Songs

Tuesday, February 4, 2014

PEMIKIRAN FILSAFAT POSITIVISME DARI SUDUT PANDANG AGUSTE COMTE TAHUN 1798-1857



Nia Ulfia Krismawati                        110731435544
Ermi Liahana                                     110731435523
Kautsar Ranggi                                  110731435553
Ahmad Danis F                                 110731435557

1.      PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Filsafat merupakan kajian yang manarik. Selama ini filsafat kita kenal berasal dari Yunani sebagai tempat lahirnya ilmu pengetahuan. Selain dari Yunani filsafat juga berasal dari Jepang, Cina dan Arab. Filsafat telah berkembang sejak zaman Pra-Yunani Kuno sampai zaman Modern. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, filsafat memiliki arti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,asal, dan hukumnya. Selain itu filsafat juga merupakan teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Filsafat juga merupakan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi. Dari pengertian tersebut diketahui bahwa filsafat merupakan suatu hal yang ada disetiap sendi kehidupan, hal inilah yang membuat filsafat merupakan kajian yang menarik.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai posotivisme. Positivisme sendiri merupakan salah satu aliran dari filsafat. Istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata positif yang terdapat pada prakata buku yang ditulisnya dia mulai memakai istilah filsafat positif secara konsisten. Jadi ada cerita tersendiri mengenai lahirnya aliran positivisme ini sehingga dalam makalah ini juga akan dibahas mengenai proses kelahiran dan filsuf-filsuf pasca revolusi di Paris yang menghasilkan pemikiran positivisme.
Auguste Comte merupakan tokoh sentral atau filsuf dalam aliran filsafat positivisme. Comte bisa dikatakan sebagai Bapak dari aliran positivisme karena pemikiran-pemikiran dari Comte yang sangat kemtal berada dalam aliran positivisme ini. Hal inilah yang menjadi dasar mengenai bahasan dalam makalah ini mengenai pemikiran positivisme dari sudut pandang Comte. Dalam sebuah pemikiran pasti akan ada pengaruh yang akan tampak. Dan dari pemikiran Comte mengenai filsafat positivisme pasti ada pengaruh yang nampak dari sudut pandang Comte tersebut.
Hal-hal tersebut diatas merupakan beberapa alasan atau latar belakang yang muncul sehingga makalah ini akan membahas mengenai filsafat positivisme dengan judul “PEMIKIRAN FILSAFAT POSITIVISME DARI SUDUT PANDANG AGUSTE COMTE TAHUN 1798-1857”.

1.2  RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana proses kelahiran positivisme dan filsuf-filsuf pasca revolusi di paris?
2.      Bagaimana pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte?
3.      Bagaimana pengaruh pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte?

1.3  TUJUAN
1.      Proses kelahiran positivisme dan filsuf-filsuf pasca revolusi di paris
2.      Pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte
3.      Pengaruh pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte










II. PEMBAHASAN
2.1 Kelahiran Positivisme dan Filsuf-Filsuf Pasca Revolusi di Paris
Istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata positif yang terdapat pada prakata buku yang ditulisnya dia mulai memakai istilah filsafat positif secara konsisten. Kata filsafat tersebut dia artikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia, sedangkan positif diartikan sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang diamati.” (Hardiman, 2011:176). Dengan kata lain positif sama dengan faktual, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.Positifisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam.”(Muslih, 2004:94). Pada dasarnya penelitian yang dilakukan adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut nyata berjalan.
Pada awal mula kemunculan dan perkembangan dari aliran positivisme, kita harus menghubungkannya dengan situasi filsafat di Prancis pada abad ke- 19. Situasi filsafat di Prancis pada saat itu sangatlah berbeda dengan situasi pada abad ke- 18 yang sering dikenal dengan istilah zaman pencerahan, dimana pada saat zaman pencerahan tersebut orang – orang lebih cenderung untuk melawan agama, pada abad ke- 19 tersebut terdapat filsuf Prancis yang mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia.”(Hardiman, 2011:170). Bentuk dari menghargai kembali peranan dimensi rohani ini adalah dengan menyerap kembali cita–cita spiritual idealisme di Jerman yang berkembang pada abad ke- 18. Hal ini lah yang menjadi awal kemunculan dari aliran positivisme dengan tokohnya yaitu Auguste Comte. Dan aliran ini sendiri menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan sosiologi.
Persamaan dan perbedaan dari idealisme dengan positivisme. Apabila dilihat secara biasa tampak antara keduanya memiliki perbedaan secara mencolok, yaitu idealisme mendukung metafisika sedangkan positifisme menolak metafisika.” (Hardiman, 2011:170). Akan tetapi apabila sudah dipelajari secara mendalam keduanya sama-sama spekulatif. Di balik kata-kata filsafat positif, yang merupakan aliran yang menolak metafisika tersebut ternyata tidak jauh dari metafisika. Jadi perbedaan dari keduanya hanyalah bersifat ideologis.
Setelah terjadinya revolusi di Prancis filsuf-filsuf di Prancis mulai terbagi-bagi seperti kaum tradisionalis dan Les Ideologue. Didalam kaum tradisonalis terdapat beberapa tokoh-tokoh penting seperti De Maistre, De Bonald, Chateaubrian, Lamennais. Count Joseph de Maistre merupakan seorang tokoh konservatif yang sangat kukuh menyerang konsep kemajuan. Dalam Soiress de St. Petersbourg, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisik, dan bukan untuk menjelaskan agama. Yang bisa menciptakan tatanan dan kemajuan bukan ilmu, melainkan iman, lebih khusus lagi imam Katolik (Hardiman, 2011:171-172). Pada dasarnya dia ingin menemukan sebuah dasar ajaran religius yang hilang karena modernisasi. Karena anggapan tersebut dia berpendapat bahwa reformasi merupakan kejahatan terbesar umat manusia. Dan dia juga sangat mengecam para filsuf pencerahan seperti Voltaire.
Di pihak lain terdapat beberapa pendukung dari revolusi yang dinamakan sebagai les idologues. Kata ideologi yang terdapat dalam nama tersebut berartikan sebagai studi mengenai asal usul ide-ide yang terungkap dalam bahsa penalaran (Hardiman, 2011:172). Bersama rekan-rekannya De Volney  dan Cabanis, De Tracy meneruskan gagasan-gagasan pencerahan, khususnya dalam pikiran Condilla.Selain terdapat dua kelompok yang tersebutkan diatas, ada pula kelompok-kelompok intelektual lain yang menjelaskan ide-ide mengenai sosialis dan reorganisasi sosial. Dari kelompok intelektual tersebut ada pula yang mendukung adanya revolusi. Bedanya jika kaum ideolog mendukung dengan gagasan-gagasan yang “metafisis” kelompok ini ingin memberikan saran praktis untuk pembaruan masyarakat (Hardiman, 2011:173). Menurut mereka revolusi itu sudah sukses menghasilkan suatu kebebasan, namun persamaan dan persaudaraan harus diwujudkan malalui teori sosial. Dan tokoh-tokoh dari kelompok ini seperti Fourier, Saint-Simon, dan Proudhon. Francois Marie Charles Fourier sendiri mengikuti Rousseau dengan pandangannya bahwa kebudayaan borjuis adalah cacat kemanusiaan, karena didalamnya berkuasa egoisme dan kepentingan diri sendiri yang akan menghancurkan masyarakat.
Sedangkan menurut Claude-Henri de Saint-Simon berpendapat bahwa filsafat pencerahan abad ke- 18 sudah menghancurkan religius dan feodalisme. Karena itu filsafat abad ke- 19 harus menciptakan sebuah sistem integrasi baru yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industrial.” (Hardiman, 2011:174). Pada dasarnya reorganisasi masyarakat tersebut menurut kaidah-kaidah ilmiah yang dihasilkan oleh pencerahan. Menurutnya ilmu pengetahuanlah yang menghancurkan kekuasaan gereja dan menghasilkan sekularisasi, maka unruk reorganisasi sosial ilmu-ilmu alam harus diperluas ke bidang-bidang kemanusiaan. Meskipun antara Fourier dan Sant-Simon mendukung revolusi sebenarnya mereka juga senada dengan kaum tradisonalis. Keduanya sama-sama mengusulkan sebuah reorganisasi sosial, hanya bentuk, dan integrasinya yang berbeda. Kaum tradisional ingin kembali pada institusi tradisional, sedangkan kedua sosialis ini menginginkan institusi-institusi masyarakat industrial. Dan pada kemudia hari Saint-Simon mempersiapkan kelahiran sebuah aliran penting yang dirintis oleh Comte, yaitu positivisme.
Beberapa hal pokok mengenai positivisme dalam ilmu sejarah adalah sebagai berikut:
1.      menetapkan sejarah sebagai ilmu alam
2.      metode dan ukuran kebenaran berasal dari ilmu alam
3.      kuatnya dominasi ilmu pengetahuan alam dan tekhnologi
4.      bebas nilai
5.      berusaha menemukan hokum yang mekanis dan model sebab akibat
6.      mengetahui untuk meramalkan suatu hal.
Sedangkan positivisme dalam sejarah juga memberikan pengaruh pemikiran seperti positivisme ini menekankan bahwa orientasi sejarah bukanlah untuk memahami masa lalu tetapi untuk menemukan pola atau hokum. Jadi postivisme ini menyatakan bahwa sejarah bukan hanya dipelajari guna untuk mengetahui masa lalu saja tetapi juga dapat dipergunakan untuk menemukan sebuah pola. Positivisme juga menuntut agar sejarah dapat menemukan kebenaran tunggal yang berlaku umum. Selain itu positivisme juga menganggap bahwa objek yang dikaji oleh sejarah identik dengan ilmu alam dan yang terakhir adalah suatu sejarah dipandang objektif jika hasil dari analisis tidak dicampuri atau dipengaruhi pemikiran dari para sejarawan.
2.2 Pemikiran Positivisme Dari Sudut Pandang Auguste Comte
Positivisme yang menandai krisis pengetahuan barat itu sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat barat, dan aliran ini berkembang sejak abab ke 19 dengan perintisnya auguste comte. (Hardiman, 2003:54) Auguste Comte merupakan figur paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki sebagai bapak positivisme. Pada tahun terjadinya revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Ketika usia 25 tahun Auguste Comte studi di Ecole Polytechnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum kaum ideolog, tetapi juga Hume dan Condorcet. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan karena hal itu maka pemikiran-pemikiran dari Saint-Simon banyak mempengaruhi pemikirannya. Mereka memiliki kesamaan pemikiran yaitu reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826 Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Di dalam pendidikannya tersebut dia mendirikan sebuah kelompok yang dinamakan Societe positiviste dan saat itu juga dia menulis buku yang berjudul Course of Positive Philosophy akan tetapi dia tidak bisa menyelesaikan penulisannya karena meninggal dunia dan pada saat itu murid-muridnya menghormatinya sebagai orang kudus positivisme.
Positivisme Aliran filsafat yang ditokohi oleh August Comte (1798-1857) ini merupakan aliran sebagai pusat ilmu pengetahuan jika dilihat dari sisi pendidikan atau manajemen pendidikan. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu diluar fakta atau kegiatan di kesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Kamus positivisme percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Filsafat positivistime Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam fikir manusia. Matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. August Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol; (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. Sedangkan dalam rangka mengkaji gejala sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik seperti keyakinan bahwa suatu teori memiliki kebenaran yang bersifat universal, komitmen untuk berusaha mencapai taraf “objektif” melalui fenomena, kepercayaan bahwa setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat dan kepercayaan bahwa setiap variabel penelitian dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya diformulasikan menjadi teori dan hukum.
Ø Tahapan-Tahapan Dalam Positivisme menurut August Comte
            Positivisme sebagai aliran yang mengagungkan fakta-fakta yang teramati secara langsung.”menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka jiwa dan budi harus mendapatkan pendidkan yang cukup dan matang. Sekarang ini sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu positif, yaitu matematika, fisika biologi dan ilmu kemasyarakatan”, (Suhartono,2005:58). Comte membagi perkembangan sejarah umat manusia ke dalam tiga tahap, yakni yahap teologis, tahap metafisis dan tahap positivis. “ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja ke masa dewasa”, (Hardiman, 2011:178).
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa agung  yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. “Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakata atau kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapnya berupa misteri”, (Abidin, 2006:130). Kuasa agung tersebut dipercaya memiliki kekuatan dan tingkatan yang lebih tinggi dibanding dengan tingkatan manusia. “ Menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi”, (Hardiman, 2011:178).  Kekuatan inilah yang dianggap manusia zaman itu sebagai kekuatan dewa-dewa atau representasi dari Tuhannya. Tahap ini dapat kita jumpai pada kehidupan manusia purba. Alam semesta dianggapa setara dengan mereka dan dipandang memiliki jiwa, kehendak dan kekuatan untuk bertindk sendiri.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap yakni :
a.    Fetisime atau animisme .
Pada sub tahap ini merupakan yang paling primitif dan kekanak-kanakan. “ manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak dan berhasrat”, (Hardiman, 2011:178). Segala sesuatu disekitarnya yang dianggap memiliki dan menyumbang kekuatan pada alam disembah dan diagungkan. Keasadaran akan kekuatan-kekuatan alam mulai muncul dalam bentuk yang sederhana dan sesuai dengan penggambaran indra manusia. Manusia menghayati alam semesta tanpa mengenal konsep abstrak
a.    Politeisme
Pada tahap berikutnya adalah politeisme dimana kekuatan-kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Setiap gejala suci yang ditimbulkan dari alam memiliki dewa-dewa tersendiri (polytheisme. Seperti yang kita ketahui ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa matahari dll. “Cara berpikir lain yang lebih maju, yang sudah mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebih umum”, (Abidin, 2006:131). Seperti contoh kepercayaan masyrakt Jawa dipercayai bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang.

b.     Monotheisme
 Pada tahap ini manusia mengganti dewa yang bermacam-macam menjadi satu tokoh tertinggi (esa), yaitu pada tahap monoteisme dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan yang disebut tuhan.  Cara berpikir ini tidak lagi mengakui aanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan kejadian-kejadian. Tetapi hanya mengakui satu roh saja. Hakekat batiniah manusia yang percaya akan kekuatan tunggal yang menguasai setiap gejala yang ada di dunia ini. “Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama, yang kemudian dijadikan sebagai pedomana masyarakat disamping sebgai landasan institusional serta kenegaraan suatu bangsa dan sebagai alat justifikasi para raja atau kepala negara yang sedang berkuasa”, (Abidin, 2006:132).
2.   Tahap Metafisik
Tahap ini merupakan  transisi dari pemikiran Comte. Tidak berbeda jauh dengan pemikiran teologis, dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam.  Garis besarnya adalah alam merupakan gabungan dari semua kekuatan kosmis yang ada disekitar kehidupan manusia. peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. “Manusia mulai megadakan perombakan atas cara berpikir lama, yang dianggapanya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan manusia ntk menumukan jawaban yang memuaskan atas kejadian alam semesta”, (Abidin, 2006:132). Pemikiran manusia pada tahap ini mulai meninggalkan dogma agama dengan berpikir keras mencari esensi-esensi dari dari segala sesuatu. Manusia tidak hanya puas dengan pengertian umum namun mencari argumentsi yang lebih logis.
3.  Tahap Positif
Pada tahap positif peristiwa-peristiwa alam dipahami secara mendalam dengan menggunakan konsep ilmiah. Positivise menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan”, (Hardiman, 2003:55).  Metodolgi menjadi alat ukur dalam memandang sebuah fakta. Segala gejala tidak diterima begitu saja namun lebih kepada pemikiran secara logis dan tidak terikat dengan hal mistis. Hukum-hukum dan ilmu pengetahuan mutlak diperlukan dalam mengetahui setiap maksud dibalik peristiwa yang terjadi.  Pengamatan dan logika menjadi senjata utama dalam merangkai gejala-gejala menjadi sebuah fakta umum.
Ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan aspek ilmu pengetahuan.” Dengan memberi patok-patok yang faktual pada pengetahuan, positivisme mendasarai ilmu-ilmu pengetahuan tentang fakta objektif”, (Hardiman, 2003: 55).  Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Seperti yang dikatakan menurut Comte hukum tiga zaman ini bukan saja berlaku bagi perkembangan pengetahuan umat manusia seluruhnya melainkan berlaku juga bagi manusia perorangan. (Bertens, 1975: 73)
Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret.  Maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan dalam sudut pandang yang positif  serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Dalam aliran positivisme, kebenaran metafisis yang abstrak ditolak secara utuh karena tidak sesuai dengan kebenaran mutlak logika manusia. “positivisme adalah sorotan khusunya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan pada metodologi dalm refleksi filsafatnya”, (Hardiman, 2003:54).



2.3 Pengaruh Pemikiran Positivisme dari Sudut Pandang Auguste Comte
            Pemikiran positivisme dari Auguste Comte memberikan pengaruh dalam berbagai ilmu pengetahuan meskipun pengaruh yang diberikan oleh pemikiran tersebut tidak secara langsung. Menurut pengamatan dari beberapa ahli filsafat barat, kontribusi dari pemikiran filsafat positivism Comte terhadap kebudayaan barat, tampak dari beberapa hal seperti:
1.      “ Semakin tebalnya optimisme masyarakat barat yang telah timbul sejak zaman aufklarung mengenai hari depan umat manusia yang semakin baik atau maju.” (Abidin, 2006: 138) jadi dapat dapat disimpulkan bahwa pemikiran positivisme ini mampu memberikan dorongan pada masyarakat dalam menambah optimisme terhadap masa depan, meskipun masyarakat belum mengetahui masa depan apa yang akan dihadapi tetapi masyarakat lebih optimis bahwa mereka mampu mengahadapi masa depan masing-masing
2.      “ Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa sehingga mendorong lahirnya model-model ilmu pengetahuan yang positif yang lepas dari muatan-muatan spekulatif.” (Abidin, 2006: 139) dapat dilihat bahwa dengan adanya pemikiran ini para ilmuwan lebih terdorong dalam melahirkan model-model ilmu pengetahuan yang bersifat positif dan tentunya lepas dari muatan spekulatif.
3.      “Konsepsi yang semakin meluas tentang kemajuan atau modernisasi yang meniitik beratkan pada kemajuan dan modernisasi dalam bidang ekonomi, fisik dan teknologi (model masyarakat industry).” (Abidin, 2006: 139) dalam hal ini pemikiran masyarakat tentang konsepsi lebih berkembang dala artian lebih luas tentang kemajuan akan suatu hal, disini tidak hanya kemajuan dalam bidang penting seperti ekonomi, fisik dan teknologi saja, tetapi sudah merambah ke bidang-bidang lain.
4.      Menguatkan golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan.” (Abidin, 2006: 139) Pengaruh yang terakhir berbentuk penguatan-penguatan terhadap golongan teknokrat dan para pengusaha dalam bidang industri.
Pengaruh-pengaruh atas aliran positivism ini memang memberikan dampak baik, tetapi meskipun begitu pemikiran tersebut juga menimbulkan beberapa masalah seperti dalam bidang pembangunan dan industrialisasi. Dalam hal tersebut positivisme mengatakan bahwa satu-satunya motor penggerak industrialisasi dan kemajuan adalah ilmu pengetahuan. Tetapi hal tersebut memunculkan presepsi bahwa bangunan fisik material pada akhirnya merupakan tolok ukur dari keberhasilan atau kemajuan pembangunan. Jadi dapat disimpulkan bahwa orientasi dari pembangunan adalah pembangunan fisik material, sedangkan mental dari pembangunan spiritual disini diandaikan akan mengikuti pembangunan fisik material tersebut. Sedangakan dalam kehidupan sehari-hari pemikiran positivisme ini juga menimbulkan masalah. Dalam hal ini lebih pada tentang nilai hidup manusia  yang dimaterialisasikan.
“jika tolak ukur keberhasilan pembangunan adalah kemajuan di bidang fisik material maka sasaran atau orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kekayaan material.” (Abidin, 2006: 139) dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kini tujuan hidup masyarakat bukan lagi pada kebahagian dan kenikmatan kerja, melainkan lebih pada memperoleh materi dalam artian kekayaan sebanyak-banyak dalam waktu singkat. Hal tersebut akan membuat manusia lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan materi yang banyak. Selain itu juga muncul anggapan bahwa kini manusia akan dipandang dari segi seberapa besar akses dan kontribusi ekonomi dan insdustri yang dimiliki oleh seseorang. Nilai kesenian juga mendapatkan masalah atas pengaruh dari pemikiran positivisme. ”Nilai estetik suatu karya seni lukis tidak lagi karena nilai intrinsiknya melainkan karena nilai ekonomisnya.” (Abidin, 2006: 138) dapat dilihat bahwa nilai estetik ini tidak lagi dipandang dari keindahan ataupun makna yang terkadung melainkan dilihat dari harga jual yang akan dicapai.  



PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata positif yang terdapat pada prakata buku yang ditulisnya dia mulai memakai istilah filsafat positif secara konsisten. Pada awal mula kemunculan dan perkembangan dari aliran positivisme, kita harus menghubungkannya dengan situasi filsafat di Prancis pada abad ke- 19. Auguste Comte merupakan figur paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki sebagai bapak positivisme.
Positivisme Aliran filsafat yang ditokohi oleh August Comte (1798-1857) ini merupakan aliran sebagai pusat ilmu pengetahuan jika dilihat dari sisi pendidikan atau manajemen pendidikan. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu diluar fakta atau kegiatan di kesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pengaruh-pengaruh atas aliran positivism ini memang memberikan dampak baik, tetapi meskipun begitu pemikiran tersebut juga menimbulkan beberapa masalah seperti dalam bidang pembangunan dan industrialisasi. Dalam hal tersebut positivisme mengatakan bahwa satu-satunya motor penggerak industrialisasi dan kemajuan adalah ilmu pengetahuan.

3.2  SARAN
·         Untuk pengajar diharapkan dapat menyampaikan materi sejarah kepada siswa dengan lebih baik dan mudah dimengerti tapi tetap dengan materi yang berbobot.
·         Untuk siswa yang mempelajari sejarah sebaiknya leih berfikir secara kritis tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang diajarkan dengan cara berfikir yang mendalam dan radikal agar mendapat kesimpulan yang objektif.
  

   Daftar Rujukan

Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta:Erlangga.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).
Hardiman, F. Budi. 2003. Pustaka Filsafat Melampaui Positivisme Modernitas: diskursi filosofis tentang Metode Ilmiah dan Probem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Muslih, Mohammad. 2004. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:Belukar.
Kees Bertens, MSC. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Suhartono, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Yogyakarta:Ar- Ruzz Media.

 

No comments:

Post a Comment