KEMISKINAN
DAN KEMAKMURAN PETANI TEBU DI JAWA MASA CULTUURSTELSEL 1830 – 1870
Oleh
Ardi
Syahrial 110731435520
Aris
Cahyono 110731435525
Ermi Liahana 110731435530
Novia
Risqi Suryani 110731435532
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama
menjajah Indonesia, Belanda telah menerapkan berbagai kebijakan ekonomi, salah
satunya adalah cultuurstelsel. Ide
mengenai cultuurstelsel diawali pada
tahun 1829. Pada saat itu pemerintah berusaha agar wilayah jajahannya mampu memenuhi kebutuhannya (pemerintah Hindia-Belanda).
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menjalankan cultuurstelsel pada tahun 1830. Kebijakan ini mewajibkan petani di
Jawa untuk menanam tanaman lain selain padi yaitu komoditi ekspor.
Selain
perubahan komoditi, pelaksanaan cultuurstelsel
ini masih menggunakan sistem patron-client.
Namun pada akhirnya terjadi perubahan karena ada sistem upah. Hal itu
dikarenakan (-. 189) Pengalaman-pengalaman yang didapat dari stelsel tanah memberikan pelajaran,
bahwa kekuasaan feudal yang masih sangat berpengaruh itu masih harus dihormati,
bahwa orang-orang Eropa tidak akan dapat mencapai apa-apa jika mereka tidak
mempergunakan organisasi desa, dan bahwa untuk produksi ekspor diperlukan
pimpinan orang-orang Eropa.
Penerapan
cultuurstelsel mengubah komoditi pertanian fokus pada tanaman ekspor. Lahan
pertanian dimanfaatkan untuk penanaman komoditi ekspor. Peralihan komoditas
pertanian tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar bagi petani. Komoditi
ekspor pada cultuurstelsel
bermacam-macam, beberapa diantaranya gula, nila, tembakau, kapas, kayu manis,
kapas, teh, dan kopi.
Hasil
produksi dan harga tiap komoditi tersebut berubah-ubah. Salah satu hasil
terbesar adalah gula (tebu). Hal itu didasarkan pada luas area penanaman. Bagian
menarik dari stelsel tebu adalah
dampak penanaman bagi petani tebu. Dampak yang dimaksud adalah perubahan
perekonomian yang dialami oleh petani tebu pada saat stelsel berlangsung. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis
membuat makalah Kemiskinan dan Kemakmuran
Petani Tebu di Jawa Masa Culturestelsel 1830 – 1870.
1.2 Rumusan Masalah
Perubahan
perekonomian yang dimaksud penulis adalah permasalahan kemiskinan dan
kemakmuran yang dialami oleh petani tebu. Seperti yang diketahui sebelumnya
petani tebu tersebut menanam tanaman pangan (padi) seperti petani Jawa pada
umumnya. Untuk membahas makalah Kemiskinan
dan Kemakmuran Petani Tebu di Jawa Masa Culturestelsel 1830 – 1870 penulis
menyusun tiga rumusan masalah sebagai berikut:
·
Bagaimana pelaksanaan penanaman
tebu pada masa cultuurstelsel di Jawa
1830 – 1870?
·
Bagaimana kemiskinan
yang dialami oleh petani tebu masa cultuurstelsel
di Jawa 1830 – 1870?
·
Bagaimana kemakmuran
yang dialami oleh petani tebu masa cultuurstelsel
di Jawa 1830 – 1870?
1.3 Tujuan
Tujuan
penulisan makalah Kemiskinan dan
Kemakmuran Petani Tebu di Jawa Masa Culturestelsel 1830 – 1870 adalah untuk
mengetahui:
·
pelaksanaan penanaman
tebu pada masa cultuurstelsel di Jawa
1830 – 1870
·
kemiskinan yang dialami
oleh petani tebu masa cultuurstelsel
di Jawa 1830 – 1870
·
kemakmuran yang dialami
oleh petani tebu masa cultuurstelsel
di Jawa 1830 – 1870
Selengkapnya Klik Disini
PRESENTASI KELOMPOK 4
ReplyDeleteAnggota :
1. Ardi Syarial
2. Aris Cahyono
3. Ermi Liahana
4. Novia Risqi
Moderator : Muhammad Erick
Notulen : Diah Purwati
Judul Makalah : Kemiskinan dan Kemakmuran Petani Tebu di Jawa Masa Cuulturstelsel 1830- 1870.
Presentasi :
1. Pemilihan sub topik dan perkebunan tebu di Jawa masa Cultuurstelsel 1830- 1870 (Novia Risqi).
2. Kemiskinan Petani Tebu di Jawa Masa Cuulturstelsel 1830- 1870 (Ermi Liahana).
3. Kemakmuran Petani Tebu di Jawa Masa Cuulturstelsel 1830- 1870 (Ardi Syarial).
4. Lanjutan (Aris Cahyono).
Kritik dan Saran : -
Sesi 1
Pertanyaan :
1. Nia Ulfia : Bagaimana penentuan sistem kerja dan pajak pada masa Cuultur stelsel?
2. Ayyub Rahman : Kenapa kereta apai yang awal dipusatkan di Jember pada masa Cuulturstelsel?
3. Rizal Lutfi : Apakah ada konflik antara pekerja dari level- level yang berbeda?
Jawaban
1. Pertanyaan Ayyub Rahman
Penanaman tebu yang paling makmur ada di Besuki (wilayah bagin Timur). Karena pengolahan disana lebih baik, dan tingkat kesuburan tanah lebih baik. Bukan kereta api, tapi lori.
Tambahan dari Zamhari P: Pengangkutan tebu lebih efektif dengan menggunakan lori.
2. Pertanyaan dari Nia Ulfia
• Besar pajak tidak dapat disebutkan besarnya, namun diarahkan pada keseburan tanah dan jarak- dekat jauhnya perkebunan.
• Tidak mau berhubungan dengan pribumi, agar bila ada kesalahan Belanda tidak kena secara langsung.
3. Pertanyaan dari Rizal Lutfi
Konflik ada namun mungkin antar petani. Kelompok masih terbatas sumber.
Sesi 2
Pertanyaan
1. Siti Nur.K : Bagaimana sistem kontrak awal pada masa Cuultur stelsel?
2. Gagah Arif : Bagaimana untuk mengetahui suatu daerah memilki kecocokan untuk penanaman tebu ?
Jawaban
1. Pertanyaan dari Gagah Arif
Dulu sebagian ditanami padi terlebih dahulu. Jika cocok maka bisa ditanami tebu. Lagi pula perkebunan tebu, tidak membutuhkan banyak irigasi.
Tambahan ( Zamhari. P) : 500 m di atas permukaan tanah, dibuat parit- parit terlebih dahulu agar tebu bisa lebih mudah ditanami.
Pertanyaan ( Gagah) : Mengapa perkebunan dipusatkan di Jawa?
Jawaban kelompok : Kalau di Jawa lebih banyak perkebunan, sedangkan di luar Jawa cenderung pertambangan.
Pertanyaan (Indah Kiki ) : Perkebunan tebu jika diterus, unsur haranya akan berkurang. Apakah ada perputaran lahan atau perpindahan?
Jawaban kelompok : Tidak ada rotasi perkebunan, mungkin yang ada hanya perluasan ke daerah lain.
Pertayaan (Zamhari. P) : tanah perkebunan tadi ditanami atau ditinggalkan begitu saja?
Jawaban kelompok : tanah yang tadi setelah ditanami tebu, ditanami padi, setelah 2x panen lalu ditanami tebu lagi.
2. Pertanyaan dari Siti Nur.K.
Sistem kontrak : penetapan lahan jumlah pekerja dan jam kerja.
Sedangkan untuk pengangkutan hasil, para petani harus mengangkut sendiri.