LETUSAN
GUNUNG KELUD TAHUN 2007 DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI DESA PONGGOK, KABUPATEN
BLITAR
MAKALAH
PENELITIAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Perekonomian yang dibina oleh Bapak Hariyono, Prof., Dr., M.Pd / Ibu Indah W.P.
Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.
Oleh:
Ika
Sambita Girinandi (110731435533)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gunung Kelud merupakan salah satu gunung berapi yang masih
aktif di Indonesia terletak di Kampung Margomulyo,
Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Gunung ini memiliki tinggi 1.731
mdpl dengan bentuk strato dan masuk dalam kategori gunung berapi aktif tipe A
dengan letusan eksplosif (http://sejarah.kompasiana.com). Secara
administratif Gunung Kelud ini terletak di Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar,
dan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Sedangkan secara geografis gunung
ini terletak pada 7°56’ LS dan 112°18’30” BT dengan ketinggian puncak 1.113,9 m
di atas permukaan laut (dpl).
Di sepanjang sejarahnya, Gunung Kelud sudah beberapa kali
meletus, yaitu pernah terjadi pada tahun 1586, 1919, 1951, 1966, dan 1990.
Sehingga para ahli dapat menyimpulkan bahwa jika Gunung Kelud memiliki siklus
15 sampai 30 tahun untuk meletus, maka letusan ini paling banyak menimbulkan
korban jiwa. Hal ini terlihat pada letusan yang terjadi pada tahun 1586 dengan
jumlah korban meninggal yang mencapai 10.000 jiwa (http://sejarah.kompasiana.com, http://agusdd.wordpress.com).
Korban yang meninggal dalam letusan Gunung Kelud dikarenakan terseret oleh
lahar letusan yang terjadi pada setiap tahun, sebabnya adalah karena kawah
Gunung Kelud yang berisi air dan membuat letusan tersebut terjadi. Sehingga
Gunung Kelud mengeluarkan air dan mengalir deras menuju desa-desa yang
sungainya berhulu di sekitar Gunung Kelud atau daerah Sempu dan Kelud.
Gunung api ini termasuk dalam tipe
stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif, hal ini banyak terjadi pada gunung api
lainnya di Pulau Jawa. Gunung Kelud terbentuk akibat
proses subduksi yang terjadi di lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Karena sejak tahun
1300 Masehi, gunung ini
tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25
tahun)
yang menjadikannya
sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia (http://id.wikipedia.org). Kekhasan yang dimiliki gunung api ini adalah adanya danau
kawah yang membuat lahar letusan
sangat cair dan membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat dari aktivitas tahun 2007 memunculkan kubah lava, danau kawah yang nyaris sirna dan tersisa semacam
kubangan air.
Puncak-puncak yang ada sekarang ini merupakan sisa dari letusan besar yang terjadi di masa lalu dan meruntuhkan bagian puncak purba.
Dinding yang
berada di sisi barat daya runtuh terbuka sehingga menyebabkan kompleks kawah
membuka ke arah tersebut. Puncak Gunung Kelud ini adalah yang tertinggi dengan posisi yang agak di timur laut kawah. Sedangkan puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di sisi barat
dan Puncak Sumbing di
sisi selatan.
Selanjutnya letusan Gunung Kelud yang terjadi pada 19-20 Mei
1919 merupakan letusan gunung Kelud terbesar kedua setelah tahun 1568. Korban
yang meninggal dunia pada letusan tahun 1919 sebanyak 5.160 orang, sehingga
pemerintah kolonial membentuk Vulkaan Bewakings Dients (Dinas
Penjagaan Gunung Api) pada 16 September 1919. Badan tersebut
merupakan badan bentukan pemerintah kolonial ini dipimpin oleh Georges Laure
Louis Kemmerling dan seorang karyawan di Nederlandsche Koloniale
Petroleum Maatschappij. Georges ini mulai tertarik masuk dalam dunia
Vulkanologi setelah mengenal Gunung Batur dan Gunung Agung di Bali pada 1917.
Tujuannya adalah untuk menyelamatkan orang-orang dari letusan gunung berapi,
mempelajari jenis-jenis, mencari tahu kemungkinan kapan terjadinya letusan,
mencari tahu daerah-daerah yang terancam letusan dan mengembangkan sistem untuk
memperingatkan dan mengevakuasi penduduk pada letusan gunung berapi.
Penulis tertarik untuk menulis dampak
meletusnya gunung Kelud yang berada di daerah kecamatan Ponggok, Kabupaten
Blitar karena beberapa sebab. Pertama, dikarenakan Blitar
merupakan daerah tempat tinggal asal penulis, kedua karena tulisan mengenai dampak
meletusnya gunung Kelud terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar khusunya di
Kecamatan Ponggok yang ditemukan. Penulis
ingin meneliti mengenai dampak meletusnya juga disebabkan karena belum pernah ada yang menulis.
Selain itu, juga karena permasalahan yang beredar di kalangan masyarakat saat
ini belum dapat dibuktikan secara terperinci. Permasalahan yang beredar
tersebut menjelaskan bahwa dampak dari letusan
Gunung Kelud ini dapat merusak infrastruktur yang ada di Kabupaten Blitar yang
pernah dibangun oleh pemerintah.
Penulis mengangkat kurun waktu pada tahun 2007 dengan pertimbangan bahwa pada tahun
tersebut merupakan meletusnya gunung Kelud
terbesar yang pernah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti bermaksud untuk
mengkaji penelitian dengan judul “Letusan
Gunung Kelud tahun 2007 dan Dampaknya terhadap Perekonomian di Desa Ponggok,
Kabupaten Blitar”.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang telah dijelaskan di atas penulis ingin menelaah beberapa
permasalahan yang terjadi. Rumusan masalah tersebut antara lain:
- Bagaimanakah letusan Gunung Kelud tahun 2007?
- Bagaimanakah keadaan ekonomi sebelum dan setelah letusan Gunung Kelud tahun 2007 di desa Ponggok Kabupatn Blitar?
- Bagaimanakah dampak letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap perekonomian di desa Ponggok Kabupatn Blitar?
C.
Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di
atas penulis ingin menjelas-kan beberapa tujuan penulisan dari makalah ini.
Tujuan penulisan tersebut antara lain:
- Mendeskripsikan letusan Gunung Kelud tahun 2007.
- Mendeskripsikan keadaan ekonomi sebelum dan setelah letusan Gunung Kelud tahun 2007 di desa Ponggok Kabupatn Blitar.
- Mendeskripsikan dampak letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap perekonomian di desa Ponggok Kabupatn Blitar.
D.
Metode Penelitian
Makalah ini menggunakan
metode penelitian sejarah (history
research). Beberapa literatur mengenai metode penelitian sejarah, termasuk menurut Abdurrahman (1999: 43). Beliau
menyatakan bahwa metode
sejarah adalah penyelidikan atas
suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahan dalam suatu penyelidikan
dari perspektif historis. Metode yang dimaksudkan dalam buku Dudung
Abdurrahman yang berjudul Metode
Penelitian Sejarah berbeda dengan metodologi. Sebab
metodologi merupakan ilmu yang membicarakan jalan penyelidikan. Pernyataan
diatas didukung oleh keterangan Louis Gottchalk (1963: 33), bahwa metode sejarah sebagai proses menganalisis dan menguji kesaksian
sejarah yang berguna untuk menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya,
serta usaha yang sintesis dari data semacam itu dapat menjadi kisah sejarah
yang dapat dipercaya. Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa langkah-langkah
penulisan sejarah dalam metode sejarah yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik atau
verifikasi, interpretasi, dan
historiografi atau juga dapat disebut dastellung.
Secara
garis besar dapat diartikan bahwa metode penelitian sejarah adalah suatu metode yang membahas
sejarah secara sistematis dan objektif yang melibatkan ruang dan waktu. Metode sejarah merupakan
sistem yang berisi aturan-aturan, prosedur-prosedur dan tehnik-tehnik yang
harus dilakukan untuk mengumpulkan data dan mengevaluasikan segala kemungkinan
saksi mata, serta proses
penyusunan fakta yang telah diuji dalam suatu keterkaitan terhadap suatu
peristiwa. Berdasarkan keterangan diatas langkah yang ditempuh
penulis dalam menyusun karya ilmiah
ini adalah sebagai berikut:
a)
Pemilihan
Topik
Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus
dipecahkan atau diatasi melalui penelitian ilmiah (Abdurrahman, 1999:
44). Topik yang dimaksudkan tidak sama dengan judul,
karena judul adalah “abstraksi” dari masalah atau topik yang dirumuskan dalam
bentuk kalimat. Sedangkan menurut Kuntowijoyo,
topik yang diambil penulis adalah dampak
letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar. Pemilihan topik ini diambil oleh penulis karena
kedekatan emosional yang sangat kuat,
disebabkan karena tempat tinggal asal penulis dengan tempat
yang akan diteliti sangat dekat
dengan lokasi yang akan diteliti. Selain itu, penulis
juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa letusan-letusan gunung berapi
mempunyai makna yang berarti penting, dampak baik yang maupun dampak buruknya
bagi masyarakat Kabupaten Blitar.
Sedangkan
alasan dari penulis mengambil topik
ini adalah berdasarkan kedekatan
intelektual karena sepengetahuan dari
penulis sendiri
topik ini belum ada yang pernah menulis dalam bentuk
makalah penelitian. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelitinya dan
mengetahui lebih lanjut mengenai meletusnya
Gunung Kelud tahun 2007 dan dampaknya terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar.
Sejarah penulis sudah mulai tertarik dengan sejarahperekonomian dengan aspek
lingkungan. Hal itu dikarenakan pada saat kuliah penulis sudah bergerak
mengumpulkan sumber-sumber dan data-data tentang Gunung Kelud. Penulis juga
ingin mengangkat suatu peristiwa yang mampu meningkatkan citra positif
kabupaten tahun 2007 terhadap perekonomian pada waktu itu.
b)
Heuristik
(Pengumpulan Sumber)
Setelah
menemukan topik dan memastikan masalah yang ingin diteliti peneliti dalam
melakukan pengumpulan data. Proses pengumpulan data ini dalma penelitian
sejarah disebut heuristik. Heuristik
sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan sumber sebagai bahan dasar
untuk menulis (Hariyono, 2007: 23). Terkait
dengan hal ini, penulis melakukan beberapa tahap seperti mengumpulkan dokumen
dan pustaka yang masih menyimpan memori tentang meletusnya Gunung Kelud. Penulis juga melakukan wawancara
juga dilakukan dengan para pegawai pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat yang
ada di kabupaten Blitar. Selanjutnya, penulis melakukan klasifikasi sumber ke
dalam kategori data primer dan sekunder. Sumber yang
digunakan penulis dalam penulisan ini ada tiga, yaitu:
·
Sumber
Primer
Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah
sumber yang disampaikan oleh saksi mata (Abdurrahman, 1999:56).
Sumber ini dapat berupa dokumen,
arsip-arsip laporan pemerintah, surat
kabar, catatan harian, transkrip wawancara
dengan pelaku-pelaku sejarah yang disertai dengan pernyataan otentik tertulis oleh pelaku
(orang yang diwawancarai), dan arsip pemerintah
yang bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan.
Hal
itu dilakukan penulis dengan menggunakan sumber primer yang berkaitan langsung
dengan meletusnya Gunung Kelud tahun 2007. Sumber-sumber yang dikumpulkan
tersebut di antaranya data laporan letusan Gunung Kelud tahun 1966. Selain itu,
terdapat peta letak Gunung Kelud yang berada di sekitar Kabupaten Blitar tahun
2012.
·
Sumber
Sekunder
Dalam penyusunan karya
tulis ini, penulis merupakan
data yang diperoleh dari dinas atau instansi terkait. Sumber tersebut bisa berupa surat-surat
dokumen, berita di koran yang terkait dengan
topik yang bersangkutan, majalah, artikel,
karya tulis, catatan harian, buku yang berkaitan dengan
sejarah lingkungan maupun letusan gunung Kelud tahun 2007 sampai lembaran
negara dan berita negara.
·
Sumber
Lisan
Penulis
juga menggunakan wawancara sebagai sumber lisan sebagai penguat dalam
pembahasan ini. Dalam penelusuran yang
dilakukan oleh penulis menggunakan metode
snowball sampling merupakan
salah suatu metode dalam wawancara untuk mengumpulkan/mendapatkan informasi dari satu narasumber dan meminta rekomendasi dari narasumber
tersebut, dengan tujuan dapat menemukan narasumber lainnya sehingga
dapat melengkapi data wawancara. Awalnya penulis mewawancarai
masyarakat di desa Ponggok yang
mengetahui dan mengalami peristiwa letusan Gunung Kelud tahun 2007.
c)
Kritik
Sumber
Tahap penelitian
sejarah selanjutnya adalah kritik
sumber atau verifikasi yang merupakan salah satu tahapan yang terpenting dan
pokok. Menurut Basri (2006:
68) dalam bukunya Metodologi
Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori, dan Praktik) menjelaskan
bahwa kritik sumber adalah semua jenis dan bentuk
sumber-sumber atau bukti-bukti historis yang diperoleh melalui pengumpulan data
baik melalui teknik observasi, wawancara, maupun teknik dokumentasi yang
terkumpul. Oleh karena itu, data yang telah
diperoleh harus dilakukan
secara cermat, benar dan profesional agar dapat
menguji keaslian sumber. Secara teoritis,
kritik sumber dapat dibedakan menjadi dua macam: kritik eksternal dan kritik
internal.
·
Kritik
Eksternal
Kritik
eksternal dimaksudkan untuk menguji dan
mengungkap keabsahan tentang otentisitas (keaslian) suatu sumber baik berbentuk
fisik maupun non fisik (Basri, 2006: 69).
Apakah sumber tersebut dalam bentuk asli
atau palsu, yang dimungkinkan terjadi pada bagian-bagian dokumen atau keseluruhan baik yang
disengaja atau tidak (Abdurrahman, 1999: 60).
Dalam penelaahan akan difokuskan pada hal-hal yang
bersifat material seperti: jenis kertas, jenis tinta, cap, bentuk tulisan,
waktu, zaman, tempat dan identifikasi pengarang yang sebenarnya (Basri, 2006:
69). Penulis melakukan kritik ini berdasarkan sumber yang telah diperoleh dengan
menggunakan cara verifikasi atau pengujian sumber dari data tersebut. Misalnya,
penulis dapat melakukan verifikasi atau pengujian sumber terhadap yang sudah
didapat berupa sumber koran atau lembaran daerah yang sejaman mengenai letusan
Gunung Kelud tahun 2007. Penulis akan melakukan verifikasi ini dengan cara
meneliti gaya tulisan, kertas yang digunakan, jenis tinta, bahasa yang
digunakan, kalimat, zaman, dan lembaga yang digunakan dalam menyimpan dokumen
tersebut.
·
Kritik
Internal
Selanjutnya
penulis akan melakukan
kritik internal yaitu untuk menguji dan
kritis terhadap dokumen yang dianggap otentik untuk melihat apakah isinya dapat
dipercaya atau tidak. Langkah
pertama dalam melakukan kritik sumber adalah fokus pada pembuat dokumen dan
mengetahui sifat dokumen itu sendiri. Hal ini menjadi penilaian secara
intrinsik dalam mencari arti sebenarnya dari suatu sumber. Dimaksudkan untuk
mengetahui apakah narasumber sudah memiliki kapasitas mental dalam suatu
peristiwa dan sadar apa yang dilaporkan. Langkah selanjutnya adalah
membandingkan dokumen yang satu dengan dokumen yang lainnya. Dalam proses
pembandingan dokumen ini akan menghasilkan persamaan dan perbedaan dari isi
masing-masing dokumen yang nantinya akan dikritisi oleh peneliti melalui
sumber-sumber primer yang diperoleh dari instansi dengan cara menjejerkan data
primer dengan sumber lisan untuk memperoleh kebenaran yang mutlak.
Pada penulisan ini, penulis juga dilakukan kritik
internal terhadap sumber yang telah diperoleh. Sumber primer yang diperoleh penulis berupa
dokumen yang berbentuk tulisan yang sejaman atau sumber lisan dari para
informan. Misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan Gunung Kelud, koran,
majalah, dan arsip-arsip pemerintahan yang terbit pada tahun tersebut. Termasuk
juga dengan sumber sekunder yang berupa buku-buku penunjang dalam penulisan
tersebut, penulis juga melakukan kritik eksternal dan internal. Hal itu
dilakukan untuk mencari keaslian data yang telah diperoleh. Selain itu juga
menyeleksi sumber yang harus dipakai dan yang seharusnya tidak dipakai dalam
penulisan ini. Sehingga dapat menghindari subjektivitas yang timbul dalam
tulisan ini.
Penulis melakukan kritik
internal yang tujuannya untuk mengolah
sumber dengan bentuk hasil wawancara atau sumber lisan dari narasumber satu dengan yang lainnya. Hal
ini dapat menghubungkan dan menyatukan informasi yang telah diperoleh
dari sumber sejarah yang didapat dengan wawancara pada para informan.
Data dari hasil wawancara akan digabungkan dengan data bersumber yang diperoleh
dari dokumen pemerintahan. Tujuannya dapat memperkuat keaslian dan kebenaran
data yang diperoleh oleh penulis.
d)
Interpretasi
Interpretasi
atau penafsiran sejarah disebut sebagai
kesungguhan data atau analisa sejarah. Sedangkan analisis sejarah adalah
melakukan sintesis atas sejumlah fakta
yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori yang
disusun dari fakta tersebut ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh
(Berkhofer, dikutip dari Abdurrahman, 1999). Pada tahap ini,
peneliti dituntut kecermatan dan sikap objektif seorang sejarawan, terutama
dalam hal interpretasi subjektif terhadap fakta sejarah yang ditemukan oleh
peneliti. Tahap
interpretasi penulis
merujuk pada fakta yang
terjadi di lapangan dan telah teruji dalam proses verifikasi atau tahap kritik.
Inti dari penulisan ini adalah melakukan penelitian mengenai perubahan ekologi
pada letusan Gunung Kelud tahun 1919. Tahap ini dibagi menjadi dua, seperti
analisis dan sintesis.
·
Analisis
Analisis
merupakan uraian dari fakta pada sebuah sumber yang mengandung beberapa
kemungkinan. Analisis menjadi hal yang sangat penting apabila sumber yang
diperoleh tidak semuanya sesuai dengan penelitian yang dilakukan di lapangan.
Penulis akan menganalisis isi kandungan dari
sumber yang diperoleh melalui kritik internal positif dengan
tujuan untuk menyingkapi arti dari kata-kata dan mengetahui tujuan dari penulisan
tersebut. Sumber yang telah
diperoleh dari berbagai cara, seperti menguraikan dokumen-dokumen, hasil
wawancara dan buku-buku yang menunjang lain dalam penulisan ini. Tujuannya menganalisis
adalah untuk menghasilkan fakta yang terjadi pada Letusan Gunung Kelud tahun
2007.
·
Sintesis
Sintesis
merupakan penyatuan dari data yang telah diperoleh dari beberapa sumber. Data
tersebut diperoleh dan dikumpulkan jadi satu, kemudian akan menghasilkan sebuah
fakta. Pengklasifikasian dalam tahap ini sangat penting dengan tujuan untuk
mendapatkan fakta dari peristiwa sejarah yang terjadi dan kronologis serta
sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti. Penulis melakukan tahap sintesis
dengan cara menyatukan sumber yang telah diperoleh. Misalnya, menyatukan hasil
wawancara dari tokoh masyarakat Ponggok yang mengetahui letusan tersebut dengan
arsip-arsip dan buku-buku yang menunjang dalam penulisan mengenai Letusan
Gunung Kelud tahun 2007.
e)
Historiografi
Langkah berikutnya adalah proses
penulisan sejarah yang seringkali disebut sebagai historiografi yang merupakan
puncak dari aktivitas peneliti (Hariyono, 2007: 33). Historiografi yaitu proses penulisan sejarah yang bertolak dari
fakta-fakta yang telah teruji dan sudah terangkai. Dalam proses penulisan ini,
penguasaan sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut
mempengaruhi mutu karya yang dihasilkannya (Pradjoko dkk, 2008: 9-10).
Dimana
dalam proses penelitian ini peneliti harus bersifat objektif sedangkan dalam
proses penulisan sejarawan bersifat subjektif. Langkah dalam tahap ini sangat
ditentukan dalam pilihan paradigma yang terkadang tidak disadari untuk
dilakukan. Sehingga umumnya penulisan sejarah sangat memperhatikan aspek
“waktu” yang menjadi waktu silam terdapat dinamika atau perubahan sebagai
benang merah yang menghubungkan suatu waktu dengan waktu yang lain.
Penulisan
pada penelitian ini umumnya menjadi model penulisan dalam aspek lingkungan yang
terbagi menjadi 2 sifat, yaitu model sinkronis dan diakronis (Abdurrahman, 1999:13).
Penulisan sejarah dengan model diakronis yaitu penulisan sejarah dengan
menggunakan pola penggalan waktu tertentu dengan memperhatikan urutan-urutan waktu
tertentu secara sistematis, sedangkan model sinkronis adalah penulisan sejarah
yang membutuhkan “ruang” untuk melukiskan cerita sejarah yang ditinjau dari
berbagai aspek yang dikupas melalui berbagai pendekatan (Basri, 2006: 91-92).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Letusan
Gunung Kelud tahun 2007
Aktivitas
Gunung Kelud kembali meningkat pada akhir September 2007. Hal tersebut ditandai
dengan meningkatnya suhu air danau kawah dengan peningkatan kegempaan tremor,
serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Gejala
unik yang baru terjadi adalah munculnya asap putih dari tengah danau yang
diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau hingga berukuran selebar 100
m (Purwati, 2008: 12).
Sejak
27 Agustus 2007 aktivitas gunung ini terus mengalami peningkatan yang cukup
berarti setelah tertidur hampir 17 tahun. Peningkatan itu dapat dipantau dengan
tingkat kegempaan baik vulkanik dalam maupun tektonik jauh. Pada tanggal 9
September 2007 mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB tercatat 15 kali
gempa vulkanik dengan pusat gempa yang berada pada kedalaman setengah sampai
lima kilometer. Diikuti dengan gempa vulkanik tremor satu kali pada tanggal 10
September 2007 dengan suhu danau kawah meningkat dari 31 derajat celsius
menjadi 33,2 derajat celsius. Hal ini yang menyebabkan PVMBG Bandung menaikkan
status Gunung Kelud yang dari awal berstatus Aktif Normal menjadi Waspada pada
tanggal 11 September 2007. Sebelum terjadi erupsi pada tanggal 4 Nopember 2007,
gunung api ini mempunyai danau kawah yang berada dipuncaknya,
tetapi setelah erupsi tersebut danau tersebut terisi oleh kubah lava
(Zaennudin, 2009: 2). Para ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat
saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Sehingga erupsi Gunung
Kelud akan memberikan dampak positif pada masa yang akan datang, diperkirakan
akan terjadi perubahan tipe erupsi dan daerah yang terkena dampaknya oleh
letusan tersebut.
Kemudian
status tersebut dinaikkan lagi menjadi Siaga setelah pada tanggal 29 September
2007 tepat pukul 12.00 sampai 19.00 WIB tercatat delapan kali gempa vulkanik
dalam dan dua kali gempa vulkanik tremor. Sedangkan suhu danau kawah di
kedalaman 15 meter mencapai 36,1 derajat celsius dengan warna air danau kawah
hijau-biru keputih-putihan yang menunjukkan adanya peningkatan adanya
peningkatan karbondioksida (CO2) yang mencapai 344 ton per hari dengan tingkat
keasaman (pH) 5,72 akibat adanya peningkatan aktivitas magmatik.
Selang
waktu beberapa hari, berdasarkan hasil pemantauan dan analisa kegempaan,
deformasi visual dan pengukuran suhu air danau kawah, maka aktivitas Gunung
Kelud berpotensi terjadi letusan. Hasil pemantauan aktivitas Gunung Kelud pada
hari Senin, 16 Oktober 2007 pukul 17.00 WIB tercatat Gempa Vulkanik Dangkal 306
kali yang merupakan proses terjadinya rekahan batuan secara progresif oleh
fluida (magma gas) menuju permukaan, Gempa vulkanik dalam terjadi sebanyak 3
kali, gempa Tremor 5 kali, Gempa Tektonik Jauh tercatat 10 kali, Gempa Tektonik
Lokal 1 kali.
Hasil
pengukuran danau kawah pada pukul 12.00 WIB telah mencapai 37,80C dan warna air
danau kawah hijau keputih-putihan, flux CO2 masih di atas normal dan masih
tingginya kandungan H2S, HCO2, Na, CL dan unsur kimia lainnya. Secara visuall
cuaca teramati adanya bualan gas di tengah danau. Sedangkan hasil pengukuran
deformasi periode 13-16 Oktober 2007 menunjukkan adanya proses inflasi
disekitar puncak Gunung Kelud. Oleh karena itu terhitung mulai tanggal 16
oktober 2007 pukul 17.25 WIB, status aktivitas Gunung Kelud ditingkatkan daro
Siaga (level III) menjadi Awas (Level IV).
Pada
tanggal 16 Oktober 2007 pukul 19.00 WIB kegiatan pengungsian masyarakat sudah
mulai dilakukan terutama oleh Pemerintah Kabupaten Kediri dan Blitar dalam
radius 10 km dari puncak Gunung Kelud (di Kabupaten Kediri masyarakat yang dievakuasi
sebanyak 36.236 orang dan di Kabupaten Blitar masyarakat yang akan dievakuasi
sebanyak 80.510 orang). Hingga awal November 2007 letusan besar (erupsi
eksplosif) tidak terjadi. Tetapi hanya terjadi erupsi efusif (leleran lava) di
kawah pusat yang dimulai pada tanggal 3 November 2007 dan perlahan-lahan
membentuk kubah lava yang terus tumbuh hingga sekarang.
Kemudian
pada Januari-Mei 2009, seismograf Gunung Kelud merekam 14 kali Gempa Vulkanik
Dalam (VA), 50 kali Gempa Vulkanik Dangkal (VB), 157 kali Gempa Hembusan, 13
kali Gempa Tremor, 42 kali Gempa Guguran, 273 kali Gempa Low Frekwensi, 766
kali gempa Tektonik Jauh (TJ) dan 33 kali Gempa Tektonik Lokal (TL). Gempa
Tremor sejak Maret 2009 sudah tidak terekam lagi. Pada tanggal 1 Juni 2009
hingga saat ini di dominasi rekaman Gempa Tektonik Jauh (TJ) sebanyak 48 kali
kejadian dan 1 kali gempa Hembusan serta 1 kali Gempa Fase Banyak (Nugroho,
2010: 149). Secara visual tidak terlihat adanya perubahan aktivitas vulkanik.
Gunung Kelud umumnya terlihat jelas, kadang-kadang tampak asap kawah berwarna
putih tipis bertekanan lemah mencapai ketinggian 50 hingga 150 meter diatas
kawah.
Hembusan
asap bertekanan dan bertemperatur tinggi masih akan berlangsung di kawah Gunung
Kelud. Dalam hembusan asap yang bertekanan dan bertemperatur tinggi berpotensi
mengandung gas-gas beracun yang berbahaya bagi kehidupan. Menurut Nugroho
(2010: 149-150) berdasarkan hasil pemantauan dan analisis data pemantauan maka
terhitung mulai tanggal 9 Juni 2009 pukul 15.00 WIB, status kegiatan Gunung
Kelud diturunkan dari Waspada (Level II) menjadi Normal (Level I). sehubungan
dengan penurunan status Gunung Kelud menjadi Normal kembali, maka PVMBG
merekomendasikan:
1. Masyarakat
yang bermukim di sekitar Gunung Kelud dapat beraktivitas seperti biasa.
2. Masyarakat
dilarang mendekati kubah lava karena ketidakstabilan batuan kubah lava dan
berpotensi terancam bahaya hembusan asap yang bertekanan dan temperatur tinggi
serta dapat menghirup gas-gas beracun.
3. Pemerintah
daerah senantiasa berkoordinasi dengan Pos Pengamatan Gunung Kelud di Kampung
Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri atau dengan
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Bandung.
4. Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi akan selalu berkoordinasi dengan BNPB,
BPBD Jawa Timur dan Satlak PB (Kediri, Blitar, dan Malang) dalam memberikan
informasi aktivitas Gunung Kelud.
2.2
Keadaan
Ekonomi Sebelum dan Setelah Letusan Gunung Kelud tahun 2007 di Kecamatan
Ponggok Kabupaten Blitar
Peningkatan hasil sayuran dataran
rendah meibatkan intensifikasi budidaya yang lebih besar dan bukan
ekstensifikasi. Meskipun demikian tanaman yang di budidayakan pada dataran
tinggi mengalami perluasan lahan pertanian, terutama di daerah-daerah yang bergunung
di Jawa Barat, yang menghasilkan hampir setengah dari tanaman panen di Jawa.
Asal-usul kegiatan holtikultura di daerah ini terunut ke zaman penjajahan
ketika tiap kota besar memiliki pusat penghasil sayurannya seringkali
berhubungan dengan suatu perusahaan pemerahan susu (Barlow, 2002: 86).
Kebanyakan daerah dataran tinggi yang kini ditanami sayuran merupakan perluasan
dari pusat-pusat tradisional tersebut. Beberapa lahan ini dahulu merupakan
bagian dari perkebunan milik Belanda. Seiring dengan perpindahan para petani
setempat ke kawasan itu, tanaman keras seperti teh diganti dengan sayuran.
Budidaya tanaman tahunan di bagian
atas lereng-lereng gunung memiliki sejumlah dampak terhadap lingkungan.
Kesuburan tanahnya mulai mengalami penurunan, semakin banyak pupuk kandang dan
pupuk kimiawi yang dibutuhkan untuk mempertahankan hasil panen. Petani tidak
lagi membuat teras-teras lahannya karena lereng-lereng yang ada sudah
menyediakan saluran air yang baik. Akibatnya, pengikisan tanah lapisan teratas
terjadi pada sebagian besar pusat penghasil sayuran yang berada di ketinggian.
Di samping itu sering terjadi tanah longsor yang menambah endapan sungai-sungai
yang mengalir menuju Laut Jawa (Barlow, 2002: 86). Hingga kini, pemerintah
Indonesia menemui kesulitan mencegah gerak budidaya tanaman ke arah atas,
terutama jika pemanfaatan lahan berupa usaha yang menguntungkan seperti
penanaman sayuran.
Potensi wilayah Kabupaten Blitar
yang terdiri dari hasil dan sebaran potensi alam wilayah sehingga sarana
prasarana infrastruktur penunjang wilayah termasuk juga penetapan pengembangan
pola ruang wilayah yang ada di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Blitar. Dari potensi wilayah yang ada dapat diketahui juga keadaan perekonomian
Kabupaten Blitar.
a) Pertanian
Tanaman Pangan dan Holtikultura
Kabupaten Blitar
memiliki kawasan pertanian tanaman pangan yang cukup luas, yaitu hampir 20%
dari luas wilayahnya secara keseluruhan. Luas lahan pertanian di Kabupaten
Blitar sebesar 51.568,42 Ha dengan pembagian sawah irigasi sebesar 20.186,02
Ha, sawah tadah huja sebesar 6.205,45 Ha dan pertanian lahan kering sebesar
25.176,95 Ha. Sedangkan pengadaan sawah abadi adalah 75% dari luas sawah
irigasi yaitu sebesar 15.139,5 Ha (Nugroho, 2010: 89).
Selain itu juga terdapat
pola persebaran pertanian adalah: kawasan pertanian lahan basah yang cenderung
didominasi pada wilayah utara Sungai Brantas. Wilayah tersebut merupakan
kawasan yang subur dan potensial serta didukung dengan sistem irigasi yang
baik. Kawasan-kawasan yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian lahan basah yaitu di kecamatan Wonodadi, Srengat, Udanawu, dan
wilayah Blitar utara lainnya.
Kawasan pertanian lahan
kering, didominasi pada wilayah Blitar Selatan (selatan Sungai Brantas). Selain
kondisi topografi yang bergelombang dan berbukit juga cukup sulit untuk
memenuhi kebutuhan air irigasi dan kondisi tanahnya yang kurang subur.
Kawasan-kawasan tersebut meliputi Kecamatan Wates, Bakung, Wonotirto dan
Panggungrejo.
Potensi pertanian di
wilayah Kabupaten Blitar untuk sektor tanaman makanan yang dikelompokkan pada
jenis padi dan palawija yang meliputi padi sawah, padi ladang, jagung, ketela
pohon, ketela rambat, kacang tanah dan kedelai. Sedangkan dalam sektor holtikultura
meliputi kobis, sawi/petsai, kacang panjang, rambutan, nanas, dan melinjo
sebagai produk unggulan Kabupaten Blitar. Selain itu, juga ada buah unggulan
seperti nanas varietas Queen, nanas jenis ini banyak dihasilkan di Kecamatan
Srengat, Wonodadi, Udanawu, dan Ponggok. Buah lain yang terkenal adalah
rambutan binjai yang banyak ditanam di Kecamatan Sanankulon, Garum dan Wlingi.
b) Perkebunan
Kabupaten Blitar
memiliki potensi perkebunan yang meliputi perkebunan rakyat dan perkebunan
besar. Material vulkanik yang termuntah mengaliri dan memupuk lereng-lereng
gunung dengan tambahan dukungan iklim, curah hujan, serta ketinggian yang
sesuai dengan membuat tanaman perkebunan tumbuh subur. Kawasan perkebunan
tersebar merata di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar. Komoditi
perkebunan yang dominan berupa kopi, kelapa, cengkeh, tebu, kenanga dan kakao.
Berikut ini luas areal dan jumlah petani perkebunan rakyat pada tahun 2008 yang
diambil dari skripsi Nugroho (2010: 91):
Luas
Areal, Produksi dan Jumlah Petani Perkebunan Rakyat Tahun 2008
Jenis
Tanaman
|
Luas
Areal
(Ha)
|
Produksi
(Ton)
|
Produktivitas
(Ka/Ha/Thn)
|
Jumlah
Petani
|
I.
Tanaman Semusim
|
||||
Tebu
|
7.122,00
|
534.149,50
|
74.999,93
|
3.505
|
Tembakau Lokal
|
352,20
|
246,54
|
700,00
|
912
|
Tembakau Virgia
|
213,08
|
348,62
|
1.636,10
|
144
|
II.
Tanaman Tahunan
|
||||
Kenanga
|
626,13
|
2.924,30
|
7.063,53
|
855
|
Cengkeh
|
1.786,00
|
658,48
|
490,31
|
2.763
|
Kopi
|
2.221,00
|
1.103,00
|
602,57
|
3.436
|
Kakao
|
1.490,99
|
775,78
|
700,00
|
2.612
|
Kelapa
|
17.685,50
|
21.578,06
|
1.266,36
|
33.664
|
Lada
|
30,15
|
14,71
|
682,60
|
95
|
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Blitar dalam Nugroho
Dalam tabel diatas
ditunjukkan bahwa luas kawasan perkebunan di Kabupaten Blitar adalah sebesar
32.441,91 Ha yang terdiri dari perkebunan besar 13.788 Ha dan kebun campur
(kebun rakyat) sebesar 18.659,91 Ha. Untuk tanaman perkebunan semusim yang
terdiri dari tebu, tembakau lokal dan virginia dimana jumlah petani tebu masih
cukup banyak yaitu 3.505 orang. Kemudian tanaman tahunan perkebunan rakyar
terbanyak adalah petani kelapa yaitu 33.664 orang, menyusul kopi 3.336 orang,
cengkeh 2.763 orang, kakao 2.612 orang, kemudian kenanga dan lada yaitu 855
orang dan 95 orang (Nugroho, 2010: 91).
c) Kehutanan
Hutan menurut fungsinya
dibagi menjadi hutan produksi, hutan lindung, hutan tebang pilih dan suaka
alam/hutan wisata/taman nasional. Kawasan suaka alam di Kabupaten Blitar
terdiri dari suaka margasatwa berupa penangkaran rusa di Kecamatan Ponggok dan
suaka alam perairan laut di wilayah Blitar bagian selatan. Dimana untuk hutan
lindung dengan luas 11.904,6 Ha terdapat di wilayah Blitar Utara yaitu di
Kecamatan Nglegok dan Kecamatan Gandusari bagian utara (sekitar kawasan Gunung
Kelud), Kecamatan Wlingi, Kecamatan Selorejo, Kecamatan Doko bagian utara
(sekitar kawasan Gunung Kawi).
d) Peternakan
Potensi peternakan di Kabupaten Blitar
terdiri dari peternakan sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, ayam
ras, ayam kampung dan itik. Komoditi peternakan terbesar di Kabupaten Blitar adalah
ayam ras petelur yang sampai tahun 2008 prouksi telur Kabupaten Blitar mampu
memenuhi 70% dari kebutuhan telur di Jawa Timur dan secara nasional memenuhi
30% dari kebutuhan telur ayam nasional (Nugroho, 2010: 92).
e) Perikanan
Potensi
perikanan di Kabupaten Blitar terdiri dari perikanan laut (tangkap) dan
perikanan darat (budidaya ikan konsumsi dari ikan hias). Untuk perikanan laut
Kabupaten Blitar memiliki potensi yang cukup tinggi, memiliki pantai yang
terbentang sepanjang 45 km dengan luas 4 mil laut = 26.100 Ha, luas 12 mil laut
= 63.330 Ha, dan luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) = 1.305.500 Ha. Jenis
perikanan tangkap laut yang paling dominan seperti tongkol, selar, lemuru,
udang dan ikan layang.
Keadaan
ini juga dirasakan oleh sebagian warga di Kecamatan Ponggok yang tadinya mereka
bermata pencaharian dari budidaya nanas yang berada di halaman kebun mereka.
Seperti halnya yang dituturkan bapak Sugiono yang berusia 50 tahun menjelaskan
bahwa sebagian besar dari masyarakat bergantung dengan budidaya nanas yang
menjadi ciri khas Kabupaten Blitar khususnya Kecamatan Ponggok. Selain itu,
juga ada warga yang bermata pencaharian bertani dan membudidaya tebu.
Kebanyakan warga di Kecamatan Ponggok membudidayakan tebu dan ditanamnya di
sekitar aliran sungai yang kerap kali dilewati lahar dari Gunung Kelud. Jika
saja gunung ini meletus maka masyarakat sedikit takut kalau sumber mata
pencaharian mereka rusak terkena lahar dari Gunung Kelud.
Pernyataan ini juga di sama dengan
penuturan bapak Suwarji yang berusia 56 tahun hampir mengalami kebangkrutan
akibat letusan Gunung Kelud. Disini bapak Suwarji menjelaskan mengenai letusan
Gunung Kelud tahun 2007, meskipun letusan ini tidak sampai mengeluarkan
semburan yang besar seperti yang terjadi pada letusan sebelumnya. Tetapi ada
rasa khawatir letusan tersebut akan lebih besar dari beberapa tahun yang lalu
dan letusna sebelumnya. Bapak Suwarji sempat memanen hasil tebunya meskipun
belum saatnya di panen. Hal ini dapat menjadi kerugian yang sangat besar untuk
beliau karena belum saatnya panen sudah dipanen terlebih dahulu.
Selain itu, bapak Edi Triono yang
sekarang ini berusia 46 tahun sempat mengalami gagal panen pada budidaya yang
dikembangkan melalui budidaya nanasnya. Akibat dari letusan Gunung Kelud ini
menyebabkan nanas tersebut rusak dengan adanya semburan debu yang juga mengenai
Kecamatan Ponggok. Menurut beliau kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh
beliau saja, akan tetapi juga dirasakan oleh warga lain yang sama dengan beliau
membudidayakan nanas. Beliau sempat bertanya juga dengan temannya mempunyai
sawah yang berada di sekitar sungai jalur lahar tersebut menjelaskan temannya
tersebut juga sempat mengalami kerugian yang sangat besar.
Dengan adanya letusan tersebut, rata-rata
warga Kecamatan Ponggok harus memulai kembali usahanya agar dapat bertahan
hidup. Seperti halnya bapak Sugiono yang masih mempunyai bibit padi yang dapat
digunakan untuk memulai bertani di sawah miliknya. Meskipun harus menunggu
beberapa minggu sampai lahan tersebut dapat digunakan untuk bertani. Dan hal
ini dirasakan juga warga Kecamatan Ponggok yang lain.
Berbeda halnya dengan bapak Suwarji
yang membeli bibit tebu baru. Akan tetapi, beliau tidak membelinya terlalu
banyak, karena terbatas dengan keuangan yang dimilikinya. Letusan tersebut
tidak terlalu besar hanya mengakibatkan munculnya kubah baru yang biasa di
sebut sebagai anak Gunung Lelud, tetapi beliau juga sempat mengalami kerugian
yang sangat parah. Hingga memulai usahanya kembali dari awal dengan dana yang
lumayan besar dengan keadaan. Saat itu pak Suwarji juga mendapatkan bantuan
dari pemerintah yang dapat digunakan sebagai sumber awal agar dapat merintis
kembali usahanya, akan tetapi tidak memakai tebu sebagai sumber mata
pencahariannya.
Rata-rata pemerintah memberikan bibit
bahan pangan yang diperkirakan dapat menghasilkan sumber mata pencaharian bagi
warga di Kecamatan Ponggok. Dengan adanya bantuan tersebut Bapak Edi Triono
berusaha mengembangkan bantuan dari pihak pemerintah hingga dapat mencari
untung agar dapat memulai usahanya kembali yaitu membudidayakan buah Nanaas. Karena
menurut beliau hasil yang didapat setelah letusan tahun 2007 lalu sangat baik
ditimbang tahun sebelumnya. Beliau juga sempat memilah-milah kembali dari
tanaman yang pernah dikembangkan tersebut dikembangkan tersebut yang sekiranya
masih dapat digunakan untuk mengembangkannya lagi. Beliau sempat meminta
pinjaman modal kepada pihak bank negeri di sekitar Ponggok agar dapat memulai
kembali usahanya.
2.3 Dampak
Letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap Perekonomian di Kecamatan Ponggok
Kabupaten Blitar
Dengan adanya letusan Gunung Kelud yang terjadi pada
tahun 2007 ini, bapak Sugiono, bapak Suwarji dan bapak Edi Triono menjelaskan
beberapa dampak positif dan negatif adanya letusan tersebut. Dampak positif dari letusan gunung api ini dalam sektor
perekonomian di Kacamatan Ponggok Kabupaten Blitar, seperti:
·
Penduduk dapat memanfaatkan kawasan tersebut sebagai
pertanian dalam waktu beberapa tahun ke depan di sekitar gunung.
·
Masyarakat sekitar juga memanfaatkan Gunung Kelud ini
sebagai objek wisata bagi wisatawan domestic dan mancanegara.
·
Penduduk dapat memanfaatkan hasil erupsi yang berupa pasir
sebagai mata pencaharian. Misalnya saja menambah pasir dan karya seni dari
endapan lava yang telah dingin. Lalu belerang, batu pualam dan lain-lain dapat
berguna dan bernilai tinggi.
·
Masyarakat sekitar dapat menggunakan panas bumi yang dihasilkan
oleh Gunung Kelud dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak negatif letusan
Gunung Kelud tahun 2007 dalam sektor perekonomian di Kacamatan Ponggok
Kabupaten Blitar, seperti:
·
Dengan adanya letusan Gunung Kelud ini berakibat merusak
pemukiman warga sekitar.
·
Bencana ini juga dapat menyebabkan kerusakan hutan.
·
Tumbuhan yang ditanam oleh masyarakat sekitar banyak yang
layu, hingga mati akibat debu vulkanik. Hal ini juga berakibat pada hewan
ternak seperti sapi, kambing, ayam dan lain-lain banyak yang mati akibat
letusan Gunung Kelud ini.
·
Letusan Gunung Kelud ini juga menyebabkan gagal panen.
·
Mematikan infrastuktur umum.
·
Menghentikan aktivitas masyarakat dalam mencari mata
pencaharian.
·
Pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk memperbaiki
infrastuktur yang telah rusak akibat letusan Gunung Kelud.
·
Terganggunya hubungan komunikasi, jaringan listrik terputus
dan jalan banyak yang terputus.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aktivitas
Gunung Kelud ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah dengan peningkatan
kegempaan tremor dan terjadi perubahan pada warna danau kawah dari kehijauan
menjadi putih keruh. Selain itu muncul asap putih dari tengah danau yang
diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau hingga berukuran selebar 100
m. Kubah lava ini yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera
terjadi. Kebanyakan daerah dataran tinggi yang kini ditanami sayuran merupakan
perluasan dari pusat-pusat tradisional tersebut. Hal ini berdampak dengan
gagalnya hasil panen yang di budidayakan oleh warga sekitarnya melalui budidaya
buah Nanas, Tebu dan bercocok tanam.
Pemerintah
juga memberikan bantuan kepada warganya khususnya warga Kecamatan Ponggok
berupa bibit bahan pangan yang diperkirakan dapat menghasilkan sumber mata
pencaharian. Akan tetapi dampak yang didapat adalah wargadapat memanfaatkan hasil erupsi
yang berupa pasir sebagai mata pencaharian. Warga sekitar juga dapat
memanfaatkan kawasan tersebut sebagai pertanian dalam waktu beberapa tahun ke
depan di sekitar gunung. Dampak ini merupakan sebagian besar dari akibat yang
ditimbulkan letusan Gunung Kelud yang terjadi tahun 2007.
DAFTAR
RUJUKAN
Buku
Abdurrahman, D. 1999. Metode
Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Barlow, C. dkk. 2002. Manusia dan Lingkungan (Indonesian Heritage). Jakarta: Jayakarta Agung Offset.
Basri. 2006. Metodologi
Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik. Jakarta: Restu Agung.
Berkhofer, R dalam Abdurrahman, D. 1971. A Behavioral Approach to Historical
Analysis. New York: The Free Press.
Nugroho, D.C. 2010. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Blitar
(Studi Tentang Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Letusan Gunung
Kelud. Skripsi. Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya.
Pradjoko,
D dkk. 2008. Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development
Tema B1. Depok: Universitas
Indonesia.
Purwati. 2008. Selayang
Pandang Jawa Timur. Yogyakarta: PT Intan Pariwara.
Zaennudin.
2009. Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud. Dalam Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009. Bandung: Direktorat
Vulkanologi.
Internet
Agus. 2007. Kelud Si Raja Debu November 4, 2007 (http://agusdd.wordpress.com),
diakses tanggal 13 November 2013 jam 20.39 WIB.
Wikipedia.
2013. Gunung Kelud (http://id.wikipedia.org/),
diakses tanggal 13 November 2013 jam 19.25 WIB.
No comments:
Post a Comment