Songs

Tuesday, February 4, 2014

PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM INTERPRETASI SEJARAH


PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM INTERPRETASI SEJARAH



Oleh
AWALU ROCHMATIN               (110731435543)
AYYUB RACHMAN                   (110731435554)
NAZWAR KOLILUDIN              (110731435536)
SEPTIAN                                       (110731435550)
  



I.       Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Secara historis hermeneutika merupakan bagian dari filsafat. Hermeneutika dapat diartikan sebagai “menafsirkan”. Makna konsep mengenai hermeneutika berubah-ubah seperti penerjamahan pikiran kedalam bahasa, kemudian juga diartikan sebagai kemampuan, seni, atau teknik tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Hermeneutika ini awalnya digunakan sebagai upaya untuk menafsirkan kitab suci Injil atau Bible dijaman Renaissance. Dimasa modern hermeneutika disamping untuk memahami kitab suci namun juga digunakan dalam kaitannya dengan teks secara umum.
Sangat baik dan sangat terkenal penjelasan hermeneutika melalui ilustrasi mitologi dalam kaitannya dengan turunya Dewa Hermes ke dunia sebagai pembawa pesan ilahi. Secara simbolis pesan terdiri atas kata-kata, sebagai teks. Dalam teori kontemporer dalam pengertian yang paling luas dunia kehidupan dengan berbagai permasalahannya dianggap sebagai teks. Oleh karena itu, kesalahan dalam menafsirkan, baik lisan maupun tulisan, baik secara langsung maupun tidak langsung berarti kegagalan dalam menyampaikan pesan tersebut (Ratna, 2010:313).
Dalam ilmu sejarah, hermenutika dapat dikaitkan dengan sistematis metode sejarah, yakni khususnya dalam hal menginterpretasi sejarah. Interpretasi menjadi pijakan penting peneliti sejarah atau sejarawan dalam menghasilkan karya sejarah atau penulisan sejarah, metode interpretasi harus diterapkan bersama dengan metode penelitian sejarah lainnya, seperti pemilihan topik, heuristik, kritik sumber dan historiografi. Dalam melakukan interpretasi, sejarawan harus melakukan menafsirkan atau menggambarkan teks-teks sejarah dan peristiwa sejarah pada umumnya.
Dengan berkembangnya konsep hermeneutika diera modern saat ini, setidaknya terdapat tiga pemahaman yang dapat diperoleh, yaitu: pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat dengan tindakan eksegesis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, hermeneutika dipahami sebagai filsafat penafsiran, yakni hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana hasil pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan disanggah (Raharjo, 2008:32).
Bagaimanakah pemahaman hermeneutika dalam interpretasi sejarah? Apakah dipahami sebagai teknik, metode atau filsafat. Bagaimana pula penerapannya dalam ilmu sejarah sebagai interpretasi dan juga konsekuensi-konsekuensi apa saja yang dihadapai dalam melakukan hermeneutika dalam ilmu sejarah. Maka dari itu untuk mengetahui itu maka penulis mencoba mengangkat sebuah penelitian yang berupa makalah dengan mengambil judul  PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM INTERPRETASI SEJARAH.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaiamana hermeneutika dalam ilmu sejarah?
2.       Bagaimana penerapan hermeneutika dalam interpretasi sejarah?
3.       Bagaimana konsekuensi-konsekuensi hermeneutika dalam ilmu sejarah?
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui hermeneutika dalam ilmu sejarah.
2.      Mengetahui penerapan hermeneutika dalam interpretasi sejarah.
3.      Mengetahui konsekuensi-konsekuensi hermeneutika dalam ilmu sejarah.






II.       Pembahasan
2.1  Hermeneutika Dalam Ilmu Sejarah
Istilah Hermeneutika berasal dari kata Yunani, hermeneuein diterjemahkan “menafsirkan”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuin dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate) (Muslih, 2004:165). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata Inggris diekspresikan dengan kata to interpret. Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal dan terjemahan dari bahasa lain.
            Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir. Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan. Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nama Hermes, tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan manusia. Dikisahkan, pada suatu saat, yakni ketika harus menyampaikan pesan Zeus untuk manusia, Hermes dihadapkan pada persoalan yang pelik yaitu: bagaimana menjelaskan bahasa Zeus yang menggunakan “bahasa langit” agar bisa dimengerti oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi”. Akhirnya dengan segala kepintaran dan kebijaksanaannya, hermes menafsirkan dan menerjemahkan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci.
            Kata teks berasal dari bahasa latin, yang berarti produk tenunan atau pintalan. Dalam hal ini yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dan kata-kata Zeus agar hasilnya menjadi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami. Dalam tradisi filsafat perennial terdapat dugaan kuat bahwa figur Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang disebut dalam al-Qur’an sebagai nabi dalam urutan pertama setelah Adam. Jika hal ini benar, sebenarnya Hermes orang pertama yang dikenal sebagai pencipta tulisan, teks, dan tenunan. Karena ketiganya memiliki konotasi yang sama (Muslih, 2004:167).
Hermeneutika merupakan satu di antara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan oleh Friedrich Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Gadamer dan lain-lain. Hermeneutika Gadamer adalah suatu respon terhadap perkembangan metodologis hermeneutika dalam era modern. Sebagai suatu respons metodologis, dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar (Zubaedi, 2007:164).
Dalam perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Bleicher membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutika sebagai sebuah metodelogi, hermeneutika sebagai filsafat, dan hermeneutika sebagai kritik. Sementara Richard E. Palmer menggambarkan perkembangan pemikiran hermeneutika menjadi enam pembahasan, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, hermeneutika sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu sosial-budaya, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi (Muslih, 2004:167).
Hermeneutika bertolak dari tradisi-tradisi relativisme (humaniora), yaitu berbuat dengan mencapai tujuan tertentu (intensionalisme). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela utama pendekatan interpretif (interpretive approach) menolak kemungkinan suatu unifikasi (atas dasar-dasar empiris atau realis) antara ilmu alam dan kajian-kajian mengenai perbuatan (action), sejarah dan masyarakat (Latief, 2006:88). Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Jika alam merupakan ciptaan Tuhan, masyarakat atau dunia dari bangsa-bangsa atau sejarah manusia (human history) merupakan hasil ciptaan manusia. Konsekuensinya adalah penting bagi kajian sejarah. Menurut hakikat manusia hanya dapat dipahami melalui sejarah karena dalam sejarah manusia dapat mengekspresikan dirinya pada waktu yang berbeda-beda, dan dalam bentuk ekspresi yang berbeda-beda itulah manusia secara langsung menyingkap karakter dirinya.
Sejarah sebagai peristiwa di masa lalu tidak dapat ditampilkan atau reka ulang sebagaimana adanya. Kita sebagai sejarawan hanya bisa memberi gambaran peristiwa tersebut bisa terjadi. Setiap peristiwa meninggalkan jejak atau bukti yang tidak dapat berbicara sendiri, disini sejarawan berpera penting untuk menafsirkan atau membuat bukti itu bisa berbicara sehingga mempunyai nilai yang tinggi dalam sejarah. Ada kesenjangan waktu antara peristiwa dan pelaku sejarah di masa lalu dengan sejarawan di masa kini artinya sejarawan perlu membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin para pelaku sejarah. Disini hermeneutika dalam penelitian sejarah adalah menafsirkan teks-teks dari masa lalu dan menjelaskan perbuatan pelaku sejarah. Melalui hermeneutika ini sejarawan bisa menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), mencoba memahami dan menjelaskan bagaimana pelaku (para pelaku) sejarah berpikir, merasakan, berbuat. Hermeneutika ini memang mempunyai peran penting dalam sejarah karena melalui inilah sebuah bukti bisa berbicara. Dalam sejarah kita ketahui sulit untuk mengungkapkan sebuah kebenaran, karena buktinya sulit untuk diinterpretasinya.
Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu. Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat memerlukan hermeunitika
Pentingnya hermeneutika dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Melalui hermeneutika orang akan tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni. Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran.
Kegiatan penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada sehingga seorang penafsir tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus diperhatikan karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses memahami makna
Berdasarkan beberapa hal diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja hermeneutika adalah mengenai penegasan makna otentik yang ingin dicapai selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan “kunci” makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks dan subyektivitas penafsir.
Teks dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih dari teks tertulis. Teks disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara yaitu teks lisan.
Teks juga merupakan relalitas sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya. Seperti sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robinson menyatakan bahwa “suatu hermeneutika yang diterima pada dasarnya adalah titik awal yang dipilih secara sadar dan berisikan komponen ideologis, sikap, metodologis yang dirancang untuk membantu usaha interpretasi dan memudahkan pemahaman yang maksima. Hal ini disampaikan karena hermeneutika tidak hanya membutuhkan penafsiran teks secara tunggal tetapi hermeneutika membutuhkan pula penafsiran yang terkait dengan terbentuknya teks tersebut seperti ideologi, sikap, moral, religiusitas dan sebagainya.

2.2  Penerapan Hermeneutika Dalam Interpretasi Sejarah
Teks sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu sesorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna istilah-istilah itu bisa berbeda. Perang pada jaman dulu dengan perang pada jaman sekarang pada hakikatnya adalah sama saja. Perang Troya maupun taktik Hannibal hanya dapat diapresiasikan dalam kurun waktu mereka sendiri. Orang-orang nomad berperang karena memperebutkan sumber air. Jadi, interprestasi yang benar atas teks sejarah memerlukan hermeneutik.
Dalam interpretasi sejarawan dituntut kecermatan dan sikap objektif, terutama dalam hal penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Di dalam proses interpretasi sejarah, seorang peneliti harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Data sejarah sering mengandung beberapa sebab yang dapat membantu mencapai hasil. Akan tetapi, mungkin juga sebab yang sama dapat mengantarkan hasil yang berlawanan. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Seperti pribahasa “ lain rambut lain ubanya” bahwa meski datanya sama tetapi interpretasinya berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, dll (Hamid, 2011:50-51).  Menurut Denzin dan Lincoln, interpretasi merupakan aktivitas seni sekaligus politis dengan pertimbangan bahwa pada akhirnya tidak ada kebenaran interpretasi. Sebagai konstruksi naratif interpretasi cenderung memihak, posisional, bahkan ada semacam gaya interpretasi tertentu (Ratna, 2010:316).
Maka dari itu penerapaan hermeneutika dalam interpretasi sejarah dilakukan dengan  mengandaikan, bahwa untuk bisa menangkap kembali kebenaran teks, ditetapkan dengan mengetahui maksud penulisan aslinya. Proses penafsiran, berasal dari penafsir ke teks dengan melalui konteks sejarah dan kultural untuk menangkap kembali maksud penulisan aslinya. Dalam proses, menurut Gadamer, terjadi interaksi antara penafsir dan teks, dimana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya. Gadamer menggambarkan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana (text) dengan penafsir. Bila sejarawan menggunakan perspektif Gadamer, maka peneliti yang tentu saja harus melaporkan hasil penelitiannya, tidak bisa dihindari harus melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif (Raharjo, 2008:92).
Seperti halnya sejarawan bermaksud menjangkau pemaknaan yang diberikan oleh orang lain, maka peneliti harus mengumpulkan datanya dari orang lain yang bersangkutan. Dalam hal ini, apa yang sangat diperlukan oleh peneliti adalah tetap peka dan mempertimbangkan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur orang lain tersebut, serta konteks historis ketika peristiwa itu terjadi. Jadi penerapan hermeneutika dalam interpretasi sejarah adalah pemahaman tidak hanya menafsirkan mengenai rekonstruksi sejarah, namun juga harus menyampaikan makna atau penafsiran tersebut dengan bersifat universal, bahwa penafsirannya itu bukan karena unsur keinginan secara pribadi sipenafsir, namun harus dimaknai secara universal agar mampu dimengerti oleh semua orang. Sehingga dapat diketahui kebenaran sejarah dan penyampaian yang benar terhadap sejarah.
Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor: siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa. Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan “kunci” makna kata-kata atau ungkapan. Teks atau naskah suci atau dokumen-dokumen lain yang ditulis berdasarkan ilham ilahi, sejarah, hukum, kesusastraan yang juga menggunakan bahasa sehari-hari. Akan tetapi, semua hal itu tidak akan dapat kita mengerti tanpa harus ditafsirkan. Kita bisa menafsirkan isi sesuatu teks dengan menggunakan bahasa yang kita pakai sendiri. Bahkan selalu ada sejumlah penafsiran atau interpretasi yang didasarkan atas berbagai segi ruang dan waktu. Tetapi penafsiran-penafsiran ini telah dimodifikasi menurut aliran waktu (Sumaryono, 1999: 33).
Oleh karena itu bahasa juga menjadi penting dalam menyampaikan pesan mengenai peristiwa sejarah yang telah ditafsirkan. Bahasa harus mudah dipahami oleh orang lain atau bersifat komunikatif, sehingga orang lain atau pembaca dapat memaknai peristiwa sejarah tersebut dengan baik dan tanpa ada salah persepsi. Penyampaian bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipakai sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat sehari-harinya dan tentunya juga pemaknaan bahasa harus mengikuti perkembangan waktu. Karena setiap masanya pemaknaan bahasa itu berbeda. Tidak hanya waktu saja, namun juga konteks kultural juga dilihat karena persepsi antar masyarakat itu berbeda. Misalnya konsep keluarga, antara masyarakat pedesaan dan perkotaan itu berbeda.
Oleh karena itu, memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih daripada sekedar mengetahui makna atau tanda kata-kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya. Interpretasi tidak pernah dapat terlaksana jika dilakukan dalam rasio satu lawan satu antara interpreter dengan teks, namun juga bagaimana penyampaiannya kepada orang lain. Orang harus menempatkan dirinya pada interpretasi subjektif, baik itu terjadi di dalam filsafat atau kesusastraan (Sumaryono, 1999: 136).

2.3  Konsekuensi-konsekuensi Hermeneutika Dalam Sejarah
A.    Masalah Prasangka
Gagasan dapat membebaskan kita untuk memahami dan menginterpretasikan sesuatu dari prasangka gagasan yang sudah berlaku pada masa tertentu sehingga sudah umum bagi kita. Melalui pembebasan dari gagasan-gagasan personal dan nilai-nilai yang ada pada subjek dan dapat dengan sempurna memberikan peluang untuk membuka wawasan terhadap gagasan dan nilai-nilai pada masa lalu, sehingga dengan demikian pengetahuan historis dapat terpenuhi dengan baik.
Sebenarnya dibalik prasangka yang terbuka ada ketidakinginan untuk menerima penilaian dari orang lain, masa lalu tetaplah berlawanan dengan suatu yang sudah hampir-hampir tidak relevan, dan juga menjadikan suatu objek menjadi berhubungan dengan hal kuno. Menurut Heidegger dan Gadamer konsepsi tentang pemahaman historis bahwa para Antiquarian dan peminat filologi yang membicarakan tentang masa lalu sebagai sebuah masa lalu tidak lagi memiliki pemahaman tetang sejarah yang lebih menggema dari pada kaum estetis.
Prasangka dapat dimaksudkan sebagai sebuah basis yang menunjukkan keberadaan kita yang menjadikan kita mampu untuk memahami sejarah secara keseluruhan. Prinsip diatas jika dijelaskan secara hermeneutika dapat ditetapkan bahwa tidak aka nada interpretasi yang tanpa adanya pra-anggapan. Dari tradisi kita berada, kita dapat memperoleh pra-anggapan pada diri kita. Akan tetapi pra-anggapan tidak sepenuhnya kita peroleh dari tradisi. Tradisi mendekorasi arus konsepsi dimana kita berada, dan kita harus siap untuk membedakan antara pra-anggapan yang berguna dan pra-anggapan yang memenjarakan dan menutupi diri kita dari berpikir dan mengamati (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 216).
Bila tidak akan pernah ada interpretasi tanpa pra-anggapan, maka pemahaman bahwa “interpretasi yang benar” dari seseorang merupakan hal yang benar dalam dirinya sendiri adalah sebuah idealitas yang tanpa pemikiran dan merupakan sebuah kemustahilan. Tidak akan terdapat interpretasi tanpa ada hubungannya dengan masa kini, serta tidak akan pernah bersifat permanen dan baku (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 217). Jadi untuk bisa menafsirkan suatu hal yang terjadi di masa lalu, pra-anggapan sangat diperlukan untuk menunjang interpretasi sejarah dengan baik dan benar.
B.     Konsep Distansi Temporal
Menurut Gadamer, suatu posisi antara hal yang asing dan familiar berada di antara tujuan yang berlaku secara historis, mereggangkan obyektifitas warisan budaya dan rasa kepemilikan kita akan sebuah tradisi. Dalam hal “keberantaraan” inilah posisi sebenarnya hermeneutika (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 217-218). Namun makna hermeneutika yang sebenarnya bukanlah untuk mengembangkan suatu prosedur metodis pemahaman, tapi adalah untuk memberikan klarifikasi tentang persyaratan yang dimana pemahaman dapat terjadi dan terwujud.
Yang dicari oleh seorang pengarang sebenarnya bukanlah apa yang dimediasikan sebuah teks, tetapi kebenaran yang ada pada dirinya sendiri sesuai dengan yang dia temukan. Hanya dengan waktulah hal-hal yang tidak signifikan dapat ditentukan. Seseorang yang dihadapkan pada makna penting masa kini, masa lalu yang kekinian, kemudian dihadapkan kepada hermeneutis pasti akan berguna dimanapun dan kapanpun waktunya. Karena hanya dari waktulah kita dapat mengatakan mengerti apa yang dimaksud dari teks yang ditulis oleh seseorang. 
C.    Memahami Pengarang Teks
Pada dasarnya prinsip hermeneutika adalah memahami suatu teks yang telah ditulis oleh seorang penulis/pengarang, namun bukan untuk memahami penulis/pengarangnya. Secara konsep distansi temporal ataupun penekanan makna yang ada dalam pemahaman historis seharusnya sudah dapat menciptakan sebuah pembuktian diri sendiri. Teks dipahami bukan karena suatu hubungan antara pribadi-pribadi dilibatkan tetapi dikarenakan partisipasi yang terjadi dalam pokok pembahasan dimana teks dapat berkomunikasi. Jika, partisipasi ini menekankan kenyataan bahwa seseorang tidak harus lebih jauh keluar dari dunianya sendiri membiarkan teks mengarahkan dirinya dalam dunia kekiniannya, ia harus membiarkan teks tersebut hadir bagi dirinya, yaitu bersifat kontemporer (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 219). jadi yang dimaksud dengan pemaham adalah suatu partisipasi arus tradisi yang didalamnya terdapat momen-momen dimana masa lalu dan masa kini dapat digabungkan.


D.    Rekonstruksi Masa Lalu
Apabila penekanan terhadap hermeneutika lebih ditekankan pada psikologis dan teologis, maka banyak orang akan mengatakan bahwa naskah-naskah yang ada pada kitab suci bukanlah sebuah cerita biasa atau bukalah suatu penyebaran gagasan enternal yang bersifat a-temporal atau sebuah khayalan imajinasi seseorang tanpa adanya kesungguhan dalam penulisannya. Naskah-naskah yang ada dalam kitab suci adalah sebuah karya yang historis dan diungkapkan dalam Bahasa historis oleh suatu kelompok masyarakat yang meiliki sifat historis pula. Yang perlu dipertanyakan adalah makna sebuah karya seperti apakah yang bergantung pada persoalan-persoalan yang akan kita tanyakan dalam suasana kekinian.
“Restorasi”, kata Gadamer, “bila dijadikan sentral dalam hermeneutika, tidak kurang absurdnya dibandingkan dengan keseluruhan upaya untuk merestorasi dan membangkitkan hidup selamanya”. Integrasi bukanlah restorasi, itulah tugas sebenarnya hermeneutika (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 220).
E.     Signifikansi Aplikasi
Aplikasi merupakan fungsi interpretasi yang didalamnya terdapat hubungan antara makna teks dengan suasana kekinian. Dalam karya J.J. Rmbach, Institutiones hermeneuticae sacrae yang ditulis tahun 1723, interpretasi dikatakan harus mencakup tiga kekuatan: subtilitas intelligendi (pemahaman), subtilitas axplicandi (eksplikasi) dan subtilitas applicandi (aplikasi) (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 221). Tiga kekuatan tersebut pada dasarnya mengacu pada sebuah kapasitas atau kekuatan yang membutuhkan spirit khusus, serta membentuk pemenuhan sebagai upaya untuk pemahaman teks.
Secara umum dalam hermeneutika Schleiermacher dan Post-Romantic ditegaskan adanya suatu kesatuan dalam dua elemen pertama (kekuatan); menjelaskan dilihat sebagai upaya menjadikan eksplisit pemahaman, dan penekanan pada kekuatan hal ini cenderung mengabaikan tidak adanya tempat sistematis bagi factor aplikasi (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 221). Sebab Schleiermacher telah menjadikan hermeneutika sebagai teori pemahaman yang berhubungan dengan dialog, sehingga Bahasa dan pengetahuan menjadi intinya, lalu aplikasi akan mendapatkan sedikit ruang dalam atmosfir pemahamannya. Didalam makna mengetahui, menjelaskan dan memahami sudah cukup mencakup aplikasi atau relasi teks pada suasana kekinian atau masa kini. Hermeneutika teologis dan juridis membawa kita kepada aspek seluruh pemahaman untuk diperhatikan dengan sepenuhnya, sehingga dengan demikian hermeneutika dapat membentuk sebuah pola yang lebih baik untuk mendapat kelayakan operasional pemahaman dalam sejarah.
Hermeneutika yuridis maupun teologis, keduanya melihat tugas interpretasi tidak sekedar sebagai suatu upaya lama untuk masuk kedalam suatu dunia lain tetapi sebagai suatu upaya untuk menjangkau jarak antara teks dan suatu kekinian (Musnur dan Damanhuri (terj), 2005: 222). Sebenarnya memahami sebuah teks atau tulisan sudah sama dengan merupakan pengaplikasiannya. Begitu juga dengan hermeneutika yuridis dan teologis, keduanya berpandangan bahwa sebuah teks atau tulisan dapat dipahami atas ketertarikannya sebagai pembaca kepada penulisnya atau pengarangnya. Sebab kita akan lebih berhubungan dengan teks atau tulisannya, bukan kepada penulis atau pengarangnya.










III.   Penutup
3.1  Kesimpulan
Hermeneutika dapat diartikan atau diterjemahkan “menafsirkan” sesuai dengan pengertian dari kata Yunani. Terdapat tiga makna yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Hermeneutika merupakan satu di antara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Pemikiran hermeneutika sosial ini dikembangkan oleh Friedrich Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Gadamer dan lain-lain.
Dalam penerapannya, hermeneutika dalam interpretasi sejarah dilakukan dengan  mengandaikan, bahwa untuk bisa menangkap kembali kebenaran teks, ditetapkan dengan mengetahui maksud penulisan aslinya. Maksudnya yang terpentig adalah tulisannya bukan pengarangnya. Proses penafsiran, berasal dari penafsir ke teks dengan melalui konteks sejarah dan kultural untuk menangkap kembali maksud penulisan aslinya.











DAFTAR RUJUKAN
Hamid, Rahman. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Rahardjo, Mudja. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme &   Gadamerian. Sleman: Ar-ruzz Media.
Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono, 1999.Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:Kanisius.
Zubaidi. 2007. Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga revolusi sains ala Thomas Khun. Sleman: Ar-Ruz Media.
Hery, Musnur & Muhammad, Damanhuri (terj).2005. Hermeneutika : teori baru mengenai interpretasi. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Meita, Nunung. 2013. Ruang Lingkup Hermeneutika. (Online), (http://meitanun.blogspot.com/2013/06/ruang-lingkup-hermeneutika.html), diakses tanggal 28 Januari 2014, pukul 15.00 WIB.