Anggraini Putri Astsania 110731435524
Nur Ikhsan Yusuf 110731435545
Prista Olympia P 1107314355xx
Siti Fathimah Hibatulloh 110731435555
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam
Historisme terdapat 4 arti yaitu, pertama menurut Leopold von Ranke (model
Ranke), yaitu: (1) memahami masa silam dengan bertolak belakang dari masa silam
itu sendiri dan menghindari anakronisme, (2) memperlihatkan keadaan masa silam,
dan (3) menolak menilai masa silam dengan tolak ukur masa kini. kedua yaitu
menurut hermeneutika, yakni memahami dari dalam. Arti historisme yang ketiga
mengacu pada pemikiran masa lalu. Historisme adalah sistem spekulatif tentang
sejarah. Selanjutnya, arti historisme yang terakhir yaitu historisme sebagai
pendekatan ilmiah. Pendekatan historis membuka kemungkinan untuk melacak
hakikat obyek di dalam kenyataan.
Terdapat
beberapa kritik terhadap historisme, yaitu: (1) penekanan pada sejarah politik,
(2) enggan memakan pendekatan ilmu-ilmu sosial karena lebih memerhatikan
keunikan, dan (3) relativisme etis, yaitu perbuatan pelaku sejarah hanya boleh
dikatikan dengan norma jamannya yang dipandang terlalu sempit.
Dari
historiografi tersebut terdapat banyak teori kajian salah satunya dalam metode
Narativisme. Sehingga yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang teori
filsafat narativisme dengan judul “Narativisme dalam Sejarah”.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian narativisme menurut
ahli?
2.
Bagaimana kelemahan dan kelebihan aliran
narativisme?
3.
Bagaimana tipe-tipe naratif dalam
sejarah?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian narativisme menurut ahli.
2. Mengetahui
kelemahan dan kelebihan aliran narativisme.
3. Mengetahui
tipe-tipe dalam naratif sejarah.
Pembahasan
D.
Pengertian
Narativisme Menurut Ahli
Pada umumnya karya
sejarah dapat dinilai menjadi dua bagian, masing-masing sejarah naratif dan
sejarah kritis. Sejarah prosesual tidak lain adalah sejarah yang menggambarkan
kejadian sebagai proses yang dicakup dalam uraian naratif atau cerita. Sejarah
naratif terutama lebih menekankan keindahan dan runut ceritanya daripada
menunjukkan keindahan dan runut kisah sejarah yang diketengahkan, melainkan
menunjukkan karakter peristiwa, nilai objektivitasnya, autensitasnya,
kredibilitasnya, dan sudah barang tentu menyajikan secara kritis kebenaran dari
peristiwa itu sendiri dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial yang bersifat
sinkronis.
Menurut Johann Gustav
Droysen (1808-1886), narrativisme adalah kisah yang memiliki kemampuan
merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh atau holistik
(Leirissa, 2002:16). Salah satu tokoh narativisme yang terkenal adalah Leopold
Von Ranke, disini ia lebih menekankan bawa narativisme lebih menitikberatkan
pada peristiwa, khususnya peristiwa politik.
Narativisme merupakan
salah satu aliran yang berbeda dengan positivism. Aliran ini berasal dari
bahasa latin narration yang berarti cerita. Pandangan ini beranggapan bahwa
pengetahuan historis pertama-tama terwujud dalam sebuah cerita historis bukan
bagian-bagiannya. Demikian pula kisah sejarah berbeda dengan kronik sejarah.
Pandangan narativisme dalam sejarah lebih dekat dengan pandangan presentisme
dalam pandangan Adam Schalf atau relativisme dalam pandangan LIyod. " Para
sejarawan yang menganutnya beranggapan bahwa ilmu sejarah adalah subjektif,
karena realitas sejarah betapapun juga tidak bisa diungkapkan secara obyektif,
sebab itu mereka berpendapat bahwa sejarawan perlu menjelaskan
subjektivitasnya, atau mengapa ia memilih suatu permasalahan historis dan
menolak yang lain” (Leirissa, 1994:4).
Narativisme mempunyai ciri-ciri yang menonjol
yaitu :
·
Sejarah
adalah kisah (history is story),
sehingga narasi merupakan sesuatu yang primer.
·
Interpretasi
bersifat menjadi sesuatu yang primer karena fakta tidak dapat berbicara tanpa
ada interpretasi dari sejarawan.
·
Kebenaran
berada dalam posisi relative
·
Berorientasi
pada masa kini. Masa lampau tidak dapat diungkap dari kelampauannya, karena
setiap kisah hanya ditulis dari perspektif jaman penulisnya (Yumono, 2010:17).
Sementara itu ahli
filsafat sejarah dari Inggris Ankersmit menjelaskan beberapa anggapan yang
terkait dengan narativisme, yaitu:
§ Sejarah bukan cermin dari masa lampau (seperti
pendapat empiris), tetapi sejarah adalah suatu konstruksi yang dibuat ahli
sejarah
§ Konstruksi yang mengkaitkan fakta-fakta itu
bukan kenyataan dari masa lampau, tetapi produk dari kisah, yaitu suatu
konstruksi berdasarkan cara pandang tertentu dari ahli sejarah mengenahi suatu
peristiwa
§ Hasil rekonstruksi tersebut merupakan suatu
pilihan dan kecenderungan sejarawan yang bersangkutan dalam melihat suatu
peristiwa sejarah dari cara pandang tertentu.
§ Kisah yang holistic dapat menjelaskan hubungan
sebab akibat
§ Semakin banyak kisah suatu peristiwa dari pelbagai
sudut pandang tertentu akan menjadikan peristiwa tersebut lebih mudah dan jelas
untuk dipahami.
Penganut
aliran narativisme beranggapan bahwa sejarah yang baik adalah sejarah yang
berhasil menampilkan sebuah kisah yang amat menarik dan berhasil mengkaitkan
antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Sebagaimana, sebelumnya bahwa
sejarah sebagai kisah dihasilkan oleh sejarawanlah yang menjadi tujuan utama.
Namun, dalam perkembangannya beberapa sejarawan yang cenderung menganut
pandangan narativisme juga tidak secara mutlak menekankan aspek narasi dan
kurang memperhatikan evidensi. Dalam perkembangannya mereka tetap berusaha
secara ketat bahwa sejarah sebagai kisah yang baik harus didukung oleh suatu
fakta.
E. Kelemahan dan Kelebihan Aliran Narativisme
Secara
umum, definisi narativisme dalam ilmu sejarah tidak jauh berbeda dari
pengertian diatas.Namun demikian, berbeda dengan kisah biasa, narativisme dalam
penceritaannya juga melalui tahap metode sejarah. Ranke mengatakan bahwa tugas sejarawan
adalah menceritakan kebenaran suatu peristiwa apa adanya, dan kebenaran sejarah
ada pada dokumen (istilahnya mengenai obyektifitas: “Wie es eigentlich
gewesen”). Dengan demikian, sejarawan bertugas untuk menguraikan fakta
dalam dokumen secara kronologis sebagai sebuah kesatuan cerita. Ankersmith
mengatakan bahwa kisah yang baik mengenai suatu peristiwa adalah kisah yang
banyak mengandung detail fakta-fakta. Kendati demikian, narativisme bukan hanya
menafsirkan masa silam dan menyusun laporan secara kronologis. Narativisme juga
ingin melukiskan sifat-sifat khas bagi suatu kurun tertentu (Ankersmith: 1987).
Dalam narativisme, Aktor memiliki
kedudukan penting, karena sejarah berbicara mengenai tokoh, dan tokoh itu harus
memiliki kategori yang menentukan perubahan.Sejarah tercipta, karena adanya
individu/tokoh yang melakukan sesuatu, karena aktorlah perubahan tercipta.
Narativisme akan mencontohkan, bahwa sukar untuk mendefinisikan terjadinya
Perang Dunia II, seandainya Hittler tidak dilahirkan ke dunia. Jadi
individualisme Hitler, adalah penting untuk menggambarkan terjadinya perang
yang menghancurkan kemanusiaan tersebut.
Dengan
demikian, kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga
mampu menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang
berkaitan.Sebagai karya sastra, tulisan narativisme menjadi suatu kisah yang
enak di baca.Apalagi didalamnya ada tokoh sentral dan pembantu, serta
figuran.Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya imajinasi.
Kelemahan Narativisme
Narativisme memiliki kelemahan
sebagai berikut:
1.
Narativisme
dianggap selalu berbicara mengenai orang besar, padahal sejarah juga mencakup
hal-hal yang kecil. Individu dilihat sebagai makhluk yang kreatif dan mampu
melakukan perubahan dengan sendirinya, padahal individu bukanlah sesuatu yang given.
Individu muncul sebagai proses adaptasi terhadap ekologinya. Hitler, muncul
dengan fasisnya harus dijelaskan dari sisi lain, bahwa saat itu Jerman dalam
posisi terhinakan karena PD I. Dan untuk itu Hitler memerlukan kepercayaan diri
bagi bangsanya, jalannya yaitu dengan praktek rasial.
2.
Narativisme
hanya menjelaskan sejarah atas dasar fakta yang ada pada dokumen. Padahal
banyak kebenaran yang luput dituliskan, dan hal ini penting untuk menjelaskan
suatu peristiwa. Dokumen juga memiliki banyak kelemahan, ketika ditulis,
hal-hal yang ada dalam dokumen sudah melalui tahap seleksi. Karenanya, ia harus
dipahami sebagai suatu karya yang disusun berdasarkan selera dan kepentingan
penulisnya. Kemudian kelemahan lain dokumen, yaitu karena ia diproduksi oleh
suatu institusi. Terdapat kecenderungan, bahwa institusi hanya akan
menceritakan sesuatu yang baik bagi dirinya.
3.
Narativisme
menekankan pemahaman literal, artinya hanya menggunakan data dokumen
sebagaimana adanya. Narativisme menekankan hubungan sebab-akibat, tanpa melihat
alternatif pilihan yang lain. Tidak mencari “sesuatu” yang berada dibawah
permukaan. Ketika bercerita mengenai perlawanan Pitung, narativisme hanya
melihat apa dan bagaimana jalannya perlawanan. Tanpa mau melihat bahwa
Perlawanan Pitung, muncul dari sisi mentalitas kaum betawi-santri, klas sosial
dan faktor-faktor lainnya.
Narativisme
atau pemaparan secara narativ dikembangkan oleh Ankersmit yang mengikuti
pendapat Johann Gustav Droysen (1808-1886), bahwa kisah memiliki kemampuan
merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh
(holistik).[1] Dengan pendekatan ini, sejarawan – diharapkan – dapat
menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran, jika tidak boleh dikatakan
obyektif, dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang
terdapat di dalam sumber sejarah.
(holistik).[1] Dengan pendekatan ini, sejarawan – diharapkan – dapat
menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran, jika tidak boleh dikatakan
obyektif, dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang
terdapat di dalam sumber sejarah.
Dalam pendekatan narativ, peristiwa
menjadi titik fokus utama. Ia tidak
melihat aspek apapun kecuali peristiwa itu sendiri. Peristiwa sejarah yang
hanya terjadi satu kali saja (einmalig). Dan pendekatan narativ melihat bahwa
sejarah merupakan tampilan peristiwa masa lalu yang diisi oleh tokoh-tokoh,
orang-orang yang dianggap eksponen dari masyarakat. Jadi para tokoh-tokoh
tersebut menjadi satu kesatuan dengan peristiwa sejarah. Oleh karenanya
pendekatan narativ ini seringkali bersifat elitis, karena hanya mengisahkan
peristiwa masa lalu dari puncak kekuasaan.
melihat aspek apapun kecuali peristiwa itu sendiri. Peristiwa sejarah yang
hanya terjadi satu kali saja (einmalig). Dan pendekatan narativ melihat bahwa
sejarah merupakan tampilan peristiwa masa lalu yang diisi oleh tokoh-tokoh,
orang-orang yang dianggap eksponen dari masyarakat. Jadi para tokoh-tokoh
tersebut menjadi satu kesatuan dengan peristiwa sejarah. Oleh karenanya
pendekatan narativ ini seringkali bersifat elitis, karena hanya mengisahkan
peristiwa masa lalu dari puncak kekuasaan.
Metodologi ini menggunakan
hermeneutika sebagai cara untuk “menerjemahkan” masa lalu. Melalui hermeneutika
proses penerjemahan masa lalu itu dilakukan dengan cara membaca dan memahami
(verstehen) isi dari dokumen-dokumen sejarah tanpa harus memberikan analisis
dengan terperinci. Jadi metode ini mengutamakan penyampaian keadaan masa lalu
sesuai dengan apa yang terkandung dalam dokumen sejarah. Wie ist eigentlich gewesen atau apa yang sesungguhnya terjadi
(dalam peristiwa masa lalu) menjadi rujukan utama dalam metodologi ini.
Metodologi Ankersmit menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana obyektifitas konstruksi sejarah yang dibangun melalui metodologi ini dapat
dipertanggungjawabkan.Terlebih ketika obyektivitas menjadi syarat mutlak untuk
diterima sebagai ilmu pengetahuan.Ia kemudian menjawab berbagai pertanyaan itu dengan jawaban bahwa obyektivitas itu sesuatu yang relatif, dan tak bisa
dicapai sepenuhnya. Dengan merujuk pendapat Popper, ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah mencapai kemurnian yang sesungguhnya, karenanya akan selalu ada berbagai upaya untuk menyempurnakan teorinya.
Ada berbagai kelemahan dalam metodologi ini. Pertama menyangkut intepretasi sejarawan terhadap fakta sejarah.Sebagaimana diketahui bahwa sejarawan dalam kerjanya dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya personal bias, conflict theory, perbedaan ideologi, latar belakang budaya dan sebagainya. Tarik menarik intepretasi bukan akan menambah pengetahuan, alih-alih justru akan membingungkan dan tidak akan menambah pengetahuan. Kebenaran sejarah melalui metodologi ini dipandang sebuah hal yang relatif, lebih kasar lagi, mungkin absurd.
Ketidaktepatan penerjemahan peristiwa masa lalu yang terkandung dalam dokumen bahkan bisa menyebabkan munculnya kerancuan atau sesat pikir tentang peristiwa itu sendiri. Benar Ankersmit mengatakan bahwa hal tersebut bisa teratasi dengan munculnya berbagai karya sejarawan yang meneliti satu peristiwa yang sama, semakin banyak buku mengenai peristiwa yang sama terbit, maka semakin kaya pengetahuan. Namun bagaimana jika hanya seorang sejarawan saja yang melakukannya? Dan bagaimana pula jika dalam proses hermeneutika ia melakukan kesalahan? Bukankah hanya pengetahuan yang “salah alamat” saja yang didapatkan.
Kedua, sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa metodologi ini teramat elitis.Karena hanya menumpukan penulisan sejarah dari peristiwa masa lalu dimana para kaum elit menjadi satu dalam peristiwa itu sendiri.Bagaimana dengan mereka yang tak pernah tercatat dalam dokumen resmi pemerintah, seperti halnya di banyak negara dunia ketiga, kaum perempuan, orang-orang miskin, petani di pedesaan dan buruh-buruh pabrik jarang dicatat dalam dokumen resmi pemerintah? Padahal mereka pun punya peran dalam sejarah, betatapun kecil peran itu.
Kelemahan ketiga dalam metodologi ini adalah kemungkinan munculnya kesalahan dalam menyajikan kisah atau pembahasan dalam proses penulisan. Kemungkinan keasalahan bahasa yang emotif atau penggunaan bahasa yang emosional akibat pengaruh personal bias si sejarawan (karena mungkin ia memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah yang ditelitinya) menyebabkan penggambaran yang hiperbolis atas suatu peristiwa. Dan hal itu tentunya akan mereduksi realitas faktual dari peristiwa sejarah tersebut.
Keempat atau kelemahan yang terakhir dalam metodologi ini adalah penulisan sejarah yang hanya bertumpu pada sumber tertulis saja.Lengkap atau tidaknya dokumen menjadi ukuran utama penulisan sebuah peristiwa. Bukan mustahil penelusuran masa lalu akan terhenti ketika dokumen tertulis tidak lengkap, atau mungkin hancur dimakan zaman. Padahal sumber lisan pun dapat mengisi kekosongan sumber tertulis.
Kelebihan dari metodologi narativisme ini adalah sejarawan tidak dibebani tugas yang berlebih kecuali menerjemahkan peristiwa masa lalu (hermeneutika) itu sendiri dan kemudian menuliskannya. Sejarawan tak bertugas untuk memberikan analisisnya yang kritis terhadap peristiwa masa lalu. Dengan kata lain, metodologi ini membuat kerja sejarawan lebih ringan. Hanya dengan pengetahuan bahasa dan seni dalam intepretasi, penulisan sudah dapat dilakukan, tentu jika dokumen tertulis yang tersedia cukup untuk menghadirkan masa lalu itu sendiri
F. Tipe-Tipe dalam Naratif Sejarah
Naratif
historis sering dipertanyakan kredibilitas dan keadilannya sehingga sering
menjadi perdebatan. McCullagh (2010: 175-176) menyatakan bahwa identifikasi atas
jenis-jenis naratif perlu dilakukan untuk memahami perdebatan ini. Penting juga
untuk membandingkan tiga jenis yang berbeda dari naaraatif historis, yakni:
struktur-struktur yang logis (commonsense),
pola-pola koligatori, dan rangkuman interpretasi-interpretasi. Permasalahan
menjadi semakin rumit adalah bahwa naratif-naratif historis yang baik
menggambarkan berdasarkan prasangka tentang sifat subyek historis mereka dan
memilih hanya aspek-aspek dari sejarah yang menarik bagi sejarawan.
Pada
beberapa abad lalu, sejarawan mencari sebuah pola perubahan dalam seluruh
sejarah barat, kemudian menulis sejarah untuk mengilustrasikan pola-pola yang
telah mereka temukan. Pola-pola yang ditemukan disebut metanaratif oleh
Lyotard. Metanaratif yang dimaksud Lyotard adalah tulisan yang sangat umum
tentang perubahan historis. Metanaratif sendiri adalah cerita-cerita tentang
penindasan orang kulit hitam, perempuan, orang miskin, dan homoseksual: selain
tentang cerita pengeksploitasian alam (McCullagh, 2010: 179). Cerita ini
diungkapkan dengan harapan dapat mendorong pemerintahan untuk menjalankan
hukum, mengungkap keganasan penindasan, dan memeliahara keuntungan dan
keindahan alam.
Dalam
rangka untuk menilai kredibilitas keadilan, dan kejelasan (intelligibility) dari sebuah naratif historis, penting untuk
mengidentifikasi jenis narartif yang dimaksud. Pemisahan yang paling penting
untuk dicatat adalah bahwa di antara naratif-naratif yang dimaksud untuk
memberikan sebuah tulisan yang komprehensif tentang subyek yang dipilih dan
metanaratif-metanaratif yang secara sederhana menunjukkan masa lalu yang
menarik naratif-naratif yang komprehensif diharapkan untuk memberikan
tulisan-tulisan tentang subyeknya yang bukan hanya kredibel dan jelas, namun
juga adil (McCullagh, 2010: 181). Dalam praktiknya, pemisahan antara ketiga
tipe naratif McCullagh tidak selalu jelas, namun terdapat cukup
perbedaan-perbedaan diantara ketiganya yang menjustifikasikan karakteristik
ketiganya secara terpisah. Berikut dijelaskan mengenai tiga tipe naratif yang
telah disebutkan:
1.
Naratif yang Logis
Naratif-naratif
yang logis menggunakan konsep-konsep sehari-hari untuk mengidentifikasi
subyek-subyek naratif dan keyakinan sehari-hari tentang penyebab-penyebab
tindakan dan peristiwa untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Teori-teori
tentang pentingnya minat manusia dan insting alami dalam memotivasi perilaku
orang-orang diterima secara umum dan dikenal saat ini sebagai hal yang masuk
akal (commonsense). Terdapat beberapa
bentuk-bentuk umum dari naratif-naratif logis, sebagai berikut:
a.
Beberapa menelusuri sejarah tentang
subyek historis yang terus-menerus, sebagai contoh sejarah orang atau sebuah
institusi.
b.
Banyak naratif-naratif logis memelajari
hubungan-hubungan antara dua atau lebih kelompok-kelompok orang. Godaaan ketika
mendeskripsikan hubungan-hubungan kompetitif bagi sejarawan adalah ketika
merasakan simpati yang berlebih kepada satu sisi dibandingkan kepada sisi
lainnya.
c.
Beberapa sejarah yang masuk akal
mendeskripsikan dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang membawa sebuah
perubahan khusus tentang suatu hal.
d.
Beberapa sejarah yang logis
mendeskripsikan penyebab-penyebab sebuah peristiwa utama. Naratif-naratif yang
logis bukan hanya mendeskripsikan sejarah tentang subyek-subyek, namun
dirancang untuk membuatnya menjadi jelas.
2.
Pola-Pola Koligatori
McCullagh
(2010: 192) menjelaskan bahwa:
Konsep-konsep
yang digunakan untuk mendeskripsikan pola-pola ini bukanlah konsep-konsep
sehari-hari, namun merupakan konsep yang dikembangkan dari studi tentang
sejarah, seperti ‘renaissans’ dan ‘revolusi’. Kata kolgasi diambil dari kata
Latin colligere yang artinya membawa
sesuatu bersama-sama. Beberapa kata dan frase koligatori menamai pola-pola yang
unik, dalam cara yang sama seperti nama-nama yang bermakna orang atau
tepat-tempat yang unik. Sejumlah kata koligatori menamai pola-pola umum,
seperti kata benda umum yang bermakna banyak hal (filosof mengatakan mereka
menamai kelas-kelas tentang berbagai hal). Frase ‘Revolusi Perancis’ bermakna
satu pola peristiwa. Sementara kata ‘revolusi’ adalah kata benda umum, yang
dapat digunakan untuk memaknai rangkaian revolusi.
W.
H. Walsh adalah orang pertama yang menggunakan kata ‘koligasi’ dalam sejarah
(Walsh, 1958: 59-64), ketika dia menekankan bahwa sejarawan sering menulis
tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa secara jelas dengan menunjukkannya
sebagai bagian dari sebuah pola. Contoh pertamanya adalh beberapa peristiwa
dideskripsikan sebagai alat, dimana dengan alat tersebut Hitler membawa
kebijakannya ‘tentang tuntutan Jerman dan ekspansi’.
3.
Rangkuman Interpretasi-Interpretasi
McCullagh
(2010: 201) menjelaskan bahwa:
Sekali
sejarawan telah menulis sebuah naratif-naratif yang logis tentang sebuah subyek
historis, mereka seringkali melihat pada sejarah untuk melihat apakah mungkin
untuk merangkum, terminologi-terminologi umum, yang telah dideskripsikan.
Mereka menginginkan sebuah rangkuman yang kredibel dan adil, dan jika mungkin
juga jelas.
Terkadang
rangkuman interpretasi secara sederhana ditambahkan pada naratif logis, sebagai
sebuah refleksi terhadap apa yang telah diungkapkan. Sebagai contoh, R. B.
Woods menulis sebuah biografi yang sangat detail tentang Senator J. W.
Fulbright (Woods: 1995). Pada bagian akhir biografi, dia merefleksikan karakter
Fulbright sebagai sebuah cara untuk merangkumnya dan beberapa karakter yang
hadir menjelaskan apa yang telah diungkapkan. Berdasarkan Woods,
komentator-komentator telah menemukan bahwa hal tersebut merupakan kesulitan
untuk melihat karakter Fulbright secara logis, karena terkadang ia bersika
sebagai seorang liberal dan terkadang seperti seorang konservatif.
Meskipun
terdapat penambahan sebuah interpretasi umum tentang sebuah subyek historis
terhadap sebuah naratif yang logis tentang subyek historis, sejarawan
seringkali menggunakan sebuah interpretasi tertentu untuk memberikan struktur
pada naratifnya. Sebuah interpretasi yang umum tentang peristiwa-peristiwa yang
menyusun Revolusi Inggris antara tahun 1640-1660, merangkum tentang
kelompok-kelompok yang terlibat dan alasan-alasan perilaku mereka satu sama
lain. Dalam hal ini terdapat sebuah contoh tesis dalam buku Davis Underdown
yang berjudul A Freeborn People. Politics
and Nation in Seventeenth Century England (1996). Underdown
mengidentifikasi dua budaya politik dalam abad ke-17 di Inggris dimana dia
menamai keduanya sebagai ‘elite’ dan ‘populer’, serta mengikuti istilah
Disraeli dengan menyebut dua hal ini sebagai ‘dua bangsa’.
Penutup
Kesimpulan
Narrativisme adalah kisah yang memiliki kemampuan merangkaikan
peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh atau holistik. Kelemahan dari
narativisme adalah narativisme
dianggap selalu berbicara mengenai orang besar, narativisme hanya menjelaskan
sejarah atas dasar fakta yang ada pada dokumen. narativisme menekankan pemahaman
literal. Narativisme terbagi menjadi beberapa kenis
yaitu naratif
yang logis, Pola-Pola Koligatori, dan Rangkuman Interpretasi-Interpretasi.
Daftar
Rujukan
Bertens, K.
1998. Ringkasan Sejarah Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Hasbullah, M.
2012. Filsafat Sejarah. tidak
diketahui: Pustaka Setia.
Hadiwijono, H.
1980. Sari Sejarah Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Leirissa, R. Z.
1994. Sejarah Indonesia Modern; Antara Kontinuitas
dan Diskontinuitas. Dalam Prisma No. 10 tahun XXIII. Hal. 3-20.
Latief, J. A.
2012. Manusia, filsafat dan Sejarah.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
McCullagh, C. B.
2010. Logic of History: Perspektif
Postmodernisme. Yogyakarta: Lilin.
Poespoprodjo, W.
1999. Filsafat Moral. Bandung: CV.
Pustaka Grafika.
Yuwono, A. N.
2010. Suplemen Penulisan Skripsi.
Malang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
min bisa izin copas ?
ReplyDelete