Dyah Mei
Astuti 110731435519
Rizal Lutfi Ansori 110731435534
Iksa Soka Pinpawati 110731435541
Jeffri
Dwi Kurniawan 110731435556
M. Zaki Firdaus 100371405546
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati
terhadap penalaran tentang suatu masalah serta penyusunan secara sengaja dan
sistematis tentang suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.
Filsafat berupa perenungan yang meragukan segala sesuatu, mengajukan
pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan
“mengapa”, mencari jawaban yang lebih baik dibandingkan jawaban yang tersedia
pada pandangan pertama. Berfilsafat bukan sekedar aktifitas mengisi waktu
senggang, namun sebaliknya menjanjikan manfaat yang cukup manusiawi. Misi yang
diangankan oleh orang yang berfilsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia
sebanyak mungkin. Mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan
hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang
sistematis. Lewat berfilsafat kita akan dibawa pada pemahaman, dan pemahaman
akan membawa pada kita kepada tindakan yang lebih layak. Melalui tesis bukunya, “The End of History and The Last Man”, Fukuyama (1999) hendak
mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar
ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan
demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama beranggapan
bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat
manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan
ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan sebagai
gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme tanpa ada kompetitornya. Dengan logika Fukuyama determinisme
historis Fukuyama yang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional,
keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Inilah yang kemudian
mengantarkan Fukuyama pada kesimpulan akhir sejarah. Atas
dasar motivasi untuk mengenal pemikiran Fukuyama secara lebih dekat, penulis
tertarik untuk melacak perjalanan intelektualnya. Agar kajian ini terarah,
penulis memfokuskan uraian pada hal-hal seputar riwayat hidupnya, produktifitas
keilmuanya, garis besar keilmuanya, garis besar pemikiranya, terutama
rasionalisme (dialektika) dan relevansi pemikirannya. Konsistensinya dalam melakukan
telaah pemikiran atas ‘idea’ menjadi sebuah kondisi yang menarik untuk dikaji
serta menjadi sebuah tambahan ilmu bagi diri pribadi. Dialektika Fukuyama
menjadi sebuah pisau analisis dalam menelaah sejarah secara lebih mendalam
serta ilmu pengetahuan secara global. Dialektikanya seolah suatu metode yang
mampu memecahkan problem realitas kehidupan. Sehubungan dengan
latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui dari mana dasar pemikiran
yang diperoleh oleh Fukuyama dan sebenarnya bagaimana inti dari pemikiran
Fukuyama tersebut. Hal tersebut yang mendorong penulis untuk menulis makalah
yang berjudul PEMIKIRAN FRANCIS FUKUYAMA MENGENAI AKHIR SEJARAH.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah
ini adalah:
1. 1.Bagaimana
Landasan Dasar Pemikiran Fukuyama?
2. 2. Bagaimana
Inti Pemikiran dari Fukuyama?
C. Tujuan
Berdasarkan
rumusan permasalahan diatas dapat ditentukan tujuan penulisan makalah tentang
“Pemikiran Francis Fukuyama Mengenai Akhir Sejarah” yaitu:
1. 1. Untuk
mengetahui Landasan Dasar Pemikiran Fukuyama.
2. 2. Untuk
mengetahui Inti Pemikiran dari Fukuyama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Dasar
Pemikiran Fukuyama
Yoshihiro Francis Fukuyama lahir pada tanggal 27 Oktober
tahun 1952 di Chicago, Illionis Amerika Serikat. Francis Fukuyama dilahirkan di
keluarga keturunan Jepang. Ayah dari Fukuyama merupakan generasi kedua Jepang
Amerika yang bekerja sebagai seorang sosiolog sedangkan Ibunya merupakan
seorang Jepang asli dan masih keturunan bangsawan. Fukuyama merupakan seorang
ilmuan politik, ekonomi politik dan penulis di Amerika. Dia memperoleh gelar di
bidang ilmu pengetahuan politis dari Harvard University. Selain itu Francis
Fukuyama juga pernah menjabat sebagai Senior
Fellow at the Center on Democracy, Development and the Rule of Law at Stanford.
Sebelum itu Fukuyama juga pernah menjabat sebagai profesor dan direktur di The
International Development program at the School of Advanced International
Studies of the Johns Hopkins University. Francis Fukuyama membuat sebuah karya
yang sangat terkenal yaitu tulisannya yang berjudul The End of History And The Last Man mengenai akhir sejarah (end of history). buku tersebut
didasarkan pada artikelnya yang berjudul The
End Of History yang ditulis untuk jurnal The National Interest pada musim
panas 1989. Dalam tulisannya tersebut Fukuyama menggambarkan kondisi titik akhir evolusi ideologi umat manusia dan bentuk akhir
pemerintahan manusia adalah kapitalisme
sebagai sistem ekonomi dunia dan demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan
dunia. Selain itu demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan
telah tersebar ke seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir dan menggeser ideologi-ideologi
lain seperti monarki, fasisme dan komunisme. Selain itu Fukuyama juga
berpendapat bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir evolusi ideologi umat
manusia dan bentuk akhir pemerintahan maka dari itulah disebut sebagai akhir
dari sejarah.
Dalam bukunya yang
berjudul The End of History and The Last Man
tahun 1999 Fukuyama ingin menyampaikan bahwa pasca perang dingin maka tidak
akan ada lagi pertentangan diantara ideologi besar. Hal tersebut dikarenakan
menurut Fukuyama sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan
demokrasi liberal. Meskipun Fukuyama menyadari bahwa evolusi sejarah tetap
berlangsung namun menurut anggapan Fukuyama demokrasi liberal merupakan titik
akhir dari evolusi ideologis umat manusia. Peristiwa runtuhnya Uni Soviet dan
juga ambruknya tembok Berlin merupakan tanda dari kalahnya sosialisme yang
digantikan dengan kemenangan kapitalisme. Namun Fukuyama juga mengungkapkan
bahwa telah terjadi kegelisahan dan pesimisme dikalangan masyarakat dunia
mengenai kemajuan sejarah yang berakhir dengan berjayanya demokrasi liberal.
Sedangkan kegelisahan
dan pesimisme dikalangan masyarakat dunia mengenai kemajuan sejarah yang
berakhir dengan berjayanya demokrasi liberal terjadi karena
peristiwa-peristiwa politik pada pertengahan pertama abad ke-20. Pertama mengenai krisis politik pada abad
ke-20 dan yang kedua adalah krisis intelektual dari rasionalisme Barat.
Selain itu munculnya ideologi totalitarian dan pembalikan dari fungsi ilmu
pengetahuan yang mengancam manusia dalam bentuk senjata nuklir dan kerusakan
lingkungan. Pengalaman hidup sebagai korban dari kekerasan politik dari
Hitlerisme dan Stalinisme hingga korban PolPot dapat menyangkal bahwa ada
kemajuan historis (Fukuyama, 1992a: 2). Pada abad sebelumnya mayoritas negara-negara di Eropa berpikir bahwa
kemajuan sejarah yang dimaksud yaitu dengan menuju demokrasi liberal. Namun
kenyatannya pada abad ke-20 banyak terjadi beragam peristiwa traumatik dari
adanya Perang Dunia II yang membuat krisis kepercayaan bagi mayoritas orang
Eropa pada saat itu. Sedangkan pada masa kini, demokrasi liberal mendapatkan
pertentangan dari fasisme dan komunisme yang masing-masing mengusulkan mengenai
visi yang sangat berbeda mengenai masyarakat yang baik.
Pada
seperempat terakhir abad ke-20 terjadi kekalahan besar dari kepemimpinan
diktator yang kuat dari otoritas-militer kanan maupun komunis-totalitarian kiri. Otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan mulai
runtuh satu-persatu yang menjadi salah satu bukti dari lemahnya legitimasi
ideologi yang dianutnya. Jatuhnya serangkaian pemerintahan otoritarian sayap
kanan di Eropa Selatan inilah yang dianggap oleh Fukuyama sebagai krisis
otoritarianisme. Pihak totalitarianisme yang berkembang setelah Perang Dunia II
di Uni Soviet dengan komunismenya harus runtuh karena bersaing dengan Amerika
yang Kapitalis dan Jerman dengan Nazinya akhirnya juga tidak bisa bertahan.
Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan tuntuhnya tembok Berlin maka
pertarungan ideologi besar tidak terjadi lagi. Karena kelemahan negara-negara
kuat penganut komunisme kiri dan otoritarianisme kanan tersebut maka banyak
negara-negara yang pada awalnya menerapkan sistem tersebut mulai beralih ke
demokrasi liberal. Liberalisme dan demokrasi mempunyai konsep yang berbeda meskipun
diantara keduanya terdapat kaitan yang erat. Liberalisme politik merupakan
suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu individu atau kebebasan dari
kontrol pemerintah. Sedangkan demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Lord
Bryce bahwa setidaknya terdapat tiga elemen mendasar dalam demokrasi yaitu
hak-hak sipil, hak-hak beragam dan hak-hak politik. Demokrasi
liberal menjadi pilihan aspirasi politik yang koheren yang menyebar ke berbagai
daerah dan kebudayaan di seluruh dunia (Fukuyama, 1992a: 2). Selain itu sebagai respon dari
ketidakpuasan sistem tersebut maka
negara-negara tersebut juga mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Prinsip
liberal dalam ekonomi yaitu pasar bebas telah tersebar dan sukses memproduksi
kebutuhan material dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya (Fukuyama,
1992a: 3). Hal tersebut dapat
terlihat seperti perkembangan ekonomi yang terjadi di Asia Timur pasca Perang
Dunia II yang tidak hanya terjadi pada negara maju seperti Jepang namun revolusi
tersebut juga terjadi di semua negara Asia yang mengadopsi prinsip pasar bebas.
Pemahaman
dalam memandang proses sejarah, Fukuyama mendapatkan pengaruh dari pemikiran G.W.F
Hegel dan Karl Marx sebelumnya yang sudah terlebih dahulu mengungkapkan
mengenai akhir sejarah (end of history)
yang akhirnya membuat Fukuyama
mendapatkan inspirasi untuk tulisan atau pandangannya dari kedua tokoh
tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hegel dan Karl Marx
turut memberikan kontribusi terhadap pemikiran Fukuyama atau dapat dikatakan
juga bahwa pandangan Fukuyama merupakan aktualisasi kembali dari pemikiran-pemikiran Hegel dan Karl
Marx.
Hegel dalam pengantar bukunya The
Philosophy of History menyatakan bahwa buku tersebut dimaksudkan untuk
menyajikan suatu Sejarah Universal yang mengarah pada suatu tujuan (Hegel,
2002: hal 1). Sejarah universal yang dimaksudkan tesebut mengarah pada suatu
tujuan. Namun Hegel membantah bahwa
sejarah bergerak tanpa batas melainkan selalu akan menuju pada suatu akhir
yaitu suatu prestasi masyarakat yang bebas di dalam dunia yang nyata.
Sejalan dengan Hegel, Karl Marx juga mempercayai
bahwa negara liberal telah berhasil memutuskan suatu kontradiksi yang
fundamental yang merupakan konflik antar kelas yaitu perjuagan kelas borjuis
dan proletar. Namun bagi Karl Marx negara liberal tersebut tidak
merepresentasikan universalisasi kebebasan namun hanya kemenangan kebebasan
suatu kelas tertentu yaitu borjuis. Selain itu Karl Marx juga menyatakan
bahwa tahap sejarah manusia akan sampai pada suatu puncak ketika terwujud suatu
masyarakat Komunis. Karl Marx dan Hegel mempercayai bahwa evolusi masyarakat
akan berakhir bila manusia telah mencapai sebuah bentuk masyarakat yang
sempurna yang terdalam dan memiliki kerinduan yang fundamental. Mereka
menyebutkan mengenai sebuah akhir sejarah. Bagi Hegel akhir sejarah merupakan
pemerintahan liberal sedangkan menurut Karl Marx akhir sejarah merupakan
masyarakat komunis (Fukuyama, 1992a: 2).
Pengaruh lain dari Hegel terhadap pemikiran
Fukuyama adalah konsep mengenai hasrat untuk diakui sebagai penggerak dari
sejarah manusia. Sepanjang perjalanan sejarah manusia berjuang untuk memenuhi
hasrat untuk diakui. Fukuyama menggunakan pembedaan tiga bagian jiwa manusia yang
dikemukan oleh Plato dalam Republik. Tiga bagian jiwa manusia tersebut adalah
hasrat (nafsu), akal dan thymos atau
gairah. Hasrat akan mendorong manusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya
sementara akal akan menunjukkan jalan yang terbaik bagi manusia untuk
mencapainya. Sedangkan kecenderungan untuk merasakan penghargaan diri muncul
dari bagian jiwa yang thymos atau
gairah (Fukuyama, 1992b: 10). Hasrat terhadap penghargaan diri inilah yang
menurut Hegel mengendalikan seluruh proses sejarah. Menurut Hegel hasrat untuk
diakui sebagai manusia dengan derajat tertentu pada awal sejarah telah
mengendalikan manusia untuk melakukan peperangan berdarah sampai mati demi harga
diri. Akibat dari peperangan ini adalah pembagian masyarakat ke dalam kelas atas
dan kelas bawah atau terjadinya startifikasi sosial. Dalam perkembangannya kelas
bawah maupun atas merasa gagal untuk memuaskan hasrat untuk diakui. Bagi kelas bawah
mereka merasa tidak dihargai dalam berbagai bidang kehidupan. Sedangkan bagi
kelas atas mereka merasa pengakuan yang didapat tidak sempurna karena tidak
diakui oleh para kelas atas yang lain. Ketidakpuasan tersebut yang memunculkan
kontradiksi dan menimbulkan tahap-tahap sejarah yang lebih lanjut (Fukuyama,
1992b: 11). Kontradiksi tersebut yang mengakibatkan revolusi-revolusi seperti
revolusi Prancis dan revolusi Amerika. Revolusi-revolusi demokratis tersebut
menghapuskan perbedaan antara kelas atas dan bawah dengan menjadikan kelas
bawah sebagai tuan untuk dirinya sendiri dan dengan menetapkan prinsip-prinsip
kedaulatan dan aturan hukum bersama (Fukuyama, 1992b: 11). Dengan demikian
seperti yang diungkapan Hegel bahwa sejarah akan berakhir karena kerinduan akan
pengakuan yang mengendalikan seluruh proses sejarah sekarang telah terpenuhi
dalam suatu masyarakat yang dicirikan oleh pengakuan universal dan pengakuan
timbal balik (Fukuyama, 1992b: 12). Selain itu Fukuyama menyatakan bahwa
komunisme digantikan oleh demokrasi liberal karena kesadaran bahwa komunisme
tidak memberikan bentuk pengakuan yang sempurna. Menurut kedua tokoh tersebut
terdapat perkembangan yang koheren dari masyarakat suku yang sederhana yang berdasar
pada perbudakan dan kehidupan agrikultur, melalui berbagai theokrasi, monarki,
dan feodal aristokrasi, lalu naik melalui demokrasi liberal dan teknologi
modern yang disetir oleh kapitalisme. Proses evolusi ini bukan sesuatu yang
acak atau tidak masuk akal, dan bukan proses dalam satu garis lurus. (Fukuyama,
1992: 1-2). Sama seperti Hegel dan Karl Marx, Fukuyama melihat sejarah sebagai proses
evolusioner yang satu dan koheren. Hegel dan Karl Marx berpendapat bahwa proses
evolusioner akan berakhir ketika bangsa manusia telah mencapai suatu bentuk
masyarakat yang memuaskan keinginan terdalam dan fundamental. akhir dari
sejarah ini menurut Hegel adalah terciptanya negara liberal, sedangkan bagi
Karl Marx adalah terciptanya masyarakat komunis. Kata akhir dimaksudkan bahwa
tidak akan ada lagi kemajuan yang lebih lanjut dalam perkembangan prinsip dan
institusi yang mendasari karena semua masalah besar telah diatasi. Pandangan
Hegel dan juga Karl Marx tentang proses dialektis juga mempengaruhi pemikiran
Fukuyama. Hegel melihat bahwa motor sejarah manusia adalah perjuangan untuk
pengakuan (struggle for recognition).
Hal tersebut memungkinkan manusia untuk menyatakan
diskontiunitas-diskontinuitas yang nampak dalam sejarah misalnya perang. Hal
tersebut juga mendorong manusia untuk memandang perkembangan sejarah sebagai
kemunculan kontradiksi-kontradiksi yang mana dipecahkan kembali oleh struktur
sosial-politis yang lebih tinggi. Hegel menyebutnya sebagai proses dialektis.
Bagi Fukuyama jika sejarah mencapai suatu puncak di mana tidak ada lagi
kontradiksi-kotradiksi, kemudian sejarah berakhir. Dalam masyarakat demokrasi
liberal tidak adalah kontradiksi-kontradiksi karena sejarah telah berakhir dan
masyarakat hidup dalam keadaan universal dan homogen.
Menurut pandangan Hegel sejak awal
perang dan kematian untuk suatu gengsi yang didorong oleh suatu hasrat akan
pengakuan sebagai manusia yang bermartabat. Hasil pertempuran itu adalah
munculnya pembagian dalam masyarakat ke dalam kelas tuan, yaitu mereka yang mau
mempertaruhkan hidupnya dan kelas budak yaitu mereka yang menyerah pada
ketakutan akan kematian. Hubungan tuan-budak tersebut selalu tidak berimbang.
Budak-budak selalu tidak mendapatkan pengakuan dari para tuan; pada saat yang
sama, para tuan juga hanya menikmati sebagian pengakuan, karena di antara para
tuan ada sebagian yang tidak mendapatkan pengakuan dari sesama tuan lainnya.
Ketidakpuasan tersebut menciptakan sebuah kontradiksi yang kemudian melahirkan
tahap sejarah selanjutnya. Menurut Fukuyama, Hegel percaya bahwa kontradiksi
tersebut dapat diatasi oleh revolusi demokratis yang menghilangkan perbedaan
antara tuan dan budak melalui penyusunan prinsip kedaulatan rakyat dan
kekuasaan hukum di mana budak menjadi tuan. Kontradiksi itu diganti oleh saling
mengakui antara tuan dan budak yang bersifat universal dimana setiap warga
mengakui martabat dan kemanusiaan setiap warga lainnya dan martabat itu diakui
oleh negara melalui pemberian hak. Fukuyama menegaskan bahwa Hegel melihat hak
ini adalah puncak dari pencarian hasrat tersebut. Berkaitan dengan Amerika dan
Revolusi Perancis Fukuyama juga mencatat, Hegel menegaskan bahwa sejarah telah
sampai pada sebuah akhir karena kerinduan yang mendorong proses sejarah yaitu
perjuangan untuk diakui telah dipenuhi dalam masyarakat yang ditandai oleh
saling mengakui secara universal tadi. Tidak ada pengaturan lembaga masyarakat
yang dapat lebih baik untuk memenuhi kerinduan ini, dan olehnya tidak ada
perkembangan perubahan sejarah yang mungkin lagi.
Selain itu landasan dasar
dari pemikiran Fukuyama juga didasarkan kepada Immanuel Kant dan tokoh-tokoh
ilmu alam seperti Galilio dan Bacon. Immanuel Kant menyatakan bahwa sejarah
akan sampai pada titik akhir. Sedangkan yang dimaksud dengan titik akhir
tersebut adalah realisasi kebebasan manusia. Hipotesis tersebut juga ditegaskan
oleh Hegel yang menyatakan bahwa adanya titik akhir sejarah yang dituju yaitu
perkembangan kesadaran kemerdekaan. Menurut Hegel wujud kebebasan manusia
adalah negara konstitusional modern yang disebut dengan demokrasi liberal.
Sedangkan sejarah universal manusia adalah membuka perkembangan menuju
rasionalitas yang penuh dan untuk kesadaran diri terhadap rasionalitas yang
mengeksposisikan diri dalam pemerintahan yang rasional.
Menurut
Fukuyama demokrasi liberal merupakan pemenuhan dari kerinduan akan pengakuan diri
tersebut. Demokrasi liberal menggantikan hasrat irasional untuk diakui sebagai yang
lebih besar dibanding yang lain dengan hasrat rasional untuk diakui sederajat.
Sebuah dunia yang menegakkan demokrasi liberal seharusnya mengurangi dorongan
untuk berperang karena seluruh bangsa secara timbal balik akan mengakui
legitimasi yang dimiliki negara lain (Fukuyama, 1992b: 15). Kemudian Alexandre Kojeve (Robert D.Kaplan el, 2005) membangkitkan pemikiran Hegel
dalam Phenomenology of Mind, di mana
Hegel menyatakan bahwa sejarah akan berkahir pada 1806 saat terjadinya
perang Jena yang berakhir dengan ditaklukannya tentara Prusia (Jerman) oleh
tentara Napoleon (Prancis) yang mengaibatkan terpecahnya kerajaan-kerajaan
Jerman dan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci pada tanggal 6 Agustus 1806. Sejak
itu berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang berlangsung
hampir selama 850 tahun. Bagi Kojève prinsip-prinsip persamaan dan kebebasan
yang telah muncul dari Revolusi Prancis terwujud dalam negara universal
dan homogen (Fukuyama, 1992b: 127-128).
Negara demokrasi liberal telah memberikan jawaban terhadap permasalahan
pengakuan dengan menggantikan hubungan antara kelas atas dan bawah dengan
pengakuan yang universal dan sederajat. Pengakuan yang dicari manusia selama
perjalanan sejarah sebelumnya telah ditemukan dan terpuaskan sepenuhnya dalam
dunia modern yaitu dalam demokrasi liberal (Fukuyama, 1992b: 16-17). Fukuyama mempercayai
bahwa sejarah dunia dalam perputaranya pada tahun-tahun berikutnya membawa
semua corak sebelumnya. Sehingga perputaran sejarah dunia ini seperti pola
spiral naik yang semakin ke depan semakin mendekati sempurna.
Menurut Fukuyama keinginan akan pengakuan menjadi
penggerak (motor) di balik evolusi sosio-politik dalam sejarah manusia.
Kebebasan yang menurut Hegel merupakan tujuan akhir dari sejarah yang menurut
Fukuyama hal tersebut diperoleh dari hasrat untuk mendapat pengakuan. Pada
kenyataannya terdapat orang atau kelompok yang menginginkan pengakuan yang
lebih dari yang lain. Terdapat orang atau kelompok yang ingin menaklukan yang
lain. Menurut Fukuyama terdapat orang atau kelompok yang menginginkan pengakuan
yang lebih dari yang lain dengan memperjuangkan keinginannya untuk lebih dari
yang lain atau menguasai yang lain kecenderungan tersebut dapat menjadi problem
besar dalam kehidupan berpolitik. Keinginan untuk mendapat pengakuan yang lebih
dari yang lain tersebut yang disebut sebagai megalothymia. Hal tersebut dapat
diatasi dengan isothymia yaitu persamaan yang dimaksud dengan mengakui kesederajatan
semua manusia. Persamaan atau pengakuan akan kesederajatan semua manusia ini
terwujud dalam demokrasi. Sejarah menurut Fukuyama bergerak menuju ideologi
demokrasi liberal dimana sejarah berakhir ketika perinsip ekonomi, politik
mencapai sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi liberal persamaan
serta pengakuan akan kesederajatan semua pihak akan terwujud.
2.2 Inti Pemikiran
Fukuyama
Dalam hal ini pemikiran yang paling mendasar oleh
fukuyama adalah berakhirnya sejarah. Dalam pandangan Fukuyama kemenangan
kapilalisme dan liberalisme adalah akhir sejarah. Kesimpulan ini didapat karena
kemenangan ideologi ini pada perang dunia ke II dan perang dingin. Ini
menyebabkan fukuyama berkesimpulan bahwa idologi liberalisme adalah ideologi
terakhir di dunia ini. Pemikiran ini terus berkembang mana kala ideologi
liberalis dan kapitalisme terus berjalan dengan pesatnya. Ini ditunjukan dengan
runtuhnya tembok berlin sebagai tanda kemenangan ideologi leberalis. Serta
negara negara yang terus maju dengan adanya konsep liberalis.
Pada
awalnya ideologi liberalis dan sosialis menguasai dunia. Namun ketika Sosialis
kalah dengan ditandai untuhnya Uni Soviet maka Liberalis semakin menjadi
ideologi yang hampir dipakai di dunia. Perang ideologi yang dilakukan uni
soviet dalam perang dingin dimenangkan oleh Amerika sebagai pengusung ideologi
liberalis ini mengakibatkan fukuyama mengambil kesimpulan bahwa akhir sejarah
berakhir pada ideologi Liberalis dan diharapkan liberalis dapat
mensejahteraakan masyrakat.
“Bagi
Fukuyama, permasalahan ketidakadilan sosial merupakan implementasi yang tidak
lengkap dari prinsip kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) pada demokrasi liberal. Beberapa negara
mungkin sekarang gagal untuk mencapai demokrasi liberal yang mapan dan yang
lain mungkin jatuh misalnya dalam bentuk
peraturan primitif lain seperti theokrasi dan ditaktor militer (Fukuyama, 1992:
1).
Fukuyama menganggap bahwa liberalisme adalah akhir dari
sejarah. Namun adalah berhentinya paham ideologis yang saling bertentangan
dimana Liberalis menjadi ideologi terakhir dan
digunakan oleh semua orang. Karena ia menganggap bahwa dalam ideologi
liberalis terdapat unsur-unsur yang mensejahterakan masyrakat. Seperti
kebebasan dalam berbagai bidang, sehingga dengan adanya kebebasan ini
diharapkan masyarakat dapat lebih kreatif dalam hidupnya contoh liberalisasi
ekonomi dimana ekoni diatur oleh pasar. Serta unsur lain yang dianggap Fukuyama
baik dalam liberalisme adalah demokrasi sehingga negara dalam menentukan
nasibnya tidak ditentukan oleh satu orang dan rakyat bebas memilih mana yang
dianggap baik oleh mereka. Dalam bukunya Akhir sejarah’ yang dikemukakan
Fukuyama tidak berarti berhentinya perputaran alami dari kelahiran, hidup dan
kematian,atau berhentinya berita-berita
dalam surat kabar. ‘Akhir sejarah’ yang dimaksud Fukuyama ialah tidak akan
berlanjutnya perkembangan prinsip-prinsip pokok dan industrialisasi. (Fukuyama,
1992: 3).
Dalam
liberalisasi, globalisasi dan moderenisasi sangat didukung fukuyama menganggap
bahwa dengan adanya modernisasi dalam berbagai hal dapat menunjang kehidupan
khususnya dalam hal ekonomi. Sehingga liberalisasi menjadi pusat pemikiran dari
fukuyama sendiri tampa melihat dari ideologi lain. “Pengertian
sejarah Fukuyama dekat dengan pemikiran G.W.F Hegel dan Karl Marx. Hegel dalam
pengantar bukunya “The Philosophy of History” menyatakan bahwa buku tersebut
dimaksudkan untuk menyajikan suatu Sejarah Universal (Hegel, 2002: 1).
Pemikiran sejarah universal bagi fukuyama sendiri adalah Tiga bagian jiwa
manusia tersebut ialah : hasrat (nafsu), akal, dan thymos atau ‘gairah’. Hasrat
mendorong manusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya, sementara akal atau
perhitungan menunjukkan jalan yang terbaik bagi manusia untuk mencapainya.
Sedang, kecenderungan untuk merasakan penghargaan-diri muncul dari bagian jiwa
yang thymos. Ini sama dengan pemikiran hegel, manusia, sebagaimana binatang,
memiliki kebutuhan-kebutuhan alami seperti makanan, minuman, tempat berlindung.
Hal yang membedakan manusia dari binatang ialah, manusia memiliki hasrat untuk
“diakui” oleh orang lain, “diakui” sebagai seorang manusia dengan martabat dan
penghargaan tertentu. Fukuyama menganggap bahwa dengan semakin berkembangnya
liberalisasi khususnya dalam hal ekonomi membuat masyarakat menjadi semakin
berekembang dan akhirnya jika masyrakat sudah maju mereka akan tetap pada
ideologinya karena sudah pada zona nyaman.
Salah
satu pandangan Fukuyama liberalis menjadi ideologi terahir dan mapan karena
adanya demokrasi dalam Web lepank.com menyatakan larry diamond
“Demokrasi
mengacu pada sebuah sistem pemerintahan yang memnuhi 3 syarat esensial, yaitu:
adanya kompetisi yang berarti dan eksesif di antara individu-individu dan
kelompok-kelompok yang terorganisasikan (khusus partai politik) untuk
memperebutkan posisi-posisi efektif dalam pemerintahan yang dilakukan secara
dan tanpa paksaan atau tekanan.”
Sehingga dengan adanya demokrasi ini mendukung dalam
liberalisme karena masyrakat juga turut ikut campur dalam pemerintahan. Mereka
bebas untuk mengikuti pemelihan asalkan mereka berkompenten. Sehingga masyrakat
bisa membuat kebijakan yang pro dengan rakyat. Begitulah cita cita mulia yang
dimiliki oleh demokrasi. Namun demokrasi ini akan sukses jika pemimpin yang terpilih
dari proses demokrasi merupakan pemimpin yang baik. Dalam ebook yang berjudul
“kolom di Majalah Gatra,Politik yang mencari bentuk mengatakan,
Sistem
demokrasi, sebagai misal, hanya dapat bertahan lama jikasi pemimpin meyakininya
dan hidup dalam kulturnya. Para founding fathers kita sudah bicara mengenai
pentingnya spirit penyelenggara pemerintahan. Fukuyama juga berbicara tentang
pentingnya “dunia ide” yang diyakini pemimpin. Terlebih lagi dalam sistem yang
belum sepenuhnya terinstitusionalisasi seperti di dunia ketiga, peran pemimpin
cukup besar (Deny,2006:15)
Dalam konsep demokrasi juga adanya kebebasan untuk
menetukan kehidupannya kelak dianggap oleh fukuyama merupakan suatu cara dimana
manusia untuk mencapai suatu yang diinginkannya. Sehingga demokrasi juga
dianggap fukuyama sebagai penunjang ideologi Liberalis sebagai ideologi yang
baik dan menjadi akhir dari pertentangan dari berbagai ideologi yang ada di
dunia ini.
Intinya pemikiran filsafat sejarah hegel adalah Liberalis
adalah akhir dari sejarah. Ideologi liberalis dianggap sebagai ideologi
terakhir yang dipakai oleh msyarakat sebagai akhir dari sejarah. Pemikiran ini
muncul ketika ideologi Liberalis menang dalam dua perang besar yaitu perang
dunia ke II dan puncaknya perang dingin. Ideologi Liberalis juga dianggap
fukuyama mempunyai unsur unsur seperti
globalisasi,modernisasi,demokrasi,kapitalis dianggap cocok karena dapat mendukung
pergerakan sejarah manusia yang terus bergerak. Serta fukuyama juga meramalkan
bahwa di akhir sejarah tidak akan ada pertentetangan ideologi dan yang
menguasai ideologi adalah ideologi sosialis.
Dalam era sekarang ramalan dari Fukuyama dapat
dipertanyakan. Ini karena telah muncul ideologi yang kembali kuat seperti
Komunis dan fasisme jepang. Jika ideologi komunis perkembangannya diera
sekarang semakin pesat seperti Rusia yang menggoyah kestabilan Uni eropa dan
China yang semakin maju dalam perdagangan.karena dalam sejarahnya kedua
ideologis inilah yang bersaing dalam perebutan kekuasaan. Jika Fasisme jepang
yang juga semakin pesat dalam hal kapitalis ekonominya serta kekuatan
teknologinya. Bisa saja pada suatu nanti akan ada perang ideologi ideologi lain.dalam
fukuyama “lebih penting lagi adalah sumbangan Jepang kepada sejarah dunia
dengan mengikuti jejak amerika dalam menciptakan suatu budaya komsumtif yang
benar-benar universal dan telah menjadi lambang sekaligus sokoguru negara
homogen universal.(ma’aruf(ed),2003:46). Kedua ideologi ini sangat menjadi
ancaman bagi ideologi liberalis amerika.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keruntuhan Uni Soviet dan peristiwa jatuhnya tembok
Berlin merupakan tanda-tanda dari runtuhnya sosialisme sebagai sebuah ideologi.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya yang
berjudul The End of History and the Last
Man. Dalam pemikirannya Fukuyama berkeyakinan bahwa setelah atau pasca
Perang Dunia II maka tidak akan lagi pertentangan antar ideologi besar yang akan terjadi karena
telah terjadi kemenangan atas kapitalisme dan demokrasi liberal. Pemikiran yang
dikemukakan oleh Fukuyama mengenai akhir dari sejarah terinspirasi oleh pemikiran
Hegel dan juga Karl Marx. Menurut pemikiran Hegel akhir dari sejarah merupakan
terciptanya masyarakat yang demokrasi liberal. Sedangkan menurut Karl Marx
akhir dari sejarah merupakan terciptanya masyarakat yang komunis. Walaupun
karya Fukuyama tersebut dianggap sebagai suatu karya yang besar namun banyak
yang memberikan kritik terhadap paham yang dianut oleh Fukuyama dalam bukunya
tersebut. Hal tersebut dikarenakan banyak yang beranggapan bahwa Fukuyama
terlalu cepat dalam mengambil kesimpulan mengenai pemikirannya sehingga
menimbulkan pemahaman yang salah.
3.2 Saran
Sebagai mahasiswa sejarah yang belajar mengenai filsafat
sejarah kita tidak bisa langsung mempercayai atau setuju dengan
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para tokoh yang ada. Hal tersebut
karena pandangan dari para tokoh yang kita pelajari dapat bersifat subyektif
sehingga kita harus melihatnya dari banyak sudut pandang agar tidak sampai terjadi
pemahaman yang salah.
DAFTAR RUJUKAN
Huntington, Samuel P,
George W. Bush, Francis Fukuyama, et al. 2005. Amerika dan Dunia (Memperdebatkan Bentuk Baru Politik
Internasional). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Fukuyama, Francis.
1992. The End of History and The Last Man, Publ. Penguin.
Fukuyama,
Francis (penerj: Mohammad Husein amrullah), 1992, The End of History and The Last Man (judul
terjemahan: Kemenangan kapitalisme dan
demokrasi liberal), Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Hegel,
G.W.F (penerj: Cuk Ananta Wijaya ). 2002. The Philosophy of History (judul terjemahan: Filsafat
Sejarah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hegel,
G.W.F (penerj: Cuk Ananta Wijaya ), 2002. The
Philosophy of History (judul
terjemahan: Filsafat Sejarah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denny
J.A, 2006. Ebook Kolom di Majalah Gatra
(Politik yang Mencari Bentuk).Yogyakarta:
LKIS
Fukuyama.
F, ma’aruf(ed). 2003. Sejarah Telah
Berakhir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ismail,
Muhamad Takiyuddin. 2008. Francis
Fukuyama Dan Berakhirnya Sejarah Seorang
Neokonservatif. Jurnal e-Bangi, (Online), 3(1): 1-2, (http://www.e-bangi.com), diakses 2 januari
2014.
Husaini,
Adian. 1991. Demokrasi Sejarah, Makna dan
Respon Muslim. (Online), (http://www.insistnet.com),
diakses 2 januari 2014.
No comments:
Post a Comment