PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM INTERPRETASI SEJARAH
Oleh
AWALU ROCHMATIN (110731435543)
AYYUB RACHMAN (110731435554)
NAZWAR KOLILUDIN (110731435536)
SEPTIAN (110731435550)
I. Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Secara
historis hermeneutika merupakan bagian dari filsafat. Hermeneutika dapat
diartikan sebagai “menafsirkan”. Makna konsep mengenai hermeneutika
berubah-ubah seperti penerjamahan pikiran kedalam bahasa, kemudian juga diartikan
sebagai kemampuan, seni, atau teknik tertentu untuk memecahkan suatu masalah.
Hermeneutika ini awalnya digunakan sebagai upaya untuk menafsirkan kitab suci
Injil atau Bible dijaman Renaissance. Dimasa modern hermeneutika disamping
untuk memahami kitab suci namun juga digunakan dalam kaitannya dengan teks
secara umum.
Sangat
baik dan sangat terkenal penjelasan hermeneutika melalui ilustrasi mitologi
dalam kaitannya dengan turunya Dewa Hermes ke dunia sebagai pembawa pesan
ilahi. Secara simbolis pesan terdiri atas kata-kata, sebagai teks. Dalam teori
kontemporer dalam pengertian yang paling luas dunia kehidupan dengan berbagai
permasalahannya dianggap sebagai teks. Oleh karena itu, kesalahan dalam
menafsirkan, baik lisan maupun tulisan, baik secara langsung maupun tidak
langsung berarti kegagalan dalam menyampaikan pesan tersebut (Ratna, 2010:313).
Dalam
ilmu sejarah, hermenutika dapat dikaitkan dengan sistematis metode sejarah,
yakni khususnya dalam hal menginterpretasi sejarah. Interpretasi menjadi pijakan
penting peneliti sejarah atau sejarawan dalam menghasilkan karya sejarah atau
penulisan sejarah, metode interpretasi harus diterapkan bersama dengan metode
penelitian sejarah lainnya, seperti pemilihan topik, heuristik, kritik sumber
dan historiografi. Dalam melakukan interpretasi, sejarawan harus melakukan
menafsirkan atau menggambarkan teks-teks sejarah dan peristiwa sejarah pada
umumnya.
Dengan
berkembangnya konsep hermeneutika diera modern saat ini, setidaknya terdapat
tiga pemahaman yang dapat diperoleh, yaitu: pertama, hermeneutika dipahami
sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat
dengan tindakan eksegesis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu
atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami.
Kedua, hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Menyangkut
hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan
untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, hermeneutika dipahami
sebagai filsafat penafsiran, yakni hermeneutika menyoroti secara kritis
bagaimana hasil pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan
disanggah (Raharjo, 2008:32).
Bagaimanakah
pemahaman hermeneutika dalam interpretasi sejarah? Apakah dipahami sebagai
teknik, metode atau filsafat. Bagaimana pula penerapannya dalam ilmu sejarah
sebagai interpretasi dan juga konsekuensi-konsekuensi apa saja yang dihadapai
dalam melakukan hermeneutika dalam ilmu sejarah. Maka
dari itu untuk mengetahui itu maka penulis mencoba
mengangkat sebuah penelitian yang berupa makalah dengan mengambil judul “PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM INTERPRETASI SEJARAH”.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaiamana hermeneutika dalam ilmu
sejarah?
2.
Bagaimana penerapan hermeneutika dalam
interpretasi sejarah?
3.
Bagaimana konsekuensi-konsekuensi hermeneutika
dalam ilmu sejarah?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui hermeneutika dalam ilmu sejarah.
2.
Mengetahui penerapan hermeneutika
dalam interpretasi sejarah.
3.
Mengetahui konsekuensi-konsekuensi
hermeneutika dalam ilmu sejarah.
II.
Pembahasan
2.1 Hermeneutika
Dalam Ilmu Sejarah
Istilah
Hermeneutika berasal dari kata Yunani, hermeneuein diterjemahkan “menafsirkan”.
Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuin dipakai dalam tiga makna, yaitu
mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate)
(Muslih, 2004:165). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata Inggris
diekspresikan dengan kata to interpret. Dengan demikian perbuatan interpretasi
menunjuk pada tiga hal pokok pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal dan
terjemahan dari bahasa lain.
Menurut istilah, hermeneutika biasa
dipahami sebagai seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan
berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan
tafsir. Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat
yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan. Istilah hermeneutika sering
dihubungkan dengan nama Hermes, tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi
perantara antara Dewa Zeus dan manusia. Dikisahkan, pada suatu saat, yakni
ketika harus menyampaikan pesan Zeus untuk manusia, Hermes dihadapkan pada
persoalan yang pelik yaitu: bagaimana menjelaskan bahasa Zeus yang menggunakan
“bahasa langit” agar bisa dimengerti oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi”.
Akhirnya dengan segala kepintaran dan kebijaksanaannya, hermes menafsirkan dan
menerjemahkan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia sehingga menjelma menjadi
sebuah teks suci.
Kata teks berasal dari bahasa latin,
yang berarti produk tenunan atau pintalan. Dalam hal ini yang dipintal oleh
Hermes adalah gagasan dan kata-kata Zeus agar hasilnya menjadi sebuah narasi
dalam bahasa manusia yang bisa dipahami. Dalam tradisi filsafat perennial
terdapat dugaan kuat bahwa figur Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang
disebut dalam al-Qur’an sebagai nabi dalam urutan pertama setelah Adam. Jika
hal ini benar, sebenarnya Hermes orang pertama yang dikenal sebagai pencipta
tulisan, teks, dan tenunan. Karena ketiganya memiliki konotasi yang sama
(Muslih, 2004:167).
Hermeneutika
merupakan satu di antara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam
ilmu-ilmu sosial. Pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan oleh Friedrich
Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Gadamer dan
lain-lain. Hermeneutika Gadamer adalah suatu respon terhadap perkembangan
metodologis hermeneutika dalam era modern. Sebagai suatu respons metodologis,
dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar (Zubaedi,
2007:164).
Dalam
perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Bleicher
membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutika sebagai sebuah
metodelogi, hermeneutika sebagai filsafat, dan hermeneutika sebagai kritik.
Sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemikiran hermeneutika
menjadi enam pembahasan, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab
suci, hermeneutika sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman
linguistik, hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu sosial-budaya, hermeneutika
sebagai fenomenologi dasein, dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi
(Muslih, 2004:167).
Hermeneutika
bertolak dari tradisi-tradisi relativisme (humaniora),
yaitu berbuat dengan mencapai tujuan tertentu (intensionalisme). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela utama
pendekatan interpretif (interpretive
approach) menolak kemungkinan suatu unifikasi (atas dasar-dasar empiris
atau realis) antara ilmu alam dan kajian-kajian mengenai perbuatan (action), sejarah dan masyarakat
(Latief, 2006:88). Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu
alam dengan ilmu kemanusiaan. Jika alam merupakan ciptaan Tuhan, masyarakat
atau dunia dari bangsa-bangsa atau sejarah manusia (human history) merupakan hasil ciptaan manusia. Konsekuensinya
adalah penting bagi kajian sejarah. Menurut hakikat manusia hanya dapat
dipahami melalui sejarah karena dalam sejarah manusia dapat mengekspresikan
dirinya pada waktu yang berbeda-beda, dan dalam bentuk ekspresi yang
berbeda-beda itulah manusia secara langsung menyingkap karakter dirinya.
Sejarah
sebagai peristiwa di masa lalu tidak dapat ditampilkan atau reka ulang
sebagaimana adanya. Kita sebagai sejarawan hanya bisa memberi gambaran
peristiwa tersebut bisa terjadi. Setiap peristiwa meninggalkan jejak atau bukti
yang tidak dapat berbicara sendiri, disini sejarawan berpera penting untuk
menafsirkan atau membuat bukti itu bisa berbicara sehingga mempunyai nilai yang
tinggi dalam sejarah. Ada kesenjangan waktu antara peristiwa dan pelaku sejarah
di masa lalu dengan sejarawan di masa kini artinya sejarawan perlu membuat
rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin para pelaku
sejarah. Disini hermeneutika dalam penelitian sejarah adalah menafsirkan
teks-teks dari masa lalu dan menjelaskan perbuatan pelaku sejarah. Melalui hermeneutika
ini sejarawan bisa menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau
menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), mencoba memahami dan
menjelaskan bagaimana pelaku (para pelaku) sejarah berpikir, merasakan,
berbuat. Hermeneutika ini memang mempunyai peran penting dalam sejarah karena
melalui inilah sebuah bukti bisa berbicara. Dalam sejarah kita ketahui sulit
untuk mengungkapkan sebuah kebenaran, karena buktinya sulit untuk
diinterpretasinya.
Sebagai ilmu yang memahami
sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat
diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia
menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia
seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan
pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah
perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu. Pengalaman manusia tidak
hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang
telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami
tentang pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang berguna bagi
kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat memerlukan
hermeunitika
Pentingnya hermeneutika dalam
ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang telah
ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Melalui hermeneutika orang akan tahu
bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna
apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama
dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni. Kunci dari
sebuah hermeneutika adalah bahasa. Melalui bahasa kita dapat berkomunikasi,
tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir.
Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya
faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang
berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah
peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan
ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi
potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita
menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami.
Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan
pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti
seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi
mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru
muncul penfasiran.
Kegiatan penafsiran adalah
proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan).
Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua harus mengenal
pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada
sehingga seorang penafsir tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana
teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara
sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut
dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan
suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses
pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada
dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus diperhatikan
karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu
rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas
itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses
memahami makna
Berdasarkan beberapa hal
diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja hermeneutika adalah mengenai
penegasan makna otentik yang ingin dicapai selalu dilihat dalam konteks ruang
dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat sebuah makna
yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna hanya bisa
dimengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia
berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat
dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna
yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk
mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para penulis (teks) dengan maksud
untuk menemukan “kunci” makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini.
Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas
dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks dan
subyektivitas penafsir.
Teks dalam arti yang lebih
luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para ahli Sejarah mulai
memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya dilakukan sebuah
teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih dari teks tertulis. Teks
disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah
sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti
kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan
dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman
wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka
hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara
yaitu teks lisan.
Teks juga merupakan relalitas
sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan
atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan
suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri
dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas sosial
mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam
apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya. Seperti
sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan
dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robinson menyatakan
bahwa “suatu hermeneutika yang diterima pada dasarnya adalah titik awal yang
dipilih secara sadar dan berisikan komponen ideologis, sikap, metodologis yang
dirancang untuk membantu usaha interpretasi dan memudahkan pemahaman yang
maksima. Hal ini disampaikan karena hermeneutika tidak hanya membutuhkan
penafsiran teks secara tunggal tetapi hermeneutika membutuhkan pula penafsiran
yang terkait dengan terbentuknya teks tersebut seperti ideologi, sikap, moral,
religiusitas dan sebagainya.
2.2 Penerapan Hermeneutika Dalam Interpretasi Sejarah
Teks sejarah yang ditulis
dalam bahasa yang rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh dipedulikan
oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu sesorang tanpa
penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai mungkin ada kesamaannya,
tetapi arti atau makna istilah-istilah itu bisa berbeda. Perang pada jaman dulu
dengan perang pada jaman sekarang pada hakikatnya adalah sama saja. Perang
Troya maupun taktik Hannibal hanya dapat diapresiasikan dalam kurun waktu
mereka sendiri. Orang-orang nomad berperang karena memperebutkan sumber air.
Jadi, interprestasi yang benar atas teks sejarah memerlukan hermeneutik.
Dalam interpretasi sejarawan
dituntut kecermatan dan sikap objektif, terutama dalam hal penafsiran akan
makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas
fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap
subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi
peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati
kebenaran. Di dalam proses interpretasi sejarah, seorang peneliti harus
berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
peristiwa. Data sejarah sering mengandung beberapa sebab yang dapat membantu
mencapai hasil. Akan tetapi,
mungkin juga sebab yang sama dapat mengantarkan hasil yang berlawanan. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa
saja dapat menafsirkan. Seperti pribahasa “ lain rambut lain ubanya” bahwa
meski datanya sama tetapi interpretasinya berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan latar belakang,
pengaruh, motivasi, pola pikir, dll (Hamid, 2011:50-51). Menurut Denzin dan Lincoln, interpretasi
merupakan aktivitas seni sekaligus politis dengan pertimbangan bahwa pada
akhirnya tidak ada kebenaran interpretasi. Sebagai konstruksi naratif
interpretasi cenderung memihak, posisional, bahkan ada semacam gaya
interpretasi tertentu (Ratna, 2010:316).
Maka dari itu penerapaan hermeneutika
dalam interpretasi sejarah dilakukan dengan mengandaikan, bahwa untuk bisa menangkap
kembali kebenaran teks, ditetapkan dengan mengetahui maksud penulisan aslinya.
Proses penafsiran, berasal dari penafsir ke teks dengan melalui konteks sejarah
dan kultural untuk menangkap kembali maksud penulisan aslinya. Dalam proses,
menurut Gadamer, terjadi interaksi antara penafsir dan teks, dimana penafsir
mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang
penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya. Gadamer
menggambarkan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana (text)
dengan penafsir. Bila sejarawan menggunakan perspektif Gadamer, maka peneliti
yang tentu saja harus melaporkan hasil penelitiannya, tidak bisa dihindari
harus melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif (Raharjo,
2008:92).
Seperti halnya sejarawan
bermaksud menjangkau pemaknaan yang diberikan oleh orang lain, maka peneliti
harus mengumpulkan datanya dari orang lain yang bersangkutan. Dalam hal ini,
apa yang sangat diperlukan oleh peneliti adalah tetap peka dan mempertimbangkan
tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur orang lain tersebut, serta
konteks historis ketika peristiwa itu terjadi. Jadi penerapan hermeneutika
dalam interpretasi sejarah adalah pemahaman tidak hanya menafsirkan mengenai
rekonstruksi sejarah, namun juga harus menyampaikan makna atau penafsiran
tersebut dengan bersifat universal, bahwa penafsirannya itu bukan karena unsur
keinginan secara pribadi sipenafsir, namun harus dimaknai secara universal agar
mampu dimengerti oleh semua orang. Sehingga dapat diketahui kebenaran sejarah
dan penyampaian yang benar terhadap sejarah.
Melalui bahasa kita
berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah
tafsir. Arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor: siapa
yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun
situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa. Kita harus kembali kepada
pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan
“kunci” makna kata-kata atau ungkapan. Teks atau naskah suci atau
dokumen-dokumen lain yang ditulis berdasarkan ilham ilahi, sejarah, hukum,
kesusastraan yang juga menggunakan bahasa sehari-hari. Akan tetapi, semua hal
itu tidak akan dapat kita mengerti tanpa harus ditafsirkan. Kita bisa
menafsirkan isi sesuatu teks dengan menggunakan bahasa yang kita pakai sendiri.
Bahkan selalu ada sejumlah penafsiran atau interpretasi yang didasarkan atas
berbagai segi ruang dan waktu. Tetapi penafsiran-penafsiran ini telah dimodifikasi
menurut aliran waktu (Sumaryono, 1999: 33).
Oleh karena itu bahasa juga
menjadi penting dalam menyampaikan pesan mengenai peristiwa sejarah yang telah
ditafsirkan. Bahasa harus mudah dipahami oleh orang lain atau bersifat komunikatif,
sehingga orang lain atau pembaca dapat memaknai peristiwa sejarah tersebut
dengan baik dan tanpa ada salah persepsi. Penyampaian bahasa yang digunakan
adalah bahasa yang dipakai sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat
sehari-harinya dan tentunya juga pemaknaan bahasa harus mengikuti perkembangan
waktu. Karena setiap masanya pemaknaan bahasa itu berbeda. Tidak hanya waktu
saja, namun juga konteks kultural juga dilihat karena persepsi antar masyarakat
itu berbeda. Misalnya konsep keluarga, antara masyarakat pedesaan dan perkotaan
itu berbeda.
Oleh karena itu, memahami
sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih daripada sekedar mengetahui makna
atau tanda kata-kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau
pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia
dapat memahaminya. Interpretasi tidak pernah dapat terlaksana jika dilakukan
dalam rasio satu lawan satu antara interpreter dengan teks, namun juga
bagaimana penyampaiannya kepada orang lain. Orang harus menempatkan dirinya
pada interpretasi subjektif, baik itu terjadi di dalam filsafat atau
kesusastraan (Sumaryono, 1999: 136).
2.3 Konsekuensi-konsekuensi
Hermeneutika Dalam Sejarah
A.
Masalah Prasangka
Gagasan
dapat membebaskan kita untuk memahami dan menginterpretasikan sesuatu dari
prasangka gagasan yang sudah berlaku pada masa tertentu sehingga sudah umum
bagi kita. Melalui pembebasan dari gagasan-gagasan personal dan nilai-nilai
yang ada pada subjek dan dapat dengan sempurna memberikan peluang untuk membuka
wawasan terhadap gagasan dan nilai-nilai pada masa lalu, sehingga dengan
demikian pengetahuan historis dapat terpenuhi dengan baik.
Sebenarnya
dibalik prasangka yang terbuka ada ketidakinginan untuk menerima penilaian dari
orang lain, masa lalu tetaplah berlawanan dengan suatu yang sudah hampir-hampir
tidak relevan, dan juga menjadikan suatu objek menjadi berhubungan dengan hal
kuno. Menurut Heidegger dan Gadamer konsepsi tentang pemahaman historis bahwa
para Antiquarian dan peminat filologi yang membicarakan tentang masa lalu
sebagai sebuah masa lalu tidak lagi memiliki pemahaman tetang sejarah yang
lebih menggema dari pada kaum estetis.
Prasangka
dapat dimaksudkan sebagai sebuah basis yang menunjukkan keberadaan kita yang
menjadikan kita mampu untuk memahami sejarah secara keseluruhan. Prinsip diatas
jika dijelaskan secara hermeneutika dapat ditetapkan bahwa tidak aka nada
interpretasi yang tanpa adanya pra-anggapan. Dari tradisi kita berada, kita
dapat memperoleh pra-anggapan pada diri kita. Akan tetapi pra-anggapan tidak
sepenuhnya kita peroleh dari tradisi. Tradisi mendekorasi arus konsepsi dimana
kita berada, dan kita harus siap untuk membedakan antara pra-anggapan yang
berguna dan pra-anggapan yang memenjarakan dan menutupi diri kita dari berpikir
dan mengamati (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 216).
Bila
tidak akan pernah ada interpretasi tanpa pra-anggapan, maka pemahaman bahwa
“interpretasi yang benar” dari seseorang merupakan hal yang benar dalam dirinya
sendiri adalah sebuah idealitas yang tanpa pemikiran dan merupakan sebuah
kemustahilan. Tidak akan terdapat interpretasi tanpa ada hubungannya dengan
masa kini, serta tidak akan pernah bersifat permanen dan baku (Musnur dan
Damanhuri (terj), 2005: 217). Jadi untuk bisa menafsirkan suatu hal yang
terjadi di masa lalu, pra-anggapan sangat diperlukan untuk menunjang
interpretasi sejarah dengan baik dan benar.
B.
Konsep Distansi Temporal
Menurut
Gadamer, suatu posisi antara hal yang asing dan familiar berada di antara
tujuan yang berlaku secara historis, mereggangkan obyektifitas warisan budaya
dan rasa kepemilikan kita akan sebuah tradisi. Dalam hal “keberantaraan” inilah
posisi sebenarnya hermeneutika (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 217-218).
Namun makna hermeneutika yang sebenarnya bukanlah untuk mengembangkan suatu
prosedur metodis pemahaman, tapi adalah untuk memberikan klarifikasi tentang
persyaratan yang dimana pemahaman dapat terjadi dan terwujud.
Yang
dicari oleh seorang pengarang sebenarnya bukanlah apa yang dimediasikan sebuah
teks, tetapi kebenaran yang ada pada dirinya sendiri sesuai dengan yang dia
temukan. Hanya dengan waktulah hal-hal yang tidak signifikan dapat ditentukan.
Seseorang yang dihadapkan pada makna penting masa kini, masa lalu yang
kekinian, kemudian dihadapkan kepada hermeneutis pasti akan berguna dimanapun
dan kapanpun waktunya. Karena hanya dari waktulah kita dapat mengatakan
mengerti apa yang dimaksud dari teks yang ditulis oleh seseorang.
C.
Memahami Pengarang Teks
Pada
dasarnya prinsip hermeneutika adalah memahami suatu teks yang telah ditulis
oleh seorang penulis/pengarang, namun bukan untuk memahami
penulis/pengarangnya. Secara konsep distansi temporal ataupun penekanan makna
yang ada dalam pemahaman historis seharusnya sudah dapat menciptakan sebuah
pembuktian diri sendiri. Teks dipahami bukan karena suatu hubungan antara
pribadi-pribadi dilibatkan tetapi dikarenakan partisipasi yang terjadi dalam
pokok pembahasan dimana teks dapat berkomunikasi. Jika, partisipasi ini
menekankan kenyataan bahwa seseorang tidak harus lebih jauh keluar dari
dunianya sendiri membiarkan teks mengarahkan dirinya dalam dunia kekiniannya,
ia harus membiarkan teks tersebut hadir bagi dirinya, yaitu bersifat
kontemporer (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 219). jadi yang dimaksud dengan
pemaham adalah suatu partisipasi arus tradisi yang didalamnya terdapat
momen-momen dimana masa lalu dan masa kini dapat digabungkan.
D.
Rekonstruksi Masa Lalu
Apabila
penekanan terhadap hermeneutika lebih ditekankan pada psikologis dan teologis,
maka banyak orang akan mengatakan bahwa naskah-naskah yang ada pada kitab suci
bukanlah sebuah cerita biasa atau bukalah suatu penyebaran gagasan enternal
yang bersifat a-temporal atau sebuah khayalan imajinasi seseorang tanpa adanya
kesungguhan dalam penulisannya. Naskah-naskah yang ada dalam kitab suci adalah
sebuah karya yang historis dan diungkapkan dalam Bahasa historis oleh suatu
kelompok masyarakat yang meiliki sifat historis pula. Yang perlu dipertanyakan
adalah makna sebuah karya seperti apakah yang bergantung pada
persoalan-persoalan yang akan kita tanyakan dalam suasana kekinian.
“Restorasi”,
kata Gadamer, “bila dijadikan sentral dalam hermeneutika, tidak kurang
absurdnya dibandingkan dengan keseluruhan upaya untuk merestorasi dan
membangkitkan hidup selamanya”. Integrasi bukanlah restorasi, itulah tugas
sebenarnya hermeneutika (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 220).
E.
Signifikansi Aplikasi
Aplikasi
merupakan fungsi interpretasi yang didalamnya terdapat hubungan antara makna
teks dengan suasana kekinian. Dalam karya J.J. Rmbach, Institutiones hermeneuticae sacrae yang ditulis tahun 1723,
interpretasi dikatakan harus mencakup tiga kekuatan: subtilitas intelligendi (pemahaman), subtilitas axplicandi (eksplikasi) dan subtilitas applicandi (aplikasi) (Musnur dan Damanhuri (terj),
2005: 221). Tiga kekuatan tersebut pada dasarnya mengacu pada sebuah kapasitas
atau kekuatan yang membutuhkan spirit khusus, serta membentuk pemenuhan sebagai
upaya untuk pemahaman teks.
Secara
umum dalam hermeneutika Schleiermacher dan Post-Romantic ditegaskan adanya
suatu kesatuan dalam dua elemen pertama (kekuatan); menjelaskan dilihat sebagai
upaya menjadikan eksplisit pemahaman, dan penekanan pada kekuatan hal ini
cenderung mengabaikan tidak adanya tempat sistematis bagi factor aplikasi
(Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 221). Sebab Schleiermacher telah menjadikan
hermeneutika sebagai teori pemahaman yang berhubungan dengan dialog, sehingga
Bahasa dan pengetahuan menjadi intinya, lalu aplikasi akan mendapatkan sedikit
ruang dalam atmosfir pemahamannya. Didalam makna mengetahui, menjelaskan dan memahami
sudah cukup mencakup aplikasi atau relasi teks pada suasana kekinian atau masa
kini. Hermeneutika teologis dan juridis membawa kita kepada aspek seluruh
pemahaman untuk diperhatikan dengan sepenuhnya, sehingga dengan demikian
hermeneutika dapat membentuk sebuah pola yang lebih baik untuk mendapat
kelayakan operasional pemahaman dalam sejarah.
Hermeneutika
yuridis maupun teologis, keduanya melihat tugas interpretasi tidak sekedar
sebagai suatu upaya lama untuk masuk kedalam suatu dunia lain tetapi sebagai
suatu upaya untuk menjangkau jarak antara teks dan suatu kekinian (Musnur dan
Damanhuri (terj), 2005: 222). Sebenarnya memahami sebuah teks atau tulisan
sudah sama dengan merupakan pengaplikasiannya. Begitu juga dengan hermeneutika
yuridis dan teologis, keduanya berpandangan bahwa sebuah teks atau tulisan
dapat dipahami atas ketertarikannya sebagai pembaca kepada penulisnya atau
pengarangnya. Sebab kita akan lebih berhubungan dengan teks atau tulisannya,
bukan kepada penulis atau pengarangnya.
III.
Penutup
3.1 Kesimpulan
Hermeneutika
dapat diartikan atau diterjemahkan “menafsirkan” sesuai dengan pengertian dari
kata Yunani. Terdapat tiga makna yaitu mengatakan (to
say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Hermeneutika merupakan
satu di antara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu
sosial. Pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan oleh Friedrich
Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Gadamer dan lain-lain.
Dalam
penerapannya, hermeneutika dalam interpretasi sejarah
dilakukan dengan mengandaikan, bahwa
untuk bisa menangkap kembali kebenaran teks, ditetapkan dengan mengetahui
maksud penulisan aslinya.
Maksudnya yang terpentig adalah tulisannya bukan pengarangnya. Proses penafsiran, berasal dari penafsir ke teks dengan melalui
konteks sejarah dan kultural untuk menangkap kembali maksud penulisan aslinya.
DAFTAR RUJUKAN
Hamid, Rahman. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Ombak.
Rahardjo, Mudja. 2008. Dasar-Dasar
Hermeneutika Antara Intensionalisme
& Gadamerian. Sleman:
Ar-ruzz Media.
Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi
Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono, 1999.Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta:Kanisius.
Zubaidi. 2007. Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga revolusi sains
ala Thomas Khun. Sleman: Ar-Ruz Media.
Hery, Musnur & Muhammad, Damanhuri (terj).2005. Hermeneutika : teori baru mengenai interpretasi. Yogyakarta:
pustaka pelajar.
Meita,
Nunung. 2013. Ruang Lingkup Hermeneutika.
(Online), (http://meitanun.blogspot.com/2013/06/ruang-lingkup-hermeneutika.html), diakses tanggal 28
Januari 2014, pukul 15.00 WIB.