Songs

Sunday, December 8, 2013

Ermi Liahana

PENGARUH CANDU DALAM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI JAWA 1800-1900



MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Prof. Dr. Hariyono, M. Pd dan Ibu Indah W.P. Utami,S.Pd.,S.Hum.,M.Pd


Oleh :
ERMI LIAHANA    110731435523

I.          PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
            Candu sudah dikenal masyarakat nusantara sejak lama. Bahkan sebelum kedatangan VOC, candu sudah merupakan komoditas yang diperdagangkan di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Masuk  dalam komoditas utama dikarenakan peran penting candu dalam perdagan dan sebagai alat pemerintahan Hindia Belanda dalam melakukan control terhadap perekonomian masyarakat di Jawa kala itu. Selama 50 tahun, dari 1860 hingga 1910, mengisap candu merupakan hal yang amat popular di Jawa. Pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan monopoli perdagangannya. Banyaknya pengguna candu di Hindia Belanda saat itu, barang terlarang itu pun memberikan keuntungan yang besar untuk para pejabat pribumi dan pemerintah kolonial yang berkuasa di Indonesia saat itu. Selain diproduksi sendiri, saat itu candu juga sudah diimpor dari berbagai negara dan kemudian dijual secara terbuka dan dijual seluas – luasnya.
            Di Jawa, berdasarkan hukum Hindia Belanda, terdapat tiga golongan penduduk yaitu, orang barat, pribumi (inlander) dan Vreemde Oosterlingen (Arab, China, India dan lainnya yang tak termasuk pribumi). Pemerintah Belanda berperan sebagai penyedia candu di tingkat pusat. Sedangkan para pedagang Cina berperan sebagai perantara distribusi kepada konsumen candu. Masyrakat Jawa umumnya menjadi konsumen candu. menghisap candu menjadi trend atau gaya hidup saat itu. Tidak hanya orang kaya saja yang menghisap candu tetapi masyarakat kecil saat itu juga menghisap barang terlarang tersebut. Bahkan, jumlah pengguna candu terbesar adalah masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dianalogikan dengan para perokok yang kebanyakan merupakan masyarakat yang berpenghasilan minim.
            Dalam perdagangan candu, para pejabat VOC, sebagai upaya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, telah menciptakan sebuah organiasi "Candu Society". Maka sampai 1880 pajak perdagangan candu merupakan salah satu penghasilan terbesar bagi kas keuangan pemerintah kolonial Belanda. Pembagian itu kemudian memudahkan Belanda menentukan siapa yang berhak menjual candu (candupacht). Pada 1850 hak jual itu telah memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintahan Hindia Belanda termasuk mereka yang mendapat hak jual. Selain pihak colonial, pihak yang paling diuntungkan adalah warga Tionghoa yang berhasil menyuap pemerintah untuk bisa mendapat hak jual. Disis lain masyarakat pribumi yakni orang Jawa menjadi rantai bisnis candu yang secara tidak langsung menjadi obyek pemerasan baik oleh pihak pemerintah maupun orang Tionghoa yang berperan sebgai distributor.
            Pada akhirnya di sekitar awal abad 20-an pemerintah Belanda mulai menerbitkan aturan larangan adanya perdagangan candu. Meski telah dilarang namun tetap terjadi perdagangan candu yang bersifat perdagangan gelap. Perdagangan candu merupakan suatu komoditi yang tidak sedikit memberi keuntungan dalam bidang ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda pada masa pemerintahannya di Indonesia, namun juga memiliki dampak yang negatif  dalam bidang sosial, ekonomi dan politiknya pada masyarakat saat itu. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil judul makalah “Pengaruh candu terhadap perekonomian masyarakat Jawa tahun 1800-1900”.

1.2       Rumusan Masalah
1.                  Bagaimana kondisi perekonomian masyarakat di Jawa Tahun 1800-1900?
2.                  Bagaimana peran dan dampak candu dalam kehidupan perekonomian masyarakat di Jawa?
1.3       Tujuan Penulisan Makalah
1.                  Mengetahui kondisi perekonomian masyarakat di Jawa Tahun 1800-1900.
2.                  Mengetahui peran dan dampak candu dalam kehidupan perekonomian masyarakat di Jawa.

1.4       Metode Penelitian
            Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh suatu pengetahuan atau memecahkan masalah yang dihadapi, (Ali, 1982:21). Metode yang dipakai peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif.  Penelitian ini menggunakan metode penelititan sejarah (historical method). Sumber data dibagi menjadi dua yakni sumber data primer dan sumber data sekunder (notosusanto, 1971: 21). Dalam mendapatkan data penulis hanya menggunakan sumber data sekunder. Sumber sekunder yang digunakan untuk penulisan makalah ini berupa kajian pustaka diperoleh dari buku relevan dan artikel. Semua hasil pengumpulan sumber yang diperoleh kemudian di intrepetasi oleh peneliti dan diolah dalam bentuk makalah.




























II         PEMBAHASAN
2.1       Kondisi Perekonomian Masyarakat Di Jawa Tahun 1800-1900
            Kondisi perekonomian Hindia Belanda pada awal mulanya dikuasai oleh VOC beserta dengan kebijakan perekonomiannya. Setelah VOC bubar maka pemerintahan diambil alih oleh pemerintahan Hindia Belanda yang secara otomatis turut merubah kebijakan ekonomi di pulau Jawa. Karena warisan utang yang diberikan VOC cukup banyak maka pemerintahan Hindia Belanda memutar otak untuk dapat memeproleh pendapat yang besar dalam waktu yang singkat. Faltor lain yakni pasaca perang Jawa oleh pangeran Diponegoro yang menguras habis kas pemerintahan Hindia Belanda. Langkah pertama yang diambil adalah dengan mengangkat Van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda dengan tugas pokok menggalai dana sebanyak-banyaknya untuk mengisi kembali kas Negara yang kososng, membayar dana perang dan membayar hutang Beanda.
            Setelah dilantik salah satu kebijakan ekonomi yang diambil adalah Cultuur stelsel(tanam paksa) yang berlangsung dari tahun 1830-1870.  System ini memusatkan pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Cultuurstelsel memiliki aturan-aturannya yang telah ditetapkan oleh pusat namun dalam prakteknya mengalami banyak penyelwengan dikarenakan kurang ketatnya pengawasan dan target-target yang harus dipenuhi para kepala residen dalam menyerahkan hasil produksi. Penyelewengan yang terjadi antar lain penyediaan tanah melebihi dari tanah yang ditentukan, semula kegagalan panen merupakan tanggung Jawab dari pemerintah namun dalam fakta lapangan kegagalan petani masuk tanggunagan petani. Penyelewenagan yang selanjutnya adalah waktu penanaman dan perawatan padi lebih panjang dari waktu yang telah ditetapkan dan kelebihan hasil wajib diserahkan kepada pemerintah.
            Dinilah terdapat peran kecil orang-orang China  yang diperlukan Belanda untuk turut pula dalam menyelamatkan perekonomian Belanda. “ sebagai bentuk untuk mengeksploitasi tenaga petani dan berbagai sumber daya lainnya, manipulasi licik terhadap kekuasaan feudal orang-orang Jawa dan kecerdasan orang-orang Tionghoa ini mempu menyelamatkan kompeni yang sedang sekarat. Pada abad ke 19 manipulasi ini diterapkan dengan sangat intensif. Orang-orang Belanda menggambarkan dengan sangat kasar, tetapi tepat dalam ungkapan kolonial yang sering terdengar, “Orang Jawa membajak dan menanam, orang-orang Tionghoa memanen dan orang-orang Eropa yang memebawanya pergi”, (Rush, 1990:20-21).
            Akibat dari adanya penyelewengan ini mengakibatkan kesengsaraan dalam kehidupan perekonomian masyarakat Jawa. Sawah ladang menjadi tempat sumber mata pencaharian menjadi terbengkalai diakibatkan sebagian besar waktu petani digunakan untuk mengurus tanaman wajib dan melakukan kerja rodi. Penghasilan petani yang sangat sedikit masih digunakan untuk membayar pajak dan kebutuhan hidup lainnya akibatnya keadaan masyrakat pada saat itu serba kekurangan. Kemiskinan sudah mengintai di depan mata, belum lagi penderitaan fisik dan mental yang semaikin mencekik. Pada akhirnya banyak terjadi peristiwa kelaparan dan busung lapar yang berujung pada peningkatan angka kematian. Hal ini mengakibatkan turunnya jumlah penduduk secara drastic.
            Di pihak Belanda, kas negara mengalami pemasukan yang besar. Pemerintahan Belanda puas dengan pemasukan finansial yang cukup banyak bahkan melebihi target yang direncanakan. “Sistem tanam paksa memberikan banyak keuntungan finansial bagi Belanda, antara tahun 1831-1866 sekitar 672 gulden dipasok ke Belanda dari keuntungan-keuntungan yang dihasilan di Hindia…..oleh karena itu, periode 1860 merupakan periode yang bergerak menjauhi system tanam paksa dan mendekati kapitalisasi pertanian komersial swasta”(Rush, 1990:22-23). Melihat dampak positif di pihak Belanda dan dampak negative dikalangan pribumi maka terjadi berbagai pertentangan baik dikalangan Belanda maupun pribumi. Para pengusaha menginginkan adanya kebebasan berusaha dan menghapus cultuur stelsel yang tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Tokoh yang menetang adanya system tanam pakasa adalah Baron Van Hoevel dan Douwes Dekker. Penetangan ini lambat laun sampailah pada negeri Belanda yang kemudian secara berangsur dihapuslah system tanam paksa mulai dari tanaman nila, teh, kayu manis, tembakau dan tebu. Tanaman terkahir yang dihapus adalah tanaman kopi pada tahun 1917.
            Dihapusnya system tanam paksa ini membuat sebagian masyarakat dan kalangan penentang menjadi sedikit lega. Namun penghapusan ini tidak semata-mata menghapuskan penderitaan rakyat. Bersamaan dengn dihapuskannya cultuurstelsel secara berturut-turut selanjutanya dibentuklah UU agrarian yang menggantikan kebijakan perekonomian sebelumnya. “UU agrarian tahun 1870 secara pasti memutuskan isu swasta versus negara dengan kemenangan mutlak di pihak swasta”. (Rush, 1990:23). Tujuan dari dibentuknya unadang-undang ini adalah untuk melindungi hak milik petani atas tanah yang dimilikinya, memeberikan peluang kepada para pemodal asing untuk menyewa tana dari penduduk pribumi dan memeberi kesempatan kerja kepada penduduk terutama menjadi buruh perkebunan. Dengan diciptakannya UU Agraria ini tidak jauh berbeda dengan system perekonomian Cultuurstelsel yang juga sama-sama memeras tenaga rakyat dengan membabi buta.
            Pada tahun 1870 jumlah penduduk meningkat tajam menjadi 18 juta jiwa dari semula lima juta jiwa. Kepadatan penduduk ini memaksa penduduk untuk menyebar ke daerah yang kurang padat.Selain pembukaan perekebunan secara besar-besaran pamerintah juga mendirikan industry pengolahan hasil perkebunan.  Akibat pembukaan perkebunan dan industry oleh pemerintahan colonial Belanda maka Pada periode tahun 1870-1880 sejumlah besar buruh tani pindah dan pergi meninggalkan desa mereka untuk mencari pekerjaan sebagai buruh perkebunan dan pekerja serabutan. .”Pada 1870-1880an banyak orang semacam itu tinggal di kampung-kampung padat di bantaran luar kota lokal atau di barak-barak pabrik yang dibangun sekaligus sebagai rumah bagi para pekerja pabrik dan lading di daerah-daerah pengahasil gula”(Rush, 1990:25). Profesi yang ada saat itu selain buruh pabrik dan perkebunan, ada pula yang bekerja sebagai buruh musiman dan paruh waktu serta pedagang. Uang yang didapat ini membantu mereka membayar sewa tanah dan digunakan untuk membeli barang-barang keperluan serta membeli kesenangan dengan mengisap candu (Rush, 1990:25). Upah yang mereka dapatkan dari bekerja selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebgaia besar juga digunakan para petani untuk memenuhi kebutuhan bersenang-senang yaitu kebutuhan akan mengkonsumsi candu atau candu. Pada awal abad ke-19 mengkonsumsi candu menjadi sebuah kebiasaan yang lazim dikarenakan peredaran candu yang suda meluas dalam kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu.
            Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi peningkatan kemakmuran pada tingkat kemakmuran marginal yang ditandai dengan meningkatnya penjualan candu. Namun mudah menguapnya sector uang ini membuat rakyat Jawa menjadi rentan. Pihak yang sangat terlibat dalam perubahan itu adalah pak candu yang merupakan pajak besar dan paling menguntungkan yang dikelola oleh para orang Tionghoa di Jawa. “sekitar tahun 1860an pak candu muncul sebagai sebuah lembaga kunci di Negara kolonial ini dengan saling berhubungan dengan lembaga-lembaga seperti system pegawai Tionghoa, pangreh raja dan pegawai colonial. Ada tahun perkembangan ekonomi setelah berakhirnya system tanampaksa, pak candu mencap bentuknya yang paling matang dan memiliki pengaruh paling luas. “(Rush, 1990:26).
           
2.2       Peran Dan Dampak Candu Dalam Kehidupan Perekonomian Masyarakat Di Jawa
            Sebelum diuraikan mengenai candu dalam kehidupan masyarakat candu terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian candu yang masuk dalam jenis narkotika. Pengertian narkotika menurut Undang Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.   Sedangkan yang dimaksud ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan. Istilah narkotik mencakup berbagai jenis bahan sebagai berikut.
-     obat terlarang, seperti kafeina, tembakau dan alkohol
-     obat yang dapat dibeli di apotek atau pasar swalayan, seperti analgesik, misal aspirin, kodin dan parasetamol serta obat anti-radang non-steroid
-     obat resep seperti obat penenang, missal Valium, Rohypnol dan Serepax
-     obat terlarang, seperti ganja, heroin, halusinogen dan amfetamina
-     bahan lain yang disalahgunakan, seperti pelarut dan bensin.
            Istilah narkotik dalam pengobatan merujuk kepada bahan candu dan turunannya atau bahan sintetik yang bertindak seperti candu. Semula sumber bahan narkotik adalah pohon popi Papaver somniferum. Apabila buah popi muda disadap (menggores) maka akan mengeluarkan getah (sejenis alkaloid) berwarna putih dan dinamai  "Lates" Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu mentah ini juga dapat diperoleh dalam bentuk cair, padat atau serbuk. Saat ini candu mentah ini juga dapat dihasilkan secara sintetik dengan cara mengeluarkan alkaloid tersebut dari pohon popi tua yang kering. Candu dapat  menghasilkan sedikitnya dua kelompok alkaloid. Pertama  bahan seperti morfin dan kodeina, dan kelompok kedua yaitu bahan yang terdiri dari  papaverin dan noskapin. Candu bisa berupa morfin ataupun kodein tergantung pengolahan masing-masing.
            Baud, J.C 1835 dalam James (1990:27) menyatakan bahwa ketika orang Belanda mendarat pertama kali di Jawa pada akhir abad ke 16, candu sudah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional. Pendapatan yang dihasilkan dari monopoli candu meningkat secara dramatis pada seperempat abad ke 19.  Dalam bisnis transaksi Candu dikenal adanya istilah pak candu. James S. Rush, (1990:1) menjelaskan bahwa pak candu (candupacht) adalah kesepakatan monopoli atas penjualan candu. Biasanya monopoli semacam itu diberikan oleh negara kepada mereka yang bermufakat dengan negara untuk menjual candu. Mereka disebut juga dengan ”pengepak” dan memiliki jangka waktu tertentu untuk melaksanakannya. Kelompok yang dominan menajalankan pak candu adalah orang Tionghoa. Pak candu tiongha adalah elit kecil di wilayah Jawa kolonial. Keluarga Tionghoa Jawa adalah mereka yang memiliki kekayaan dan kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka di butuhkan oleh Belanda sebagai perantara untuk memasarkan barang-barang milik kompeni.  Di pulau Jawa pada sekitar abad 19, para saudagar Tionghoa membayar mahal untuk mendapatkan hak istimewa ini. Jadi mereka memasok pajak dalam jumlah yang besar kepada pemerintahan Belanda Hingga kompeni pun mengangkat seorang kapitan dari orang tiongha untuk pertama kalinya di Batavia pada 1619 hal ini dimaksudkan agar kapitan atau pejabat-pejabat yang diangkat oleh Belanda ini bisa mengendalikan komunitas tiongha diwilayah yang terdapat tiongha Jawa tersebut.    
            Dalam perkembangannya Belanda  pun mengeluarkan aturan-aturan untuk orang ini, dalam hal ini Belanda menunjukkan betapa pentingnya orang tiongha bagi Belanda selain itu aturan-aturan itu juga di maksudkan untuk melengkapi sistem tanam paksa. Peter Carey menuliskan bahwa setidaknya terdapat 372 tempat terpisah di yogyakarta yang menerima lisensi untuk menjual candu. Akan tetapi persebaran candu tidak merata, orang Banten Jawa Barat dan sekitarnya menolak transaksi candu secara terang-terangan meskipun disisi lain tetap terjadi transaksi candu secara gelap namun dalam jumlah yang sedikit. Diperkirakan sekitar 60% candu yang dikonsumsi di Jawa adalah merupakan candu gelap dan candu ilegal. Penyeludupan candu menjadi hal lumrah bagi hampir semua orang karena mudahnya pembelian candu mentah di Singapura, Cina atau dipelabuhan-pelabuhan bebas di Kepulauan Indonesia, mudahnya candu melewati bea cukai yang tidak efisien dan menarik di Belanda Jawa. Singkatnya, penyeludupan candu adalah bagian rutin perdagangan komersial orang-orang Tionghoa. Disepanjang garis tapal kuda konsumen candu cukup tinggi yang kemudian menjadi sebuah ciri umum kehidupan kota dan desa abad ke 19.
            ”Diantara orang-orang Belanda yang lebih menyukai gin, candu adalah sifat buruk yang diasosiasikan dengan orang-orang blasteran yang lemah dan orang-orang ”jahat” yang menghilang di kampung-kampung dan daerah kumuh (P.A Daum 1987:195 dalam Rush(1990:29). Pandangan inilah yang menjadi salah satu faktor adanya sekat dalam menikmati candu. Bagi mereka kaum Eropa dikhususkan menikmati candu yang berupa gin di tempat yang disediakan khusus bagi kaum Eropa. Tidak boleh seorangpun Tionghoa ataupun pribumi yang boleh memasuki ruangan khusus ini. Namun di kalangan Tionghoa kebiasaan ini populer. Bedanya mereka menikmati candu di rumah klub-klub candu pribadi sedangkan orang-orang dari golongan rendah dan miskin menikmati di pondok-pondok  umum dan berbagi dengan penduduk setempat.
            Pada akhir dekade 1840-an Jawa mengalami krisis beras dan bencana kelaparan karena para petani tidak lagi punya waktu dan tenaga untuk mengurus sawah mereka (Gonggrijp, 1949). Selama masa tanam paksa (1830-1870) produktivitas pertanian di Jawa memang melesat tinggi namun penerimaan para petani tidak ikut melesat. Penghasilan yang diterima sangat kecil karena lebih dari setengah penghasilan mereka diambil oleh pemerintah sebagai pembayaran pajak tanah. ”Lebih buruknya lagi sebagian sisa uang tanam dihabiskan rata-rata petani untuk membeli candu yang memang diperdagangkan secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda dan merupakan sumber penghasilan dalam negeri terbesar kedua setelah pajak tanah. Setiap tahun pada abad ke 19 puluhan ton candu digelontorkan pemerintah kolonial ke Jawa melalui agen-agen candu China yang membuka warung dan tempat madat di setiap sudut kota (Vanvugt, 1985 dalam Rush, 1990:31).
            Dalam kehidupan sosial masyarakat di Jawa, dikenal tiga orang yakni bangsa Belanda sebagai bangsa kolonial, orang China sebagai pelaku mayoritas dalam ekonomi dan suku Jawa sebagai bangsa pribumi. Berikut merupakan penjelasan tentang  peran masing-masing dalam proses transaksi candu.
a.                  Pemerintahan Hindia Belanda
             “Para saudagar petualang Belanda pertama kali memasuki perairan Indonesia pada sekitar awal abad ke-17. Bagi mereka dulu Jawa tidak begitu menarik dibandingkan dengan pulau-pulau penghasil rempah-rempah di kepulauan Maluku. Namun jalan menuju sumber-sumber pala dan cengkih yang jauh ini sangat panjang dan rawan. Pertimbangan –pertimbangan kepraktisan dan kemanan segera menobatkan Jawa sebgai tempat berpijak”,( Rush, 1990:10). Untuk semakin memperkuat cengkeramannnya maka Belanda mendirikan persekutuan dagang yang disebut dengan VOC. Setelah kemunduran dan VOC bubar pada tahun 1799, maka pemerintahan segera diambil oleh pemerintahan langsung Hindia Belanda.
             “Belanda sangat berkuasa di Jawa meskipun dari segi jumlah mereka hanya bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Dari 18 juta penduduk Jawa tahun 1870an, hanya sebanyak 27.000 (0,15 %) adalah orang-orang Eropa”, (Rush, 1990:13). Meski dengan jumlah yang sangat sedikit namun oran-orang Belanda mampu mengambil alih kekuasaan ekonomi Jawa dengan kemampuan menejemen dan kekuatan politiknya. Ketika candu menjadi komoditas yang menguntungkan maka Belanda mulai memonopili perdagangan candu.  Belanda mulai melakukan impor terhadap candu mentah dalam jumlah besar. Saat itu India merupakan penghasil terbesar Candu Mentah. Dalam perkembangannya candu semakin berkembang hingga didakannya pelelangan pak candu di kediaman resmi bupati senior di masing-masing daerah. Sejak saati itu took-toko penjual Candumulai banyak bermunculan dan mulai dibentuk pula organisasi-organisasi pak candu.
b.                   Orang China (Tionghoa)
            Istilah Cina yang juga sering dikenal dengan Tionghoa pada masa Hindia Belanda masuk salah satu golongan masyarakat yang menghuni Pulau Jawa selain penduduk asli (pribumi). Menurut Koentjaraningrat, (1985) orang-orang Cina di nusantara ini dibedakan dalam 2 golongan, yakni orang Cina Totok dan orang Cina Peranakan. Cina Totok adalah mereka yang budayanya tetap berorientasi pada budaya asal; sedangkan Cina Peranakan telah berorientasi pada budaya setempat. Meskipun demikian, pada masa kolonial mereka tidak mau disamakan dengan masyarakat Indonesia asli (pribumi). Mereka senantiasa berusaha untuk tetap memelihara identitas Cina-nya.
            Dalam sejarah, kedatangan orang China ke Nusanatara adalah dengan tujuan untuk berdagang. Para peneliti cenderung menyatakan, sebagaimana di tulis oleh Soegijanto Padmo (Sariyatun, 2005 : viii), bahwa peranan penting orang Cina sebelum kedatangan bangsa Belanda adalah sebagai importir barang khususnya barang kerajinan dari Cina dan eksportir barang dari Hindia (Indonesia). Komoditas ekspor waktu itu meliputi pala, fuli, cengkeh, kayu cendana, emas, batu berharga, obat-obatan, barang langka seperti burung, kulit penyu dan timah. Sedangkan barang impor dari Cina berupa benang sutera, kain sutera, porselin, barang dari perak, obat-obatan, kertas, gula, barang kerajinan, dan barang mewah.
            Menurut Rush (1990: 13) disebutkan bahwa orang China di Jawa saat itu berjumlah kurang lebih 190.00 atau sekitar 1,5 % dari jumlah penduduk Jawa keseluruhan. Kedatangan orang Cina selain untuk berdagang juga membawa tradisi, tata kehidupan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat mereka serta sikap fanatisme terhadap negara tradisi leluhur. Karena melakukan transaksi perdaganagn yang cukup lama maka orang-orang China tersebut mulai menetap di sekitar daerah-daerah pesisir nusantara. Di daerah Jawa khususnya orang China banyak menetap di pesisir utara Pulau Jawa dan dengan seiring berjalannya waktu mulai menyebar ke daerah pedalaman. Orang china mulai bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan tradisi masyarakat sekitar, meski demikian mereka tidak pernah melupakan tradisi asli dari negeri asal dan tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan di nusantara.
            Dalam bidang ekonomi, orang China memiliki peran penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Aktivitas ekonomi orang Cina di Nederland Hindia  pada  masa kolonial dibagi menjadi tiga periode yakni periode sebelum VOC, saat VOC berkuasa dan pasca bubarnya VOC. Peran aktivitas ekonomi orang China yang menonjol dan berhubungan dengan transaksi candu terjadi pada abad 19 hingga 20). Pada awal kedatangan orang Eropa ke pulau Jawa, China memandang bangsa Eropa (Belanda) sebagai salah satu pelaku ekonomi yang menguntungkan karena di dukung oleh manajemen ekonomi yang bagus dan  kekuatan militer yang tangguh. Secara tidak langsung kedatangan bangsa Belanda telah merubah posisi pedagang Cina yang semula sebagai penghubung perdagangan partai besar internasional komoditas Hindia dan comoditas Cina telah bergeser dalam bentuk pembelian produk local atau saluran tradisional dan menjual barang Cina. Orang Cina menjadi penghubung dalam perdagangan kecil di pedesaan Hindia. Hal ini disebabkan kapal Belanda  memposisikan diri sebagai pengangkut barang dari Hindia ke pasar internasional di Eropa dan VOC membeli barang lokal sebagian besar dari orang Cina.
             Kerjasama ekonomi yang dilakukan diantara keduanya telah mengubah pandangan bangsa Belanda terhadap China. Orang Cina dianggap sebagai tenaga kerja yang sangat diperlukan sebagai perantara dengan pribumi. Oleh karenanya, warga keturunan Cina mampu memainkan peranan dibidang perdagangan lokal, sehingga kegiatan ekonomi pedesaan  di Indonesia mayoritas dikuasai oleh orang Cina.  Kompeni menilai orang Cina sebagai pembantu dan kolaborator handal, untuk itu layak mendapat kebijakan perlindungan pada comunitas Cina dan menempatkan Cina dalam hubungan patronage. Sukses orang-orang Cina di samping karena kebijakan pemerintah colonial Belanda dalam hal ini kompeni, juga karena budaya Cina yang ulet, hemat dan tekun. Karena itu mereka mampu menguasai perekonomian dan berada pada kelas menengah pada jaman colonial. Peranan minoritas Cina selain sebagai pedagang perantara antara pihak Belanda dengan pihak pribumi juga  sebagai pemborong pajak, distribusi candu, pegadaian dan sebagainya. Mereka banyak juga yang beroperasi di pasar sebagai pemberi kredit dengan bunga yang tinggi. Mereka itulah yang menurut Sartono Kartodirdjo dijuluki sebagai “ Cina Mindring” (Arifin, M.T. 2005 : 220).
            Dibawah pemerintahan pejabat-pejabat yang diangkat Belanda, mereka berkelompok didaerah pecinan di kota-kota pesisir dan di pusatpusat pemerintahan, serta sejumlah besar kota-kota pedalaman di Jawa”, (Rush,1990: 13). “Dalam hubungan mereka dengan orang-orang Eropa mereka tergolong bersikap santun dan ramah, dan sangat cepat mehamai namun mereka ini juga penipu ulung karena tipu daya sudah menjajdi pekerjaan ereka. ( Thorn, 2004:227). Karena faktor inilah orang-orang china mendapat berbagai keistimewaan dan kewenangan dalam bisnis dan transaknsi ekonomi di pulau Jawa. Golongan minoritas Tionghoa memiliki peranan besar dalam perdagangan masa kolonial. Di dalam suatu komunitas Tionghoa juga terdapat satu kelompok kecil yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Mereka adalah golongan elite Tionghoa. Para elite ekonomi Tionghoa pada era kolonial berasal dari kelompok Opsir Tionghoa dan keturunan mereka. Pada mulanya opsir dipilih, tetapi lambat laun posisi itu menjadi “setengah” warisan (Suryadinata, 2002: 122).
Di beberapa tempat, raja-raja buddha, sultan-sultan Melayu dan gubernur provinsi kolonial memberikan hak-hak istimewa kepada pengepak Tionghoa untuk membeli semua biji pinang, getah perca dan rotan. Selin itu terdapa juga hak untuk mengumpulkan pajak atas tanah, binatang serta tanama-tanama tertentu.  
            Pada periode ini dapat dikatakan Cina mengalami jaman keemasan dalam perkembangan ekonomi di Hindia, walaupun pola perdagangan orang Cina mengalami perubahan penting dari perantara dalam perdagangan internacional ke ekonomi pedesaan. Staatsblad 1855 nomor 79 yang menyatakan bahwa kekuasaan hukum tentang aturan warga sipil ; aturan perdagangan, dan hukum prosedur warga negara diberlakukan pada orang Cina demi kepentingan perdagangan orang Eropa. Kebijakan petinggi colonial terhadap orang Cina berkembang demikian rupa yang memungkinkan mereka muncul pada posisi perantara. monopoli penjualan candu dan garam atas nama pemerintah colonial, orang Cina dengan leluasa memperluas jaringan.
            Belanda senang menggunakan orang Tionghoa sebagai perantara dengan penduduk pribumi. Belanda juga memakai orang Tionghoa sebagai tenaga administratif dan penarik pajak. Orang-orang yang terkemuka tersebut diangkat untuk mengepalai komunitas Tionghoa yang dikenal sebagai Chinese Officieren atau “Kapitan Cina”. Mereka diberi tugas untuk menjelaskan berbagai peraturan dan undang-undang pemerintah kepada kaum sebangsanya dan mengumpulkan pajak yang mereka bayar. Sebagai imbalannya, ia diberi hak monopoli atas pembuatan garam, pertambangan timah, dan pembuatan mata uang perak (Suryadinata, 2002: 121). Kebanyakan elite tersebut adalah usahawan yang terjun dalam usaha ekspor-impor, pemilik properti, pengumpul pajak, agen perusahaan barat, pengusaha besar pelayaran dan produsen barang konsumsi. 
            Diantara para pemuka bisnis yang sangat terkenal di Indonesia adalah keluarga Oei dari Semarang (Jawa) dan keluarga Tjong dari Medan (Sumatra). Hal ini menunjukkan bahwa elite ekonomi Tionghoa pada masa itu memiliki hubungan atau terlibat dalam administrasi kolonial (sebagai Opsir Tionghoa), selain itu masing-masing mereka juga menjadi pengumpul cukai terkemuka yang mendapat keuntungan besar dari hasil monopoli. Para elite ekonomi Tionghoa juga tidak segan untuk mendiversifikasikan bisnis mereka ke bidang-bidang lain yang pada akhirnya menumbuh kembangkan perusahaan-perusahaan besar yang tersebar tidak hanya di Hindia Belanda, tetapi sampai menyeberangi batas koloni. Mereka merupakan pelopor Multi National Corporation. Hal yang menarik pula adalah walaupun dibawah kekuasaan Belanda, elite bisnis Tionghoa tetap berkembang.
            Menguasai sebuah pak candu adalah langkah pertama dan utama menuju dominasi perdagangan yang menjanjikan dalam sebuah keresidenan tertentu. Persaingan antarpara  pedagang Tionghoa untuk meraih pasar pak candu merupakan hal yang wajar. Untuk memuluskan tujuan, para pak candu Tionghoa tidak segan untuk bekerja sama dengan semua pihak dan lembaga yang dapat memeberikan dukungan. Seperti halnya adalah lembaga pengadilan colonial, pejabat pemerintahan yang dijabat para priyayi baik dari tingkat bupati sampai wedono dan bahkan antara lurah desa yang membentuk hubungan dengan Belanda. Pengadilan kolonial hanya merupakan alat kepanjangan dari Belanda untuk menancapkan kekuasaan di Indonesia, ada semacam kelonggaran bagi masyarakat Tionghoa yang melakukan pelanggaran hukum, karena Tionghoa dianggap bisa memberikan distribusi beasar bagi pendapatan Belanda dalam bidang transaksi Candu. Akibatnya hanya sebagian kasus saja yang ditangani sedangkan kasus-kasus berita banyak dibebaskan.        
            Pada tingkat birokrasi atas terjadi kerjasama yang saling mneguntungkan anatar pihak priyayi dan Tinghoa. Kaum Tionghoa membuat semacam balas budi dengan memberikan pinjaman  uang yang besar kepada orang Jawa sebagai priyayi, sehingga kaum priyayi merasa hutang  budi dan akhirnya memberikan segala cara untuk melancarkan pasar gelap candu bagi kaum Tionghoa. Adanya pandangan dari kaum bupati yang apabila bisa menyumbang pajak yang besar akan berdampak pada karirnya, sehingga para bupati dengan senang hati menerima pajak dari para pak candu, dan hal ini akan menambah semakin besar usaha penjualan candu di Jawa. Pandangan yang kedua bahwa kegiatan pak candu tidak membahayakan keamanan dan ketentraman masyarakat. Adanya praktik menerima suap yang dilakukan oleh para bupati semakin melancarkan usaha pak candu oleh Tionghoa. Menyediakan perlengkapan hidup yang mahal merupakan keahlian para kaum pak candu Tionghoa .memberikan hiburan yang mewah dan sebagainya merupakan usaha pak candu Tionghoa untuk memperlancar usahanya. Pada akhirnya gerak perdagangan gelap candu semakin berjalan dengan mudah dan merajalela dalam perekeonomian saat itu.
            Dengan semakin merajalelanya penyelundupan-penyelundupan candu dan
besarnya prospek keuntungan dari bisnis candu di Jawa, akhirnya kekuasaan pak candu diambilalih oleh pemerintahan colonial. Hal ini bertujuan agar keuntungan transaski candu (candu) dapat terpusat ke kas colonial yang digunakan untuk pembanguan prasarana transportasi saat itu. Pada periode selanjutnya yakni sekitar tahun 1894 pak candu Tionghoa digantikan oleh agen-agen candu baru yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat yang disebut dengan regi candu Hindia Belanda.  Pelaksanaan sistem regi memungkinkan pengelolaan candu yang lebih besar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah mempunyai kekuasaan untuk memproduksi dan mendistribusikan candu kepada outlet-outlet grosiran dan kemudian memberikan lisensi kepada agen-agen lokal untuk melayani perdagangan eceran.
C. Masyarakat pribumi
            Pribumi dapat juga diartikan sebagai masyarakat asli yang menghuni suatu daerah. Suku Jawa sebagai penghuni asli pulau Jawa. Sebagian bangsa asli namun tidak selamanya memberikan kedudukan yang baik. Pada masa Kolonial Hindia Belanda Pribumi mendapatkan tempat yang kurang menguntungkan dikarenakan sebagia pihak yeng terekploitasi. “Perbedaan antara orang-orang Eropa, Tionghoa dan orang-orang pribumi bukanlah semata-mata sebuah persoalan ras,adat istiadat dan sejarah. Perbedaan-perbedaan itu juga ditetapkan dalam hukum colonial (Rush, 1990:14).
            Sistem pemerintahan colonial saat itu pada tingkat pusat dipegang oleh seorang Belanda sedangkan pada tingkat daerah diberikan pada bangsawan-bangsawan. Sistem pemerintahan diluar pemerintahan pusat dipercayakan kepada para nggota dari sebuah pegawai colonial yang professional Binnenlands Bestuur (pemerintahan dalam negeri). Dibawahnya terdapat seorang residen yang mengepalai empat hingga lima wilayah administrative(afdeling). Tiap wilayah aministratif dibagi menjadi beberapa distrik yang dipegang oleh pengawas dan asisten pengawas. Keadaan desa menjadi keadaan seperti yang sekarang diakrenakan pada masa interregnum Inggris tepatnya pada saat Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Raffles (1811-1816) yakni diterapkan pajak tanah (landrent) yang dibayar dengan uang. Untuk menjalankan system ini maka diperlukan sorang kepala desa untuk memungut secar langsung pajak tanah petanidi desanya. Diangkatlah sorang bekel menjadi kepala desa. Hal-hal yang dilakuakn yang dilakuakn seorang bekel adalah memungut pajak tanah, penegrahan tanaga kerja dan pemeliharaan keamanan. Pemerintah colonial memakasa para bekel atau kepala desa untuk melaksanakan program-program tanam paksa.
                        Pada periode sepuluh tahun pertama pelaksanaan system tanam paksa, tidak ada masalah. Namun pada tahun-tahun berikutnya dimulai pada tahun 1940-an masalah-masalah mulai muncul, harga beras mulai melonjak, kadang-kadang terjadi kegagalan panen dan perbah terjadi pula bencana kelaparan (Suroyo, 2005:146). Pada tahun 1850 koalisi kekuatan penyangga tanam paksa mulai melemah sehingga pada waktu itu pemeritah colonial Belanda menjadi pilar utama dalam pelaksanaan system tanam paksa ini. Namun demikian pada waktu yang bersamaan para pengusha swasta eropa mulai tertarik untuk menanamkan sahamnya dalam pemrosesan gula di pabrik-pabrik dan pada akhirnya mereka harus mulai juga dengan usaha penanaman tebu di perkebunan. Dengan demikian pemerintah juga menggelindingkan kesempatan usaha swasta untuk menangani produksi ekspor sehingga system kerja bebas juga mulai masuk dalam kehidupan para petani di Jawa. (Suroyo, 2005:146)
            Dengan adanya undang-undang agrarian memungkinkan pengusaha eropa untuk menyewa tanah dari penduduk stempat. Semenara itu tanah “bero”(tanah tak terpakai/westo gronden) juga ada juga yang disewa dari pemerintah secara turun temurun (erfpacht) selama 75 tahun atau lebih. (Suroyo, 2005:146-147). Pada tahun 1880an terjadi krisi ekonomi dunia yang terutama mengahntam industry milik orang Eropa di nusantara. Pasar gula dunia mengalami kehancuran mendadak tahun 1884-1895. Krisis ini menghantam tenaga kerja dikarenakan mereka mendapatkan gaji yang lebih kecil dibandingkan biasanya.  
            Dampak perekonomian yang terbentuk akibat kebijaksanaaan Belanda semakin diperparah dengan komoditi canud yang gencara pada saat itu. Candu dikalangan masyarakat Jawa digunakan untuk kesehatan dan mengobati berbagai macam penyakit dan digunakan oleh kuli-kuli untuk obat kuat. Pekerjaan yang berat serta merta membuthkan tenaga yang besar dan kondisi kesehatan yang fit. Disisi lain asupan gizi jauh dari kata memadai diakibatkan pendapatn dan kemiskinan yang parah. Akibatnya ketika kesehatan menurun dan rasa sakit menyerang, candu menjadi salah satu obat unutk sedikit meredakan dan mengurangi rasa sakit. Efek halusinasi candu juga dapat menjadikan pikiran tenang dan mengurangi rasa stress akibat tekanan yang berkepanjangan. Mengkonsumsi candu juga menyebabkab kecanduan dalam jangka waktu yang lama. Apabila tidak mengkonsumsi secara teratur maka akan membuat badan mengigil dan ingin untuk terus mengkonsumsi candu. Pada akhirnya masayrakat akan terus menerus mengkonsumsi candu untuk mengobati kecanduan yang dialami. Disinilah letak rantai permasalahan candu yang kompleks.
            Kemiskinan dan efek candu semakin memperarah dampak terhadap perekonomian penduduk. Linkar setan kemiskinan semakin menambah daftar kematian di Pulau Jawa. Meski mengetahui fakta, namun pemerintahan Hindia Belanda semakin gencar menggerakkan transaksi dan legalitas candu. hal ini disebabkan oleh beberapa factor diantaranya adalah candu menjadi komoditi yang menguntungkan karena memberikan pemasukan pajak yang besar bagi kas Negara. Selanjutnya candu juga menjadi alat control pemerintah Belanda untuk mengatur laju uang dan perkeonomian penduduk agar tidak terjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Pada akhirnya manfaat candu hanya merupan dampak positif yang semu pada masyrakat pribumi yang sebenarnya merupakan salah satu factor  penyebab rantai kemiskinan masyarakat pribumi. Keuntungan nyata hanya diperoleh bagi pemerintahan Hindia Belanda dan kaum elite Tionghoa.

















III        PENUTUP
3.1       Kesimpulan
            Pada awal abad 19, candu sudah menjadi komoditas perdagangan yang banyak diminati dan dianggap menguntungkan. Melihat hal ini, pihak Belanda menggunakan kesempatan dengan cara melakukan monopoli perdagangan Candu dengan melakukan impor besar-besaran candu mentah dari luar negeri seperti India. Disini Belanda berperan sebagai agen pusat penyedia Candu dan menetapkan kebijakan-kebijakan jual beli candu. Dalam hal ini Belanda mendapatkan pemasukkan yang berlipat ganda selain dari aspek perkebunan juga mendapatkan keuntungan dari hasil pajak candu yang cukup besar.
             Dalam pola pendistribusiannya muncul dominasi para elite Tionghoa yang menguasai pendistribusian candu kepada masyarakat. Lambat laun terbentuklah organisasi-organisasi candu yang biasa disebut dengan pak candu. Pelelangan-pelelangan yang dilakukan orang-orang Tionghoa memiliki peran signifikan dalam tiap proses pelelangan tersebut karena mereka memiliki modal yang cukup besar dan kekuatan politik dalam mempengaruhi setiap kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Kerjasama yang saling memeberikan keuntungan membuat pemerintahan Hindia belanda memberikan kepercayaan kepada orang-orang China sebagai mitra dalam bisnsis candu di Pulau Jawa.dalam bidang perekonomian dan politik orang China semakin terangkat. Tidak hanya mendapatkan keuntungan yang besar namun juga mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam bisnis candu yang diberikan oleh pemerintahan Belanda.
             Masyarakat pribumi menjadi sasaran utama dari pemasaran candu. Penghasilan penduduk yang didapat dari bekerja di perkebunan dan industry selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan untuk memenuhi kesenangan yaitu dengan membeli dan mengkonsumsi candu. Sehingga kejahteraan petani tetap rendah. Efek ketergantuangan jangka panjang dalam candu telah memperluas kesempatan pak candu Tionghoa memeberikan kredit kepada penduduk pribumi. . Strategi control pemerintah Belanda tehadap masyarakat telah berhasil dan membuat penduduk pribumi tetap dalam kemelut kemiskinan yang berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan peristiwa kelaparan hebat dan penurunan drastis jumlah penduduk di Pulau Jawa.
3.2       Saran
Berdasarkan uraian isi makalah diatas, maka penulis menghimbau kepada
Ø    Pembaca
Pembaca diharapkan untuk mengembangkan pengetahuan tentang peran candu yang lebih mendalam dalam sejarah bangsa Indonesia..
Ø    Masyarakat
masyarakatdiharapkan mampu bersifat kritis dalam menyikapi informasi dan ilmu pngetahuan agara wawasan yang diperoleh semakin luas.
























DAFTAR RUJUKAN

Ali, M. 1982. Penelitian Kependidikan Prosedur Dan Strategi. Badung : Angkasa.
Breman, J. 1968. Penguasaan Tanah Dan Tenaga Kerja, Jawa pada Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES.
Notosusanto, N. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian Sejarah. Jakarta : pustaka Sedjarah ABRI Dephankam.
Rush, James S. 1990. Candu Tempo Doeloe: Pemerintah Pengedar Dan Pecandu 1860-1910. Jakarta: komunitas bamboo.
Suroyo Dkk. 2005. Indonesia Dalam Arus Sejarah Kolonisasi Dan Perlawanan. Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Thorn, William. 2011. Penaklukan Pulau Jawa-Pulau Jawa Di Abad Ke Sembilan Belas Dari pengamatan Seorang Serdadu Kerajaan Inggris. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Jakarta: LKIS.

 Rujukan Internet :

Dewi. 2007. Aroma Candu dan sengketa di Jawa. (Online).  http://www.dewimagazine.com/art.culture/news/aroma.candu.dan.sengketa.di.jawa/003/001/294. Diakses tanggal 5 Desember 2013

No comments:

Post a Comment