Songs

Tuesday, February 4, 2014

Filsafat Profetik

Harwin Galih A
Siti Nur Khomariyah
Taufikur Rohman
Wilson Arta K

I.       PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Secara harfiah, ilmu sosial menyajikan fenomena dan segala gejala bernotabene sosial. Dalam pengembangannya, ilmu sosial banyak dikembangkan oleh para ahli ilmu sosial dengan memberikan sentuhan landasan dalam berbagai aspek, salah satu dari aspek tersebut adalah landasan pemikiran Islam yang melahirkan ilmu baru yakni ilmu profetik.
Ilmu profetik yang dicetuskan pertama kali oleh Kuntowijoyo dewasa ini sudah berkembang dikalangan ahli ilmu sosial dan banyak digunakan sebagai landasan-landasan dalam menyikapi permasalahan sosial. Ilmu sosial yang dapat dibedakan menjadi bebrapa jenis ilmu yang lebih khusus seperti antropologi, Arkeologi Sejarah dan ilmu-ilmu lainnya, akan memberikan hasil tersendiri jika dilakukan pemberian pandangan ilmu khusus tersebut dalam ilmu formatik. Berangkat dari hal tersebut, kami mengidealisasikan untuk menuliskan makalah dengan pembahasan mengenai “Sejarah sebagai ilmu profetik”. Yang mana dalam pembahasannya akan dikemukakan mengenai ilmu profetik dan kajian sejarah sebagai ilmu profetik.
1.2.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana paradigma profetik?
2.      Bagaimana kajian sejarah sebagai ilmu profetik?
1.3.            Tujuan
1.      Bagaimana paradigma profetik.
2.      Bagaimana kajian sejarah sebagai ilmu profetik.




II.    PEMBAHASAN
2.1. Paradigma Profetik
Berbicara mengenai paradigma ilmu profetik, terlebih dahulu harus mendalami maksud dari paradigma itu sendiri dalam kajian ilmu profetik yang akan dibahas dalam makalah ini.
Pengertian sederhana mengenai paradigma menurut Ahimsa-Putra (2011) adalah sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,  menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi. Penegasan kata “seperangkat” dalam definisi Ahimsa-Putra diatas dapat menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsep-konsep ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini berhubungan secara logis, yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik sehingga dapat dikatakan sebagai “seperangkat konsep“, seperti halnya peralatan pada orkestra gamelan atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat pakaian.
Sebelum istilah paradigma menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan sosial-budaya telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang lebih sama, selanjutnya Ahimsa-Putra (2011) menambahkan penjelasan mengenai beberapa persamaan makna dari kata paradigma adalah: kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma sudah mulai banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun begitu, istilah-istilah lama tersebut juga tetap akan digunakan oleh sebagian esar ahli sosial, dengan makna yang kurang-lebih sama dengan paradigma (paradigm).
Ahimsa-Putra dalam makalahnya “Paradigma Profetik, Mungkinkah?, Perlukah?” menjelaskan bahwa profetik merupakan sifat dari ilmu sosial yang dicetuskan oleh kuntowijoyo yang secara sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan, yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya. Dan dari tulisan-tulisan kuntowijoyo dapat ditemukan tokoh-tokoh pemikir Islam yang banyak mempengaruhi dan memberikan inspirasi Kuntowijoyo sendiri. Penjelasan lainnya mengenai teori formatik lainnya dijelaskan oleh Komaruddin (2000: 31) bahwa teori formatik merupakan idealisasi pewujudan ilmu sosial transformatif pemikiran transformatif yang berusaha membangun teori- teori sosial alternatif yang didasarkan pada pandangan dunia Islam.
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophecy”: “having the character or function of a prophet”;(2) Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’.
Dalam Islam wahyu yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah).
Kuntowijoyo  menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Kuntowijoyo banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Kuntowijoyo adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial. Di sisi lain, Sebagai sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori- teori sosialnya sesuai dengan paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita- citanya. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan dikendalikan. Bahwa Islam memiliki dinamika-dalam untuk timbulnya desakan pada adanya transformasi sosial secara terus menerus, ternyata berakar juga pada misi ideologisnya, yakni cita- cita untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahiy munkar dalam masyarakat di dalam kerangka keimanan kepada Tuhan. Sementara “amar ma’ruf berarti humanisasi dan emansipasi, nahiy munkar merupakan upaya untuk liberasi. Dan karena kedua tugas itu berada dalam kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi merupakan dua sisi yang tak dapat dipisahkan dari transendensi”. (Kuntowijoyo, 1994: 338 ).
Secara garis besar pemahaman mengenai ilmu formatik hampir sama dengan ilmu Sosial Transformatif, yaitu tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun juga berupaya untuk  mentransformasikannya. Masalahnya kemudian adalah, “ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap pertanyaan- pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial “yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.
Penerapan Filsafat Profetik Dalam Ilmu Sejarah

Di Indonesia, pandangan  mengenai ilmu sosial profetik dan ini biasa juga diartikan sebagai ilmu alam profetik. Berbeda lagi halnya dengan bagian kedua, yang berisi sejarah. Bagian ini menurut Kuntowijoyo mengajak manusia untuk melakukan “perenungan untuk memperoleh wisdom (hikmah)”. Dengan merenungkan berbagai kejadian yang ada dalam sejarah kehidupan manusia sebagaimana diceritakan dalam Al Qur’an, dan juga metafor-metafornya, manusia diajak untuk merenungkan hakekat dan makna kehidupan.  Perlu diketahui bahwa ada dua unsur dari ilmu sosial profetik yaitu emansipasi dan liberasi.
Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral. Di dalam pendidikan profetik ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Banyak sekali ayat  dalam Al-Quran yang berisi ajakan  agar manusia merenungkan bagaimana memperoleh hikmah dibalik semua makna kehidupan yang telah terjadi. Hal semacam itu, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol.
Pada bagian yang berisi kisah dan amtsal menurut Kuntowijoyo, “ kita diajak untuk mengenali arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal”, misalnya tentang kesabaran nabi Ayyub, kedhaliman Fir’aun, kedhaliman kaum Tsamud, keyakinan nabi Ibrahim, dan sebagainya. Penggambaran arche-type ini dimaksudkan agar umat manusia dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Jika diperhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat.
Bukan bukti obyektif-empirisnya yang ditonjolkan, akan tetapi ta’wilsubyektif-normatifnya. Memahami pesan-pesan Al Qur’an dengan cara inilah yang oleh Kuntowijoyo dikatakan sebagai memahami “secara sintetik”, karena di sini kita lebih merenungkan pesan-pesan moral Al Qur’an dalam rangka mensintesiskan penghayatan dan pengalaman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif. Dalam kerangka yang dibuat oleh Kuntowijoyo untuk membedakan antara Ilmu Barat dengan Ilmu Islam, salah satu unsur atau aspek yang dijadikan patokan adalah etika. Empat aspek yang lain adalah periode, sumber pengetahuan, proses sejarah dan sifat ilmu. Menurut Kuntowijoyo, Ilmu Barat berada dalam periode “Modern”, sedang Ilmu Islam berada pada periode “Pasca Modern”.
Sumber pengetahuan Ilmu Barat adalah“Akal”, sedang sumber pengetahuan Ilmu Islam adalah “Wahyu dan Akal”. Etika Ilmu Barat adalah Humanisme, sedang etika Ilmu Islam adalah Humanisme-Theosentris. Proses sejarah dalam Ilmu Barat adalah differensiasi, sedang dalam Ilmu Islam dedifferensiasi. Ilmu Barat bersifat secular dan otonom, sedang Ilmu Islam bersifat integralistik. Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yang bisa diterapkan dalam ilmu sejarah dalam membangun peradaban manusia dipandang dari ilmu islam yaitu; amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia.
Selain itu dalam  penjelasan dalam ayat Al-Quran tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal yakni . Umat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Berdasarkan uraian tersebut dapat diuraiakan bahawa selama ini manusia itu jika berdasarkan ilmu islam menjelaskan manusia itu sejarahnya dilahirkan menjadi umat terbaik yang disinilah letak bahwa sejarah dari kehidupan manusia itu terdapat sumber ilmu pengetahuan sosial profetik
Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan umat dalam percaturan sejarah. Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Diharapkan manusia melakukan interaksi dalam perubahan tata kehidupan manusia yang sudah dibentuk sesuai dengan perubahan jaman.
Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, umat, kelompok/paguyuban). Hal ini bersumber dari bagaimana manusia seharusnya sadar akan bagaimana letak, posisi, dan jabatan dalam kehidupannya. Sehingg Ilmu-ilmu sosial perkembangannya diperlukan untuk menggambarkan bagaimana gambaran kehidupan manusia yang bermasyarakat.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini, paradigma Al Qur’an berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya.
Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al Qur’an pertamatama dengan tujuan agar kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Qur’an, baik pada level moral maupun pada level sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal ini sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigm Al Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistimologis.
Menurut Rahardjo (dalam Kuntowijoyo. 1991: 17) Ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari karya-karya Kuntowijoyo. Pertama, dia dengan sadar tidak memaksakan diri untuk menghindaribteori-teori dan metodologi Barat yang Konvensional. Bahkan dia secara sadar pula meminjam peralatan ilmu dari barat dalam rangka “enrichment” perbendaharaan pemikiran. Tapi dengan peminjaman itu dia berupaya melakukan sintesis-sintesis teori, bahkan melakukan “twisting” terhadap teori-teori yang dipinjamnya.
Dalam agama Islam yang didalamnya terdapat berbagai macam ajaran dan ilmu pengetahuan. Dalam (Fadjar. 1991: 40) ada dua jenis pengetahuan yang ditawarkan oleh Islam kepada Manusia, yaitu: jenis pertama, ialah pengetahuan yang menjadi makanan rohani, dan jenis kedua, adalah pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan pragmatisnya di dunia. Jenis ilmu pertama mencakup kitap suci Al-Quran, Sunnah, Syari’at, ilmu laduni, dan hikmah. Sedangkan jenis pengetahuan kedua mengenai pengetahuan kedua mengenai pengetahuan tentang sains (ulum) dan diperoleh melalui pengalaman, observasi dan penelitian.
Penelitian terhadap masalah-masalah agama dan keagamaan berdasarkan pendekatan sejarah dapat pula dikatakan sebagai penelitian “sejarah agama”, karena secara ojektifakan mengarahkan sasaran penelitian terhadap berbagai persoalan sejarah agama. Di samping keharusan pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan sejarah. Aplikasi pendekatan ini di dalam proses penelitian memiliki beberapa perbadaaan dengan pendekatan lain seperti sosisologi dan antropologi, terutama dalam penggunaan sumber sebagai instrumen pembuktian terhadap masalah yang diteliti dan karakteristik lainnya seperti yang di jelaskan dalam pembahasan terdahulu. Pendekatan sejarah secara khusus juga tampak dalam prosedur yang ditempuh di dalam proses penelitian.
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam islam masih menerima ilmu lain sebagai ilmu yang menyempurnakan ilmu pengetahuan yang sudah terdapat pada kitap suci Al-Quran dan As-Sunnah. Hal yang sama juga dikatakan oleh Kuntowijoyo, ia mengatakan. Pendidikan Islam dulu sudah memiliki komitmen yang tinggi dalam mengembangkan  ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan keagamaan maupun ilmu pengetahuan sekuler (Kuntowijoyo. 1994: 290). Dengan komitmen itulah yang mengharumkan nama Islam dan telah mengantarkan masyarakatnya ke puncak peradaban. Hanya saja, setelah munculnya Renaisance di Eropa, pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah diraih dunia Islam kemudian diambil alih oleh bangsa Barat hingga berlangsung sampai sekarang.

PENUTUP
Profetik merupakan sifat dari ilmu sosial yang dicetuskan oleh kuntowijoyo yang secara sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan, yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya.
Pemikiran Kuntowijoyo mengajak manusia untuk melakukan “perenungan untuk memperoleh wisdom (hikmah)”. Dengan merenungkan berbagai kejadian yang ada dalam sejarah kehidupan manusia sebagaimana diceritakan dalam Al Qur’an, dan juga metafor-metafornya, manusia diajak untuk merenungkan hakekat dan makna kehidupan.
Inti dari semua pemikiran Kuntowijoyo adalah Ilmu Pengetahuan tidak harus di komersialisasikan. Pengetahuan bisa di gabungkan dengan ilmu kerohanian yang dianggap wahyu tuhan yang tidak bisa ditelaah, dengan mentafsirkan semua hal yang ada dalam kitab suci ke dalam kehidupan modern sehingga sesuai dengan konsep masa kini.











Daftar Rujukan
Komaruddin, Hidayat. 2000.  Agama dan Transformasi sosial. Jakarta: Jurnal Katalis Indonesia, Volume ke 1.
Kuntowijoyo. 1994. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Zaeny,A. 2005. Transformasi Sosial Dan Gerakan Islam Di Indonesia. __ : Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2011. Paradigma profetik. mungkinkah?, perlukah? (Makalah sarasehan). Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Abdullah Fadjar. 1991. Peradaban Dan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press
Internet              
Minan, A. 2011. Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam. (online) http://ahmadminanur.blogspot.com/2013/03/pendekatan-sejarah-dalam-studi-islam.html. Diakses pada 01 Februari 2014 pukul 20 : 29 WIB
Putra. 2011. Paradigma Profetik. Mungkinkah?perlukah?. (online) http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/paradigma-profetik.pdf. Diakses pada 01 Februari 2014 pukul 20 : 39 WIB

1 comment: