Songs

Tuesday, February 4, 2014

PEMIKIRAN FRANCIS FUKUYAMA MENGENAI AKHIR SEJARAH



Dyah Mei Astuti                     110731435519
Rizal Lutfi Ansori                   110731435534
Iksa Soka Pinpawati               110731435541
                        Jeffri Dwi Kurniawan             110731435556                       
M. Zaki Firdaus                      100371405546
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran tentang suatu masalah serta penyusunan secara sengaja dan sistematis tentang suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. Filsafat berupa perenungan yang meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”, mencari jawaban yang lebih baik dibandingkan jawaban yang tersedia pada pandangan pertama. Berfilsafat bukan sekedar aktifitas mengisi waktu senggang, namun sebaliknya menjanjikan manfaat yang cukup manusiawi. Misi yang diangankan oleh orang yang berfilsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin. Mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematis. Lewat berfilsafat kita akan dibawa pada pemahaman, dan pemahaman akan membawa pada kita kepada tindakan yang lebih layak. Melalui tesis bukunya, “The End of History and The Last Man”, Fukuyama (1999) hendak mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme tanpa ada kompetitornya.       Dengan logika Fukuyama determinisme historis Fukuyama yang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional, keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Inilah yang kemudian mengantarkan Fukuyama pada kesimpulan akhir sejarah. Atas dasar motivasi untuk mengenal pemikiran Fukuyama secara lebih dekat, penulis tertarik untuk melacak perjalanan intelektualnya. Agar kajian ini terarah, penulis memfokuskan uraian pada hal-hal seputar riwayat hidupnya, produktifitas keilmuanya, garis besar keilmuanya, garis besar pemikiranya, terutama rasionalisme (dialektika) dan relevansi pemikirannya. Konsistensinya dalam melakukan telaah pemikiran atas ‘idea’ menjadi sebuah kondisi yang menarik untuk dikaji serta menjadi sebuah tambahan ilmu bagi diri pribadi. Dialektika Fukuyama menjadi sebuah pisau analisis dalam menelaah sejarah secara lebih mendalam serta ilmu pengetahuan secara global. Dialektikanya seolah suatu metode yang mampu memecahkan problem realitas kehidupan. Sehubungan dengan latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui dari mana dasar pemikiran yang diperoleh oleh Fukuyama dan sebenarnya bagaimana inti dari pemikiran Fukuyama tersebut. Hal tersebut yang mendorong penulis untuk menulis makalah yang berjudul PEMIKIRAN FRANCIS FUKUYAMA MENGENAI AKHIR SEJARAH. 
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      1.Bagaimana Landasan Dasar Pemikiran Fukuyama?
2.      2. Bagaimana Inti Pemikiran dari Fukuyama?
C. Tujuan
            Berdasarkan rumusan permasalahan diatas dapat ditentukan tujuan penulisan makalah tentang “Pemikiran Francis Fukuyama Mengenai Akhir Sejarah” yaitu:
1.    1.   Untuk mengetahui Landasan Dasar Pemikiran Fukuyama.
2.      2. Untuk mengetahui Inti Pemikiran dari Fukuyama.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Dasar Pemikiran Fukuyama
            Yoshihiro Francis Fukuyama lahir pada tanggal 27 Oktober tahun 1952 di Chicago, Illionis Amerika Serikat. Francis Fukuyama dilahirkan di keluarga keturunan Jepang. Ayah dari Fukuyama merupakan generasi kedua Jepang Amerika yang bekerja sebagai seorang sosiolog sedangkan Ibunya merupakan seorang Jepang asli dan masih keturunan bangsawan. Fukuyama merupakan seorang ilmuan politik, ekonomi politik dan penulis di Amerika. Dia memperoleh gelar di bidang ilmu pengetahuan politis dari Harvard University. Selain itu Francis Fukuyama juga pernah menjabat sebagai Senior Fellow at the Center on Democracy, Development and the Rule of Law at Stanford. Sebelum itu Fukuyama juga pernah menjabat sebagai profesor dan direktur di The International Development program at the School of Advanced International Studies of the Johns Hopkins University. Francis Fukuyama membuat sebuah karya yang sangat terkenal yaitu tulisannya yang berjudul The End of History And The Last Man mengenai akhir sejarah (end of history). buku tersebut didasarkan pada artikelnya yang berjudul The End Of History yang ditulis untuk jurnal The National Interest pada musim panas 1989. Dalam tulisannya tersebut Fukuyama menggambarkan kondisi titik akhir evolusi ideologi umat manusia dan bentuk akhir pemerintahan manusia adalah kapitalisme sebagai sistem ekonomi dunia dan demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan dunia. Selain itu demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah tersebar ke seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir dan menggeser ideologi-ideologi lain seperti monarki, fasisme dan komunisme. Selain itu Fukuyama juga berpendapat bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir evolusi ideologi umat manusia dan bentuk akhir pemerintahan maka dari itulah disebut sebagai akhir dari sejarah.
            Dalam bukunya yang berjudul The End of History and The Last Man tahun 1999 Fukuyama ingin menyampaikan bahwa pasca perang dingin maka tidak akan ada lagi pertentangan diantara ideologi besar. Hal tersebut dikarenakan menurut Fukuyama sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun Fukuyama menyadari bahwa evolusi sejarah tetap berlangsung namun menurut anggapan Fukuyama demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia. Peristiwa runtuhnya Uni Soviet dan juga ambruknya tembok Berlin merupakan tanda dari kalahnya sosialisme yang digantikan dengan kemenangan kapitalisme. Namun Fukuyama juga mengungkapkan bahwa telah terjadi kegelisahan dan pesimisme dikalangan masyarakat dunia mengenai kemajuan sejarah yang berakhir dengan berjayanya demokrasi liberal.
            Sedangkan kegelisahan dan pesimisme dikalangan masyarakat dunia mengenai kemajuan sejarah yang berakhir dengan berjayanya demokrasi liberal terjadi karena peristiwa-peristiwa politik pada pertengahan pertama abad ke-20. Pertama mengenai krisis politik pada abad ke-20 dan yang kedua adalah krisis intelektual dari rasionalisme Barat. Selain itu munculnya ideologi totalitarian dan pembalikan dari fungsi ilmu pengetahuan yang mengancam manusia dalam bentuk senjata nuklir dan kerusakan lingkungan. Pengalaman hidup sebagai korban dari kekerasan politik dari Hitlerisme dan Stalinisme hingga korban PolPot dapat menyangkal bahwa ada kemajuan historis (Fukuyama, 1992a: 2). Pada abad sebelumnya mayoritas negara-negara di Eropa berpikir bahwa kemajuan sejarah yang dimaksud yaitu dengan menuju demokrasi liberal. Namun kenyatannya pada abad ke-20 banyak terjadi beragam peristiwa traumatik dari adanya Perang Dunia II yang membuat krisis kepercayaan bagi mayoritas orang Eropa pada saat itu. Sedangkan pada masa kini, demokrasi liberal mendapatkan pertentangan dari fasisme dan komunisme yang masing-masing mengusulkan mengenai visi yang sangat berbeda mengenai masyarakat yang baik.
            Pada seperempat terakhir abad ke-20 terjadi kekalahan besar dari kepemimpinan diktator yang kuat dari otoritas-militer kanan maupun komunis-totalitarian kiri. Otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan mulai runtuh satu-persatu yang menjadi salah satu bukti dari lemahnya legitimasi ideologi yang dianutnya. Jatuhnya serangkaian pemerintahan otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan inilah yang dianggap oleh Fukuyama sebagai krisis otoritarianisme. Pihak totalitarianisme yang berkembang setelah Perang Dunia II di Uni Soviet dengan komunismenya harus runtuh karena bersaing dengan Amerika yang Kapitalis dan Jerman dengan Nazinya akhirnya juga tidak bisa bertahan. Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan tuntuhnya tembok Berlin maka pertarungan ideologi besar tidak terjadi lagi. Karena kelemahan negara-negara kuat penganut komunisme kiri dan otoritarianisme kanan tersebut maka banyak negara-negara yang pada awalnya menerapkan sistem tersebut mulai beralih ke demokrasi liberal. Liberalisme dan demokrasi mempunyai konsep yang berbeda meskipun diantara keduanya terdapat kaitan yang erat. Liberalisme politik merupakan suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu individu atau kebebasan dari kontrol pemerintah. Sedangkan demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Lord Bryce bahwa setidaknya terdapat tiga elemen mendasar dalam demokrasi yaitu hak-hak sipil, hak-hak beragam dan hak-hak politik. Demokrasi liberal menjadi pilihan aspirasi politik yang koheren yang menyebar ke berbagai daerah dan kebudayaan di seluruh dunia (Fukuyama, 1992a: 2). Selain itu sebagai respon dari ketidakpuasan  sistem tersebut maka negara-negara tersebut juga mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Prinsip liberal dalam ekonomi yaitu pasar bebas telah tersebar dan sukses memproduksi kebutuhan material dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya (Fukuyama, 1992a: 3). Hal tersebut dapat terlihat seperti perkembangan ekonomi yang terjadi di Asia Timur pasca Perang Dunia II yang tidak hanya terjadi pada negara maju seperti Jepang namun revolusi tersebut juga terjadi di semua negara Asia yang mengadopsi prinsip pasar bebas.
   Pemahaman dalam memandang proses sejarah, Fukuyama mendapatkan pengaruh dari pemikiran G.W.F Hegel dan Karl Marx sebelumnya yang sudah terlebih dahulu mengungkapkan mengenai akhir sejarah (end of history) yang akhirnya membuat Fukuyama mendapatkan inspirasi untuk tulisan atau pandangannya dari kedua tokoh tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hegel dan Karl Marx turut memberikan kontribusi terhadap pemikiran Fukuyama atau dapat dikatakan juga bahwa pandangan Fukuyama merupakan aktualisasi kembali dari pemikiran-pemikiran Hegel dan Karl Marx. Hegel dalam pengantar bukunya The Philosophy of History menyatakan bahwa buku tersebut dimaksudkan untuk menyajikan suatu Sejarah Universal yang mengarah pada suatu tujuan (Hegel, 2002: hal 1). Sejarah universal yang dimaksudkan tesebut mengarah pada suatu tujuan. Namun Hegel membantah bahwa sejarah bergerak tanpa batas melainkan selalu akan menuju pada suatu akhir yaitu suatu prestasi masyarakat yang bebas di dalam dunia yang nyata. Sejalan dengan Hegel, Karl Marx juga mempercayai bahwa negara liberal telah berhasil memutuskan suatu kontradiksi yang fundamental yang merupakan konflik antar kelas yaitu perjuagan kelas borjuis dan proletar. Namun bagi Karl Marx negara liberal tersebut tidak merepresentasikan universalisasi kebebasan namun hanya kemenangan kebebasan suatu kelas tertentu yaitu borjuis. Selain itu Karl Marx juga menyatakan bahwa tahap sejarah manusia akan sampai pada suatu puncak ketika terwujud suatu masyarakat Komunis. Karl Marx dan Hegel mempercayai bahwa evolusi masyarakat akan berakhir bila manusia telah mencapai sebuah bentuk masyarakat yang sempurna yang terdalam dan memiliki kerinduan yang fundamental. Mereka menyebutkan mengenai sebuah akhir sejarah. Bagi Hegel akhir sejarah merupakan pemerintahan liberal sedangkan menurut Karl Marx akhir sejarah merupakan masyarakat komunis (Fukuyama, 1992a: 2).
   Pengaruh lain dari Hegel terhadap pemikiran Fukuyama adalah konsep mengenai hasrat untuk diakui sebagai penggerak dari sejarah manusia. Sepanjang perjalanan sejarah manusia berjuang untuk memenuhi hasrat untuk diakui. Fukuyama menggunakan pembedaan tiga bagian jiwa manusia yang dikemukan oleh Plato dalam Republik. Tiga bagian jiwa manusia tersebut adalah hasrat (nafsu), akal dan thymos atau gairah. Hasrat akan mendorong manusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya sementara akal akan menunjukkan jalan yang terbaik bagi manusia untuk mencapainya. Sedangkan kecenderungan untuk merasakan penghargaan diri muncul dari bagian jiwa yang thymos atau gairah (Fukuyama, 1992b: 10). Hasrat terhadap penghargaan diri inilah yang menurut Hegel mengendalikan seluruh proses sejarah. Menurut Hegel hasrat untuk diakui sebagai manusia dengan derajat tertentu pada awal sejarah telah mengendalikan manusia untuk melakukan peperangan berdarah sampai mati demi harga diri. Akibat dari peperangan ini adalah pembagian masyarakat ke dalam kelas atas dan kelas bawah atau terjadinya startifikasi sosial. Dalam perkembangannya kelas bawah maupun atas merasa gagal untuk memuaskan hasrat untuk diakui. Bagi kelas bawah mereka merasa tidak dihargai dalam berbagai bidang kehidupan. Sedangkan bagi kelas atas mereka merasa pengakuan yang didapat tidak sempurna karena tidak diakui oleh para kelas atas yang lain. Ketidakpuasan tersebut yang memunculkan kontradiksi dan menimbulkan tahap-tahap sejarah yang lebih lanjut (Fukuyama, 1992b: 11). Kontradiksi tersebut yang mengakibatkan revolusi-revolusi seperti revolusi Prancis dan revolusi Amerika. Revolusi-revolusi demokratis tersebut menghapuskan perbedaan antara kelas atas dan bawah dengan menjadikan kelas bawah sebagai tuan untuk dirinya sendiri dan dengan menetapkan prinsip-prinsip kedaulatan dan aturan hukum bersama (Fukuyama, 1992b: 11). Dengan demikian seperti yang diungkapan Hegel bahwa sejarah akan berakhir karena kerinduan akan pengakuan yang mengendalikan seluruh proses sejarah sekarang telah terpenuhi dalam suatu masyarakat yang dicirikan oleh pengakuan universal dan pengakuan timbal balik (Fukuyama, 1992b: 12). Selain itu Fukuyama menyatakan bahwa komunisme digantikan oleh demokrasi liberal karena kesadaran bahwa komunisme tidak memberikan bentuk pengakuan yang sempurna. Menurut kedua tokoh tersebut terdapat perkembangan yang koheren dari masyarakat suku yang sederhana yang berdasar pada perbudakan dan kehidupan agrikultur, melalui berbagai theokrasi, monarki, dan feodal aristokrasi, lalu naik melalui demokrasi liberal dan teknologi modern yang disetir oleh kapitalisme. Proses evolusi ini bukan sesuatu yang acak atau tidak masuk akal, dan bukan proses dalam satu garis lurus. (Fukuyama, 1992: 1-2).                        Sama seperti Hegel dan Karl Marx, Fukuyama melihat sejarah sebagai proses evolusioner yang satu dan koheren. Hegel dan Karl Marx berpendapat bahwa proses evolusioner akan berakhir ketika bangsa manusia telah mencapai suatu bentuk masyarakat yang memuaskan keinginan terdalam dan fundamental. akhir dari sejarah ini menurut Hegel adalah terciptanya negara liberal, sedangkan bagi Karl Marx adalah terciptanya masyarakat komunis. Kata akhir dimaksudkan bahwa tidak akan ada lagi kemajuan yang lebih lanjut dalam perkembangan prinsip dan institusi yang mendasari karena semua masalah besar telah diatasi. Pandangan Hegel dan juga Karl Marx tentang proses dialektis juga mempengaruhi pemikiran Fukuyama. Hegel melihat bahwa motor sejarah manusia adalah perjuangan untuk pengakuan (struggle for recognition). Hal tersebut memungkinkan manusia untuk menyatakan diskontiunitas-diskontinuitas yang nampak dalam sejarah misalnya perang. Hal tersebut juga mendorong manusia untuk memandang perkembangan sejarah sebagai kemunculan kontradiksi-kontradiksi yang mana dipecahkan kembali oleh struktur sosial-politis yang lebih tinggi. Hegel menyebutnya sebagai proses dialektis. Bagi Fukuyama jika sejarah mencapai suatu puncak di mana tidak ada lagi kontradiksi-kotradiksi, kemudian sejarah berakhir. Dalam masyarakat demokrasi liberal tidak adalah kontradiksi-kontradiksi karena sejarah telah berakhir dan masyarakat hidup dalam keadaan universal dan homogen.
Menurut pandangan Hegel sejak awal perang dan kematian untuk suatu gengsi yang didorong oleh suatu hasrat akan pengakuan sebagai manusia yang bermartabat. Hasil pertempuran itu adalah munculnya pembagian dalam masyarakat ke dalam kelas tuan, yaitu mereka yang mau mempertaruhkan hidupnya dan kelas budak yaitu mereka yang menyerah pada ketakutan akan kematian. Hubungan tuan-budak tersebut selalu tidak berimbang. Budak-budak selalu tidak mendapatkan pengakuan dari para tuan; pada saat yang sama, para tuan juga hanya menikmati sebagian pengakuan, karena di antara para tuan ada sebagian yang tidak mendapatkan pengakuan dari sesama tuan lainnya. Ketidakpuasan tersebut menciptakan sebuah kontradiksi yang kemudian melahirkan tahap sejarah selanjutnya. Menurut Fukuyama, Hegel percaya bahwa kontradiksi tersebut dapat diatasi oleh revolusi demokratis yang menghilangkan perbedaan antara tuan dan budak melalui penyusunan prinsip kedaulatan rakyat dan kekuasaan hukum di mana budak menjadi tuan. Kontradiksi itu diganti oleh saling mengakui antara tuan dan budak yang bersifat universal dimana setiap warga mengakui martabat dan kemanusiaan setiap warga lainnya dan martabat itu diakui oleh negara melalui pemberian hak. Fukuyama menegaskan bahwa Hegel melihat hak ini adalah puncak dari pencarian hasrat tersebut. Berkaitan dengan Amerika dan Revolusi Perancis Fukuyama juga mencatat, Hegel menegaskan bahwa sejarah telah sampai pada sebuah akhir karena kerinduan yang mendorong proses sejarah yaitu perjuangan untuk diakui telah dipenuhi dalam masyarakat yang ditandai oleh saling mengakui secara universal tadi. Tidak ada pengaturan lembaga masyarakat yang dapat lebih baik untuk memenuhi kerinduan ini, dan olehnya tidak ada perkembangan perubahan sejarah yang mungkin lagi.
            Selain itu landasan dasar dari pemikiran Fukuyama juga didasarkan kepada Immanuel Kant dan tokoh-tokoh ilmu alam seperti Galilio dan Bacon. Immanuel Kant menyatakan bahwa sejarah akan sampai pada titik akhir. Sedangkan yang dimaksud dengan titik akhir tersebut adalah realisasi kebebasan manusia. Hipotesis tersebut juga ditegaskan oleh Hegel yang menyatakan bahwa adanya titik akhir sejarah yang dituju yaitu perkembangan kesadaran kemerdekaan. Menurut Hegel wujud kebebasan manusia adalah negara konstitusional modern yang disebut dengan demokrasi liberal. Sedangkan sejarah universal manusia adalah membuka perkembangan menuju rasionalitas yang penuh dan untuk kesadaran diri terhadap rasionalitas yang mengeksposisikan diri dalam pemerintahan yang rasional.
            Menurut Fukuyama demokrasi liberal merupakan pemenuhan dari kerinduan akan pengakuan diri tersebut. Demokrasi liberal menggantikan hasrat irasional untuk diakui sebagai yang lebih besar dibanding yang lain dengan hasrat rasional untuk diakui sederajat. Sebuah dunia yang menegakkan demokrasi liberal seharusnya mengurangi dorongan untuk berperang karena seluruh bangsa secara timbal balik akan mengakui legitimasi yang dimiliki negara lain (Fukuyama, 1992b: 15). Kemudian Alexandre Kojeve (Robert D.Kaplan el, 2005) membangkitkan pemikiran Hegel dalam Phenomenology of Mind, di mana Hegel menyatakan bahwa sejarah akan berkahir pada 1806 saat terjadinya perang Jena yang berakhir dengan ditaklukannya tentara Prusia (Jerman) oleh tentara Napoleon (Prancis) yang mengaibatkan terpecahnya kerajaan-kerajaan Jerman dan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci pada tanggal 6 Agustus 1806. Sejak itu berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang berlangsung hampir selama 850 tahun. Bagi Kojève prinsip-prinsip persamaan dan kebebasan yang telah muncul dari Revolusi Prancis terwujud dalam negara universal dan  homogen (Fukuyama, 1992b: 127-128). Negara demokrasi liberal telah memberikan jawaban terhadap permasalahan pengakuan dengan menggantikan hubungan antara kelas atas dan bawah dengan pengakuan yang universal dan sederajat. Pengakuan yang dicari manusia selama perjalanan sejarah sebelumnya telah ditemukan dan terpuaskan sepenuhnya dalam dunia modern yaitu dalam demokrasi liberal (Fukuyama, 1992b: 16-17). Fukuyama mempercayai bahwa sejarah dunia dalam perputaranya pada tahun-tahun berikutnya membawa semua corak sebelumnya. Sehingga perputaran sejarah dunia ini seperti pola spiral naik yang semakin ke depan semakin mendekati sempurna.
            Menurut Fukuyama keinginan akan pengakuan menjadi penggerak (motor) di balik evolusi sosio-politik dalam sejarah manusia. Kebebasan yang menurut Hegel merupakan tujuan akhir dari sejarah yang menurut Fukuyama hal tersebut diperoleh dari hasrat untuk mendapat pengakuan. Pada kenyataannya terdapat orang atau kelompok yang menginginkan pengakuan yang lebih dari yang lain. Terdapat orang atau kelompok yang ingin menaklukan yang lain. Menurut Fukuyama terdapat orang atau kelompok yang menginginkan pengakuan yang lebih dari yang lain dengan memperjuangkan keinginannya untuk lebih dari yang lain atau menguasai yang lain kecenderungan tersebut dapat menjadi problem besar dalam kehidupan berpolitik. Keinginan untuk mendapat pengakuan yang lebih dari yang lain tersebut yang disebut sebagai megalothymia. Hal tersebut dapat diatasi dengan isothymia yaitu persamaan yang dimaksud dengan mengakui kesederajatan semua manusia. Persamaan atau pengakuan akan kesederajatan semua manusia ini terwujud dalam demokrasi. Sejarah menurut Fukuyama bergerak menuju ideologi demokrasi liberal dimana sejarah berakhir ketika perinsip ekonomi, politik mencapai sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi liberal persamaan serta pengakuan akan kesederajatan semua pihak akan terwujud.





2.2 Inti Pemikiran Fukuyama
            Dalam hal ini pemikiran yang paling mendasar oleh fukuyama adalah berakhirnya sejarah. Dalam pandangan Fukuyama kemenangan kapilalisme dan liberalisme adalah akhir sejarah. Kesimpulan ini didapat karena kemenangan ideologi ini pada perang dunia ke II dan perang dingin. Ini menyebabkan fukuyama berkesimpulan bahwa idologi liberalisme adalah ideologi terakhir di dunia ini. Pemikiran ini terus berkembang mana kala ideologi liberalis dan kapitalisme terus berjalan dengan pesatnya. Ini ditunjukan dengan runtuhnya tembok berlin sebagai tanda kemenangan ideologi leberalis. Serta negara negara yang terus maju dengan adanya konsep liberalis.
Pada awalnya ideologi liberalis dan sosialis menguasai dunia. Namun ketika Sosialis kalah dengan ditandai untuhnya Uni Soviet maka Liberalis semakin menjadi ideologi yang hampir dipakai di dunia. Perang ideologi yang dilakukan uni soviet dalam perang dingin dimenangkan oleh Amerika sebagai pengusung ideologi liberalis ini mengakibatkan fukuyama mengambil kesimpulan bahwa akhir sejarah berakhir pada ideologi Liberalis dan diharapkan liberalis dapat mensejahteraakan masyrakat.
Bagi Fukuyama, permasalahan ketidakadilan sosial merupakan implementasi yang tidak lengkap dari prinsip kebebasan (liberty) dan persamaan (equality)  pada demokrasi liberal. Beberapa negara mungkin sekarang gagal untuk mencapai demokrasi liberal yang mapan dan yang lain mungkin jatuh misalnya dalam  bentuk peraturan primitif lain seperti theokrasi dan ditaktor militer (Fukuyama, 1992: 1).
            Fukuyama menganggap bahwa liberalisme adalah akhir dari sejarah. Namun adalah berhentinya paham ideologis yang saling bertentangan dimana Liberalis menjadi ideologi terakhir dan  digunakan oleh semua orang. Karena ia menganggap bahwa dalam ideologi liberalis terdapat unsur-unsur yang mensejahterakan masyrakat. Seperti kebebasan dalam berbagai bidang, sehingga dengan adanya kebebasan ini diharapkan masyarakat dapat lebih kreatif dalam hidupnya contoh liberalisasi ekonomi dimana ekoni diatur oleh pasar. Serta unsur lain yang dianggap Fukuyama baik dalam liberalisme adalah demokrasi sehingga negara dalam menentukan nasibnya tidak ditentukan oleh satu orang dan rakyat bebas memilih mana yang dianggap baik oleh mereka. Dalam bukunya Akhir sejarah’ yang dikemukakan Fukuyama tidak berarti berhentinya perputaran alami dari kelahiran, hidup dan kematian,atau berhentinya  berita-berita dalam surat kabar. ‘Akhir sejarah’ yang dimaksud Fukuyama ialah tidak akan berlanjutnya perkembangan prinsip-prinsip pokok dan industrialisasi. (Fukuyama, 1992: 3).
Dalam liberalisasi, globalisasi dan moderenisasi sangat didukung fukuyama menganggap bahwa dengan adanya modernisasi dalam berbagai hal dapat menunjang kehidupan khususnya dalam hal ekonomi. Sehingga liberalisasi menjadi pusat pemikiran dari fukuyama sendiri tampa melihat dari ideologi lain.Pengertian sejarah Fukuyama dekat dengan pemikiran G.W.F Hegel dan Karl Marx. Hegel dalam pengantar bukunya “The Philosophy of History” menyatakan bahwa buku tersebut dimaksudkan untuk menyajikan suatu Sejarah Universal (Hegel, 2002: 1). Pemikiran sejarah universal bagi fukuyama sendiri adalah Tiga bagian jiwa manusia tersebut ialah : hasrat (nafsu), akal, dan thymos atau ‘gairah’. Hasrat mendorong manusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya, sementara akal atau perhitungan menunjukkan jalan yang terbaik bagi manusia untuk mencapainya. Sedang, kecenderungan untuk merasakan penghargaan-diri muncul dari bagian jiwa yang thymos. Ini sama dengan pemikiran hegel, manusia, sebagaimana binatang, memiliki kebutuhan-kebutuhan alami seperti makanan, minuman, tempat berlindung. Hal yang membedakan manusia dari binatang ialah, manusia memiliki hasrat untuk “diakui” oleh orang lain, “diakui” sebagai seorang manusia dengan martabat dan penghargaan tertentu. Fukuyama menganggap bahwa dengan semakin berkembangnya liberalisasi khususnya dalam hal ekonomi membuat masyarakat menjadi semakin berekembang dan akhirnya jika masyrakat sudah maju mereka akan tetap pada ideologinya karena sudah pada zona nyaman.
Salah satu pandangan Fukuyama liberalis menjadi ideologi terahir dan mapan karena adanya demokrasi dalam Web lepank.com menyatakan larry diamond

“Demokrasi mengacu pada sebuah sistem pemerintahan yang memnuhi 3 syarat esensial, yaitu: adanya kompetisi yang berarti dan eksesif di antara individu-individu dan kelompok-kelompok yang terorganisasikan (khusus partai politik) untuk memperebutkan posisi-posisi efektif dalam pemerintahan yang dilakukan secara dan tanpa paksaan atau tekanan.”
            Sehingga dengan adanya demokrasi ini mendukung dalam liberalisme karena masyrakat juga turut ikut campur dalam pemerintahan. Mereka bebas untuk mengikuti pemelihan asalkan mereka berkompenten. Sehingga masyrakat bisa membuat kebijakan yang pro dengan rakyat. Begitulah cita cita mulia yang dimiliki oleh demokrasi. Namun demokrasi ini akan sukses jika pemimpin yang terpilih dari proses demokrasi merupakan pemimpin yang baik. Dalam ebook yang berjudul “kolom di Majalah Gatra,Politik yang mencari bentuk mengatakan,
Sistem demokrasi, sebagai misal, hanya dapat bertahan lama jikasi pemimpin meyakininya dan hidup dalam kulturnya. Para founding fathers kita sudah bicara mengenai pentingnya spirit penyelenggara pemerintahan. Fukuyama juga berbicara tentang pentingnya “dunia ide” yang diyakini pemimpin. Terlebih lagi dalam sistem yang belum sepenuhnya terinstitusionalisasi seperti di dunia ketiga, peran pemimpin cukup besar (Deny,2006:15)
            Dalam konsep demokrasi juga adanya kebebasan untuk menetukan kehidupannya kelak dianggap oleh fukuyama merupakan suatu cara dimana manusia untuk mencapai suatu yang diinginkannya. Sehingga demokrasi juga dianggap fukuyama sebagai penunjang ideologi Liberalis sebagai ideologi yang baik dan menjadi akhir dari pertentangan dari berbagai ideologi yang ada di dunia ini.
            Intinya pemikiran filsafat sejarah hegel adalah Liberalis adalah akhir dari sejarah. Ideologi liberalis dianggap sebagai ideologi terakhir yang dipakai oleh msyarakat sebagai akhir dari sejarah. Pemikiran ini muncul ketika ideologi Liberalis menang dalam dua perang besar yaitu perang dunia ke II dan puncaknya perang dingin. Ideologi Liberalis juga dianggap fukuyama mempunyai unsur unsur seperti globalisasi,modernisasi,demokrasi,kapitalis dianggap cocok karena dapat mendukung pergerakan sejarah manusia yang terus bergerak. Serta fukuyama juga meramalkan bahwa di akhir sejarah tidak akan ada pertentetangan ideologi dan yang menguasai ideologi adalah ideologi sosialis.
            Dalam era sekarang ramalan dari Fukuyama dapat dipertanyakan. Ini karena telah muncul ideologi yang kembali kuat seperti Komunis dan fasisme jepang. Jika ideologi komunis perkembangannya diera sekarang semakin pesat seperti Rusia yang menggoyah kestabilan Uni eropa dan China yang semakin maju dalam perdagangan.karena dalam sejarahnya kedua ideologis inilah yang bersaing dalam perebutan kekuasaan. Jika Fasisme jepang yang juga semakin pesat dalam hal kapitalis ekonominya serta kekuatan teknologinya. Bisa saja pada suatu nanti akan ada perang ideologi ideologi lain.dalam fukuyama “lebih penting lagi adalah sumbangan Jepang kepada sejarah dunia dengan mengikuti jejak amerika dalam menciptakan suatu budaya komsumtif yang benar-benar universal dan telah menjadi lambang sekaligus sokoguru negara homogen universal.(ma’aruf(ed),2003:46). Kedua ideologi ini sangat menjadi ancaman bagi ideologi liberalis amerika.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Keruntuhan Uni Soviet dan peristiwa jatuhnya tembok Berlin merupakan tanda-tanda dari runtuhnya sosialisme sebagai sebuah ideologi. Pandangan tersebut disampaikan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul The End of History and the Last Man. Dalam pemikirannya Fukuyama berkeyakinan bahwa setelah atau pasca Perang Dunia II maka tidak akan lagi pertentangan  antar ideologi besar yang akan terjadi karena telah terjadi kemenangan atas kapitalisme dan demokrasi liberal. Pemikiran yang dikemukakan oleh Fukuyama mengenai akhir dari sejarah terinspirasi oleh pemikiran Hegel dan juga Karl Marx. Menurut pemikiran Hegel akhir dari sejarah merupakan terciptanya masyarakat yang demokrasi liberal. Sedangkan menurut Karl Marx akhir dari sejarah merupakan terciptanya masyarakat yang komunis. Walaupun karya Fukuyama tersebut dianggap sebagai suatu karya yang besar namun banyak yang memberikan kritik terhadap paham yang dianut oleh Fukuyama dalam bukunya tersebut. Hal tersebut dikarenakan banyak yang beranggapan bahwa Fukuyama terlalu cepat dalam mengambil kesimpulan mengenai pemikirannya sehingga menimbulkan pemahaman yang salah.
3.2 Saran
            Sebagai mahasiswa sejarah yang belajar mengenai filsafat sejarah kita tidak bisa langsung mempercayai atau setuju dengan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para tokoh yang ada. Hal tersebut karena pandangan dari para tokoh yang kita pelajari dapat bersifat subyektif sehingga kita harus melihatnya dari banyak sudut pandang agar tidak sampai terjadi pemahaman yang salah.
 
DAFTAR RUJUKAN

Huntington, Samuel P, George W. Bush, Francis Fukuyama, et al. 2005. Amerika dan Dunia (Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional). Jakarta:         Yayasan Obor Indonesia.
Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and The Last Man,  Publ. Penguin.
Fukuyama, Francis (penerj: Mohammad Husein amrullah), 1992, The End of           History and The Last Man (judul terjemahan: Kemenangan kapitalisme    dan demokrasi liberal), Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Hegel, G.W.F (penerj: Cuk Ananta Wijaya ). 2002. The Philosophy of History        (judul terjemahan: Filsafat Sejarah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hegel, G.W.F (penerj: Cuk Ananta Wijaya ), 2002. The Philosophy of History        (judul terjemahan: Filsafat Sejarah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denny J.A, 2006. Ebook Kolom di Majalah Gatra (Politik yang Mencari     Bentuk).Yogyakarta: LKIS
Fukuyama. F, ma’aruf(ed). 2003. Sejarah Telah Berakhir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ismail, Muhamad Takiyuddin. 2008. Francis Fukuyama Dan Berakhirnya Sejarah Seorang Neokonservatif. Jurnal e-Bangi, (Online), 3(1): 1-2,     (http://www.e-bangi.com), diakses 2 januari 2014.
Husaini, Adian. 1991. Demokrasi Sejarah, Makna dan Respon Muslim. (Online),   (http://www.insistnet.com), diakses 2 januari 2014.


 

No comments:

Post a Comment