Songs

Tuesday, February 4, 2014

Narativisme dalam Sejarah



 Anggraini Putri Astsania 110731435524
Nur Ikhsan Yusuf 110731435545
Prista Olympia P 1107314355xx
Siti Fathimah Hibatulloh 110731435555

 Pendahuluan
A.      Latar Belakang
Dalam Historisme terdapat 4 arti yaitu, pertama menurut Leopold von Ranke (model Ranke), yaitu: (1) memahami masa silam dengan bertolak belakang dari masa silam itu sendiri dan menghindari anakronisme, (2) memperlihatkan keadaan masa silam, dan (3) menolak menilai masa silam dengan tolak ukur masa kini. kedua yaitu menurut hermeneutika, yakni memahami dari dalam. Arti historisme yang ketiga mengacu pada pemikiran masa lalu. Historisme adalah sistem spekulatif tentang sejarah. Selanjutnya, arti historisme yang terakhir yaitu historisme sebagai pendekatan ilmiah. Pendekatan historis membuka kemungkinan untuk melacak hakikat obyek di dalam kenyataan.
Terdapat beberapa kritik terhadap historisme, yaitu: (1) penekanan pada sejarah politik, (2) enggan memakan pendekatan ilmu-ilmu sosial karena lebih memerhatikan keunikan, dan (3) relativisme etis, yaitu perbuatan pelaku sejarah hanya boleh dikatikan dengan norma jamannya yang dipandang terlalu sempit.
Dari historiografi tersebut terdapat banyak teori kajian salah satunya dalam metode Narativisme. Sehingga yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang teori filsafat narativisme dengan judul “Narativisme dalam Sejarah”.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian narativisme menurut ahli?
2.      Bagaimana kelemahan dan kelebihan aliran narativisme?
3.      Bagaimana tipe-tipe naratif dalam sejarah?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian narativisme menurut ahli.
2.      Mengetahui kelemahan dan kelebihan aliran narativisme.
3.      Mengetahui tipe-tipe dalam naratif sejarah.

Pembahasan
D.      Pengertian Narativisme Menurut Ahli
Pada umumnya karya sejarah dapat dinilai menjadi dua bagian, masing-masing sejarah naratif dan sejarah kritis. Sejarah prosesual tidak lain adalah sejarah yang menggambarkan kejadian sebagai proses yang dicakup dalam uraian naratif atau cerita. Sejarah naratif terutama lebih menekankan keindahan dan runut ceritanya daripada menunjukkan keindahan dan runut kisah sejarah yang diketengahkan, melainkan menunjukkan karakter peristiwa, nilai objektivitasnya, autensitasnya, kredibilitasnya, dan sudah barang tentu menyajikan secara kritis kebenaran dari peristiwa itu sendiri dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial yang bersifat sinkronis.
Menurut Johann Gustav Droysen (1808-1886), narrativisme adalah kisah yang memiliki kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh atau holistik (Leirissa, 2002:16). Salah satu tokoh narativisme yang terkenal adalah Leopold Von Ranke, disini ia lebih menekankan bawa narativisme lebih menitikberatkan pada peristiwa, khususnya peristiwa politik.
Narativisme merupakan salah satu aliran yang berbeda dengan positivism. Aliran ini berasal dari bahasa latin narration yang berarti cerita. Pandangan ini beranggapan bahwa pengetahuan historis pertama-tama terwujud dalam sebuah cerita historis bukan bagian-bagiannya. Demikian pula kisah sejarah berbeda dengan kronik sejarah. Pandangan narativisme dalam sejarah lebih dekat dengan pandangan presentisme dalam pandangan Adam Schalf atau relativisme dalam pandangan LIyod. " Para sejarawan yang menganutnya beranggapan bahwa ilmu sejarah adalah subjektif, karena realitas sejarah betapapun juga tidak bisa diungkapkan secara obyektif, sebab itu mereka berpendapat bahwa sejarawan perlu menjelaskan subjektivitasnya, atau mengapa ia memilih suatu permasalahan historis dan menolak yang lain” (Leirissa, 1994:4).
Narativisme mempunyai ciri-ciri yang menonjol yaitu :
·         Sejarah adalah kisah (history is story), sehingga narasi merupakan sesuatu yang primer.
·         Interpretasi bersifat menjadi sesuatu yang primer karena fakta tidak dapat berbicara tanpa ada interpretasi dari sejarawan.
·         Kebenaran berada dalam posisi relative
·         Berorientasi pada masa kini. Masa lampau tidak dapat diungkap dari kelampauannya, karena setiap kisah hanya ditulis dari perspektif jaman penulisnya (Yumono, 2010:17).
Sementara itu ahli filsafat sejarah dari Inggris Ankersmit menjelaskan beberapa anggapan yang terkait dengan narativisme, yaitu:
§  Sejarah bukan cermin dari masa lampau (seperti pendapat empiris), tetapi sejarah adalah suatu konstruksi yang dibuat ahli sejarah
§  Konstruksi yang mengkaitkan fakta-fakta itu bukan kenyataan dari masa lampau, tetapi produk dari kisah, yaitu suatu konstruksi berdasarkan cara pandang tertentu dari ahli sejarah mengenahi suatu peristiwa
§  Hasil rekonstruksi tersebut merupakan suatu pilihan dan kecenderungan sejarawan yang bersangkutan dalam melihat suatu peristiwa sejarah dari cara pandang tertentu.
§  Kisah yang holistic dapat menjelaskan hubungan sebab akibat
§  Semakin banyak kisah suatu peristiwa dari pelbagai sudut pandang tertentu akan menjadikan peristiwa tersebut lebih mudah dan jelas untuk dipahami.
Penganut aliran narativisme beranggapan bahwa sejarah yang baik adalah sejarah yang berhasil menampilkan sebuah kisah yang amat menarik dan berhasil mengkaitkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Sebagaimana, sebelumnya bahwa sejarah sebagai kisah dihasilkan oleh sejarawanlah yang menjadi tujuan utama. Namun, dalam perkembangannya beberapa sejarawan yang cenderung menganut pandangan narativisme juga tidak secara mutlak menekankan aspek narasi dan kurang memperhatikan evidensi. Dalam perkembangannya mereka tetap berusaha secara ketat bahwa sejarah sebagai kisah yang baik harus didukung oleh suatu fakta.

E.       Kelemahan dan Kelebihan Aliran Narativisme
Secara umum, definisi narativisme dalam ilmu sejarah tidak jauh berbeda dari pengertian diatas.Namun demikian, berbeda dengan kisah biasa, narativisme dalam penceritaannya juga melalui tahap metode sejarah. Ranke mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah menceritakan kebenaran suatu peristiwa apa adanya, dan kebenaran sejarah ada pada dokumen (istilahnya mengenai obyektifitas: “Wie es eigentlich gewesen”). Dengan demikian, sejarawan bertugas untuk menguraikan fakta dalam dokumen secara kronologis sebagai sebuah kesatuan cerita. Ankersmith mengatakan bahwa kisah yang baik mengenai suatu peristiwa adalah kisah yang banyak mengandung detail fakta-fakta. Kendati demikian, narativisme bukan hanya menafsirkan masa silam dan menyusun laporan secara kronologis. Narativisme juga ingin melukiskan sifat-sifat khas bagi suatu kurun tertentu (Ankersmith: 1987).
Dalam narativisme, Aktor memiliki kedudukan penting, karena sejarah berbicara mengenai tokoh, dan tokoh itu harus memiliki kategori yang menentukan perubahan.Sejarah tercipta, karena adanya individu/tokoh yang melakukan sesuatu, karena aktorlah perubahan tercipta. Narativisme akan mencontohkan, bahwa sukar untuk mendefinisikan terjadinya Perang Dunia II, seandainya Hittler tidak dilahirkan ke dunia. Jadi individualisme Hitler, adalah penting untuk menggambarkan terjadinya perang yang menghancurkan kemanusiaan tersebut.
Dengan demikian, kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga mampu menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan.Sebagai karya sastra, tulisan narativisme menjadi suatu kisah yang enak di baca.Apalagi didalamnya ada tokoh sentral dan pembantu, serta figuran.Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya imajinasi.
Kelemahan Narativisme
Narativisme memiliki kelemahan sebagai berikut:
1.        Narativisme dianggap selalu berbicara mengenai orang besar, padahal sejarah juga mencakup hal-hal yang kecil. Individu dilihat sebagai makhluk yang kreatif dan mampu melakukan perubahan dengan sendirinya, padahal individu bukanlah sesuatu yang given. Individu muncul sebagai proses adaptasi terhadap ekologinya. Hitler, muncul dengan fasisnya harus dijelaskan dari sisi lain, bahwa saat itu Jerman dalam posisi terhinakan karena PD I. Dan untuk itu Hitler memerlukan kepercayaan diri bagi bangsanya, jalannya yaitu dengan praktek rasial.
2.        Narativisme hanya menjelaskan sejarah atas dasar fakta yang ada pada dokumen. Padahal banyak kebenaran yang luput dituliskan, dan hal ini penting untuk menjelaskan suatu peristiwa. Dokumen juga memiliki banyak kelemahan, ketika ditulis, hal-hal yang ada dalam dokumen sudah melalui tahap seleksi. Karenanya, ia harus dipahami sebagai suatu karya yang disusun berdasarkan selera dan kepentingan penulisnya. Kemudian kelemahan lain dokumen, yaitu karena ia diproduksi oleh suatu institusi. Terdapat kecenderungan, bahwa institusi hanya akan menceritakan sesuatu yang baik bagi dirinya.
3.        Narativisme menekankan pemahaman literal, artinya hanya menggunakan data dokumen sebagaimana adanya. Narativisme menekankan hubungan sebab-akibat, tanpa melihat alternatif pilihan yang lain. Tidak mencari “sesuatu” yang berada dibawah permukaan. Ketika bercerita mengenai perlawanan Pitung, narativisme hanya melihat apa dan bagaimana jalannya perlawanan. Tanpa mau melihat bahwa Perlawanan Pitung, muncul dari sisi mentalitas kaum betawi-santri, klas sosial dan faktor-faktor lainnya.
Narativisme atau pemaparan secara narativ dikembangkan oleh Ankersmit yang mengikuti pendapat Johann Gustav Droysen (1808-1886), bahwa kisah memiliki kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh
(holistik).[1] Dengan pendekatan ini,  sejarawan – diharapkan – dapat
menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran, jika tidak boleh dikatakan
obyektif, dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang
terdapat di dalam sumber sejarah.
Dalam pendekatan narativ, peristiwa menjadi titik fokus utama. Ia tidak
melihat aspek apapun kecuali peristiwa itu sendiri. Peristiwa sejarah yang
hanya terjadi satu kali saja (einmalig). Dan pendekatan narativ melihat bahwa
sejarah merupakan tampilan peristiwa masa lalu yang diisi oleh tokoh-tokoh,
orang-orang yang dianggap eksponen dari masyarakat. Jadi para tokoh-tokoh
tersebut menjadi satu kesatuan dengan peristiwa sejarah. Oleh karenanya
pendekatan narativ ini seringkali bersifat elitis, karena hanya mengisahkan
peristiwa masa lalu dari puncak kekuasaan. 
Metodologi ini menggunakan hermeneutika sebagai cara untuk “menerjemahkan” masa lalu. Melalui hermeneutika proses penerjemahan masa lalu itu dilakukan dengan cara membaca dan memahami (verstehen) isi dari dokumen-dokumen sejarah tanpa harus memberikan analisis dengan terperinci. Jadi metode ini mengutamakan penyampaian keadaan masa lalu sesuai dengan apa yang terkandung dalam dokumen sejarah. Wie ist eigentlich gewesen atau apa yang sesungguhnya terjadi (dalam peristiwa masa lalu) menjadi rujukan utama dalam metodologi ini.
Metodologi Ankersmit menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana obyektifitas konstruksi sejarah yang dibangun melalui metodologi ini dapat

dipertanggungjawabkan.Terlebih ketika obyektivitas menjadi syarat mutlak untuk

diterima sebagai ilmu pengetahuan.Ia kemudian menjawab berbagai pertanyaan itu dengan jawaban bahwa obyektivitas itu sesuatu yang relatif, dan tak bisa

dicapai sepenuhnya. Dengan merujuk pendapat Popper, ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah mencapai kemurnian yang sesungguhnya, karenanya akan selalu ada berbagai upaya untuk menyempurnakan teorinya. 
Ada berbagai kelemahan dalam metodologi ini. Pertama menyangkut intepretasi sejarawan terhadap fakta sejarah.Sebagaimana diketahui bahwa sejarawan dalam kerjanya dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya personal bias, conflict theory, perbedaan ideologi, latar belakang budaya dan sebagainya. Tarik menarik intepretasi bukan akan menambah pengetahuan, alih-alih justru akan membingungkan dan tidak akan menambah pengetahuan. Kebenaran sejarah melalui metodologi ini dipandang sebuah hal yang relatif, lebih kasar lagi, mungkin absurd. 
Ketidaktepatan penerjemahan peristiwa masa lalu yang terkandung dalam dokumen bahkan bisa menyebabkan munculnya kerancuan atau sesat pikir tentang peristiwa itu sendiri. Benar Ankersmit mengatakan bahwa hal tersebut bisa teratasi dengan munculnya berbagai karya sejarawan yang meneliti satu peristiwa yang sama, semakin banyak buku mengenai peristiwa yang sama terbit, maka semakin kaya pengetahuan. Namun bagaimana jika hanya seorang sejarawan saja yang melakukannya? Dan bagaimana pula jika dalam proses hermeneutika ia melakukan kesalahan? Bukankah hanya pengetahuan yang “salah alamat” saja yang didapatkan. 
Kedua, sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa metodologi ini teramat elitis.Karena hanya menumpukan penulisan sejarah dari peristiwa masa lalu dimana para kaum elit menjadi satu dalam peristiwa itu sendiri.Bagaimana dengan mereka yang tak pernah tercatat dalam dokumen resmi pemerintah, seperti halnya di banyak negara dunia ketiga, kaum perempuan, orang-orang miskin, petani di pedesaan dan buruh-buruh pabrik jarang dicatat dalam dokumen resmi pemerintah? Padahal mereka pun punya peran dalam sejarah, betatapun kecil peran itu. 
Kelemahan ketiga dalam metodologi ini adalah kemungkinan munculnya kesalahan dalam menyajikan kisah atau pembahasan dalam proses penulisan. Kemungkinan keasalahan bahasa yang emotif atau penggunaan bahasa yang emosional akibat pengaruh personal bias si sejarawan (karena mungkin ia memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah yang ditelitinya) menyebabkan penggambaran yang hiperbolis atas suatu peristiwa. Dan hal itu tentunya akan mereduksi realitas faktual dari peristiwa sejarah tersebut. 
Keempat atau kelemahan yang terakhir dalam metodologi ini adalah penulisan sejarah yang hanya bertumpu pada sumber tertulis saja.Lengkap atau tidaknya dokumen menjadi ukuran utama penulisan sebuah peristiwa. Bukan mustahil penelusuran masa lalu akan terhenti ketika dokumen tertulis tidak lengkap, atau mungkin hancur dimakan zaman. Padahal sumber lisan pun dapat mengisi kekosongan sumber tertulis. 
Kelebihan dari metodologi narativisme ini adalah sejarawan tidak dibebani

tugas yang berlebih kecuali menerjemahkan peristiwa masa lalu (hermeneutika)

itu sendiri dan kemudian menuliskannya. Sejarawan tak bertugas untuk memberikan analisisnya yang kritis terhadap peristiwa masa lalu. Dengan kata lain, metodologi ini membuat kerja sejarawan lebih ringan. Hanya dengan pengetahuan bahasa dan seni dalam intepretasi, penulisan sudah dapat dilakukan, tentu jika dokumen tertulis yang tersedia cukup untuk menghadirkan masa lalu itu sendiri

F.       Tipe-Tipe dalam Naratif Sejarah
Naratif historis sering dipertanyakan kredibilitas dan keadilannya sehingga sering menjadi perdebatan. McCullagh (2010: 175-176) menyatakan bahwa identifikasi atas jenis-jenis naratif perlu dilakukan untuk memahami perdebatan ini. Penting juga untuk membandingkan tiga jenis yang berbeda dari naaraatif historis, yakni: struktur-struktur yang logis (commonsense), pola-pola koligatori, dan rangkuman interpretasi-interpretasi. Permasalahan menjadi semakin rumit adalah bahwa naratif-naratif historis yang baik menggambarkan berdasarkan prasangka tentang sifat subyek historis mereka dan memilih hanya aspek-aspek dari sejarah yang menarik bagi sejarawan.
Pada beberapa abad lalu, sejarawan mencari sebuah pola perubahan dalam seluruh sejarah barat, kemudian menulis sejarah untuk mengilustrasikan pola-pola yang telah mereka temukan. Pola-pola yang ditemukan disebut metanaratif oleh Lyotard. Metanaratif yang dimaksud Lyotard adalah tulisan yang sangat umum tentang perubahan historis. Metanaratif sendiri adalah cerita-cerita tentang penindasan orang kulit hitam, perempuan, orang miskin, dan homoseksual: selain tentang cerita pengeksploitasian alam (McCullagh, 2010: 179). Cerita ini diungkapkan dengan harapan dapat mendorong pemerintahan untuk menjalankan hukum, mengungkap keganasan penindasan, dan memeliahara keuntungan dan keindahan alam.
Dalam rangka untuk menilai kredibilitas keadilan, dan kejelasan (intelligibility) dari sebuah naratif historis, penting untuk mengidentifikasi jenis narartif yang dimaksud. Pemisahan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa di antara naratif-naratif yang dimaksud untuk memberikan sebuah tulisan yang komprehensif tentang subyek yang dipilih dan metanaratif-metanaratif yang secara sederhana menunjukkan masa lalu yang menarik naratif-naratif yang komprehensif diharapkan untuk memberikan tulisan-tulisan tentang subyeknya yang bukan hanya kredibel dan jelas, namun juga adil (McCullagh, 2010: 181). Dalam praktiknya, pemisahan antara ketiga tipe naratif McCullagh tidak selalu jelas, namun terdapat cukup perbedaan-perbedaan diantara ketiganya yang menjustifikasikan karakteristik ketiganya secara terpisah. Berikut dijelaskan mengenai tiga tipe naratif yang telah disebutkan:
1.        Naratif yang Logis
Naratif-naratif yang logis menggunakan konsep-konsep sehari-hari untuk mengidentifikasi subyek-subyek naratif dan keyakinan sehari-hari tentang penyebab-penyebab tindakan dan peristiwa untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Teori-teori tentang pentingnya minat manusia dan insting alami dalam memotivasi perilaku orang-orang diterima secara umum dan dikenal saat ini sebagai hal yang masuk akal (commonsense). Terdapat beberapa bentuk-bentuk umum dari naratif-naratif logis, sebagai berikut:
a.         Beberapa menelusuri sejarah tentang subyek historis yang terus-menerus, sebagai contoh sejarah orang atau sebuah institusi.
b.        Banyak naratif-naratif logis memelajari hubungan-hubungan antara dua atau lebih kelompok-kelompok orang. Godaaan ketika mendeskripsikan hubungan-hubungan kompetitif bagi sejarawan adalah ketika merasakan simpati yang berlebih kepada satu sisi dibandingkan kepada sisi lainnya.
c.         Beberapa sejarah yang masuk akal mendeskripsikan dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang membawa sebuah perubahan khusus tentang suatu hal.
d.        Beberapa sejarah yang logis mendeskripsikan penyebab-penyebab sebuah peristiwa utama. Naratif-naratif yang logis bukan hanya mendeskripsikan sejarah tentang subyek-subyek, namun dirancang untuk membuatnya menjadi jelas.
2.        Pola-Pola Koligatori
McCullagh (2010: 192) menjelaskan bahwa:
Konsep-konsep yang digunakan untuk mendeskripsikan pola-pola ini bukanlah konsep-konsep sehari-hari, namun merupakan konsep yang dikembangkan dari studi tentang sejarah, seperti ‘renaissans’ dan ‘revolusi’. Kata kolgasi diambil dari kata Latin colligere yang artinya membawa sesuatu bersama-sama. Beberapa kata dan frase koligatori menamai pola-pola yang unik, dalam cara yang sama seperti nama-nama yang bermakna orang atau tepat-tempat yang unik. Sejumlah kata koligatori menamai pola-pola umum, seperti kata benda umum yang bermakna banyak hal (filosof mengatakan mereka menamai kelas-kelas tentang berbagai hal). Frase ‘Revolusi Perancis’ bermakna satu pola peristiwa. Sementara kata ‘revolusi’ adalah kata benda umum, yang dapat digunakan untuk memaknai rangkaian revolusi.
W. H. Walsh adalah orang pertama yang menggunakan kata ‘koligasi’ dalam sejarah (Walsh, 1958: 59-64), ketika dia menekankan bahwa sejarawan sering menulis tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa secara jelas dengan menunjukkannya sebagai bagian dari sebuah pola. Contoh pertamanya adalh beberapa peristiwa dideskripsikan sebagai alat, dimana dengan alat tersebut Hitler membawa kebijakannya ‘tentang tuntutan Jerman dan ekspansi’.
3.        Rangkuman Interpretasi-Interpretasi
McCullagh (2010: 201) menjelaskan bahwa:
Sekali sejarawan telah menulis sebuah naratif-naratif yang logis tentang sebuah subyek historis, mereka seringkali melihat pada sejarah untuk melihat apakah mungkin untuk merangkum, terminologi-terminologi umum, yang telah dideskripsikan. Mereka menginginkan sebuah rangkuman yang kredibel dan adil, dan jika mungkin juga jelas.
Terkadang rangkuman interpretasi secara sederhana ditambahkan pada naratif logis, sebagai sebuah refleksi terhadap apa yang telah diungkapkan. Sebagai contoh, R. B. Woods menulis sebuah biografi yang sangat detail tentang Senator J. W. Fulbright (Woods: 1995). Pada bagian akhir biografi, dia merefleksikan karakter Fulbright sebagai sebuah cara untuk merangkumnya dan beberapa karakter yang hadir menjelaskan apa yang telah diungkapkan. Berdasarkan Woods, komentator-komentator telah menemukan bahwa hal tersebut merupakan kesulitan untuk melihat karakter Fulbright secara logis, karena terkadang ia bersika sebagai seorang liberal dan terkadang seperti seorang konservatif.
Meskipun terdapat penambahan sebuah interpretasi umum tentang sebuah subyek historis terhadap sebuah naratif yang logis tentang subyek historis, sejarawan seringkali menggunakan sebuah interpretasi tertentu untuk memberikan struktur pada naratifnya. Sebuah interpretasi yang umum tentang peristiwa-peristiwa yang menyusun Revolusi Inggris antara tahun 1640-1660, merangkum tentang kelompok-kelompok yang terlibat dan alasan-alasan perilaku mereka satu sama lain. Dalam hal ini terdapat sebuah contoh tesis dalam buku Davis Underdown yang berjudul A Freeborn People. Politics and Nation in Seventeenth Century England (1996). Underdown mengidentifikasi dua budaya politik dalam abad ke-17 di Inggris dimana dia menamai keduanya sebagai ‘elite’ dan ‘populer’, serta mengikuti istilah Disraeli dengan menyebut dua hal ini sebagai ‘dua bangsa’.

Penutup
Kesimpulan
Narrativisme adalah kisah yang memiliki kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh atau holistik. Kelemahan dari narativisme adalah narativisme dianggap selalu berbicara mengenai orang besar, narativisme hanya menjelaskan sejarah atas dasar fakta yang ada pada dokumen. narativisme menekankan pemahaman literal. Narativisme terbagi menjadi beberapa kenis yaitu naratif yang logis, Pola-Pola Koligatori, dan Rangkuman Interpretasi-Interpretasi.
Daftar Rujukan
Bertens, K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Hasbullah, M. 2012. Filsafat Sejarah. tidak diketahui: Pustaka Setia.
Hadiwijono, H. 1980. Sari Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Leirissa, R. Z. 1994.  Sejarah Indonesia Modern; Antara Kontinuitas dan Diskontinuitas. Dalam Prisma No. 10 tahun XXIII. Hal. 3-20.
Latief, J. A. 2012. Manusia, filsafat dan Sejarah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
McCullagh, C. B. 2010. Logic of History: Perspektif Postmodernisme. Yogyakarta: Lilin.
Poespoprodjo, W. 1999. Filsafat Moral. Bandung: CV. Pustaka Grafika.
Yuwono, A. N. 2010. Suplemen Penulisan Skripsi. Malang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.

1 comment: