Songs

Sunday, December 8, 2013

Ika Sambita

LETUSAN GUNUNG KELUD TAHUN 2007 DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI DESA PONGGOK, KABUPATEN BLITAR


MAKALAH PENELITIAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Perekonomian yang dibina oleh Bapak Hariyono, Prof., Dr., M.Pd / Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.



Oleh:
Ika Sambita Girinandi     (110731435533)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gunung Kelud merupakan salah satu gunung berapi yang masih aktif di Indonesia terletak di Kampung Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Gunung ini memiliki tinggi 1.731 mdpl dengan bentuk strato dan masuk dalam kategori gunung berapi aktif tipe A dengan letusan eksplosif (http://sejarah.kompasiana.com). Secara administratif Gunung Kelud ini terletak di Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Sedangkan secara geografis gunung ini terletak pada 7°56’ LS dan 112°18’30” BT dengan ketinggian puncak 1.113,9 m di atas permukaan laut (dpl).
Di sepanjang sejarahnya, Gunung Kelud sudah beberapa kali meletus, yaitu pernah terjadi pada tahun 1586, 1919, 1951, 1966, dan 1990. Sehingga para ahli dapat menyimpulkan bahwa jika Gunung Kelud memiliki siklus 15 sampai 30 tahun untuk meletus, maka letusan ini paling banyak menimbulkan korban jiwa. Hal ini terlihat pada letusan yang terjadi pada tahun 1586 dengan jumlah korban meninggal yang mencapai 10.000 jiwa (http://sejarah.kompasiana.com, http://agusdd.wordpress.com). Korban yang meninggal dalam letusan Gunung Kelud dikarenakan terseret oleh lahar letusan yang terjadi pada setiap tahun, sebabnya adalah karena kawah Gunung Kelud yang berisi air dan membuat letusan tersebut terjadi. Sehingga Gunung Kelud mengeluarkan air dan mengalir deras menuju desa-desa yang sungainya berhulu di sekitar Gunung Kelud atau daerah Sempu dan Kelud.
Gunung api ini termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif, hal ini banyak terjadi pada gunung api lainnya di Pulau Jawa. Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi yang terjadi di lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Karena sejak tahun 1300 Masehi, gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25 tahun) yang menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia (http://id.wikipedia.org). Kekhasan yang dimiliki gunung api ini adalah adanya danau kawah yang membuat lahar letusan sangat cair dan membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat dari aktivitas tahun 2007 memunculkan kubah lava, danau kawah yang nyaris sirna dan tersisa semacam kubangan air.
Puncak-puncak yang ada sekarang ini merupakan sisa dari letusan besar yang terjadi di masa lalu dan meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding yang berada di sisi barat daya runtuh terbuka sehingga menyebabkan kompleks kawah membuka ke arah tersebutPuncak Gunung Kelud ini adalah yang tertinggi dengan posisi yang agak di timur laut kawah. Sedangkan puncak lainnya adalah Puncak Gajahmungkur di sisi barat dan Puncak Sumbing di sisi selatan.
Selanjutnya letusan Gunung Kelud yang terjadi pada 19-20 Mei 1919 merupakan letusan gunung Kelud terbesar kedua setelah tahun 1568. Korban yang meninggal dunia pada letusan tahun 1919 sebanyak 5.160 orang, sehingga pemerintah kolonial membentuk Vulkaan Bewakings Dients (Dinas Penjagaan Gunung Api) pada 16 September 1919. Badan tersebut merupakan badan bentukan pemerintah kolonial ini dipimpin oleh Georges Laure Louis Kemmerling dan seorang karyawan di Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij. Georges ini mulai tertarik masuk dalam dunia Vulkanologi setelah mengenal Gunung Batur dan Gunung Agung di Bali pada 1917. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan orang-orang dari letusan gunung berapi, mempelajari jenis-jenis, mencari tahu kemungkinan kapan terjadinya letusan, mencari tahu daerah-daerah yang terancam letusan dan mengembangkan sistem untuk memperingatkan dan mengevakuasi penduduk pada letusan gunung berapi.
Penulis tertarik untuk menulis dampak meletusnya gunung Kelud yang berada di daerah kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar karena beberapa sebab. Pertama, dikarenakan Blitar merupakan daerah tempat tinggal asal penulis, kedua karena tulisan mengenai dampak meletusnya gunung Kelud terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar khusunya di Kecamatan Ponggok yang ditemukan. Penulis ingin meneliti mengenai dampak meletusnya juga disebabkan karena belum pernah ada yang menulis. Selain itu, juga karena permasalahan yang beredar di kalangan masyarakat saat ini belum dapat dibuktikan secara terperinci. Permasalahan yang beredar tersebut menjelaskan bahwa dampak dari letusan Gunung Kelud ini dapat merusak infrastruktur yang ada di Kabupaten Blitar yang pernah dibangun oleh pemerintah.
Penulis mengangkat kurun waktu  pada tahun 2007 dengan pertimbangan bahwa pada tahun tersebut merupakan meletusnya gunung Kelud terbesar yang pernah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti bermaksud untuk mengkaji penelitian dengan judul “Letusan Gunung Kelud tahun 2007 dan Dampaknya terhadap Perekonomian di Desa Ponggok, Kabupaten Blitar”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas penulis ingin menelaah beberapa permasalahan yang terjadi. Rumusan masalah tersebut antara lain:
  1. Bagaimanakah letusan Gunung Kelud tahun 2007?
  2. Bagaimanakah keadaan ekonomi sebelum dan setelah letusan Gunung Kelud tahun 2007 di desa Ponggok Kabupatn Blitar?
  3. Bagaimanakah dampak letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap perekonomian di desa Ponggok Kabupatn Blitar?

C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas penulis ingin menjelas-kan beberapa tujuan penulisan dari makalah ini. Tujuan penulisan tersebut antara lain:
  1. Mendeskripsikan letusan Gunung Kelud tahun 2007.
  2. Mendeskripsikan keadaan ekonomi sebelum dan setelah letusan Gunung Kelud tahun 2007 di desa Ponggok Kabupatn Blitar.
  3. Mendeskripsikan dampak letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap perekonomian di desa Ponggok Kabupatn Blitar.

D. Metode Penelitian
Makalah ini menggunakan metode penelitian sejarah (history research). Beberapa literatur mengenai metode penelitian sejarah, termasuk menurut Abdurrahman (1999: 43). Beliau menyatakan bahwa metode sejarah adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahan dalam suatu penyelidikan dari perspektif historis. Metode yang dimaksudkan dalam buku Dudung Abdurrahman yang berjudul Metode Penelitian Sejarah berbeda dengan metodologi. Sebab metodologi merupakan ilmu yang membicarakan jalan penyelidikan. Pernyataan diatas didukung oleh keterangan Louis Gottchalk (1963: 33), bahwa metode sejarah sebagai proses menganalisis dan menguji kesaksian sejarah yang berguna untuk menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha yang sintesis dari data semacam itu dapat menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah-langkah penulisan sejarah dalam metode sejarah yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi atau juga dapat disebut dastellung.
            Secara garis besar dapat diartikan bahwa metode penelitian sejarah adalah suatu metode yang membahas sejarah secara sistematis dan objektif yang melibatkan ruang dan waktu. Metode sejarah merupakan sistem yang berisi aturan-aturan, prosedur-prosedur dan tehnik-tehnik yang harus dilakukan untuk mengumpulkan data dan mengevaluasikan segala kemungkinan saksi mata, serta proses penyusunan fakta yang telah diuji dalam suatu keterkaitan terhadap suatu peristiwa. Berdasarkan keterangan diatas langkah yang ditempuh penulis dalam menyusun karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
a)   Pemilihan Topik
Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus dipecahkan atau diatasi melalui penelitian ilmiah (Abdurrahman, 1999: 44). Topik yang dimaksudkan tidak sama dengan judul, karena judul adalah “abstraksi” dari masalah atau topik yang dirumuskan dalam bentuk kalimat. Sedangkan menurut Kuntowijoyo, topik yang diambil penulis adalah dampak letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar. Pemilihan topik ini diambil oleh penulis karena kedekatan emosional yang sangat kuat, disebabkan karena tempat tinggal asal penulis dengan tempat yang akan diteliti sangat dekat dengan lokasi yang akan diteliti. Selain itu, penulis juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa letusan-letusan gunung berapi mempunyai makna yang berarti penting, dampak baik yang maupun dampak buruknya bagi masyarakat Kabupaten Blitar.
Sedangkan alasan dari penulis mengambil topik ini adalah berdasarkan kedekatan intelektual karena sepengetahuan dari penulis sendiri topik ini belum ada yang pernah menulis dalam bentuk makalah penelitian. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelitinya dan mengetahui lebih lanjut mengenai meletusnya Gunung Kelud tahun 2007 dan dampaknya terhadap perekonomian di Kabupaten Blitar. Sejarah penulis sudah mulai tertarik dengan sejarahperekonomian dengan aspek lingkungan. Hal itu dikarenakan pada saat kuliah penulis sudah bergerak mengumpulkan sumber-sumber dan data-data tentang Gunung Kelud. Penulis juga ingin mengangkat suatu peristiwa yang mampu meningkatkan citra positif kabupaten tahun 2007 terhadap perekonomian pada waktu itu.
b)   Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Setelah menemukan topik dan memastikan masalah yang ingin diteliti peneliti dalam melakukan pengumpulan data. Proses pengumpulan data ini dalma penelitian sejarah disebut heuristik. Heuristik sendiri dapat diartikan sebagai proses pengumpulan sumber sebagai bahan dasar untuk menulis (Hariyono, 2007: 23). Terkait dengan hal ini, penulis melakukan beberapa tahap seperti mengumpulkan dokumen dan pustaka yang masih menyimpan memori tentang meletusnya Gunung Kelud. Penulis juga melakukan wawancara juga dilakukan dengan para pegawai pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di kabupaten Blitar. Selanjutnya, penulis melakukan klasifikasi sumber ke dalam kategori data primer dan sekunder. Sumber yang digunakan penulis dalam penulisan ini ada tiga, yaitu:
·      Sumber Primer
Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang disampaikan oleh saksi mata (Abdurrahman, 1999:56). Sumber ini dapat berupa dokumen, arsip-arsip laporan pemerintah, surat kabar, catatan harian, transkrip wawancara dengan pelaku-pelaku sejarah yang disertai dengan pernyataan otentik tertulis oleh pelaku (orang yang diwawancarai), dan arsip pemerintah yang bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan.
Hal itu dilakukan penulis dengan menggunakan sumber primer yang berkaitan langsung dengan meletusnya Gunung Kelud tahun 2007. Sumber-sumber yang dikumpulkan tersebut di antaranya data laporan letusan Gunung Kelud tahun 1966. Selain itu, terdapat peta letak Gunung Kelud yang berada di sekitar Kabupaten Blitar tahun 2012.
·      Sumber Sekunder
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis merupakan data yang diperoleh dari dinas atau instansi terkait. Sumber tersebut bisa berupa surat-surat dokumen, berita di koran yang terkait dengan topik yang bersangkutan, majalah, artikel, karya tulis, catatan harian, buku yang berkaitan dengan sejarah lingkungan maupun letusan gunung Kelud tahun 2007 sampai lembaran negara dan berita negara.
·      Sumber Lisan
Penulis juga menggunakan wawancara sebagai sumber lisan sebagai penguat dalam pembahasan ini. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis menggunakan metode snowball sampling merupakan salah suatu metode dalam wawancara untuk mengumpulkan/mendapatkan informasi dari satu narasumber dan meminta rekomendasi dari narasumber tersebut, dengan tujuan dapat menemukan narasumber lainnya sehingga dapat melengkapi data wawancara. Awalnya penulis mewawancarai masyarakat di desa  Ponggok yang mengetahui dan mengalami peristiwa letusan Gunung Kelud tahun 2007.
c)    Kritik Sumber
 Tahap penelitian sejarah selanjutnya adalah kritik sumber atau verifikasi yang merupakan salah satu tahapan yang terpenting dan pokok. Menurut Basri (2006: 68) dalam bukunya Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori, dan Praktik) menjelaskan bahwa kritik sumber adalah semua jenis dan bentuk sumber-sumber atau bukti-bukti historis yang diperoleh melalui pengumpulan data baik melalui teknik observasi, wawancara, maupun teknik dokumentasi yang terkumpul. Oleh karena itu, data yang telah diperoleh harus dilakukan secara cermat, benar dan profesional agar dapat menguji keaslian sumber. Secara teoritis, kritik sumber dapat dibedakan menjadi dua macam: kritik eksternal dan kritik internal.
·      Kritik Eksternal
Kritik eksternal dimaksudkan untuk menguji dan mengungkap keabsahan tentang otentisitas (keaslian) suatu sumber baik berbentuk fisik maupun non fisik (Basri, 2006: 69). Apakah sumber tersebut dalam bentuk asli atau palsu, yang dimungkinkan terjadi pada bagian-bagian dokumen atau keseluruhan baik yang disengaja atau tidak (Abdurrahman, 1999: 60). Dalam penelaahan akan difokuskan pada hal-hal yang bersifat material seperti: jenis kertas, jenis tinta, cap, bentuk tulisan, waktu, zaman, tempat dan identifikasi pengarang yang sebenarnya (Basri, 2006: 69). Penulis melakukan kritik ini berdasarkan sumber yang telah diperoleh dengan menggunakan cara verifikasi atau pengujian sumber dari data tersebut. Misalnya, penulis dapat melakukan verifikasi atau pengujian sumber terhadap yang sudah didapat berupa sumber koran atau lembaran daerah yang sejaman mengenai letusan Gunung Kelud tahun 2007. Penulis akan melakukan verifikasi ini dengan cara meneliti gaya tulisan, kertas yang digunakan, jenis tinta, bahasa yang digunakan, kalimat, zaman, dan lembaga yang digunakan dalam menyimpan dokumen tersebut.
·      Kritik Internal
Selanjutnya penulis akan melakukan kritik internal yaitu untuk menguji dan kritis terhadap dokumen yang dianggap otentik untuk melihat apakah isinya dapat dipercaya atau tidak. Langkah pertama dalam melakukan kritik sumber adalah fokus pada pembuat dokumen dan mengetahui sifat dokumen itu sendiri. Hal ini menjadi penilaian secara intrinsik dalam mencari arti sebenarnya dari suatu sumber. Dimaksudkan untuk mengetahui apakah narasumber sudah memiliki kapasitas mental dalam suatu peristiwa dan sadar apa yang dilaporkan. Langkah selanjutnya adalah membandingkan dokumen yang satu dengan dokumen yang lainnya. Dalam proses pembandingan dokumen ini akan menghasilkan persamaan dan perbedaan dari isi masing-masing dokumen yang nantinya akan dikritisi oleh peneliti melalui sumber-sumber primer yang diperoleh dari instansi dengan cara menjejerkan data primer dengan sumber lisan untuk memperoleh kebenaran yang mutlak.
Pada penulisan ini, penulis juga dilakukan kritik internal terhadap sumber yang telah diperoleh. Sumber primer yang diperoleh penulis berupa dokumen yang berbentuk tulisan yang sejaman atau sumber lisan dari para informan. Misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan Gunung Kelud, koran, majalah, dan arsip-arsip pemerintahan yang terbit pada tahun tersebut. Termasuk juga dengan sumber sekunder yang berupa buku-buku penunjang dalam penulisan tersebut, penulis juga melakukan kritik eksternal dan internal. Hal itu dilakukan untuk mencari keaslian data yang telah diperoleh. Selain itu juga menyeleksi sumber yang harus dipakai dan yang seharusnya tidak dipakai dalam penulisan ini. Sehingga dapat menghindari subjektivitas yang timbul dalam tulisan ini.
Penulis melakukan kritik internal yang tujuannya untuk mengolah sumber dengan bentuk hasil wawancara atau sumber lisan dari narasumber satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat menghubungkan dan menyatukan informasi yang  telah diperoleh dari sumber sejarah yang didapat dengan wawancara pada para informan. Data dari hasil wawancara akan digabungkan dengan data bersumber yang diperoleh dari dokumen pemerintahan. Tujuannya dapat memperkuat keaslian dan kebenaran data yang diperoleh oleh penulis. 
d)   Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut sebagai kesungguhan data atau analisa sejarah. Sedangkan analisis sejarah adalah melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori yang disusun dari fakta tersebut ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh (Berkhofer, dikutip dari Abdurrahman, 1999). Pada tahap ini, peneliti dituntut kecermatan dan sikap objektif seorang sejarawan, terutama dalam hal interpretasi subjektif terhadap fakta sejarah yang ditemukan oleh peneliti. Tahap interpretasi penulis merujuk pada fakta yang terjadi di lapangan dan telah teruji dalam proses verifikasi atau tahap kritik. Inti dari penulisan ini adalah melakukan penelitian mengenai perubahan ekologi pada letusan Gunung Kelud tahun 1919. Tahap ini dibagi menjadi dua, seperti analisis dan sintesis.
·      Analisis
Analisis merupakan uraian dari fakta pada sebuah sumber yang mengandung beberapa kemungkinan. Analisis menjadi hal yang sangat penting apabila sumber yang diperoleh tidak semuanya sesuai dengan penelitian yang dilakukan di lapangan. Penulis akan menganalisis isi kandungan dari sumber yang diperoleh melalui kritik internal positif dengan tujuan untuk menyingkapi arti dari kata-kata dan mengetahui tujuan dari penulisan tersebut. Sumber yang telah diperoleh dari berbagai cara, seperti menguraikan dokumen-dokumen, hasil wawancara dan buku-buku yang menunjang lain dalam penulisan ini. Tujuannya menganalisis adalah untuk menghasilkan fakta yang terjadi pada Letusan Gunung Kelud tahun 2007.
·      Sintesis
Sintesis merupakan penyatuan dari data yang telah diperoleh dari beberapa sumber. Data tersebut diperoleh dan dikumpulkan jadi satu, kemudian akan menghasilkan sebuah fakta. Pengklasifikasian dalam tahap ini sangat penting dengan tujuan untuk mendapatkan fakta dari peristiwa sejarah yang terjadi dan kronologis serta sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti. Penulis melakukan tahap sintesis dengan cara menyatukan sumber yang telah diperoleh. Misalnya, menyatukan hasil wawancara dari tokoh masyarakat Ponggok yang mengetahui letusan tersebut dengan arsip-arsip dan buku-buku yang menunjang dalam penulisan mengenai Letusan Gunung Kelud tahun 2007.
e)    Historiografi
Langkah berikutnya adalah proses penulisan sejarah yang seringkali disebut sebagai historiografi yang merupakan puncak dari aktivitas peneliti (Hariyono, 2007: 33). Historiografi yaitu proses penulisan sejarah yang bertolak dari fakta-fakta yang telah teruji dan sudah terangkai. Dalam proses penulisan ini, penguasaan sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi mutu karya yang dihasilkannya (Pradjoko dkk, 2008: 9-10).
Dimana dalam proses penelitian ini peneliti harus bersifat objektif sedangkan dalam proses penulisan sejarawan bersifat subjektif. Langkah dalam tahap ini sangat ditentukan dalam pilihan paradigma yang terkadang tidak disadari untuk dilakukan. Sehingga umumnya penulisan sejarah sangat memperhatikan aspek “waktu” yang menjadi waktu silam terdapat dinamika atau perubahan sebagai benang merah yang menghubungkan suatu waktu dengan waktu yang lain.
            Penulisan pada penelitian ini umumnya menjadi model penulisan dalam aspek lingkungan yang terbagi menjadi 2 sifat, yaitu model sinkronis dan diakronis (Abdurrahman, 1999:13). Penulisan sejarah dengan model diakronis yaitu penulisan sejarah dengan menggunakan pola penggalan waktu tertentu dengan memperhatikan urutan-urutan waktu tertentu secara sistematis, sedangkan model sinkronis adalah penulisan sejarah yang membutuhkan “ruang” untuk melukiskan cerita sejarah yang ditinjau dari berbagai aspek yang dikupas melalui berbagai pendekatan (Basri, 2006: 91-92).




























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Letusan Gunung Kelud tahun 2007
Aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat pada akhir September 2007. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah dengan peningkatan kegempaan tremor, serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Gejala unik yang baru terjadi adalah munculnya asap putih dari tengah danau yang diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau hingga berukuran selebar 100 m (Purwati, 2008: 12).
Sejak 27 Agustus 2007 aktivitas gunung ini terus mengalami peningkatan yang cukup berarti setelah tertidur hampir 17 tahun. Peningkatan itu dapat dipantau dengan tingkat kegempaan baik vulkanik dalam maupun tektonik jauh. Pada tanggal 9 September 2007 mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB tercatat 15 kali gempa vulkanik dengan pusat gempa yang berada pada kedalaman setengah sampai lima kilometer. Diikuti dengan gempa vulkanik tremor satu kali pada tanggal 10 September 2007 dengan suhu danau kawah meningkat dari 31 derajat celsius menjadi 33,2 derajat celsius. Hal ini yang menyebabkan PVMBG Bandung menaikkan status Gunung Kelud yang dari awal berstatus Aktif Normal menjadi Waspada pada tanggal 11 September 2007. Sebelum terjadi erupsi pada tanggal 4 Nopember 2007, gunung api ini mempunyai danau kawah yang berada dipuncaknya, tetapi setelah erupsi tersebut danau tersebut terisi oleh kubah lava (Zaennudin, 2009: 2). Para ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Sehingga erupsi Gunung Kelud akan memberikan dampak positif pada masa yang akan datang, diperkirakan akan terjadi perubahan tipe erupsi dan daerah yang terkena dampaknya oleh letusan tersebut.
Kemudian status tersebut dinaikkan lagi menjadi Siaga setelah pada tanggal 29 September 2007 tepat pukul 12.00 sampai 19.00 WIB tercatat delapan kali gempa vulkanik dalam dan dua kali gempa vulkanik tremor. Sedangkan suhu danau kawah di kedalaman 15 meter mencapai 36,1 derajat celsius dengan warna air danau kawah hijau-biru keputih-putihan yang menunjukkan adanya peningkatan adanya peningkatan karbondioksida (CO2) yang mencapai 344 ton per hari dengan tingkat keasaman (pH) 5,72 akibat adanya peningkatan aktivitas magmatik.
Selang waktu beberapa hari, berdasarkan hasil pemantauan dan analisa kegempaan, deformasi visual dan pengukuran suhu air danau kawah, maka aktivitas Gunung Kelud berpotensi terjadi letusan. Hasil pemantauan aktivitas Gunung Kelud pada hari Senin, 16 Oktober 2007 pukul 17.00 WIB tercatat Gempa Vulkanik Dangkal 306 kali yang merupakan proses terjadinya rekahan batuan secara progresif oleh fluida (magma gas) menuju permukaan, Gempa vulkanik dalam terjadi sebanyak 3 kali, gempa Tremor 5 kali, Gempa Tektonik Jauh tercatat 10 kali, Gempa Tektonik Lokal 1 kali.
Hasil pengukuran danau kawah pada pukul 12.00 WIB telah mencapai 37,80C dan warna air danau kawah hijau keputih-putihan, flux CO2 masih di atas normal dan masih tingginya kandungan H2S, HCO2, Na, CL dan unsur kimia lainnya. Secara visuall cuaca teramati adanya bualan gas di tengah danau. Sedangkan hasil pengukuran deformasi periode 13-16 Oktober 2007 menunjukkan adanya proses inflasi disekitar puncak Gunung Kelud. Oleh karena itu terhitung mulai tanggal 16 oktober 2007 pukul 17.25 WIB, status aktivitas Gunung Kelud ditingkatkan daro Siaga (level III) menjadi Awas (Level IV).
Pada tanggal 16 Oktober 2007 pukul 19.00 WIB kegiatan pengungsian masyarakat sudah mulai dilakukan terutama oleh Pemerintah Kabupaten Kediri dan Blitar dalam radius 10 km dari puncak Gunung Kelud (di Kabupaten Kediri masyarakat yang dievakuasi sebanyak 36.236 orang dan di Kabupaten Blitar masyarakat yang akan dievakuasi sebanyak 80.510 orang). Hingga awal November 2007 letusan besar (erupsi eksplosif) tidak terjadi. Tetapi hanya terjadi erupsi efusif (leleran lava) di kawah pusat yang dimulai pada tanggal 3 November 2007 dan perlahan-lahan membentuk kubah lava yang terus tumbuh hingga sekarang.
Kemudian pada Januari-Mei 2009, seismograf Gunung Kelud merekam 14 kali Gempa Vulkanik Dalam (VA), 50 kali Gempa Vulkanik Dangkal (VB), 157 kali Gempa Hembusan, 13 kali Gempa Tremor, 42 kali Gempa Guguran, 273 kali Gempa Low Frekwensi, 766 kali gempa Tektonik Jauh (TJ) dan 33 kali Gempa Tektonik Lokal (TL). Gempa Tremor sejak Maret 2009 sudah tidak terekam lagi. Pada tanggal 1 Juni 2009 hingga saat ini di dominasi rekaman Gempa Tektonik Jauh (TJ) sebanyak 48 kali kejadian dan 1 kali gempa Hembusan serta 1 kali Gempa Fase Banyak (Nugroho, 2010: 149). Secara visual tidak terlihat adanya perubahan aktivitas vulkanik. Gunung Kelud umumnya terlihat jelas, kadang-kadang tampak asap kawah berwarna putih tipis bertekanan lemah mencapai ketinggian 50 hingga 150 meter diatas kawah.
Hembusan asap bertekanan dan bertemperatur tinggi masih akan berlangsung di kawah Gunung Kelud. Dalam hembusan asap yang bertekanan dan bertemperatur tinggi berpotensi mengandung gas-gas beracun yang berbahaya bagi kehidupan. Menurut Nugroho (2010: 149-150) berdasarkan hasil pemantauan dan analisis data pemantauan maka terhitung mulai tanggal 9 Juni 2009 pukul 15.00 WIB, status kegiatan Gunung Kelud diturunkan dari Waspada (Level II) menjadi Normal (Level I). sehubungan dengan penurunan status Gunung Kelud menjadi Normal kembali, maka PVMBG merekomendasikan:
1.      Masyarakat yang bermukim di sekitar Gunung Kelud dapat beraktivitas seperti biasa.
2.      Masyarakat dilarang mendekati kubah lava karena ketidakstabilan batuan kubah lava dan berpotensi terancam bahaya hembusan asap yang bertekanan dan temperatur tinggi serta dapat menghirup gas-gas beracun.
3.      Pemerintah daerah senantiasa berkoordinasi dengan Pos Pengamatan Gunung Kelud di Kampung Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri atau dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Bandung.
4.      Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi akan selalu berkoordinasi dengan BNPB, BPBD Jawa Timur dan Satlak PB (Kediri, Blitar, dan Malang) dalam memberikan informasi aktivitas Gunung Kelud.

2.2  Keadaan Ekonomi Sebelum dan Setelah Letusan Gunung Kelud tahun 2007 di Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar
Peningkatan hasil sayuran dataran rendah meibatkan intensifikasi budidaya yang lebih besar dan bukan ekstensifikasi. Meskipun demikian tanaman yang di budidayakan pada dataran tinggi mengalami perluasan lahan pertanian, terutama di daerah-daerah yang bergunung di Jawa Barat, yang menghasilkan hampir setengah dari tanaman panen di Jawa. Asal-usul kegiatan holtikultura di daerah ini terunut ke zaman penjajahan ketika tiap kota besar memiliki pusat penghasil sayurannya seringkali berhubungan dengan suatu perusahaan pemerahan susu (Barlow, 2002: 86). Kebanyakan daerah dataran tinggi yang kini ditanami sayuran merupakan perluasan dari pusat-pusat tradisional tersebut. Beberapa lahan ini dahulu merupakan bagian dari perkebunan milik Belanda. Seiring dengan perpindahan para petani setempat ke kawasan itu, tanaman keras seperti teh diganti dengan sayuran.
Budidaya tanaman tahunan di bagian atas lereng-lereng gunung memiliki sejumlah dampak terhadap lingkungan. Kesuburan tanahnya mulai mengalami penurunan, semakin banyak pupuk kandang dan pupuk kimiawi yang dibutuhkan untuk mempertahankan hasil panen. Petani tidak lagi membuat teras-teras lahannya karena lereng-lereng yang ada sudah menyediakan saluran air yang baik. Akibatnya, pengikisan tanah lapisan teratas terjadi pada sebagian besar pusat penghasil sayuran yang berada di ketinggian. Di samping itu sering terjadi tanah longsor yang menambah endapan sungai-sungai yang mengalir menuju Laut Jawa (Barlow, 2002: 86). Hingga kini, pemerintah Indonesia menemui kesulitan mencegah gerak budidaya tanaman ke arah atas, terutama jika pemanfaatan lahan berupa usaha yang menguntungkan seperti penanaman sayuran.
Potensi wilayah Kabupaten Blitar yang terdiri dari hasil dan sebaran potensi alam wilayah sehingga sarana prasarana infrastruktur penunjang wilayah termasuk juga penetapan pengembangan pola ruang wilayah yang ada di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blitar. Dari potensi wilayah yang ada dapat diketahui juga keadaan perekonomian Kabupaten Blitar.
a)      Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura
Kabupaten Blitar memiliki kawasan pertanian tanaman pangan yang cukup luas, yaitu hampir 20% dari luas wilayahnya secara keseluruhan. Luas lahan pertanian di Kabupaten Blitar sebesar 51.568,42 Ha dengan pembagian sawah irigasi sebesar 20.186,02 Ha, sawah tadah huja sebesar 6.205,45 Ha dan pertanian lahan kering sebesar 25.176,95 Ha. Sedangkan pengadaan sawah abadi adalah 75% dari luas sawah irigasi yaitu sebesar 15.139,5 Ha (Nugroho, 2010: 89).
Selain itu juga terdapat pola persebaran pertanian adalah: kawasan pertanian lahan basah yang cenderung didominasi pada wilayah utara Sungai Brantas. Wilayah tersebut merupakan kawasan yang subur dan potensial serta didukung dengan sistem irigasi yang baik. Kawasan-kawasan yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian lahan basah yaitu di kecamatan Wonodadi, Srengat, Udanawu, dan wilayah Blitar utara lainnya.
Kawasan pertanian lahan kering, didominasi pada wilayah Blitar Selatan (selatan Sungai Brantas). Selain kondisi topografi yang bergelombang dan berbukit juga cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan air irigasi dan kondisi tanahnya yang kurang subur. Kawasan-kawasan tersebut meliputi Kecamatan Wates, Bakung, Wonotirto dan Panggungrejo.
Potensi pertanian di wilayah Kabupaten Blitar untuk sektor tanaman makanan yang dikelompokkan pada jenis padi dan palawija yang meliputi padi sawah, padi ladang, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah dan kedelai. Sedangkan dalam sektor holtikultura meliputi kobis, sawi/petsai, kacang panjang, rambutan, nanas, dan melinjo sebagai produk unggulan Kabupaten Blitar. Selain itu, juga ada buah unggulan seperti nanas varietas Queen, nanas jenis ini banyak dihasilkan di Kecamatan Srengat, Wonodadi, Udanawu, dan Ponggok. Buah lain yang terkenal adalah rambutan binjai yang banyak ditanam di Kecamatan Sanankulon, Garum dan Wlingi.
b)      Perkebunan
Kabupaten Blitar memiliki potensi perkebunan yang meliputi perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Material vulkanik yang termuntah mengaliri dan memupuk lereng-lereng gunung dengan tambahan dukungan iklim, curah hujan, serta ketinggian yang sesuai dengan membuat tanaman perkebunan tumbuh subur. Kawasan perkebunan tersebar merata di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar. Komoditi perkebunan yang dominan berupa kopi, kelapa, cengkeh, tebu, kenanga dan kakao. Berikut ini luas areal dan jumlah petani perkebunan rakyat pada tahun 2008 yang diambil dari skripsi Nugroho (2010: 91):

Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Perkebunan Rakyat Tahun 2008
Jenis Tanaman
Luas Areal
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ka/Ha/Thn)
Jumlah Petani
I. Tanaman Semusim
Tebu
7.122,00
534.149,50
74.999,93
3.505
Tembakau Lokal
352,20
246,54
700,00
912
Tembakau Virgia
213,08
348,62
1.636,10
144
II. Tanaman Tahunan
Kenanga
626,13
2.924,30
7.063,53
855
Cengkeh
1.786,00
658,48
490,31
2.763
Kopi
2.221,00
1.103,00
602,57
3.436
Kakao
1.490,99
775,78
700,00
2.612
Kelapa
17.685,50
21.578,06
1.266,36
33.664
Lada
30,15
14,71
682,60
95
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar dalam Nugroho
Dalam tabel diatas ditunjukkan bahwa luas kawasan perkebunan di Kabupaten Blitar adalah sebesar 32.441,91 Ha yang terdiri dari perkebunan besar 13.788 Ha dan kebun campur (kebun rakyat) sebesar 18.659,91 Ha. Untuk tanaman perkebunan semusim yang terdiri dari tebu, tembakau lokal dan virginia dimana jumlah petani tebu masih cukup banyak yaitu 3.505 orang. Kemudian tanaman tahunan perkebunan rakyar terbanyak adalah petani kelapa yaitu 33.664 orang, menyusul kopi 3.336 orang, cengkeh 2.763 orang, kakao 2.612 orang, kemudian kenanga dan lada yaitu 855 orang dan 95 orang (Nugroho, 2010: 91).
c)      Kehutanan
Hutan menurut fungsinya dibagi menjadi hutan produksi, hutan lindung, hutan tebang pilih dan suaka alam/hutan wisata/taman nasional. Kawasan suaka alam di Kabupaten Blitar terdiri dari suaka margasatwa berupa penangkaran rusa di Kecamatan Ponggok dan suaka alam perairan laut di wilayah Blitar bagian selatan. Dimana untuk hutan lindung dengan luas 11.904,6 Ha terdapat di wilayah Blitar Utara yaitu di Kecamatan Nglegok dan Kecamatan Gandusari bagian utara (sekitar kawasan Gunung Kelud), Kecamatan Wlingi, Kecamatan Selorejo, Kecamatan Doko bagian utara (sekitar kawasan Gunung Kawi).
d)     Peternakan
Potensi peternakan di Kabupaten Blitar terdiri dari peternakan sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, ayam ras, ayam kampung dan itik. Komoditi peternakan terbesar di Kabupaten Blitar adalah ayam ras petelur yang sampai tahun 2008 prouksi telur Kabupaten Blitar mampu memenuhi 70% dari kebutuhan telur di Jawa Timur dan secara nasional memenuhi 30% dari kebutuhan telur ayam nasional (Nugroho, 2010: 92).
e)      Perikanan
Potensi perikanan di Kabupaten Blitar terdiri dari perikanan laut (tangkap) dan perikanan darat (budidaya ikan konsumsi dari ikan hias). Untuk perikanan laut Kabupaten Blitar memiliki potensi yang cukup tinggi, memiliki pantai yang terbentang sepanjang 45 km dengan luas 4 mil laut = 26.100 Ha, luas 12 mil laut = 63.330 Ha, dan luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) = 1.305.500 Ha. Jenis perikanan tangkap laut yang paling dominan seperti tongkol, selar, lemuru, udang dan ikan layang.
Keadaan ini juga dirasakan oleh sebagian warga di Kecamatan Ponggok yang tadinya mereka bermata pencaharian dari budidaya nanas yang berada di halaman kebun mereka. Seperti halnya yang dituturkan bapak Sugiono yang berusia 50 tahun menjelaskan bahwa sebagian besar dari masyarakat bergantung dengan budidaya nanas yang menjadi ciri khas Kabupaten Blitar khususnya Kecamatan Ponggok. Selain itu, juga ada warga yang bermata pencaharian bertani dan membudidaya tebu. Kebanyakan warga di Kecamatan Ponggok membudidayakan tebu dan ditanamnya di sekitar aliran sungai yang kerap kali dilewati lahar dari Gunung Kelud. Jika saja gunung ini meletus maka masyarakat sedikit takut kalau sumber mata pencaharian mereka rusak terkena lahar dari Gunung Kelud.
Pernyataan ini juga di sama dengan penuturan bapak Suwarji yang berusia 56 tahun hampir mengalami kebangkrutan akibat letusan Gunung Kelud. Disini bapak Suwarji menjelaskan mengenai letusan Gunung Kelud tahun 2007, meskipun letusan ini tidak sampai mengeluarkan semburan yang besar seperti yang terjadi pada letusan sebelumnya. Tetapi ada rasa khawatir letusan tersebut akan lebih besar dari beberapa tahun yang lalu dan letusna sebelumnya. Bapak Suwarji sempat memanen hasil tebunya meskipun belum saatnya di panen. Hal ini dapat menjadi kerugian yang sangat besar untuk beliau karena belum saatnya panen sudah dipanen terlebih dahulu.
Selain itu, bapak Edi Triono yang sekarang ini berusia 46 tahun sempat mengalami gagal panen pada budidaya yang dikembangkan melalui budidaya nanasnya. Akibat dari letusan Gunung Kelud ini menyebabkan nanas tersebut rusak dengan adanya semburan debu yang juga mengenai Kecamatan Ponggok. Menurut beliau kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh beliau saja, akan tetapi juga dirasakan oleh warga lain yang sama dengan beliau membudidayakan nanas. Beliau sempat bertanya juga dengan temannya mempunyai sawah yang berada di sekitar sungai jalur lahar tersebut menjelaskan temannya tersebut juga sempat mengalami kerugian yang sangat besar.
Dengan adanya letusan tersebut, rata-rata warga Kecamatan Ponggok harus memulai kembali usahanya agar dapat bertahan hidup. Seperti halnya bapak Sugiono yang masih mempunyai bibit padi yang dapat digunakan untuk memulai bertani di sawah miliknya. Meskipun harus menunggu beberapa minggu sampai lahan tersebut dapat digunakan untuk bertani. Dan hal ini dirasakan juga warga Kecamatan Ponggok yang lain.
Berbeda halnya dengan bapak Suwarji yang membeli bibit tebu baru. Akan tetapi, beliau tidak membelinya terlalu banyak, karena terbatas dengan keuangan yang dimilikinya. Letusan tersebut tidak terlalu besar hanya mengakibatkan munculnya kubah baru yang biasa di sebut sebagai anak Gunung Lelud, tetapi beliau juga sempat mengalami kerugian yang sangat parah. Hingga memulai usahanya kembali dari awal dengan dana yang lumayan besar dengan keadaan. Saat itu pak Suwarji juga mendapatkan bantuan dari pemerintah yang dapat digunakan sebagai sumber awal agar dapat merintis kembali usahanya, akan tetapi tidak memakai tebu sebagai sumber mata pencahariannya.
Rata-rata pemerintah memberikan bibit bahan pangan yang diperkirakan dapat menghasilkan sumber mata pencaharian bagi warga di Kecamatan Ponggok. Dengan adanya bantuan tersebut Bapak Edi Triono berusaha mengembangkan bantuan dari pihak pemerintah hingga dapat mencari untung agar dapat memulai usahanya kembali yaitu membudidayakan buah Nanaas. Karena menurut beliau hasil yang didapat setelah letusan tahun 2007 lalu sangat baik ditimbang tahun sebelumnya. Beliau juga sempat memilah-milah kembali dari tanaman yang pernah dikembangkan tersebut dikembangkan tersebut yang sekiranya masih dapat digunakan untuk mengembangkannya lagi. Beliau sempat meminta pinjaman modal kepada pihak bank negeri di sekitar Ponggok agar dapat memulai kembali usahanya.

2.3 Dampak Letusan Gunung Kelud tahun 2007 terhadap Perekonomian di Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar
Dengan adanya letusan Gunung Kelud yang terjadi pada tahun 2007 ini, bapak Sugiono, bapak Suwarji dan bapak Edi Triono menjelaskan beberapa dampak positif dan negatif adanya letusan tersebut. Dampak positif dari letusan gunung api ini dalam sektor perekonomian di Kacamatan Ponggok Kabupaten Blitar, seperti:
·         Penduduk dapat memanfaatkan kawasan tersebut sebagai pertanian dalam waktu beberapa tahun ke depan di sekitar gunung.
·         Masyarakat sekitar juga memanfaatkan Gunung Kelud ini sebagai objek wisata bagi wisatawan domestic dan mancanegara.
·         Penduduk dapat memanfaatkan hasil erupsi yang berupa pasir sebagai mata pencaharian. Misalnya saja menambah pasir dan karya seni dari endapan lava yang telah dingin. Lalu belerang, batu pualam dan lain-lain dapat berguna dan bernilai tinggi.
·         Masyarakat sekitar dapat menggunakan panas bumi yang dihasilkan oleh Gunung Kelud dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak negatif letusan Gunung Kelud tahun 2007 dalam sektor perekonomian di Kacamatan Ponggok Kabupaten Blitar, seperti:
·         Dengan adanya letusan Gunung Kelud ini berakibat merusak pemukiman warga sekitar.
·         Bencana ini juga dapat menyebabkan kerusakan hutan.
·         Tumbuhan yang ditanam oleh masyarakat sekitar banyak yang layu, hingga mati akibat debu vulkanik. Hal ini juga berakibat pada hewan ternak seperti sapi, kambing, ayam dan lain-lain banyak yang mati akibat letusan Gunung Kelud ini.
·         Letusan Gunung Kelud ini juga menyebabkan gagal panen.
·         Mematikan infrastuktur umum.
·         Menghentikan aktivitas masyarakat dalam mencari mata pencaharian.
·         Pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk memperbaiki infrastuktur yang telah rusak akibat letusan Gunung Kelud.
·         Terganggunya hubungan komunikasi, jaringan listrik terputus dan jalan banyak yang terputus.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Aktivitas Gunung Kelud ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah dengan peningkatan kegempaan tremor dan terjadi perubahan pada warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Selain itu muncul asap putih dari tengah danau yang diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau hingga berukuran selebar 100 m. Kubah lava ini yang menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Kebanyakan daerah dataran tinggi yang kini ditanami sayuran merupakan perluasan dari pusat-pusat tradisional tersebut. Hal ini berdampak dengan gagalnya hasil panen yang di budidayakan oleh warga sekitarnya melalui budidaya buah Nanas, Tebu dan bercocok tanam.
Pemerintah juga memberikan bantuan kepada warganya khususnya warga Kecamatan Ponggok berupa bibit bahan pangan yang diperkirakan dapat menghasilkan sumber mata pencaharian. Akan tetapi dampak yang didapat adalah wargadapat memanfaatkan hasil erupsi yang berupa pasir sebagai mata pencaharian. Warga sekitar juga dapat memanfaatkan kawasan tersebut sebagai pertanian dalam waktu beberapa tahun ke depan di sekitar gunung. Dampak ini merupakan sebagian besar dari akibat yang ditimbulkan letusan Gunung Kelud yang terjadi tahun 2007.










DAFTAR RUJUKAN

Buku
Abdurrahman, D. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Barlow, C. dkk. 2002. Manusia dan Lingkungan (Indonesian Heritage). Jakarta: Jayakarta Agung Offset.
Basri. 2006. Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik. Jakarta: Restu Agung.
Berkhofer, R dalam Abdurrahman, D. 1971. A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York: The Free Press.
Nugroho, D.C. 2010. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Blitar (Studi Tentang Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Letusan Gunung Kelud. Skripsi. Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya.
Pradjoko, D dkk. 2008. Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1. Depok: Universitas Indonesia.
Purwati. 2008. Selayang Pandang Jawa Timur. Yogyakarta: PT Intan Pariwara.
Zaennudin. 2009. Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud. Dalam Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009. Bandung: Direktorat Vulkanologi.

Internet
Agus. 2007. Kelud Si Raja Debu November 4, 2007 (http://agusdd.wordpress.com), diakses tanggal 13 November 2013 jam 20.39 WIB.
Wikipedia. 2013. Gunung Kelud (http://id.wikipedia.org/), diakses tanggal 13 November 2013 jam 19.25 WIB.


 

No comments:

Post a Comment