Danang
Bakti Nugroho (110731435521)
Evi Lailatul Hidayah (110731435547)
Ika Sambita Girinandi (110731435533)
Moh Eric Zulkarnaen (110731435517)
Zamhari Prastyo Hadi (110731435535)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Filsafat Timur merupakan
penyebutan bagi pemikiran filosofis yang berasal dari dunia timur atau Asia, misalnya Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat tersebut
menjadi suatu sistem pemikiran yang luas. Dapat dicontohkan seperti filsafat di
India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat di Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.
Filsafat timur menjadikan alam dan
manusia sebagai realitas dan gejala yang tentu berbeda dengan filsafat barat
yang mengalami masa periodic. Hal ini terjadi dari masa-masa kosmosentrisme,
skolastisisme, antroposentrisme, modernism dan pormodenisme dalam memandang dan
menghayati realitas. Filsafat timur ini mencakup pemikiran yang merentang dari
India sampai daratan Cina.
Filsafat timur berasal dari dunia
timur dimana terdiri dari berbagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang
sangat pesat. Sejalan dengan angka kelahiran yang masih tinggi di negara
tersebut. Di dunia timur penekanan utama lebih diberikan kepada karya intuisi
dan perasaan serta penekanan yang lebih pada hidup batiniah, spiritual, dan
mistis. Atas dasar ini tujuan belajar bagi orang timur adalah lebih untuk
mencapai kebijaksanaan dan kebaikan hidup dari pada penyebar pengetahuan dan
informasi sebagai akibat penekanan pada akal budi dan karya intelek seperti di
dunia barat.
Makalah
ini menjelaskan mengenai pemikiran filsafat timur di Cina. Agar pada saat di diskusikan
nanti dapat fokus membahas masalah ini dan dapat menjelaskan semua permasalahan
yang ada dalam makalah ini. Permasalahan yang
akan dikaji oleh penulis difokuskan pada (1) konsep pemikiran filsafat sejarah
timur, (2) perkembangan filsafat sejarah dan
ciri-cirinya di Cina, dan (3) mengenai hasil-hasil
pemikiran filsafat sejarah di Cina berupa Chan, Taoisme, dan Konfusius.
Oleh
karena itu, penulis mengkaji sejarah pemikiran filsafat sejarah timur di Cina
agar diketahui bentuk pemikirannya. Selain itu, sebelum membahas latar belakang
dan dampak, penulis juga akan memaparkan latar belakang peristiwa ini agar
diketahui hal-hal yang mempengaruhi terjadinya pemikiran ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep filsafat sejarah timur?
2. Bagaimana
perkembangan filsafat sejarah dan ciri-cirinya di Cina?
3. Bagaimana
hasil-hasil pemikiran filsafat sejarah di Cina berupa Chan, Taoisme, dan
Konfusius?
1.3 Tujuan
Makalah
1. Menjelaskan
pemikiran filsafat sejarah.
2. Menjelaskan
perkembangan filsafat sejarah dan ciri-cirinya di Cina.
3. Menjelaskan
hasil-hasil pemikiran filsafat sejarah di Cina berupa Chan, Taoisme, dan
Konfusius.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Filsafat Sejarah Timur
Istilah ‘filsafat’ secara etimologis merupakan
padanan kata falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris) yang berasal dari bahasa
Yunani (philosophia). Yang mana kata filsafat ini merupakan kata majemuk dari
kata philo dan shopia yang mana artinya ialah philo adalah cinta dan shopia
adalah kebijaksanaan, atau hikmah. Sehingga dapat diartikan bahwasannya filsafat
adalah cinta kebijaksanaan. Filsafat mempunyai sistematika dan sistem filsafat
antara lain ontologi, epistimologi dan, aksiologi.
Filsafat Timur merupakan tradisi pemikiran
filsafat yang berkembang di wilyah Asia, khususnya India, Cina, dan
daerah-daerah lainnya yang terpengaruh budayanya. Filsafat Timur mempunyai ciri
khas,yaitu kedekatan filsafat ini dengan agama. Meskipun filsafat barat juga mempunyai
kedekatan dengan agama, khususnya pada abad pertengahan. Tetapi filsafat barat
lebih menonjolkan an sich
dibandingkan dengan keagamaan.
Definisi menurut asal kata filsafat adalah
cinta kepada kebenaran. Dilihat dari definisi filsafat sebenarnya pemikiran
timur dapat dikategorikan sebagai filsafat, karena filsafat timur merupakan
usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa cinta akan
kebenaran itu sendiri. Pengetahuan akan kebenaran selalu berkaitan dengan
kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan
tertinggi dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pengetahuan dan
tindakan haruslah hadir didalam diri seseorang yang bijaksana. Kedua hal ini
ada didalam pemikiran sejumlah pemikir timur seperti Lao Tzu, Konfusius,
Siddharta Gautama, para filsuf hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran
mereka dapat disebut filsafat timur.
Dalam studi post-kolonial ditemukan bahwa
filsafat timur lebih rendah dibandingkan dengan filsafat barat. Karena pemikiran
timur tidak memenuhi kriteria menurut kriteria filsafat barat. Misalnya pada
filsafat timur yang memiliki unsur mistik. Meskipun dalam filsafat timur dan
barat mempunyai beragam perbedaan, hal ini tidak dapat menunjukan mana yang
lebih baik. Dikarenakan baik filsafat timur maupun barat mempunyai keunikan
atau ciri khas masing-masing. Dari
perbedaan inilah diharapkan dapat saling melengkapi khazanah pemikiran filsafat
secara luas.
Filsafat timur selalu disepadankan dengan
filsafat barat. Secara geografis atau topologis, filsafat timur adalah filsafat
berpikir yang pada umumnya berlaku atau dihidupi oleh orang-orang dari belahan
timur dunia ini, bagaimana mereka melihat dan memahami realitas di
sekitarnya (Konrad, 2012: 5). Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang
tidak sistematis, tidak rasional, dan juga tidak kritis. Hal ini disebabkan,
pemikiran timur cenderung lebih banyak membahas mengenai agama dibandingkan
dengan filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika, seperti
filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada
kontruksi kronologis. Mulai dari penciptaan sampai dengan meninggalnya manusia
dijalin secara runtut. Adapun beberapa filosof timur yang terkenal adalah
Zhuang Zi, Kong Hu Cu, Lao Tse, dan
lain-lain.
Cara berfikir filsafat timur harus dilihat
dari bagaimana orang-orang Timur melihat duniannya, bagaimana mereka melihat
diri mereka sendiri dan sesame, dan bagaimana mereka melihat dan percayaserta
menggantungkan seluruh diri mereka pada suatu ilahi yang dianggap menjadi
pencipta atau pendasar dan penyelenggara segala sesuatu (Konrad,
2012: 10).
Dari sini dapat dilihat bahwa persepektif filsafat timur bersifat human dan
religius. Paham-paham religius kosmis menguasai seluruh tata kehidupan orang
Timur. Sehingga pendekatan emosional-spiritual jauh lebih kuat dibandingkan
dengan pendekatan rasional-teiritis milik barat. Di dunia timur paham kosmis
dan kosmogonis amat kuat berikut paham-paham regius seperti yang ditemukan
dalam hinduisme, buddhisme, konfusianisme, taoisme, agama-agama arkhais, aliran
kebatinan dan lain-lain.
Filsafat timur dapat dibagi berdasarkan dua
pola pendekatan atau perspektif sebagai berikut:
1. Pendekatan topografis atau geografis: filsafat
timur adalah filsafat berfikir manusia dibelahan duniatimur dan selatan
(tenggara), juga bagian timur laut seperti Jepang, Korea, Tiongkok, dan
Negara-negara sekitarnya.
2. Pendekatan filosofis atau padangan hidup:
filsafat timur mencakup wilayah topografis diatas dengan berbagai macam latar
sosiokultural, politis dan linguistic yang dianut oleh manusia-manusia di
wilayah itu: bagaimana cara mereka berfikir dan menilai dunia dan hidup mereka
(Konrad, 2012: 13)
Kalau kita membicarakan filsafat timur, sebenarnya lebih melihat cara
berfikir orang timur. Sehingga disini kita harus berbicara secara ilmiah
tentang cara hidup dan berfikir orang-orang timur pada umumnya seoerti,
bagaimana mereka berfikir dan bertindak. Dalam hal ini kita tidak hanya
membicarakan kosmos dalam artianbumi, tempat kita tinggal secara ilmiah seperti
yang dibicarakan dalam kosmologi. Pandangan hidup atau filsafat hidup adalah
cara hidup orang timur dalam kaitan dengan bagaimana mereka melihat dunia,
diri, dan sesamanya. Juga bagaimana mereka mengalami “Allah” atau apa yang
mereka akui sebagai wujud tertinggi atau Illahi (Konrad, 2012: 14)
2.2 Perkembangan
Filsafat Sejarah dan Ciri-cirinya di Cina
Definisi
menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran (Bagus Takwin,
2009:19). Dilihat dari definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat
dikategorikan sebagai filsafat, sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia
untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu
sendiri. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki kedalaman, bersifat
analitis, dan kritis, bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti Konfusius, Lao Tzu, dan Siddharta Gautama.
Tradisi
pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan
Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap
sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pada perkembangan melewati
rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat Cina dapat
dikategorikan ke dalam empat periode besar :
1. Jaman
Klasik (600-200 S.M.)
2. Jaman
Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
3. Jaman
Neo-Konfusianisme (1000-1900) / (Filsafat Sejarah)
4. Jaman
Modern (setelah 1900)
Berbeda
dengan filsafat Barat, pemikiran Cina tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai
dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi
epistimologi, metafisika dan aksiologi. Selain itu pemikiran Timur sering kali
diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa satu kajian kritis terlebih dahulu,
sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim pemikiran Timur sebagai agama.
Filsafat Timur lebih sering menafsirkan, berusaha memahaminya dan kemudian
mengamalkannya. Disini terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat tuntutan
praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan bagi manusia
untuk mencapai kebahagiaan.
Sampai
disini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak
memiliki sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran
Timur bisa jadi merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti
yang ditampilkan filsafat Barat. Maka, Pemikiran Timur adalah proses dan hasil
usaha manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada
kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan
kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat.
Filsafat
Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi
salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah
perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat.
Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang
berkembang dari masa ke masa.
Ada
tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah
antara dua ekstrem yaitu antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam,
antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk
pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi.
Suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam
bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih
antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia yang selalu merupakan pusat filsafat
Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa
semua dikuasai oleh suatu nasib buta yang sering disebut Moira, dan ketika
kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda
reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia
sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Filsafat Cina cendrung
mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari.
Dengan perkataan lain, cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan
dunia. Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul
akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina
antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian
pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab
filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari
kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum
filsafat Cina bertolak dari semacam humanisme. Tekanannya pada
persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan
perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi
perhatian utama sebagian besar filosof Cina. Lalu yang ketiga, dalam pemikiran
filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah kerohanian) menyatu secara padu.
Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan
hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa
seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai
melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik.
Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun
menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang
bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun
demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat
secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia
mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan
sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan
kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina
secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada
umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan
menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan.
Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam
dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih. Keenam, agama
dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka
menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara
keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan
terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik.
Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang
abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak
berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme
nilai-nilai. Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para
filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti
mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas
segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah
pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina.
Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran
apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.
2.3 Hasil-Hasil
Pemikiran Filsafat Sejarah di Cina berupa Chan, Taoisme, dan Konfusius
a. Chan
Tidak banyak yang dapat
dikatakan tentang Chan, karena ajaran ini menekankan bahwa Chan tidak dapat
dijelaskan dengan kata. Chan adalah perbuatan dan hanya dapat dipahami dengan
perbuatan bukan penjelasan dengan kata-kata.
Walaupun demikian, Chan tak dapat dibiarkan tanpa ungkapan (Y.A Mahabhiksu
Hsing Yun, 1994).
Sakyamuni Buddha mendirikan
Buddhisme, dan Buddhisme telah diabadikan lewat Dhamma, atau ajaran ajaran
Buddha dan Sangha ; komunitas para praktisi bhiksu dan bhiksuni. Namun apakah
Chan itu ? Chan adalah segala fenomena
Chan,
bila dipahami sebagai sebuah praktek spiritual, ialah sebuah mahzab Buddhisme
yang berkembang di China dari Buddhisme yang berkembang di China dari Buddhisme
dhyana India, yang diperkenalkan oleh para guru India ke China sejak abad ke
tiga. Displin mental serta praktek spiritual dhyana, yang bertujuan mencapai
suatu keadaan pikiran yang khusyuk melalui konsentrasi, adalah praktek yang
umum pada semua agama India, termasuk Hinduisme dan Buddhisme, serta masih
digunakan dalam yoga sampai sekarang/ Di China, dhyana dilafalkan sebagai
“chan”, dan teknik-teknik meditasinya dipelajari dengan penuh semangat oleh
orang Cina. Akan tetapi, seiring jalannya waktu, Chan mengembangkan penekanan
yang berbeda dari dhyana yang ada di India waktu itu. Chan kemudian menyebar ke
bagian bagian Asia lainnya, dan disebut Zen di Jepang, Son di Korea dan Thien
di Vietnam.
Patriakh Chan keempat, DaoXin
(580-651) mengajarkan teknik-teknik meditasi dhyana dalam metode metode praktis
essensial untuk memurnikan pikiran. Ia menyarankan para praktisi untuk
memurnikan pikiran. Ia menyarankan para praktisi untuk memulai praktek Chan
dengan sekedar mengamati pikiran. Ia menyuruh untuk duduk (meditasi) sendiri di
sebuah tempat yang tenang, tegak lurus, dengan pakaian longgar sehingga anda
tidak terkekang. Biarkan tubuh dan pikiran anda dan rileks sepenuhnya, dan
kemudian gosok pijatilah diri anda sendiri dari kepala sampai kaki beberapa
kali. Selaraskan tubuh dan pikiran anda, dan amatilah pemikiran dan perasaan
anda tanpa menjadi terlibat dengannya.
Daoxin juga mendeskripsikan
keadaan keadaan konsentrasi yang semakin mendalam yang bisa dilalui seorang
praktisi. Pertama, sang praktisi mengalamai dunia luar maupun dalam sebagai
kosong dan murni. Ia menempuh keadaan keadaan konsentrasi yang semakin mendalam
sampai semua pemikiran lenyap, dan bahkan pemikiran untuk mengkonsentrasikan
pikiranpun tidak ada. Akhirnya, sang praktisi melampaui semua alam mental
“mengalami” dan bergerak melewati keadaan konsentrasi menuju penyatuan antara
yang yang di luar dan yang di dalam (diri). Semua perbedaan lenyap.
Di setiap jaman dan setiap
tempat, banyak metode praktek yang telah digunakan. Teknik-teknik Chan itu
fleksibel dan mudah diadaptasikan. Karena situasi yang terus berubah dan tipe
orang yang berbeda-beda, seorang guru menggunakan metode yang berlainan untuk
menuntun setiap orang ke arah pencerahan.
Dalam periode Tang (618-907),
banyak master terkenal menggunakan teknik-teknik yang tidak lumrah untuk menuntun
orang menuju pencerahan. Master Deshan Xuanjian (dalam bahasa Jepang Tokusan,
781-867) terkenal karena memukul para muridnya dengan tongkat. Ia mula mula
adalah seorang cendekiawan Buddhis dan seorang pakar dalam bidang Sutra Intan,
yang merupakan salah satu naskah terpenting dalam Chan. Sesudah seorang
perempuan tua awam dengan hanya sebuah pertanyaan tunggalnya saja telah membuat
Deshan Xuanjian mengerti bahwa – ia sesungguhnya belum memahami makna yang
lebih dalam dari Sutra Intan tersebut, ia lalu pergi ke biara – mendedikasikan
dirinya untuk menginvestigasi Chan. Pada akhirnya ia menjadi kepala biara di
Gunung Deshan, dan bila ia mengajukan pertanyaan kepada para muridnya, apakah
mereka menjawab ataupun diam, ia akan memukul mereka. Ia bukanlah sekedar
ketokan ringan tetapi kadang berupa hantaman yang sangat keras.
Para master Chan ini menjadi
terkenal karena metode metode mereka yang luar biasa, tetapi mereka tidak
menggunakan metode yang sama secara mekanis kepada setiap orang. Deshan tidak
memukul seseorang yang belum siap memetik manfaat dari pukulannya, dan Linji
tidak berteriak pada seseorang yang belum siap untuk memetik manfaat dari
sebuah teriakan. Jikalau seorang master Chan sedemikian kaku dalam metode
metode pengajarannya, kita harus menganggapnya agak gila.
Pertimbangkan master dari
abad ke sembilan, Huangbo Xiyun (Obaku Kiun, ? – 850), yang tulisan tulisannya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Huangbo menyuruh para rahibnya
untuk makan sepanjang hari tetapi jangan pernah menggigit sebutir nasipun, dan
berjalan sepanjang hari tetapi jangan pernah menginjak seinchi tanahpun. Yang
ia maksudkan ialah bahwa kita tak pernah boleh memisahkan diri kita dari urusan
urusan kehidupan biasa, tetapi kita juga jangan membiarkan diri kita dikendalikan
oleh lingkungan atau kondisi eksternal kita. Apabila kita bisa melakukan hal
ini, kita tidak lagi melekat pada diri, dan tidak lagi berpegang pada konsep
bahwa diri dan orang lain itu beda. Hanya orang yang hidup dengan cara ini yang
benar benar bebas dan ringan. Seseorang yang bebas dari kemelekatan pada diri
akan terlibat secara positif dengan kehidupan namun tak bereaksi secara kacau,
cemas atau menderita terhadap berbagai peristiwa, orang lain atau lingkungan
sekitar.
Huangbo menekankan bahwa anda
dapat menjalankan praktek spiritual dalam situasi apapun. Anda tidak harus
meninggalkan masyarakat atau menjadi rahib. Inilah yang menjadi kenyataan dalam
Chan. Bilamana kita dapat mencapai keadaan pikiran yang dideskripsikannya, maka
kita akan menjadi orang yang telah tercerahkan secara mendalam – layak menjadi
great Chan master.
Dalam Chan, teknik-teknik
dhyana untuk mengembangkan konsentrasi dan memasuki samadhi umumnya digunakan
oleh para pemula. Seorang praktisi yang berpengalaman tak lagi membutuhkan
teknik-teknik semacam itu. Chan sendiri pada akhirnya bukanlah teknik atau
metode, tetapi lebih berupa jalan yang anda capai dengan penerapan metode
metode praktek. Ini membawa kita ke definisi kedua Chan : Chan adalah
kebijaksanaan yang menakjubkan, subtil dan tak terjelaskan.
Chan itu tak terjelaskan
karena kita tidak bisa mengekspresikan, mendeskripsikan, atau menjelaskannya
dengan kata kata, juga kita tidak bisa membayangkannya atau memahaminya dengan
pikiran konseptual kita. Apapun yang dapat kita ekspresikan dalam bahasa, tak
peduli betapapun bagusnya, bukanlah Chan.
Hui Ming berusaha
mengambilnya tetapi tidak bisa menggerakkannya. Terkejut dan terkesan, ia
berkata,” Aku tidak datang untuk jubah dan mangkuk, aku datang untuk Dharma.”
Hui Neng kemudian menyampaikan ajaran pertamanya sebagai seorang master Dharma.
Ia menanyai Hui Neng, “Tidak berpikir tentang kebaikan atau kejahatan, siapakah
yang berdiri di hadapanku ini ?”. Ini masih menjadi pertanyaan bagus bagi kita
sekarang ini. Dapatkah anda menjawabnya ?
Master BaiZhang Huaihai
(Hyakujo, 720-814) menunjukkan Chan sebagai kebijaksanaan yang tak terjelaskan
ketika ia berkata kepada seorang seorang bhiksu, “Katakanlah sesuatu tanpa
menggunakan mulutmu, tenggorokanmu atau bibirmu.”
Baizhang mengekspresikan ide
yang sama dengan cara yang berbeda ketika ia mengatakan bahwa kebijaksanaan
sejati Buddha dicapai ketika anda tidak lagi terbatasi oleh segala macam
konsep, termasuk : baik dan jahat, kekotoran dan kemurnian, teknik, metode,
berkah spiritual dan urusan duniawi. Jika anda dapat meninggalkan semua
kemelekatan pada konsep konsep, berarti anda telah mencapai kebijaksanaan
sejati sang Buddha. Baizhang menyertakan fu, yang secara spesifik mengacu pada
perolehan merit (karma baik/phala) dari perbuatan baik, ke dalam daftar konsep
konsep yang harus pula kita lampaui. Kaum Buddhis China sering melekat pada
sikap memburu pahala dari perbuatan baik, bahkan sampai masa sekarang ini
sekalipun.
Chan adalah suatu bentuk
praktek spiritual, Chan adalah kebijaksanaan yang tak terjelaskan, tetapi Chan
adalah juga segala fenomena. Tak ada sesuatupun yang bukan dia, dan tak ada
tempat yang tak ada dia. Sakyamuni Buddha berkata bahwa semua Dharma adalah
Buddhadharma. Kita bisa juga mengatakan bahwa, “Semua dharma adalah Dharma
Chan.”. “Dharma” dengan d kecil berarti fenomena, termasuk orang, benda,
kejadian, ide, waktu, ruang dsbnya. “Dharma” dengan D besar berarti hukum,
dalam pengertian hukum alam, dan itu berarti ajaran sang Buddha. Walaupun Chan
melampaui semua konsep, dan semua hal yang bisa kita pahami atau definisikan,
Chan sama sekali tidak mengesampingkan apapun.
Ada beberapa level pandangan
atau pemahaman tentang hidup dalam Chan – karena Buddhisme mengetahui bahwa
pandangan hidup setiap orang bergantung pada perspektif dan level
perkembangannya. Jika anda melihat segala sesuatu secara mendalam, maka itulah
pemahaman anda. Chan adalah segala fenomena. Dengan kata lain, semua hal besar
dan kecil selaras dengan ajaran Chan. Ini adalah sebuah pandangan yang mendalam
tentang hidup, dan hanya sedikit saja dari kita yang dapat memahaminya.
Apabila anda memandang hidup
ini tidak punya sasaran atau tujuan, anda barangkali akan merasa bahwa hidup
ini kosong dan tak berarti. Kalau hidup anda nampak tak punya arti, anga bisa
bertanya-tanya, “Mengapa saya bersusah-susah untuk hidup ?” Anda bisa merasa
bahwa anda tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan manfaat bumi ini.
Konfusius
berkata, “Makanan dan seks, inilah insting manusia.” Maksudnya, hasrat untuk
terus eksis dan dorongan untuk berketurunan merupakan sisi binatang dari
hakekat manusia.. Inilah pandangan hidup manusia yang terendah, dan kita dapat
menyebutnya pandangan hidup binatang. Hidup hanyalah suatu pencarian makanan,
tempat tinggal, dan membuat keturunan, sebagaimana layaknya binatang. Tiada
punya tujuan lain. Inikah sikap hidup anda ?
Pada jaman dahulu seorang
pejabat penting pemerintahan mengunjungi seorang biksu luar biasa yang tinggal
di sebuah pohon. Bukanlah aneh bagi seorang pejabat di jaman itu untuk meminta
bimbingan dari seorang bhiksu. Para pejabat Cina dipilih melalui sistem ujian
yang keras, dan kebanyakan mereka adalah orang orang yang berpendidikan serta
berbudaya tinggi. Banyak bhiksu dan master Buddhis juga orang yang
berpendidikan, dan mereka bijak, jadi ceramah dan petunjuknya menarik para
pejabat. Bahkan para kaisarpun meminta bimbingan dari para master Chan.
Tahapan-Tahapan The Letting
Go of the Self (Pelepasan diri)
1. Mengokohkan
diri
Mengokohkan diri sendiri
berarti mengokohkan tujuan, sasaran, makna, dan nilai dari hidup seseorang, dan
mau melihat diri sendiri secara jujur dan jernih. Orang bertanya,” Mengapa kita
lahir di dunia ini dan dalam kehidupan ini?” Pandanan buddhis adalah bahwa kita
disini untuk menerima buah karma kita, dan juga untuk memenuhi cita cita atau
ikrar kita.
Kita harus memahami bahwa
dalam satu masa kehidupan, perbuatan-perbuatan kita, baik dan buruk (yang
menciptakan buah karma), dan hasil dari perbuatan-perbuatan itu (buahnya)
adalah relatif terbatas dibanding dengan beribu ribu kehidupan yang telah kita
jalani. Apa yang kita kerjakan dan apa yang kita terima pada saat ini sering
tidak sesuai. Sebagian orang nampak tidak berbuat banyak kebaikan, namun lahir
dengan kekayaan atau mendapatkan kesuksesan dengan mudah. Sebagaian lainnya
bekerja keras sepanjang hidupnya, namun hampir tidak bisa memberi makan dirinya
sendiri. Mereka tidak mencapai apapun, hubungan-hubungan pribadinya tidak
berhasil, dan nampaknya menjalani hidup yang penuh dengan penderitaan.
Saya sendiri lahir dengan
banyak problem fisik dan sering sakit ketika kanak kanak. Saya bertanya pada
diri sendiri, “ Mengapa kesehatan saya sedemikian buruk? Apakah ibu saya tidak
adik, melahirkan saudara lelaki dan perempuan yang sehat, dan melahirkan saya
dengan sakit sakitan begini? “. Sekarang saya mengerti bahwa ini bukanlah
perbuatan ibu saya. Ia tidak punya pilihan. Tubuh saya saat lahir adalah hasil
dari benih benih karma sebelumnya. Tetapi banyak dari kita merasa bahwa dimana
dan kapan kita lahir, dan keseluruhan bagian kehidupan ini, adalah tidak adil.
2. Mematangkan
diri
Proses pematangan mencakup
meninggalkan fokus-kepedulian yang hanya pada diri sendiri serta
meng-orientasikan diri anda sendiri kearah memikirkan kepentingan makhluk hidup
lain. Maka akan siap untuk menanggung beban ketidaknyamanan, kesulitan dan
penderitaan bagi orang lain. Menyelamatkan makhluk hidup dari penderitaan,
sebagaimana yang diikrarkan kaum Buddhis, mengharuskan anda untuk memberikan
apa yang dibutuhkan – waktu, uang, atau segala upaya anda. Ketika anda memberi,
mungkin nampak bahwa anda kehilangan sesuatu, tetapi itu hanyalah pandangan
egois. Seorang bodhisatva, seorang makhluk tercerahkan, tidak punya pemikiran
untung atau rugi.
3. Melampaui diri
Terakhir,
kita harus meng-transenden (melampaui) diri. Tahap perkembangan ketiga dan
terakhir ini, menurut Chan, adalah kebebasan sempurna dari diri. Setelah kita
sepenuhnya melepaskan diri, kita mengembalikan manfaat dari pencapaian kita
pada masyarakat dan dunia. Kita mempersembahkan segalanya, apapun yang kita
miliki dan apapun yang telah kita capai, kepada semua makhluk. Makhluk hidup
bisa memetik keuntungan dari upaya upaya kita, tetapi kita tidak mengalami
untung atau rugi. Inilah tiada-diri, tahap pencerahan yang dalam.
Jika anda mencapai pencerahan
mendalam, anda tak perlu lagi mendengar saya bicara tentang pandangan hidup,
karena anda tidak akan punya suatu pandangan hidup tertentu. Dalam Chan,
pandangan hidup yang final dan transenden adalah tiada pandangan hidup sama
sekali. Dengan demikian, apa yang masih bisa dikatakan ? Mempunyai suatu
pandangan hidup adalah kondisi dari orang biasa. Meng-transenden konsep ini
adalah kondisi dari orang yang tercerahkan secara mendalam. Orang semacam ini
menjalankan apapun tugas yang dihadapi.
b. Taoisme
Taoisme merupakan pemikiran yang
berseberangan dengan Konfusianisme yang menemukan pedoman hidup manusia pada
dan dari alam, dan bukan dalam praktik moral insani yang bertujuan dalam
mengembangkan kebajikan (Zuhry, 2013: 143). Pemikiran ini akan lebih menekankan
pada kebebasan yang diperoleh dengan mengikuti getar alam. Sehingga dapat
diartikan Taoisme merupakan filsafat yang paling mistis dan revolusioner dalam
sejarah manusia. Hal ini terungkap dalam ajaran Lao Tzu sekitar abad 6 SM dan
Chuangtse.
Pemikiran Taoisme berbeda dengan
Budhisme, karena Taoisme merupakan pandangan tentang dunia sehingga sikapnya
lebih terarah ke luar terhadap alam dan kodrat. Sedangkan Budhisme merupakan
suatu agama dengan adanya seorang pendiri dan memberikan penekanan pada
belakasihan dan penyelamatan (Kebung, 2011: 141). Tokoh yang terkenal dalam
filsafat taoisme adalah Lao Tzu (Lus tzu) dengan bukunya yang berjudul “Tao Te Ching (The Treatise on the Way and
its Power)”. Tao yang dimaksudkan
diartikan sebagai jalan atau cara,Te berarti
kuasa, karakter moral, kebajikan, dan Ching
berarti klasik.
Taoisme memandang kemanusiaan dan habit of nature sebagai satu entitas
yang tidak mungkin dapat diunggulkan apabila dipisahkan, karena dasar
kemanusiaan bukan kita ciptakan sendiri tetapi termuat dalam keberadaan dan
fungsi dari keseluruhan kosmos yang berupa hukum alam (Kebung, 2011: 145).
Secara konstruktif menawarkan pandangan mengenai jagad raya dan manusia sebagai
satu kesatuan sistem yang membuat manusia melampaui batas-batas persepsi dan
konsep. Hal ini bersifat langsung dan segera, sehingga tidak bergantung pada
dualitas yang salah antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahuinya.
Prinsip-prinsip ini mengatur hidup dan tindakan manusia merupakan prinsip yang
mengatur kodrat alam dan hidup dihayati seseorang yang secara utuh selaras
dengan alam.
Ajaran Lao Tzu menghadirkan usaha
untuk mengkonstruktif untuk memelihara dan membuat hidup manusia menjadi luhur
dan agung (Kebung, 2011: 146). Memelihara hidup berarti melindungi dari
ancaman-ancaman terhadap eksistensi yang paling utama. Sedangkan membuat hidup
menjadi luhur dan agung menjadi tuntutan dalam memelihara hidup dan berusaha
memperbaiki kualitasnya. Hidup yang selaras yang dimaksud Tao adalah hidup yang ideal, karena manusia merupakan bagian dari
manusia dan semesta merupakan bagian dari manusia. Dalam Filsafat Timur (Kebung, 2013: 146-147) dijelaskan mengenai ajaran-ajaran dari Lao Tzu yang menjadi
sembilan prinsip dalam Tao Te Ching, yaitu:
1. Akibat
dari usaha memuaskan hasrat hati, lahirlah persaingan dan konflik;
2. Manusia
secara kodrati bertindak untuk memenuhi hasrat hatinya;
3. Supaya
tercipta kedamaian dan harmoni, dirancang dengan standar kebenaran dan
moralitas manusia guna mengatasi konflik dan percekcokan;
4. Persoalannya
adalah standar moral tidak sepenuhnya mengatasi persoalan, karena persaingan
yang kian memanas dan konflik yang kian meninggi. Peraturan tersebut dilanggar
hingga peraturan baru yang dirancang sebagai beck up bagi peraturan lama juga dilanggar. Konsekuensinya, konflik
lama tetap ada, hasrat hati tak terpuaskan dan kejahatan merajalela;
5. Karena
pembentukan institusi bagi standar moral dan peraturan tidak memecahkan
persoalan, mengapa orang tidak mengabaikannya daln keluar dari lingkaran setan
dengan bantuan nalar kritisnya?;
6. Jika
akar persoalannya adalah hasrat hati dan kehendak diri, mengapa keduanya tidak
disingkirkan?;
7. Tindakan
yang keluar dari hasrat hati dan kehendak diri yang dapat disingkirkan, apabila
manusia mengadopsi “jalan” alam dalam semua hal;
8. Mengikuti
jalan alam akan membawa hidup yang selaras dengan semesta dan bertindak sesuai
dengan Tao universal; dan,
9. Karena
itu, masyarakat mestilah dipimpin oleh penguasa yang berpikir, merasa,
bertindak dan mengabdi berdasarkan Tao alam
semesta.
Usaha yang dilakukan untuk
menghilangkan atau setidaknya mereduksi kejahatan yang menggejala dan
berkembang tanpa kendali dalam masyarakat, Lao Tzu mengakui sebab-sebab primer
dari kejahatan itu sendiri. Sehingga Lao Tzu mendasarkan pada teori filsafatnya
dari hasrat hati dan kehendak diri yang membara terpanggang oleh tuntutan
pemuasan dari segala ingin dan angan. Lao Tzu tidak mempersoalkan tujuan
moralitas yang dipermasalahkan apakah manusia bisa mencapai tujuannya,
sementara terjadi persaingan dan konflik yang tidak memiliki terminal terakhir?
Tao Agung atau Tao universal harus diinternalisasi ke dalam diri manusia,
masyarakat dan bangsa. Lao Tzu menegaskan, “ketika
Tao Agung menyusut, maka lahirlah doktrin kemanusiaan dan kebenaran”. Doktrin
kemanusiaan (jen) dan kebenaran (yi) merupakan moralitas dari Konfusius
yang mengatur semua tindak-tanduk manusia sebagai satu jalan pemecahan yang
tidak memadai, karena moralitas hanya ada sebagai akibat dari merosotnya Tao Agung kodrat alam.
Menurut Lao Tzu, moralitas tidak
mampu membawa damai dan kebahagian dan harus dipandang sebagai jalan pemecahan
yang gagal sehingga harus diabaikan demi satu alternatif yang lain. Namun
moralitas tidak dapat diabaikan untuk mengubah kondisi-kondisi yang tidak
terelakan dalam mengantarkan manusia dalam menciptakan peraturan-peraturan
modal dan tindakan manusia. Alasan dari tindakan yang keluar dari keinginan
hati akan menuntut kepada kejahatan yang bertentangan dengan Tao (jalan), karena Tao agung selalu hadir tanpa keinginan hati. Kebaikan tersebut akan
diendalikan oleh non-aksi (wu-wei)
yang merupakan satu konsep penting dalam Tao
yang berarti tidak bertindak apapun kecuali yang muncul secara bebas dan
spontan dari kondrat alamiah seseorang.
c. Konfusius
Sejarah bukanlah
sekedar berbicara apa yang terjadi di masa lalu. Sejarah menghadirkan manusia
dengan dunianya membentuk sejarahnya. Menurut (Bertens, 1987; 200) di jelaskan
bahwa manusia dan sejarah manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan
bersamaan dengan itu ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah. Apa yang di ulas
oleh Bertens ini adlah bagaimana pola sejarah manusia sangat dipengaruhi oleh
bagiamana latar belakang sejarah yang dialami dan diketahui oleh manusia itu
sendiri, sejarah dalam diri manusia itulah yang nantinya membentuk masa depan
dan sejarah dirinya sendiri. Oleh sebab itu pada hakikatnya semua permasalahan
berkisar sekitar faktor manusiawi, tidak hanya sebagai unsur objektif, lebih
dari itu juga selaku unsur objektif (Kartodirdjo, 1990; 252). Dengan demikian
jelas bahwa manusia merupakan faktor utama dalam pembahasan sejarah.
Secara hakikatnya dalam diri manusia terdapat unsur
spiritualitas dan unsur materialitas. Kedua unsur ini sering dipahami dan
dikenal dengan bahwa secara hakikat manusia terdiri dari jiwa (rohani / batin)
dan raga atau badan (lahir). Sementara itu Konfusius mengakui adanya unsur
spiritualitas dan materialitas yang ada dalam diri manusia. Menurut Konfucius
semua tindakan yang menyangkut unsur materialitas atau keragaan manusia akan
sia-sia jika tidak didasari oleh unsur spiritualitas. Unsur spiritualitas dapat
dikatakan sebagai pengendali atau penmyeimabang pola kehidupan materialitas.
Konfusiaus menguraikan bahwa unsur spiritualitas adalah
Jen. Jen memiliki makna atau biasa dikenal sebagai perikemanusiaan. Dalam
penjabaran lebih luas lagi p erikemanusiaan ini mengandung dua segi, yakni segi
Chung (segi positif) dan segi Shu (segi negatif). Chung terlihat dalam ungkapan
“Apa yang engkau senangi dilakukan orang terhadapamu, lakukanlah terhadap orang
lain”. Segi Shu mengajarkan “Apa yang tidak kau sukai dilakukan orang
terhadapamu, jangan kau lakukan terhadap orang lain” (Creel, 1951; 34). Disini
sangat jelas terlihat bahwa maksud dari pernyataan ini adalah bagaiamana kita
diajarkan untuk selalu memberikan yang terbaik atau melakukan hal yang baik
terhadap orang lain. Pengungkapan makna memang terlihat seolah-olah sama namun,
disni perlu kita pahami bahwa dua pernyataan tersebut memiliki satu makna yakni
untuk mengajarkan kebaikan. Disni jelas
bahwa unsur Jen sebagai pri kemanusiaan dapat kita liahat secra utuh.
Unsur spiritualitas yang lain dalam diri manusia
selain Jen yang harus diwujudkan dalam tindakan yang mempertahankan unsur
materialitas adalah Yi (kelayakan), Li (etiket atau sopan santun) dan Chih
(kebijaksanaan). Dalam menghayati sejarah tidak hanya mementingkan aspek
materialitasnya saja, akan tetapi selalu dibarengi dengan perkembangan
spiritualitasnya kedua aspek ini hendaknya harus saling mengimbangi atau balance .Aspek materialitas yang
terlihat nyata dalam berbagai tindakan manusia haruslah selalu mencerminkan
perkembangan berbagai aspek spiritualitas manusia tersebut. (Budisutrisna,
1998: 26-27)
Perbuatan manusia sebagai aspek materialitas harus
selalu mendasarkan diri pada aspek spiritualitas. Perkembangan kebudayaan
manusia diarahkan kepada Chun Tzu (manusia unggul), sejarah tidak pernah dibuat
oleh manusia secara sendirian, akan tetapi selalu dalam kebersamaan kelompok,
manusia secara individu tidak akan bisa membuat sejarahnya sendiri tanpa adanya
kelompok dalam masyarakat. Dalam hal ini Konfusius lima hubungan sosial dalam
kebersamaan kelompok itu, yakni: hubungan antara penguasa dengan warganya,
hubungan antara suami dengan istri, antara ayah dengan anak, antara kakak dan
adik, dan antara sesama teman. Lima hubungan ini sering dikenal dengan konsep
Wu Lun . Untuk mewujudkan manusia-manusia Chun Tzu yang akan membuat tingginya
kebudayaan manusia, peranan individu tetap diakui tetapi tidak dapat dilepaskan
dari peranan kebersamaan kelompok tersebut. Hanya manusia-manusia yang berhasil
membuat keterkaitan harmonis aspek materialitas dan spiritualitas dalam
kebersamaan kelompoklah yang akan mencapai Chun Tzu , yang pada akhirnya akan
memajukan kebudayaan manusia. Sejarah digerakkan oleh manusianya. Namun
demikian Konfusius mengakui bahwa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas
dari Ming , keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan
Tuhan. (Budisutrisna, 1998: 27-28)
Sejarah pada dasarnya tidak bisa dilepaskan pada aspek
waktu, Konfusius memiliki pandangan tentang waktu yakni, menurutnya pandangan
terhadap waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau
serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan
tradisi dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya, missal: Li yang semula
berarti tata upacara berkorban kemudian diberi arti sebagai etiket atau sopan
santun. Tao yang semula berarti jalan kemudian diberi arti sebagai kode etik
individu dan pola pemerintahan. Chun Tzu yang semula berarti orang keturunan
bangsawan kemudian diberi arti manusia unggul atau gentle man . Jadi terhadap
kebudayaan masa lampau, Konfusius tidak membuanganya tetapi diambil
semangatnya, intinya, yaitu aspek spiritualitasnya – menurut Konfusius esensi
kebudayaan adalah Jen. Konfusius dalam interpretasinya sangat jelas bukan hanya
sekedar mengambil semanatnya saja, akan tetapi dia lebih memilih untuk memaknai
dangan hal-hal yang sifatnya lebih berprikemanusiaan.
Masa sekarang,
bagi Konfusius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dalam
bidang pendidikan ia merasa bahwa fungsi utamanya memberi tafsiran terhadap
warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapanya yang didasarkan
atas konsepsi-konsepsi moral (Lan, 1990, 51). Perkembangan harus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi masa sekarang tanpa meninggalkan identitas yang sudah dimiliki di
masa lampau yang tersimpul dalam Jen sebagai esensi dari setiap kebudayaan. Jen
ini juga selalu terkait dengan Yi, Li, dan Chih. Kemudian masa depan tergambar
dalam cita-cita manusia ideal Chun Tzu yang akan dapat menciptakan kebudayaan
yang unggul pula. Bagi Konfusius untuk merencanakan dan merekayasa masa depan
melalui strategi kebudayaannya peranan pendidikan sekali lagi amat penting. Pendidikan
adlah sarana untuk mempertahankan kebudayaan,. Melalui pendidikan, kebudayaan
dapat diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Hal lain yang turut
memacu terwujudnya masa depan, seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya
adalah kebijakan penggunaan bahasa yang tepat, termasuk menyatunya antara
perkataan dan perbuatan (Budisutrisna, 1998: 28-29). Kedudukan bahasa sebagai
alat komunikasi sekaligus sebagai alat pemersatu dalam sebuah kelompok.
Mengenai bagaimana pola gerak sejarah, Konfusius
berpandangan bahwa sejarah bergerak sesuiai iramanya, sejarah diarahkan pada
usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang
lebih beradab. Sejarah mengajarkan agar manusia dapat hidup lebih baiak, dengan
belajar dari sejarah itu sendiri. Menurut Konfusius semua hal ini dapat
terwujud jika manusia mencapai Chun Tzu . Dalam Chun Tzu ini tersimpul
perkembangan aspek materialitas dan spiritualitas, dalam artian
tindakan-tindakan manusia mendasarkan diri pada aspek: Jen , Y i, Li , dan Chih
untuk selalu mewujudkannya. Untuk mewujudkannya itu dicapai dalam kebersamaan
masyarakat ( lima hubungan sosial) dan pada akhirnya hasilnya diserahkan kepada
Ming . Sesudah manusia berusaha, berhasil atau tidaknya diserahkan kepada
keputusan Tuhan. Dengan demikian arah perkembangan sejarah tidak hanya
mementingkan dimensi horizontal atau kehidupan duniawi, akan tetapi juga
mengutamakan dimensi vertikal tentang kehidupan dibawah kuasa Tuhan.
Arah perkembangan sejarah menghendaki keselarasan
hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan Tuhannya. Chun
Tzu merupakan sosok manusia yang layak didambakan oleh setiap insan, sosok
manusia unggul, manusia yang lebih baiak dari manusia yang sebelumnya. Jika
suatu hari dapat memperbaharui terus-menerus dan dijaga agar baru
selama-lamanya. Bagi Konfusius taraf kebudayaan manusia yang tinggi yang
membuahkan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, yang dapat terwujud
melalui manusia-manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis
(selalu disesuaikan situasi – kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Konfusius
selalu menginterpretasikan masa lampau secara baru). Dengan demikian arah
sejarah bukanlah bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi sesuatu
yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya. (Budisutrisna, 1998:
29-30).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat
Timur merupakan tradisi pemikiran filsafat yang berkembang di wilyah Asia,
khususnya India, Cina, dan daerah-daerah lainnya yang terpengaruh budayanya.
Filsafat Timur mempunyai ciri khas,yaitu kedekatan filsafat ini dengan agama.
Meskipun filsafat barat juga mempunyai kedekatan dengan agama, khususnya pada
abad pertengahan. Pemikiran
Cina tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat,
seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi epistimologi, metafisika dan
aksiologi.
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat
tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga
filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping
filsafat India dan filsafat Barat. Hasil dari pemikiran-pemikiran dari filsafat
timur adalah chan, taoisme, dan konfusius. Pemikiran Chan
adalah suatu bentuk praktek spiritual, Chan adalah kebijaksanaan yang tak
terjelaskan, tetapi Chan adalah juga segala fenomena. Pemikiran
Taoisme akan lebih menekankan pada kebebasan yang diperoleh dengan mengikuti
getar alam. Konfusiaus menguraikan bahwa unsur spiritualitas adalah
Jen. Jen memiliki makna atau biasa dikenal sebagai perikemanusiaan.
Daftar
Rujukan
Bertens, K. 1987. Panorama Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Budisutrisna. 1998. Historisitas dalam Pandangan Confucius.
Yogyakarta: Fak. Filsafat UGM.
Creel, H.G. 1989. Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung , Alih
bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana .
Kartodirdjo, Sartono. 1986. Ungkapan Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan
Timur , Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia .
Kebung, K. 2012. Filsafat Berfikir Orang Timur
(Indonesia, Cina, India). Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Lan, Fung Yu. 1990. A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa
Soejono Soemargono. Yogyakarta: Liberty.
Takwin, Bagus. 2009. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke
Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra.
Zuhry, D. 2013. Filsafat Timur, Sebuah Pergulatan Menuju
Manusia Paripurna. Malang: Madani.
http://arifinhakam.wordpress.com/perkembangan-filsafat-cina-kuno/,
diakses tanggal 31 Januari 2014 pukul 13.20 WIB.
http://dirga.wordpress.com/category/filsafat-cina/,
diakses tanggal 31 Januari 2014 pukul 13.45 WIB.
No comments:
Post a Comment