Nia
Ulfia Krismawati 110731435544
Ermi
Liahana 110731435523
Kautsar
Ranggi 110731435553
Ahmad Danis F 110731435557
1.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Filsafat
merupakan kajian yang manarik. Selama ini filsafat kita kenal berasal dari
Yunani sebagai tempat lahirnya ilmu pengetahuan. Selain dari Yunani filsafat
juga berasal dari Jepang, Cina dan Arab. Filsafat telah berkembang sejak zaman
Pra-Yunani Kuno sampai zaman Modern. Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
filsafat memiliki arti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab,asal, dan hukumnya. Selain itu filsafat juga
merupakan teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Filsafat juga
merupakan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa filsafat merupakan suatu hal yang ada
disetiap sendi kehidupan, hal inilah yang membuat filsafat merupakan kajian
yang menarik.
Pada
makalah ini akan dibahas mengenai posotivisme. Positivisme sendiri merupakan
salah satu aliran dari filsafat. Istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte.
Istilah itu berasal dari kata positif yang terdapat pada prakata buku yang
ditulisnya dia mulai memakai istilah filsafat positif secara konsisten. Jadi
ada cerita tersendiri mengenai lahirnya aliran positivisme ini sehingga dalam
makalah ini juga akan dibahas mengenai proses kelahiran dan filsuf-filsuf pasca
revolusi di Paris yang menghasilkan pemikiran positivisme.
Auguste
Comte merupakan tokoh sentral atau filsuf dalam aliran filsafat positivisme.
Comte bisa dikatakan sebagai Bapak dari aliran positivisme karena
pemikiran-pemikiran dari Comte yang sangat kemtal berada dalam aliran
positivisme ini. Hal inilah yang menjadi dasar mengenai bahasan dalam makalah
ini mengenai pemikiran positivisme dari sudut pandang Comte. Dalam sebuah
pemikiran pasti akan ada pengaruh yang akan tampak. Dan dari pemikiran Comte
mengenai filsafat positivisme pasti ada pengaruh yang nampak dari sudut pandang
Comte tersebut.
Hal-hal
tersebut diatas merupakan beberapa alasan atau latar belakang yang muncul
sehingga makalah ini akan membahas mengenai filsafat positivisme dengan judul “PEMIKIRAN FILSAFAT POSITIVISME DARI SUDUT
PANDANG AGUSTE COMTE TAHUN 1798-1857”.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
proses kelahiran positivisme dan filsuf-filsuf pasca revolusi di paris?
2. Bagaimana
pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte?
3. Bagaimana
pengaruh pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte?
1.3 TUJUAN
1. Proses
kelahiran positivisme dan filsuf-filsuf pasca revolusi di paris
2. Pemikiran
positivisme dari sudut pandang Auguste Comte
3. Pengaruh
pemikiran positivisme dari sudut pandang Auguste Comte
II. PEMBAHASAN
2.1 Kelahiran
Positivisme
dan Filsuf-Filsuf Pasca Revolusi di Paris
Istilah positivisme diperkenalkan oleh
Comte. Istilah itu berasal dari kata positif yang terdapat pada prakata buku
yang ditulisnya dia mulai memakai istilah filsafat positif secara konsisten. “Kata filsafat tersebut dia artikan
sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia, sedangkan positif diartikan
sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang diamati.” (Hardiman, 2011:176). Dengan kata
lain positif sama dengan faktual, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam
hal ini positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui
fakta-fakta. “Positifisme
merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam.”(Muslih, 2004:94). Pada dasarnya
penelitian yang dilakukan adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada dan bagaimana realitas tersebut nyata berjalan.
Pada awal mula kemunculan dan perkembangan
dari aliran positivisme,
kita harus menghubungkannya dengan situasi filsafat di Prancis pada abad ke-
19. “Situasi
filsafat di Prancis pada saat itu sangatlah berbeda dengan situasi pada abad
ke- 18 yang sering dikenal dengan istilah zaman pencerahan, dimana pada saat zaman pencerahan
tersebut orang – orang lebih cenderung untuk melawan agama, pada abad ke- 19
tersebut terdapat filsuf Prancis yang mulai menghargai kembali peranan dimensi
rohani manusia.”(Hardiman,
2011:170). Bentuk dari menghargai kembali peranan dimensi rohani ini adalah
dengan menyerap kembali cita–cita spiritual idealisme di Jerman yang berkembang
pada abad ke- 18. Hal ini lah yang menjadi awal kemunculan dari aliran
positivisme dengan tokohnya yaitu Auguste Comte. Dan aliran ini sendiri menjadi
cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan sosiologi.
Persamaan
dan perbedaan dari idealisme dengan positivisme. “Apabila dilihat secara biasa tampak
antara keduanya memiliki perbedaan secara mencolok, yaitu idealisme mendukung
metafisika sedangkan positifisme menolak metafisika.” (Hardiman, 2011:170). Akan tetapi
apabila sudah dipelajari secara mendalam keduanya sama-sama spekulatif. Di
balik kata-kata filsafat positif, yang merupakan aliran yang menolak metafisika
tersebut ternyata tidak jauh dari metafisika. Jadi perbedaan dari keduanya
hanyalah bersifat ideologis.
Setelah terjadinya revolusi di Prancis
filsuf-filsuf di Prancis mulai terbagi-bagi seperti kaum tradisionalis dan Les Ideologue. Didalam kaum tradisonalis
terdapat beberapa tokoh-tokoh penting seperti De Maistre, De Bonald,
Chateaubrian, Lamennais. Count Joseph de Maistre merupakan seorang tokoh
konservatif yang sangat kukuh menyerang konsep kemajuan. Dalam Soiress de St. Petersbourg, dia
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih untuk menjelaskan
fenomena-fenomena fisik, dan bukan untuk menjelaskan agama. Yang bisa
menciptakan tatanan dan kemajuan bukan ilmu, melainkan iman, lebih khusus lagi
imam Katolik (Hardiman, 2011:171-172). Pada dasarnya dia ingin menemukan sebuah
dasar ajaran religius yang hilang karena modernisasi. Karena anggapan tersebut
dia berpendapat bahwa reformasi merupakan kejahatan terbesar umat manusia. Dan
dia juga sangat mengecam para filsuf pencerahan seperti Voltaire.
Di pihak lain terdapat beberapa
pendukung dari revolusi yang dinamakan sebagai les idologues. Kata ideologi yang terdapat dalam nama tersebut
berartikan sebagai studi mengenai asal usul ide-ide yang terungkap dalam bahsa
penalaran (Hardiman, 2011:172). Bersama rekan-rekannya De Volney dan Cabanis, De Tracy meneruskan
gagasan-gagasan pencerahan, khususnya dalam pikiran Condilla.Selain terdapat
dua kelompok yang tersebutkan diatas, ada pula kelompok-kelompok intelektual
lain yang menjelaskan ide-ide mengenai sosialis dan reorganisasi sosial. Dari
kelompok intelektual tersebut ada pula yang mendukung adanya revolusi. Bedanya
jika kaum ideolog mendukung dengan gagasan-gagasan yang “metafisis” kelompok
ini ingin memberikan saran praktis untuk pembaruan masyarakat (Hardiman,
2011:173). Menurut mereka revolusi itu sudah sukses menghasilkan suatu kebebasan,
namun persamaan dan persaudaraan harus diwujudkan malalui teori sosial. Dan
tokoh-tokoh dari kelompok ini seperti Fourier, Saint-Simon, dan Proudhon.
Francois Marie Charles Fourier sendiri mengikuti Rousseau dengan pandangannya
bahwa kebudayaan borjuis adalah cacat kemanusiaan, karena didalamnya berkuasa
egoisme dan kepentingan diri sendiri yang akan menghancurkan masyarakat.
“Sedangkan
menurut Claude-Henri de Saint-Simon berpendapat bahwa filsafat pencerahan abad
ke- 18 sudah menghancurkan religius dan feodalisme. Karena itu filsafat abad
ke- 19 harus menciptakan sebuah sistem integrasi baru yang cocok dengan
masyarakat ilmiah dan industrial.”
(Hardiman, 2011:174). Pada dasarnya reorganisasi masyarakat tersebut menurut
kaidah-kaidah ilmiah yang dihasilkan oleh pencerahan. Menurutnya ilmu
pengetahuanlah yang menghancurkan kekuasaan gereja dan menghasilkan
sekularisasi, maka unruk reorganisasi sosial ilmu-ilmu alam harus diperluas ke
bidang-bidang kemanusiaan. Meskipun
antara Fourier dan Sant-Simon mendukung revolusi sebenarnya mereka juga senada
dengan kaum tradisonalis. Keduanya sama-sama mengusulkan sebuah reorganisasi
sosial, hanya bentuk, dan integrasinya yang berbeda. Kaum tradisional ingin
kembali pada institusi tradisional, sedangkan kedua sosialis ini menginginkan
institusi-institusi masyarakat industrial. Dan pada kemudia hari Saint-Simon
mempersiapkan kelahiran sebuah aliran penting yang dirintis oleh Comte, yaitu
positivisme.
Beberapa
hal pokok mengenai positivisme dalam ilmu sejarah adalah sebagai berikut:
1. menetapkan
sejarah sebagai ilmu alam
2. metode
dan ukuran kebenaran berasal dari ilmu alam
3. kuatnya
dominasi ilmu pengetahuan alam dan tekhnologi
4. bebas
nilai
5. berusaha
menemukan hokum yang mekanis dan model sebab akibat
6. mengetahui
untuk meramalkan suatu hal.
Sedangkan positivisme dalam sejarah juga memberikan
pengaruh pemikiran seperti positivisme ini menekankan bahwa orientasi sejarah
bukanlah untuk memahami masa lalu tetapi untuk menemukan pola atau hokum. Jadi
postivisme ini menyatakan bahwa sejarah bukan hanya dipelajari guna untuk
mengetahui masa lalu saja tetapi juga dapat dipergunakan untuk menemukan sebuah
pola. Positivisme juga menuntut agar sejarah dapat menemukan kebenaran tunggal
yang berlaku umum. Selain itu positivisme juga menganggap bahwa objek yang
dikaji oleh sejarah identik dengan ilmu alam dan yang terakhir adalah suatu
sejarah dipandang objektif jika hasil dari analisis tidak dicampuri atau
dipengaruhi pemikiran dari para sejarawan.
2.2 Pemikiran Positivisme
Dari Sudut Pandang Auguste Comte
“Positivisme
yang menandai krisis pengetahuan barat itu sebenarnya merupakan salah satu dari
sekian banyak aliran filsafat barat, dan aliran ini berkembang sejak abab ke 19
dengan perintisnya auguste comte.”
(Hardiman, 2003:54) Auguste
Comte merupakan figur paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki sebagai
bapak positivisme.
Pada tahun terjadinya revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari
sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Ketika usia 25 tahun Auguste Comte studi di Ecole
Polytechnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari
pikiran-pikiran kaum kaum ideolog, tetapi juga Hume dan Condorcet. Saint-Simon
menerimanya sebagai sekretarisnya, dan karena hal itu maka pemikiran-pemikiran
dari Saint-Simon banyak mempengaruhi pemikirannya. Mereka memiliki kesamaan
pemikiran yaitu reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu
pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826
Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di
luar pendidikan resmi. Di dalam pendidikannya tersebut dia
mendirikan sebuah kelompok yang dinamakan Societe
positiviste dan saat itu juga dia menulis buku yang berjudul Course of Positive Philosophy akan
tetapi dia tidak bisa menyelesaikan penulisannya karena meninggal dunia dan pada saat itu murid-muridnya
menghormatinya sebagai orang kudus positivisme.
Positivisme
Aliran filsafat yang ditokohi oleh August Comte (1798-1857) ini merupakan
aliran sebagai pusat ilmu pengetahuan jika dilihat dari sisi pendidikan atau
manajemen pendidikan. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari
fakta yang positif sesuatu diluar fakta atau kegiatan di kesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Kamus positivisme percaya bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Filsafat
positivistime Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam
fikir manusia. Matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. August
Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia
Bagi Comte
untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode
ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs
dari syarat-syarat hidup
3. Metode
ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode
ini berusaha ke arah kecermatan.
Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a)
aspek ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat
dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat
dikontrol; (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi
terhadap fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian
bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan
prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. Sedangkan dalam rangka
mengkaji gejala sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki
pokok-pokok paradigma positivistik seperti keyakinan bahwa suatu teori memiliki
kebenaran yang bersifat universal, komitmen untuk berusaha mencapai taraf “objektif”
melalui fenomena, kepercayaan bahwa setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan
mengikuti hukum sebab akibat dan kepercayaan bahwa setiap variabel penelitian
dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya diformulasikan
menjadi teori dan hukum.
Ø Tahapan-Tahapan
Dalam Positivisme menurut August Comte
Positivisme sebagai aliran yang mengagungkan fakta-fakta
yang teramati secara langsung.”menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari
teraturnya masyarakat. Maka jiwa dan budi harus mendapatkan pendidkan yang
cukup dan matang. Sekarang ini sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu
positif, yaitu matematika, fisika biologi dan ilmu kemasyarakatan”, (Suhartono,2005:58).
Comte membagi perkembangan sejarah umat manusia ke dalam tiga tahap, yakni
yahap teologis, tahap metafisis dan tahap positivis. “ketiga tahap itu dipahami
Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu
keseluruhan dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan
individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja ke masa dewasa”, (Hardiman,
2011:178).
1. Tahap Teologis
Pada tahap
teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa-kuasa agung yang mengatur fungsi
dan gerak gejala-gejala tersebut. “Tahap ini merupakan
tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia
berusaha menerangkan segenap fakata atau kejadian dalam kaitannya dengan
teka-teki alam yang dianggapnya berupa misteri”, (Abidin, 2006:130). Kuasa agung
tersebut dipercaya memiliki kekuatan dan tingkatan yang lebih tinggi dibanding
dengan tingkatan manusia. “ Menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab
terakhir di belakang peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan
adimanusiawi”, (Hardiman, 2011:178). Kekuatan inilah yang dianggap manusia zaman
itu sebagai kekuatan dewa-dewa atau representasi dari Tuhannya. Tahap ini dapat
kita jumpai pada kehidupan manusia purba. Alam semesta dianggapa setara dengan
mereka dan dipandang memiliki jiwa, kehendak dan kekuatan untuk bertindk
sendiri.
Pada taraf
pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap yakni :
a.
Fetisime atau animisme .
Pada sub tahap ini merupakan yang paling primitif dan
kekanak-kanakan. “ manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa,
berkehendak dan berhasrat”, (Hardiman, 2011:178). Segala
sesuatu disekitarnya yang dianggap memiliki dan menyumbang kekuatan pada alam
disembah dan diagungkan. Keasadaran akan kekuatan-kekuatan alam mulai muncul
dalam bentuk yang sederhana dan sesuai dengan penggambaran indra manusia.
Manusia menghayati alam semesta tanpa mengenal konsep abstrak
a.
Politeisme
Pada tahap berikutnya adalah politeisme dimana
kekuatan-kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Setiap gejala
suci yang ditimbulkan dari alam memiliki dewa-dewa tersendiri (polytheisme. Seperti yang
kita ketahui ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa matahari dll. “Cara
berpikir lain yang lebih maju, yang sudah mulai menyatukan dan mengelompokkan
semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebih umum”, (Abidin, 2006:131).
Seperti contoh kepercayaan masyrakt Jawa dipercayai bahwa Dewi Sri yang
menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang.
b.
Monotheisme
Pada tahap ini
manusia mengganti dewa yang bermacam-macam menjadi satu tokoh tertinggi (esa),
yaitu pada tahap monoteisme dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan yang
disebut tuhan. Cara berpikir ini tidak
lagi mengakui aanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan kejadian-kejadian.
Tetapi hanya mengakui satu roh saja. Hakekat batiniah manusia yang percaya akan
kekuatan tunggal yang menguasai setiap gejala yang ada di dunia ini. “Monoteisme
memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama, yang kemudian dijadikan sebagai
pedomana masyarakat disamping sebgai landasan institusional serta kenegaraan
suatu bangsa dan sebagai alat justifikasi para raja atau kepala negara yang
sedang berkuasa”, (Abidin, 2006:132).
2. Tahap Metafisik
Tahap ini merupakan
transisi dari pemikiran Comte. Tidak
berbeda jauh dengan pemikiran teologis, dewa-dewa hanya diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah,
yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan
alam. Garis besarnya adalah alam
merupakan gabungan dari semua kekuatan kosmis yang ada disekitar kehidupan
manusia. peristiwa-peristiwa
tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. “Manusia
mulai megadakan perombakan atas cara berpikir lama, yang dianggapanya tidak
sanggup lagi memenuhi keinginan manusia ntk menumukan jawaban yang memuaskan
atas kejadian alam semesta”, (Abidin, 2006:132). Pemikiran manusia pada tahap
ini mulai meninggalkan dogma agama dengan berpikir keras mencari esensi-esensi
dari dari segala sesuatu. Manusia tidak hanya puas dengan pengertian umum namun
mencari argumentsi yang lebih logis.
3. Tahap Positif
Pada
tahap positif peristiwa-peristiwa alam dipahami secara
mendalam dengan menggunakan konsep ilmiah. Positivise menempatkan metodologi
ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi,
yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan”, (Hardiman, 2003:55). Metodolgi menjadi alat ukur dalam memandang
sebuah fakta. Segala gejala tidak diterima begitu saja namun lebih kepada
pemikiran secara logis dan tidak terikat dengan hal mistis. Hukum-hukum dan
ilmu pengetahuan mutlak diperlukan dalam mengetahui setiap maksud dibalik
peristiwa yang terjadi. Pengamatan dan
logika menjadi senjata utama dalam merangkai gejala-gejala menjadi sebuah fakta
umum.
Ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak
saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu
dan aspek ilmu pengetahuan.” Dengan memberi patok-patok yang faktual pada
pengetahuan, positivisme mendasarai ilmu-ilmu pengetahuan tentang fakta
objektif”, (Hardiman, 2003: 55). Lebih
jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan
manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Seperti yang dikatakan
menurut Comte hukum tiga zaman ini bukan saja berlaku bagi perkembangan
pengetahuan umat manusia seluruhnya melainkan berlaku juga bagi manusia
perorangan. (Bertens, 1975: 73)
Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat
positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala
yang nyata dan konkret. Maka ada
kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan dalam sudut pandang yang positif serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan
tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Dalam aliran positivisme,
kebenaran metafisis yang abstrak ditolak secara utuh karena tidak sesuai dengan
kebenaran mutlak logika manusia. “positivisme adalah sorotan khusunya terhadap
metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat
menitikberatkan pada metodologi dalm refleksi filsafatnya”, (Hardiman,
2003:54).
2.3 Pengaruh Pemikiran Positivisme dari Sudut Pandang Auguste Comte
Pemikiran positivisme dari Auguste Comte memberikan
pengaruh dalam berbagai ilmu pengetahuan meskipun pengaruh yang diberikan oleh
pemikiran tersebut tidak secara langsung. Menurut pengamatan dari beberapa ahli
filsafat barat, kontribusi dari pemikiran filsafat positivism Comte terhadap
kebudayaan barat, tampak dari beberapa hal seperti:
1. “
Semakin tebalnya optimisme masyarakat barat yang telah timbul sejak zaman
aufklarung mengenai hari depan umat manusia yang semakin baik atau maju.”
(Abidin, 2006: 138) jadi dapat dapat disimpulkan bahwa pemikiran positivisme
ini mampu memberikan dorongan pada masyarakat dalam menambah optimisme terhadap
masa depan, meskipun masyarakat belum mengetahui masa depan apa yang akan
dihadapi tetapi masyarakat lebih optimis bahwa mereka mampu mengahadapi masa
depan masing-masing
2. “
Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa sehingga mendorong
lahirnya model-model ilmu pengetahuan yang positif yang lepas dari
muatan-muatan spekulatif.” (Abidin, 2006: 139) dapat dilihat bahwa dengan
adanya pemikiran ini para ilmuwan lebih terdorong dalam melahirkan model-model
ilmu pengetahuan yang bersifat positif dan tentunya lepas dari muatan
spekulatif.
3. “Konsepsi
yang semakin meluas tentang kemajuan atau modernisasi yang meniitik beratkan
pada kemajuan dan modernisasi dalam bidang ekonomi, fisik dan teknologi (model
masyarakat industry).” (Abidin, 2006: 139) dalam hal ini pemikiran masyarakat
tentang konsepsi lebih berkembang dala artian lebih luas tentang kemajuan akan
suatu hal, disini tidak hanya kemajuan dalam bidang penting seperti ekonomi,
fisik dan teknologi saja, tetapi sudah merambah ke bidang-bidang lain.
4. Menguatkan
golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan.” (Abidin, 2006: 139)
Pengaruh yang terakhir berbentuk penguatan-penguatan terhadap golongan
teknokrat dan para pengusaha dalam bidang industri.
Pengaruh-pengaruh
atas aliran positivism ini memang memberikan dampak baik, tetapi meskipun
begitu pemikiran tersebut juga menimbulkan beberapa masalah seperti dalam
bidang pembangunan dan industrialisasi. Dalam hal tersebut positivisme
mengatakan bahwa satu-satunya motor penggerak industrialisasi dan kemajuan
adalah ilmu pengetahuan. Tetapi hal tersebut memunculkan presepsi bahwa
bangunan fisik material pada akhirnya merupakan tolok ukur dari keberhasilan
atau kemajuan pembangunan. Jadi dapat disimpulkan bahwa orientasi dari
pembangunan adalah pembangunan fisik material, sedangkan mental dari
pembangunan spiritual disini diandaikan akan mengikuti pembangunan fisik
material tersebut. Sedangakan dalam kehidupan sehari-hari pemikiran positivisme
ini juga menimbulkan masalah. Dalam hal ini lebih pada tentang nilai hidup
manusia yang dimaterialisasikan.
“jika
tolak ukur keberhasilan pembangunan adalah kemajuan di bidang fisik material
maka sasaran atau orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya
kekayaan material.” (Abidin, 2006: 139) dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kini tujuan hidup masyarakat bukan lagi pada kebahagian dan
kenikmatan kerja, melainkan lebih pada memperoleh materi dalam artian kekayaan
sebanyak-banyak dalam waktu singkat. Hal tersebut akan membuat manusia lebih
memilih jalan pintas untuk mendapatkan materi yang banyak. Selain itu juga
muncul anggapan bahwa kini manusia akan dipandang dari segi seberapa besar
akses dan kontribusi ekonomi dan insdustri yang dimiliki oleh seseorang. Nilai kesenian juga mendapatkan
masalah atas pengaruh dari pemikiran positivisme. ”Nilai estetik suatu karya
seni lukis tidak lagi karena nilai intrinsiknya melainkan karena nilai
ekonomisnya.” (Abidin, 2006: 138) dapat dilihat bahwa nilai estetik ini tidak
lagi dipandang dari keindahan ataupun makna yang terkadung melainkan dilihat
dari harga jual yang akan dicapai.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Istilah
positivisme diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata positif
yang terdapat pada prakata buku yang ditulisnya dia mulai memakai istilah
filsafat positif secara konsisten. Pada awal mula kemunculan dan perkembangan
dari aliran positivisme, kita harus menghubungkannya dengan situasi filsafat di
Prancis pada abad ke- 19. Auguste Comte merupakan figur paling representatif
untuk positivisme sehingga dia dijuluki sebagai bapak positivisme.
Positivisme
Aliran filsafat yang ditokohi oleh August Comte (1798-1857) ini merupakan
aliran sebagai pusat ilmu pengetahuan jika dilihat dari sisi pendidikan atau
manajemen pendidikan. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari
fakta yang positif sesuatu diluar fakta atau kegiatan di kesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pengaruh-pengaruh
atas aliran positivism ini memang memberikan dampak baik, tetapi meskipun
begitu pemikiran tersebut juga menimbulkan beberapa masalah seperti dalam
bidang pembangunan dan industrialisasi. Dalam hal tersebut positivisme
mengatakan bahwa satu-satunya motor penggerak industrialisasi dan kemajuan
adalah ilmu pengetahuan.
3.2 SARAN
·
Untuk pengajar
diharapkan dapat menyampaikan materi sejarah kepada siswa dengan lebih baik dan
mudah dimengerti tapi tetap dengan materi yang berbobot.
·
Untuk siswa yang
mempelajari sejarah sebaiknya leih berfikir secara kritis tentang
peristiwa-peristiwa sejarah yang diajarkan dengan cara berfikir yang mendalam
dan radikal agar mendapat kesimpulan yang objektif.
Daftar
Rujukan
Abidin,
Zainal. 2006. Filsafat Manusia Memahami
Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Hardiman,
F. Budi. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk
Dunia Modern. Jakarta:Erlangga.
Hardiman,
F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan
Modernitas. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).
Hardiman,
F. Budi. 2003. Pustaka Filsafat Melampaui Positivisme Modernitas:
diskursi filosofis tentang Metode Ilmiah dan Probem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Muslih,
Mohammad. 2004. Filsafat Ilmu Kajian Atas
Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta:Belukar.
Kees
Bertens, MSC. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Suhartono,
Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran
Filsafat Modern. Yogyakarta:Ar- Ruzz Media.
No comments:
Post a Comment