Harwin Galih A
Siti Nur Khomariyah
Taufikur Rohman
Wilson Arta K
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Secara harfiah, ilmu sosial
menyajikan fenomena dan segala gejala bernotabene sosial. Dalam
pengembangannya, ilmu sosial banyak dikembangkan oleh para ahli ilmu sosial
dengan memberikan sentuhan landasan dalam berbagai aspek, salah satu dari aspek
tersebut adalah landasan pemikiran Islam yang melahirkan ilmu baru yakni ilmu
profetik.
Ilmu profetik yang dicetuskan
pertama kali oleh Kuntowijoyo dewasa ini sudah berkembang dikalangan ahli ilmu
sosial dan banyak digunakan sebagai landasan-landasan dalam menyikapi
permasalahan sosial. Ilmu sosial yang dapat dibedakan menjadi bebrapa jenis
ilmu yang lebih khusus seperti antropologi, Arkeologi Sejarah dan ilmu-ilmu
lainnya, akan memberikan hasil tersendiri jika dilakukan pemberian pandangan
ilmu khusus tersebut dalam ilmu formatik. Berangkat dari hal tersebut, kami
mengidealisasikan untuk menuliskan makalah dengan pembahasan mengenai “Sejarah
sebagai ilmu profetik”. Yang mana dalam pembahasannya akan dikemukakan mengenai
ilmu profetik dan kajian sejarah sebagai ilmu profetik.
1.2.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
paradigma profetik?
2. Bagaimana
kajian sejarah sebagai ilmu profetik?
1.3.
Tujuan
1. Bagaimana
paradigma profetik.
2. Bagaimana
kajian sejarah sebagai ilmu profetik.
II.
PEMBAHASAN
2.1.
Paradigma Profetik
Berbicara
mengenai paradigma ilmu profetik, terlebih dahulu harus mendalami maksud dari
paradigma itu sendiri dalam kajian ilmu profetik yang akan dibahas dalam
makalah ini.
Pengertian
sederhana mengenai paradigma menurut Ahimsa-Putra (2011) adalah sebagai
seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk
sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/
atau masalah yang dihadapi. Penegasan kata “seperangkat” dalam definisi Ahimsa-Putra
diatas dapat menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak
hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau
kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga
merupakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsep-konsep
ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini berhubungan secara logis,
yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik sehingga dapat
dikatakan sebagai “seperangkat konsep“, seperti halnya peralatan pada orkestra gamelan
atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat
pakaian.
Sebelum
istilah paradigma menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan
sosial-budaya telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang
lebih sama, selanjutnya Ahimsa-Putra (2011) menambahkan penjelasan mengenai
beberapa persamaan makna dari kata paradigma adalah: kerangka teoritis
(theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka
pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation),
sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma
sudah mulai banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun begitu, istilah-istilah
lama tersebut juga tetap akan digunakan oleh sebagian esar ahli sosial, dengan
makna yang kurang-lebih sama dengan paradigma (paradigm).
Ahimsa-Putra
dalam makalahnya “Paradigma Profetik, Mungkinkah?, Perlukah?” menjelaskan bahwa
profetik merupakan sifat dari ilmu sosial yang dicetuskan oleh kuntowijoyo yang
secara sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan,
yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya. Dan
dari tulisan-tulisan kuntowijoyo dapat ditemukan tokoh-tokoh pemikir Islam yang
banyak mempengaruhi dan memberikan inspirasi Kuntowijoyo sendiri. Penjelasan lainnya
mengenai teori formatik lainnya dijelaskan oleh Komaruddin (2000: 31) bahwa
teori formatik merupakan idealisasi pewujudan ilmu sosial transformatif
pemikiran transformatif yang berusaha membangun teori- teori sosial alternatif
yang didasarkan pada pandangan dunia Islam.
Kata
profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut
Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet
or prophecy”: “having the character or function of a prophet”;(2) Characterized
by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik
adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif,
memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’.
Dalam
Islam wahyu yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi
adalah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini diturunkan oleh
Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih oleh
Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia,
yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam Muhammad s.a.w.
adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah).
Kuntowijoyo
menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran
tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad
Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger
Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Kuntowijoyo banyak
mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya
sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Kuntowijoyo
adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial. Di sisi lain, Sebagai sebuah
ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori- teori sosialnya sesuai dengan
paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai
dengan cita- citanya. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa Islam sangat
berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi juga
diubah dan dikendalikan. Bahwa Islam memiliki dinamika-dalam untuk timbulnya
desakan pada adanya transformasi sosial secara terus menerus, ternyata berakar
juga pada misi ideologisnya, yakni cita- cita untuk menegakkan amar ma’ruf dan
nahiy munkar dalam masyarakat di dalam kerangka keimanan kepada Tuhan.
Sementara “amar ma’ruf berarti humanisasi dan emansipasi, nahiy munkar
merupakan upaya untuk liberasi. Dan karena kedua tugas itu berada dalam
kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi merupakan dua sisi yang tak
dapat dipisahkan dari transendensi”. (Kuntowijoyo, 1994: 338 ).
Secara
garis besar pemahaman mengenai ilmu formatik hampir sama dengan ilmu Sosial
Transformatif, yaitu tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun
juga berupaya untuk
mentransformasikannya. Masalahnya kemudian adalah, “ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap pertanyaan- pertanyaan
ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu,
Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu
sosial “yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.
Penerapan
Filsafat Profetik Dalam Ilmu Sejarah
Di
Indonesia, pandangan mengenai ilmu sosial
profetik dan ini biasa juga diartikan sebagai ilmu alam profetik. Berbeda lagi halnya
dengan bagian kedua, yang berisi sejarah. Bagian ini menurut Kuntowijoyo mengajak
manusia untuk melakukan “perenungan untuk memperoleh wisdom (hikmah)”.
Dengan merenungkan berbagai kejadian yang ada dalam sejarah kehidupan manusia sebagaimana
diceritakan dalam Al Qur’an, dan juga metafor-metafornya, manusia diajak untuk merenungkan
hakekat dan makna kehidupan. Perlu
diketahui bahwa ada dua unsur dari ilmu sosial profetik yaitu emansipasi dan
liberasi.
Transendensi
hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting
dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai
Islam) pada kedudukan yang sangat sentral. Di dalam pendidikan profetik ada sisi memungkinkan bagi pemikiran
tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Banyak
sekali ayat dalam Al-Quran yang berisi ajakan
agar manusia merenungkan bagaimana
memperoleh hikmah dibalik semua makna kehidupan yang telah terjadi. Hal semacam
itu, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut
simbol-simbol.
Pada
bagian yang berisi kisah dan amtsal menurut Kuntowijoyo, “ kita diajak untuk mengenali
arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal”, misalnya tentang kesabaran
nabi Ayyub, kedhaliman Fir’aun, kedhaliman kaum Tsamud, keyakinan nabi Ibrahim,
dan sebagainya. Penggambaran arche-type
ini dimaksudkan agar umat manusia dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa
empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat
universal dan abadi. Jika
diperhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang
tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami
realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana
ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat.
Bukan
bukti obyektif-empirisnya yang ditonjolkan, akan tetapi ta’wilsubyektif-normatifnya. Memahami pesan-pesan Al Qur’an dengan cara
inilah yang oleh Kuntowijoyo dikatakan sebagai memahami “secara sintetik”,
karena di sini kita lebih merenungkan pesan-pesan moral Al Qur’an dalam rangka mensintesiskan
penghayatan dan pengalaman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif. Dalam kerangka
yang dibuat oleh Kuntowijoyo untuk membedakan antara Ilmu Barat dengan Ilmu
Islam, salah satu unsur atau aspek yang dijadikan patokan adalah etika. Empat aspek
yang lain adalah periode, sumber pengetahuan, proses sejarah dan sifat ilmu.
Menurut Kuntowijoyo, Ilmu Barat berada dalam periode “Modern”, sedang Ilmu Islam berada pada periode “Pasca Modern”.
Sumber
pengetahuan Ilmu Barat adalah“Akal”, sedang sumber pengetahuan Ilmu Islam
adalah “Wahyu dan Akal”. Etika Ilmu Barat
adalah Humanisme, sedang etika Ilmu Islam adalah Humanisme-Theosentris. Proses
sejarah dalam Ilmu Barat adalah differensiasi,
sedang dalam Ilmu Islam dedifferensiasi. Ilmu Barat bersifat secular dan otonom,
sedang Ilmu Islam bersifat integralistik. Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yang
bisa diterapkan dalam ilmu sejarah dalam membangun peradaban manusia dipandang
dari ilmu islam yaitu; amar ma’ruf (humanisasi)
mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi
munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi),
dimensi keimanan manusia.
Selain itu dalam
penjelasan dalam ayat Al-Quran tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama,
konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), umat Islam sebagai umat
terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal yakni . Umat Islam tidak secara
otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The
Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul
khairat. Berdasarkan uraian tersebut dapat diuraiakan bahawa selama ini manusia
itu jika berdasarkan ilmu islam menjelaskan manusia itu sejarahnya dilahirkan
menjadi umat terbaik yang disinilah letak bahwa sejarah dari kehidupan manusia
itu terdapat sumber ilmu pengetahuan sosial profetik
Kedua,
aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul
khairat ditengah-tengah umat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa
yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan umat dalam percaturan sejarah.
Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam.
Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich
tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Diharapkan
manusia melakukan interaksi dalam perubahan tata kehidupan manusia yang sudah
dibentuk sesuai dengan perubahan jaman.
Ketiga,
pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan
rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat,
terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung
etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa,
intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa,
universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, umat,
kelompok/paguyuban). Hal ini bersumber dari bagaimana manusia seharusnya sadar
akan bagaimana letak, posisi, dan jabatan dalam kehidupannya. Sehingg Ilmu-ilmu
sosial perkembangannya diperlukan untuk menggambarkan bagaimana gambaran
kehidupan manusia yang bermasyarakat.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu
sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh
siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi
perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.
Dalam pengertian ini, paradigma Al Qur’an berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami
realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya.
Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al Qur’an
pertamatama dengan tujuan agar kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat
dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Qur’an, baik pada
level moral maupun pada level sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan ini
juga memungkinkan kita untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam,
termasuk dalam hal ini sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan
gambaran aksiologis, paradigm Al Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan
wawasan epistimologis.
Menurut
Rahardjo (dalam Kuntowijoyo. 1991: 17) Ada beberapa hal yang menarik untuk
dicatat dari karya-karya Kuntowijoyo. Pertama, dia dengan sadar tidak
memaksakan diri untuk menghindaribteori-teori dan metodologi Barat yang
Konvensional. Bahkan dia secara sadar pula meminjam peralatan ilmu dari barat
dalam rangka “enrichment” perbendaharaan pemikiran. Tapi dengan peminjaman itu
dia berupaya melakukan sintesis-sintesis teori, bahkan melakukan “twisting”
terhadap teori-teori yang dipinjamnya.
Dalam
agama Islam yang didalamnya terdapat berbagai macam ajaran dan ilmu
pengetahuan. Dalam (Fadjar. 1991: 40) ada dua jenis pengetahuan yang ditawarkan
oleh Islam kepada Manusia, yaitu: jenis pertama, ialah pengetahuan yang menjadi
makanan rohani, dan jenis kedua, adalah pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan
atau tujuan pragmatisnya di dunia. Jenis ilmu pertama mencakup kitap suci Al-Quran,
Sunnah, Syari’at, ilmu laduni, dan hikmah. Sedangkan jenis pengetahuan kedua
mengenai pengetahuan kedua mengenai pengetahuan tentang sains (ulum) dan
diperoleh melalui pengalaman, observasi dan penelitian.
Penelitian
terhadap masalah-masalah agama dan keagamaan berdasarkan pendekatan sejarah
dapat pula dikatakan sebagai penelitian “sejarah agama”, karena secara
ojektifakan mengarahkan sasaran penelitian terhadap berbagai persoalan sejarah
agama. Di samping keharusan pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan
sejarah. Aplikasi pendekatan ini di dalam proses penelitian memiliki beberapa
perbadaaan dengan pendekatan lain seperti sosisologi dan antropologi, terutama
dalam penggunaan sumber sebagai instrumen pembuktian terhadap masalah yang diteliti
dan karakteristik lainnya seperti yang di jelaskan dalam pembahasan terdahulu.
Pendekatan sejarah secara khusus juga tampak dalam prosedur yang ditempuh di
dalam proses penelitian.
Dari
hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam islam masih menerima ilmu lain sebagai
ilmu yang menyempurnakan ilmu pengetahuan yang sudah terdapat pada kitap suci
Al-Quran dan As-Sunnah. Hal yang sama juga dikatakan oleh Kuntowijoyo, ia
mengatakan. Pendidikan Islam dulu sudah memiliki komitmen yang tinggi dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, baik
ilmu pengetahuan keagamaan maupun ilmu pengetahuan sekuler (Kuntowijoyo. 1994:
290). Dengan komitmen itulah yang mengharumkan nama Islam dan telah
mengantarkan masyarakatnya ke puncak peradaban. Hanya saja, setelah munculnya
Renaisance di Eropa, pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah diraih
dunia Islam kemudian diambil alih oleh bangsa Barat hingga berlangsung sampai
sekarang.
PENUTUP
Profetik
merupakan sifat dari ilmu sosial yang dicetuskan oleh kuntowijoyo yang secara
sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan, yakni
ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya.
Pemikiran
Kuntowijoyo mengajak manusia untuk melakukan “perenungan untuk memperoleh wisdom
(hikmah)”. Dengan merenungkan berbagai kejadian yang ada dalam sejarah kehidupan
manusia sebagaimana diceritakan dalam Al Qur’an, dan juga metafor-metafornya, manusia
diajak untuk merenungkan hakekat dan makna kehidupan.
Inti
dari semua pemikiran Kuntowijoyo adalah Ilmu Pengetahuan tidak harus di
komersialisasikan. Pengetahuan bisa di gabungkan dengan ilmu kerohanian yang dianggap
wahyu tuhan yang tidak bisa ditelaah, dengan mentafsirkan semua hal yang ada
dalam kitab suci ke dalam kehidupan modern sehingga sesuai dengan konsep masa
kini.
Daftar
Rujukan
Komaruddin,
Hidayat. 2000. Agama dan Transformasi sosial. Jakarta: Jurnal Katalis Indonesia,
Volume ke 1.
Kuntowijoyo.
1994. Paradigma Islam Interpretasi untuk
Aksi. Bandung: Mizan.
Zaeny,A.
2005. Transformasi Sosial Dan Gerakan
Islam Di Indonesia. __ : Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2011. Paradigma profetik.
mungkinkah?, perlukah? (Makalah sarasehan). Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Abdullah
Fadjar. 1991. Peradaban Dan Pendidikan
Islam. Jakarta: Rajawali Press
Internet
Minan,
A. 2011. Pendekatan Sejarah Dalam Studi
Islam. (online) http://ahmadminanur.blogspot.com/2013/03/pendekatan-sejarah-dalam-studi-islam.html. Diakses pada
01 Februari 2014 pukul 20 : 29 WIB
Putra.
2011. Paradigma Profetik.
Mungkinkah?perlukah?. (online) http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/paradigma-profetik.pdf. Diakses pada
01 Februari 2014 pukul 20 : 39 WIB
memang tak bisa dijadikan referensikah?
ReplyDelete