau Jawa pada sekitar abad 19, para saudagar Tionghoa
membayar mahal untuk mendapatkan hak istimewa ini. Jadi mereka memasok pajak
dalam jumlah yang besar kepada pemerintahan Belanda Hingga kompeni pun
mengangkat seorang kapitan dari orang tiongha untuk pertama kalinya di Batavia
pada 1619 hal ini dimaksudkan agar kapitan atau pejabat-pejabat yang diangkat
oleh Belanda ini bisa mengendalikan komunitas tiongha diwilayah yang terdapat
tiongha Jawa tersebut.
Dalam
perkembangannya Belanda pun mengeluarkan aturan-aturan untuk orang
ini, dalam hal ini Belanda menunjukkan betapa pentingnya orang tiongha bagi
Belanda selain itu aturan-aturan itu juga di maksudkan untuk melengkapi sistem
tanam paksa. Peter
Carey menuliskan bahwa setidaknya terdapat 372 tempat terpisah di yogyakarta yang menerima lisensi untuk
menjual candu. Akan tetapi persebaran candu tidak merata, orang Banten Jawa Barat
dan sekitarnya menolak transaksi candu secara terang-terangan meskipun disisi
lain tetap terjadi transaksi candu secara gelap namun dalam jumlah yang
sedikit. Diperkirakan sekitar 60% candu yang dikonsumsi di Jawa adalah merupakan
candu gelap dan candu ilegal. Penyeludupan
candu menjadi hal lumrah bagi hampir semua orang karena mudahnya pembelian candu
mentah di Singapura,
Cina atau dipelabuhan-pelabuhan bebas di Kepulauan Indonesia, mudahnya candu
melewati bea
cukai
yang tidak efisien dan menarik di Belanda Jawa. Singkatnya, penyeludupan candu
adalah bagian rutin perdagangan komersial orang-orang Tionghoa. Disepanjang
garis tapal kuda konsumen candu cukup tinggi yang kemudian menjadi sebuah ciri
umum kehidupan kota dan desa abad ke 19.
”Diantara
orang-orang Belanda yang lebih menyukai gin, candu adalah sifat buruk yang
diasosiasikan dengan orang-orang blasteran yang lemah dan orang-orang ”jahat”
yang menghilang di kampung-kampung dan daerah kumuh (P.A Daum 1987:195 dalam Rush(1990:29). Pandangan
inilah yang menjadi salah satu faktor adanya sekat dalam menikmati candu. Bagi
mereka kaum Eropa dikhususkan menikmati candu yang berupa gin di tempat yang
disediakan khusus bagi kaum Eropa. Tidak boleh seorangpun Tionghoa ataupun
pribumi yang boleh memasuki ruangan khusus ini. Namun di kalangan Tionghoa
kebiasaan ini populer. Bedanya mereka menikmati candu di rumah klub-klub candu
pribadi sedangkan orang-orang dari golongan rendah dan miskin menikmati di
pondok-pondok umum dan berbagi dengan
penduduk setempat.
Pada
akhir dekade 1840-an
Jawa mengalami krisis beras dan bencana kelaparan karena para petani tidak lagi
punya waktu dan tenaga untuk mengurus sawah mereka (Gonggrijp, 1949). Selama
masa tanam paksa (1830-1870) produktivitas pertanian di Jawa memang melesat
tinggi namun penerimaan para petani tidak ikut melesat. Penghasilan yang
diterima sangat kecil karena lebih dari setengah penghasilan mereka diambil
oleh pemerintah sebagai pembayaran pajak tanah. ”Lebih buruknya lagi sebagian sisa
uang tanam dihabiskan rata-rata petani untuk membeli candu yang memang diperdagangkan
secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda dan merupakan
sumber penghasilan dalam negeri terbesar kedua setelah pajak tanah. Setiap
tahun pada abad ke 19 puluhan ton candu digelontorkan pemerintah kolonial ke Jawa
melalui agen-agen candu China yang membuka warung dan tempat madat di setiap sudut kota (Vanvugt,
1985 dalam Rush, 1990:31).
Dalam
kehidupan sosial masyarakat di Jawa, dikenal tiga orang yakni bangsa Belanda
sebagai bangsa kolonial, orang China sebagai pelaku mayoritas dalam ekonomi dan
suku Jawa sebagai bangsa pribumi. Berikut merupakan penjelasan tentang peran masing-masing dalam proses transaksi
candu.
a.
Pemerintahan
Hindia Belanda
“Para saudagar petualang Belanda pertama kali
memasuki perairan Indonesia pada sekitar awal abad ke-17. Bagi mereka dulu Jawa
tidak begitu menarik dibandingkan dengan pulau-pulau penghasil rempah-rempah di
kepulauan Maluku. Namun jalan menuju sumber-sumber pala dan cengkih yang jauh
ini sangat panjang dan rawan. Pertimbangan –pertimbangan kepraktisan dan
kemanan segera menobatkan Jawa sebgai tempat berpijak”,( Rush, 1990:10). Untuk
semakin memperkuat cengkeramannnya maka Belanda mendirikan persekutuan dagang
yang disebut dengan VOC. Setelah kemunduran dan VOC bubar pada tahun 1799, maka
pemerintahan segera diambil oleh pemerintahan langsung Hindia Belanda.
“Belanda sangat berkuasa di Jawa meskipun dari
segi jumlah mereka hanya bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Dari 18 juta
penduduk Jawa tahun 1870an, hanya sebanyak 27.000 (0,15 %) adalah orang-orang Eropa”,
(Rush, 1990:13). Meski dengan jumlah yang sangat sedikit namun oran-orang
Belanda mampu mengambil alih kekuasaan ekonomi Jawa dengan kemampuan menejemen
dan kekuatan politiknya. Ketika candu menjadi komoditas yang menguntungkan maka
Belanda mulai memonopili perdagangan candu. Belanda mulai melakukan impor
terhadap candu mentah dalam jumlah besar. Saat itu India merupakan penghasil
terbesar Candu Mentah. Dalam perkembangannya candu semakin berkembang hingga
didakannya pelelangan pak candu di kediaman resmi bupati senior di masing-masing
daerah. Sejak saati itu took-toko penjual Candumulai banyak bermunculan dan
mulai dibentuk pula organisasi-organisasi pak candu.
b.
Orang China (Tionghoa)
Istilah
Cina yang juga sering dikenal dengan Tionghoa pada masa Hindia Belanda masuk
salah satu golongan masyarakat yang menghuni Pulau Jawa selain penduduk asli
(pribumi). Menurut Koentjaraningrat, (1985) orang-orang Cina di nusantara ini
dibedakan dalam 2 golongan, yakni orang Cina Totok dan orang Cina Peranakan.
Cina Totok adalah mereka yang budayanya tetap berorientasi pada budaya asal;
sedangkan Cina Peranakan telah berorientasi pada budaya setempat. Meskipun
demikian, pada masa kolonial mereka tidak mau disamakan dengan masyarakat
Indonesia asli (pribumi). Mereka senantiasa berusaha untuk tetap memelihara
identitas Cina-nya.
Dalam sejarah,
kedatangan orang China ke Nusanatara adalah dengan tujuan untuk berdagang. Para
peneliti cenderung menyatakan, sebagaimana di tulis oleh Soegijanto Padmo
(Sariyatun, 2005 : viii), bahwa peranan penting orang Cina sebelum kedatangan
bangsa Belanda adalah sebagai importir barang khususnya barang kerajinan dari
Cina dan eksportir barang dari Hindia (Indonesia). Komoditas ekspor waktu itu
meliputi pala, fuli, cengkeh, kayu cendana, emas, batu berharga, obat-obatan,
barang langka seperti burung, kulit penyu dan timah. Sedangkan barang impor
dari Cina berupa benang sutera, kain sutera, porselin, barang dari perak,
obat-obatan, kertas, gula, barang kerajinan, dan barang mewah.
Menurut
Rush (1990: 13) disebutkan bahwa orang China di Jawa saat itu berjumlah kurang
lebih 190.00 atau sekitar 1,5 % dari jumlah penduduk Jawa keseluruhan. Kedatangan
orang Cina selain untuk berdagang juga membawa tradisi, tata kehidupan dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat mereka serta sikap fanatisme terhadap
negara tradisi leluhur. Karena melakukan transaksi perdaganagn yang cukup lama
maka orang-orang China tersebut mulai menetap di sekitar daerah-daerah pesisir
nusantara. Di daerah Jawa khususnya orang China banyak menetap di pesisir utara
Pulau Jawa dan dengan seiring berjalannya waktu mulai menyebar ke daerah
pedalaman. Orang china mulai bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
tradisi masyarakat
sekitar, meski demikian mereka tidak pernah melupakan tradisi asli dari negeri
asal dan tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan di nusantara.
Dalam
bidang ekonomi, orang China memiliki peran penting dalam sejarah perekonomian
Indonesia. Aktivitas ekonomi orang Cina di Nederland Hindia pada
masa kolonial dibagi menjadi tiga periode yakni periode sebelum VOC, saat VOC
berkuasa dan pasca bubarnya VOC. Peran aktivitas ekonomi orang China yang
menonjol dan berhubungan dengan transaksi candu terjadi pada abad 19 hingga
20). Pada awal kedatangan orang Eropa ke pulau Jawa, China memandang
bangsa Eropa (Belanda)
sebagai salah satu pelaku ekonomi yang menguntungkan karena di dukung oleh manajemen
ekonomi yang bagus dan kekuatan militer
yang tangguh. Secara tidak langsung kedatangan bangsa Belanda telah merubah
posisi pedagang Cina yang semula sebagai penghubung perdagangan partai besar
internasional komoditas Hindia dan comoditas Cina telah bergeser dalam bentuk
pembelian produk local atau saluran tradisional dan menjual barang Cina. Orang
Cina menjadi penghubung dalam perdagangan kecil di pedesaan Hindia. Hal ini
disebabkan kapal Belanda memposisikan diri sebagai pengangkut barang dari
Hindia ke pasar internasional
di Eropa dan VOC membeli barang lokal sebagian besar dari orang Cina.
Kerjasama ekonomi yang dilakukan diantara
keduanya telah mengubah pandangan bangsa Belanda terhadap China. Orang Cina
dianggap sebagai tenaga kerja yang sangat diperlukan sebagai perantara dengan
pribumi. Oleh karenanya, warga keturunan Cina mampu memainkan peranan dibidang
perdagangan lokal, sehingga kegiatan ekonomi pedesaan di Indonesia
mayoritas dikuasai oleh orang Cina. Kompeni menilai orang Cina sebagai
pembantu dan kolaborator handal, untuk itu layak mendapat kebijakan
perlindungan pada comunitas Cina dan menempatkan Cina dalam hubungan patronage.
Sukses orang-orang Cina di samping karena kebijakan pemerintah colonial Belanda
dalam hal ini kompeni, juga karena budaya Cina yang ulet, hemat dan tekun.
Karena itu mereka mampu menguasai perekonomian dan berada pada kelas menengah
pada jaman colonial. Peranan minoritas Cina selain sebagai pedagang perantara
antara pihak Belanda dengan pihak pribumi juga sebagai pemborong pajak,
distribusi candu, pegadaian dan sebagainya. Mereka banyak juga yang beroperasi
di pasar sebagai pemberi kredit dengan bunga yang tinggi. Mereka itulah yang
menurut Sartono Kartodirdjo dijuluki sebagai “ Cina Mindring” (Arifin, M.T.
2005 : 220).
Dibawah
pemerintahan pejabat-pejabat yang diangkat Belanda, mereka berkelompok didaerah
pecinan di kota-kota pesisir dan di pusatpusat pemerintahan, serta sejumlah
besar kota-kota pedalaman di Jawa”, (Rush,1990: 13). “Dalam hubungan mereka
dengan orang-orang Eropa mereka tergolong bersikap santun dan ramah, dan sangat
cepat mehamai namun mereka ini juga penipu ulung karena tipu daya sudah
menjajdi pekerjaan ereka. ( Thorn, 2004:227). Karena faktor inilah orang-orang
china mendapat berbagai keistimewaan dan kewenangan dalam bisnis dan transaknsi
ekonomi di pulau Jawa. Golongan minoritas Tionghoa memiliki peranan besar dalam
perdagangan masa kolonial. Di dalam suatu komunitas Tionghoa juga terdapat satu
kelompok kecil yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Mereka adalah golongan
elite Tionghoa. Para elite ekonomi Tionghoa pada era kolonial berasal dari
kelompok Opsir Tionghoa dan keturunan mereka. Pada mulanya opsir dipilih,
tetapi lambat laun posisi itu menjadi “setengah” warisan (Suryadinata, 2002:
122).
Di
beberapa tempat, raja-raja buddha, sultan-sultan Melayu dan gubernur provinsi
kolonial memberikan hak-hak istimewa kepada pengepak Tionghoa untuk membeli
semua biji pinang, getah perca dan rotan. Selin itu terdapa juga hak untuk
mengumpulkan pajak atas tanah, binatang serta tanama-tanama tertentu.
Pada periode ini dapat dikatakan Cina
mengalami jaman keemasan dalam perkembangan ekonomi di Hindia, walaupun pola
perdagangan orang Cina mengalami perubahan penting dari perantara dalam
perdagangan internacional ke ekonomi pedesaan. Staatsblad 1855 nomor 79 yang
menyatakan bahwa kekuasaan hukum tentang aturan warga sipil ; aturan
perdagangan, dan hukum prosedur warga negara diberlakukan pada orang Cina demi
kepentingan perdagangan orang Eropa. Kebijakan petinggi colonial terhadap orang
Cina berkembang demikian rupa yang memungkinkan mereka muncul pada posisi
perantara. monopoli penjualan candu dan garam atas nama pemerintah colonial,
orang Cina dengan leluasa memperluas jaringan.
Belanda senang
menggunakan orang Tionghoa sebagai perantara dengan penduduk pribumi. Belanda
juga memakai orang Tionghoa sebagai tenaga administratif dan penarik pajak.
Orang-orang yang terkemuka tersebut diangkat untuk mengepalai komunitas
Tionghoa yang dikenal sebagai Chinese Officieren atau “Kapitan Cina”.
Mereka diberi tugas untuk menjelaskan berbagai peraturan dan undang-undang
pemerintah kepada kaum sebangsanya dan mengumpulkan pajak yang mereka bayar.
Sebagai imbalannya, ia diberi hak monopoli atas pembuatan garam, pertambangan
timah, dan pembuatan mata uang perak (Suryadinata, 2002: 121). Kebanyakan elite
tersebut adalah usahawan yang terjun dalam usaha ekspor-impor, pemilik
properti, pengumpul pajak, agen perusahaan barat, pengusaha besar pelayaran dan
produsen barang konsumsi.
Diantara para pemuka
bisnis yang sangat terkenal di Indonesia adalah keluarga Oei dari Semarang
(Jawa) dan keluarga Tjong dari Medan (Sumatra). Hal ini menunjukkan bahwa elite
ekonomi Tionghoa pada masa itu memiliki hubungan atau terlibat dalam
administrasi kolonial (sebagai Opsir Tionghoa), selain itu masing-masing mereka
juga menjadi pengumpul cukai terkemuka yang mendapat keuntungan besar dari
hasil monopoli. Para elite ekonomi Tionghoa juga tidak segan untuk
mendiversifikasikan bisnis mereka ke bidang-bidang lain yang pada akhirnya
menumbuh kembangkan perusahaan-perusahaan besar yang tersebar tidak hanya di Hindia
Belanda, tetapi sampai menyeberangi batas koloni. Mereka merupakan
pelopor Multi National Corporation. Hal yang menarik pula adalah
walaupun dibawah kekuasaan Belanda, elite bisnis Tionghoa tetap berkembang.
Menguasai
sebuah pak candu adalah langkah pertama dan utama menuju dominasi perdagangan
yang menjanjikan dalam sebuah keresidenan tertentu. Persaingan antarpara
pedagang Tionghoa untuk meraih pasar pak candu merupakan hal yang wajar.
Untuk memuluskan tujuan, para pak candu Tionghoa tidak segan untuk bekerja sama
dengan semua pihak dan lembaga yang dapat memeberikan dukungan. Seperti halnya
adalah lembaga pengadilan colonial, pejabat pemerintahan yang dijabat para
priyayi baik dari tingkat bupati sampai wedono dan bahkan antara lurah desa
yang membentuk hubungan dengan Belanda. Pengadilan kolonial hanya merupakan
alat kepanjangan dari Belanda untuk menancapkan kekuasaan di Indonesia, ada
semacam kelonggaran bagi masyarakat Tionghoa yang melakukan pelanggaran hukum, karena
Tionghoa dianggap bisa memberikan distribusi beasar bagi pendapatan Belanda
dalam bidang transaksi Candu. Akibatnya hanya sebagian kasus saja yang
ditangani sedangkan kasus-kasus berita banyak dibebaskan.
Pada
tingkat birokrasi atas terjadi kerjasama yang saling mneguntungkan anatar pihak
priyayi dan Tinghoa. Kaum Tionghoa membuat semacam balas budi dengan memberikan
pinjaman uang yang besar kepada orang Jawa
sebagai priyayi, sehingga kaum priyayi merasa hutang budi dan akhirnya
memberikan segala cara untuk melancarkan pasar gelap candu bagi kaum Tionghoa.
Adanya pandangan dari kaum bupati yang apabila bisa menyumbang pajak yang besar
akan berdampak pada karirnya, sehingga para bupati dengan senang hati menerima pajak dari para pak candu,
dan hal ini akan menambah semakin besar usaha penjualan candu di Jawa.
Pandangan yang kedua bahwa kegiatan pak candu tidak membahayakan keamanan dan
ketentraman masyarakat. Adanya praktik menerima suap yang dilakukan oleh para
bupati semakin melancarkan usaha pak candu oleh Tionghoa. Menyediakan perlengkapan hidup yang
mahal merupakan keahlian para kaum pak candu Tionghoa .memberikan hiburan yang
mewah dan sebagainya merupakan usaha pak candu Tionghoa untuk memperlancar
usahanya. Pada akhirnya gerak perdagangan gelap candu semakin berjalan dengan mudah dan
merajalela dalam perekeonomian saat itu.
Dengan
semakin merajalelanya penyelundupan-penyelundupan candu dan
besarnya prospek keuntungan dari bisnis candu di
Jawa, akhirnya kekuasaan pak candu diambilalih oleh pemerintahan colonial. Hal
ini bertujuan agar keuntungan transaski candu (candu) dapat terpusat ke kas
colonial yang digunakan untuk pembanguan prasarana transportasi saat itu. Pada
periode selanjutnya yakni sekitar tahun 1894 pak candu Tionghoa digantikan oleh
agen-agen candu baru yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat yang disebut
dengan regi candu Hindia Belanda.
Pelaksanaan sistem regi memungkinkan pengelolaan candu yang lebih besar
oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah mempunyai kekuasaan untuk memproduksi
dan mendistribusikan candu kepada outlet-outlet grosiran dan kemudian
memberikan lisensi kepada agen-agen lokal untuk melayani perdagangan eceran.
C. Masyarakat pribumi
Pribumi
dapat juga diartikan sebagai
masyarakat
asli yang
menghuni suatu daerah. Suku Jawa sebagai penghuni asli pulau Jawa. Sebagian bangsa asli namun tidak selamanya
memberikan kedudukan yang baik. Pada masa Kolonial Hindia Belanda Pribumi
mendapatkan tempat yang kurang menguntungkan dikarenakan sebagia pihak yeng
terekploitasi. “Perbedaan
antara orang-orang Eropa, Tionghoa dan orang-orang pribumi bukanlah semata-mata
sebuah persoalan ras,adat istiadat dan sejarah. Perbedaan-perbedaan itu juga
ditetapkan dalam hukum
colonial (Rush, 1990:14).
Sistem
pemerintahan colonial saat itu pada tingkat pusat dipegang oleh seorang Belanda
sedangkan pada tingkat daerah diberikan pada bangsawan-bangsawan. Sistem
pemerintahan diluar pemerintahan pusat dipercayakan kepada para nggota dari
sebuah pegawai colonial yang professional Binnenlands Bestuur (pemerintahan
dalam negeri). Dibawahnya terdapat seorang residen yang mengepalai empat hingga
lima wilayah administrative(afdeling). Tiap wilayah aministratif dibagi menjadi
beberapa distrik yang dipegang
oleh pengawas dan asisten pengawas.
Keadaan desa menjadi
keadaan seperti yang sekarang diakrenakan pada masa interregnum Inggris
tepatnya pada saat Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Raffles (1811-1816)
yakni diterapkan pajak tanah (landrent) yang dibayar dengan uang. Untuk
menjalankan system ini maka diperlukan sorang kepala desa untuk memungut secar
langsung pajak tanah petanidi desanya. Diangkatlah sorang bekel menjadi kepala
desa. Hal-hal yang dilakuakn yang dilakuakn seorang bekel adalah memungut pajak
tanah, penegrahan tanaga kerja dan pemeliharaan keamanan. Pemerintah colonial
memakasa para bekel atau kepala desa untuk melaksanakan program-program tanam
paksa.
Pada
periode sepuluh tahun pertama pelaksanaan system tanam paksa, tidak ada masalah.
Namun pada tahun-tahun berikutnya dimulai pada tahun 1940-an masalah-masalah
mulai muncul, harga beras mulai melonjak, kadang-kadang terjadi kegagalan panen
dan perbah terjadi pula bencana kelaparan (Suroyo, 2005:146). Pada tahun 1850
koalisi kekuatan penyangga tanam paksa mulai melemah sehingga pada waktu itu
pemeritah colonial Belanda menjadi pilar utama dalam pelaksanaan system tanam
paksa ini. Namun demikian pada waktu yang bersamaan para pengusha swasta eropa
mulai tertarik untuk menanamkan sahamnya dalam pemrosesan gula di pabrik-pabrik
dan pada akhirnya mereka harus mulai juga dengan usaha penanaman tebu di
perkebunan. Dengan demikian pemerintah juga menggelindingkan kesempatan usaha
swasta untuk menangani produksi ekspor sehingga system kerja bebas juga mulai
masuk dalam kehidupan para petani di Jawa. (Suroyo, 2005:146)
Dengan adanya undang-undang agrarian
memungkinkan pengusaha eropa untuk menyewa tanah dari penduduk stempat.
Semenara itu tanah “bero”(tanah tak terpakai/westo gronden) juga ada juga yang
disewa dari pemerintah secara turun temurun (erfpacht) selama 75 tahun atau
lebih. (Suroyo, 2005:146-147). Pada tahun 1880an terjadi krisi ekonomi dunia
yang terutama mengahntam industry milik orang Eropa di nusantara. Pasar gula
dunia mengalami kehancuran mendadak tahun 1884-1895. Krisis ini menghantam tenaga
kerja dikarenakan mereka mendapatkan gaji yang lebih kecil dibandingkan
biasanya.
Dampak perekonomian yang terbentuk
akibat kebijaksanaaan Belanda semakin diperparah dengan komoditi canud yang
gencara pada saat itu. Candu dikalangan masyarakat Jawa
digunakan untuk kesehatan dan mengobati berbagai macam penyakit dan digunakan
oleh kuli-kuli untuk obat kuat.
Pekerjaan yang berat serta merta membuthkan tenaga yang besar dan kondisi
kesehatan yang fit. Disisi lain asupan gizi jauh dari kata memadai diakibatkan
pendapatn dan kemiskinan yang parah. Akibatnya ketika kesehatan menurun dan
rasa sakit menyerang, candu menjadi salah satu obat unutk sedikit meredakan dan
mengurangi rasa sakit. Efek halusinasi candu juga dapat menjadikan pikiran
tenang dan mengurangi rasa stress akibat tekanan yang berkepanjangan.
Mengkonsumsi candu juga menyebabkab kecanduan dalam jangka waktu yang lama.
Apabila tidak mengkonsumsi secara teratur maka akan membuat badan mengigil dan
ingin untuk terus mengkonsumsi candu. Pada akhirnya masayrakat akan terus
menerus mengkonsumsi candu untuk mengobati kecanduan yang dialami. Disinilah
letak rantai permasalahan candu yang kompleks.
Kemiskinan
dan efek candu semakin memperarah dampak terhadap perekonomian penduduk. Linkar
setan kemiskinan semakin menambah daftar kematian di Pulau Jawa. Meski
mengetahui fakta, namun pemerintahan Hindia Belanda semakin gencar menggerakkan
transaksi dan legalitas candu. hal ini disebabkan oleh beberapa factor
diantaranya adalah candu menjadi komoditi yang menguntungkan karena memberikan
pemasukan pajak yang besar bagi kas Negara. Selanjutnya candu juga menjadi alat
control pemerintah Belanda untuk mengatur laju uang dan perkeonomian penduduk agar
tidak terjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Pada akhirnya manfaat
candu hanya merupan dampak positif yang semu pada masyrakat pribumi yang
sebenarnya merupakan salah satu factor
penyebab rantai kemiskinan masyarakat pribumi. Keuntungan nyata hanya
diperoleh bagi pemerintahan Hindia Belanda dan kaum elite Tionghoa.
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada awal abad 19,
candu sudah menjadi komoditas perdagangan yang banyak diminati dan dianggap
menguntungkan. Melihat hal ini, pihak Belanda menggunakan kesempatan dengan
cara melakukan monopoli perdagangan Candu dengan melakukan impor besar-besaran candu
mentah dari luar negeri seperti India. Disini Belanda berperan sebagai agen
pusat penyedia Candu dan menetapkan kebijakan-kebijakan jual beli candu. Dalam
hal ini Belanda mendapatkan pemasukkan yang berlipat ganda selain dari aspek
perkebunan juga mendapatkan keuntungan dari hasil pajak candu yang cukup besar.
Dalam pola pendistribusiannya muncul dominasi
para elite Tionghoa yang menguasai pendistribusian candu kepada masyarakat.
Lambat laun terbentuklah organisasi-organisasi candu yang biasa disebut dengan
pak candu. Pelelangan-pelelangan
yang dilakukan orang-orang Tionghoa memiliki peran signifikan dalam tiap proses
pelelangan tersebut karena mereka memiliki modal yang cukup besar dan kekuatan
politik dalam mempengaruhi setiap kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Kerjasama
yang saling memeberikan keuntungan membuat pemerintahan Hindia belanda
memberikan kepercayaan kepada orang-orang China sebagai mitra dalam bisnsis
candu di Pulau Jawa.dalam bidang perekonomian dan politik orang China semakin
terangkat. Tidak hanya mendapatkan keuntungan yang besar namun juga mendapatkan
kedudukan yang tinggi dalam bisnis candu yang diberikan oleh pemerintahan
Belanda.
Masyarakat pribumi menjadi sasaran utama dari
pemasaran candu. Penghasilan penduduk yang didapat dari bekerja di perkebunan
dan industry selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan
untuk memenuhi kesenangan yaitu dengan membeli dan mengkonsumsi candu. Sehingga
kejahteraan petani tetap rendah. Efek ketergantuangan jangka panjang dalam
candu telah memperluas kesempatan pak candu Tionghoa memeberikan kredit kepada
penduduk pribumi. . Strategi control pemerintah Belanda tehadap masyarakat
telah berhasil dan membuat penduduk pribumi tetap dalam kemelut kemiskinan yang
berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan peristiwa kelaparan hebat dan
penurunan drastis jumlah penduduk di Pulau Jawa.
3.2 Saran
Berdasarkan uraian isi makalah diatas, maka penulis menghimbau kepada
Ø
Pembaca
Pembaca diharapkan
untuk mengembangkan pengetahuan tentang peran candu yang lebih mendalam dalam
sejarah bangsa Indonesia..
Ø
Masyarakat
masyarakatdiharapkan
mampu bersifat kritis dalam menyikapi informasi dan ilmu pngetahuan agara
wawasan yang diperoleh semakin luas.
DAFTAR
RUJUKAN
Ali, M. 1982. Penelitian Kependidikan Prosedur Dan
Strategi. Badung : Angkasa.
Breman, J. 1968. Penguasaan Tanah Dan Tenaga Kerja, Jawa pada Masa
Kolonial. Jakarta: LP3ES.
Notosusanto, N. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian Sejarah.
Jakarta : pustaka Sedjarah ABRI Dephankam.
Rush, James S. 1990. Candu Tempo
Doeloe: Pemerintah Pengedar Dan Pecandu 1860-1910.
Jakarta: komunitas bamboo.
Suroyo Dkk. 2005. Indonesia Dalam Arus Sejarah Kolonisasi Dan
Perlawanan. Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Thorn, William. 2011. Penaklukan
Pulau Jawa-Pulau Jawa Di Abad Ke Sembilan Belas Dari pengamatan Seorang Serdadu
Kerajaan Inggris. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir.
Jakarta: LKIS.
Rujukan Internet :
No comments:
Post a Comment